Anda di halaman 1dari 14

SUMBER/ALAT MEMPEROLEH PENGETAHUAN

FILSAFAT AKAL, ILHAM, WAHYU


Disusun Guna Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu

DosenPengampu:
Ahmadun Najah M.H.I.

Disusun oleh:

1. Muhammad Aunir Rofrofil U 05010123001


2. Achmad Falah Bahi Haqie 05010123013
3. Aisyah Farah Azka 05020123026

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya tulisan ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Penulisan
makalah dengan judul “Sumber/Alat Memperoleh Pengetahuan” ini dalam rangka tugas
kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu.

Dalam penulisan makalah ini penulis jauh dari kata sempurna dan menyadari bahwa
tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan baik secara teknik penulisan maupun
secara materi. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang
penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak akan penulis terima dengan
senang hati demi penyempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pak Ahmadun Najah M.H.I. selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu dan
pihak-pihak yang membantu dalam penulisan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap
semoga makalah ini ada manfaatnya untuk semua pihak yang memerlukan.

Surabaya, Maret 2024

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia, filsafat telah menjadi landasan
penting dalam upaya manusia untuk memahami eksistensi dan realitas. Dalam upaya
memperoleh pengetahuan, manusia mengandalkan berbagai sumber atau alat, di
antaranya adalah akal, ilham, dan wahyu.

Akal, atau kemampuan untuk berpikir rasional dan logis, telah menjadi landasan
utama dalam filsafat. Dengan menggunakan akal, manusia dapat merumuskan argumen,
menganalisis fenomena, dan mempertanyakan kebenaran dengan cara yang sistematis.

Ilham: Selain akal, ilham juga diakui sebagai sumber pengetahuan yang penting
dalam filsafat. Ilham merujuk pada pemahaman intuitif atau pencerahan yang mendadak,
yang mungkin membawa manusia pada wawasan baru atau pemahaman yang mendalam
tentang realitas.

Wahyu: Wahyu, dalam konteks filsafat, adalah pengungkapan pengetahuan atau


kebenaran yang dianggap berasal dari entitas ilahi atau transcendent. Seringkali, wahyu
dianggap sebagai komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan atau kekuatan
supranatural lainnya.

Dengan demikian, penggunaan akal, ilham, dan wahyu sebagai alat atau sumber
dalam memperoleh pengetahuan telah menjadi bagian integral dari tradisi filsafat manusia
sepanjang sejarah.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Akal?
2. Bagaimana Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Ilham?
3. Bagaimana Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Wahyu?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Akal.
2. Untuk Mengetahui Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Ilham.
3. Untuk Mengetahui Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Wahyu.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dengan Indra/Intelektual

Penginderaan dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan mengindra.
Aliran filsafat yang menggunakan penginderaan sebagai sumber pengetahuan adalah empirisme.
Empirisme ialah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/
penginderaan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan
sumber dari pengetahuan manusia. Tanpa adanya rangsangan dan informasi dari indera maka
manusia tidak akan memperoleh pengetahuan apapun, karena inderalah yang merupakan sumber
utama pengetahuan dalam pandangan kaum empiris.1

B. Dengan Akal

Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari
kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya
“paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya,
maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan,
penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra. Menurut
pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical
intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah
(problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat
melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql mengalami
perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat
Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan nous yang
mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran
tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala.2

Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh
pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan benda-benda lain,
dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal
memiliki fungsi dan tugas moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga

1
Uyyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003), hal. 32.
2
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 7-8.
memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan
petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri.3

Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan
alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa
pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah Swt.

C. INTUISI/ILHAM

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, intuitif adalah bersifat (secara) intuisi,
berdasarkan bisikan (gerak) hati. Sehingga arti kata intuisi sendiri adalah kemampuan
untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Intuisi dalam
istilah psikologi dan filsafat adalah suatu proses pemahaman dan persepsi terhadap suatu
fakta actual

Menurut Webster Dictionary, Intuisi diartikan sebagai kemampuan seseorang


dalam mendapatkan pengetahuan atau wawasan secara langsung tanpa melewati proses
observasi atau penalaran lebih dulu.

Dapat dikatakan bahwa Intuisi adalah kemampuan untuk memahami secara tiba
tiba dan keluar dari kesadaran, sebagian intuisi bisa dijelaskan dari sebab akibat. Dalam
Kamus Ilmiah dinyatakan bahwa Intuisionisme adalah suatu anggapan bahwa ilmu
pengetahuan dapat dicapai dengan pemahaman langsung. Anggapan bahwa kewajiban
moral tidak dapat disimpulkan sendiri tanpa pertolongan dari Tuhan. Intuisi tertinggi
tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Intuisionisme
menunjukkan kecenderungan untuk mengutamakan intuisi dalam pengetahuan manusia.

Umumnya pandangan ini melebih-lebihkan nilai pengetahuan intuitif bahkan


mengaitkan dengan manusia, kadang-kadang pendekatan ini terjadi dalam individu-
individu yang mendapat karunia yang tinggi. Namun demikian, sebagian besar intuisi ini
mengandaikan keakraban dengan obyek dalam waktu lama dan melalui pertimbangan,
karenanya intuisi dibenarkan melalui pemikiran metodis.

3
Nasution, Akal Dan Wahyu, hal. 12.
Intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang sah. tetapi mereduksi otoritas dan
intuisi kepada nalar dan pengalaman inderawi adalah benar bahwa pada mulanya otoritas
dan intuisi, selalu berasal dari seorang yang melakukan penalaran dan mengalami, tetapi
ini tidak kemudian berarti bahwa otoritas dan intuisi dapat dikurangi kepada nalar dan
pengalaman inderawi belaka. Intuisi juga merupakan sistem etika yang tidak mengukur
baik atau buruknya sesuatu perbuatan, tetapi berdasarkan niat dalam melaksanakan
perbuatan tersebut Intuisi dapat melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai
suatu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia dan memberi banyak tambahan
informasi yang lebih akrab tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda dengan yang
ditempuh oleh akal maupun indera.

Intuisi merupakan bentuk pemikiran yang berada dalam pemikiran yang bersifat
dinamis. Fungsi intuisi yang paling mendasar adalah untuk mengenal hakikat pribadi dan
hakikat seluruh kenyataan.

Intuisi juga merupakan pemahaman langsung dan kebenaran-kebenaran agama,


realitas dan ekstensi tuhan. Bahkan dalam tingkatannya yang lebih tinggi, intuisi adalah
intuisi terhadap eksistensi itu sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan intuitif diyakini
sebagai pengetahuan batin terutama tentang Tuhan. Isitilah ini digunakan untuk
membedakannya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan indera. Artinya,
pengetahuan tentang Tuhan atau hakekat Tuhan tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti
empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung. 4

D. JENIS-JENIS INTUISI

1. Intuisi afirmatori

Intuisi afirmatori berupa pernyataan, solusi yang secara individual dapat diterima
secara langsung, global dan cukup secara intrinsik. Intuisi afirmatori adalah representasi
atau interpretasi berbagai fakta yang diterima sebagai suatu ketentuan dan dianggap benar
atau terbukti dengan sendirinya, serta konsisten dengan sendirinya. Intuisi afirmatori
bersifat menegaskan suatu representasi atau interpretasi. Intuisi afirmatori dapat

4
Fazar Sinaga"Perspektif filsafat tentang intuisi”
https://www.kompasiana.com/fazarsinaga/6062393fd541df3f443ba8a2/perspektif-filsafat-tentang-intuisi di
akses pada tanggal 19,2024
diklasifikasikan ke dalam intuisi afirmatori semantik, intuisi afirmatori relasional, dan
intuisi afirmatori inferensial.

2. Intuisi antisipatori

Intuisi antisipatori merupakan aktivitas mental yang berlangsung ketika subjek


berusaha menyelesaikan masalah dan penyelesaiannya tidak secara langsung dapat
diperoleh. Intuisi antisipatori merepresentasikan pandangan global, dugaan, dan klaim
awal dalam sebuah pemecahan masalah mendahului bukti formal atau bukti analitik.

3. Intuisi konklusif

Intuisi konklusif merupakan upaya meringkas secara umum dengan ide dasar
pemecahan masalah yang sebelumnya telah ditekuni. Hal ini dapat terlihat ketika
sejumlah klaim atau prediksi yang dibuat, kemudian menyusunnya kembali ke dalam
suatu bentuk peta atau kerangka penyelesaian masalah.

E. KARAKTERISTIK INTUISI

a. Self-evidence (pembuktikan)

Self evidence yang dimaksud adalah bahwa intuisi adalah pemahaman yang
diterima sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih
lanjut. Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik merupakan garis lurus antara dua
titik yang menghubungkan keduanya. Hal tersebut adalah self-evidence, pernyataan yang
diterima secara langsung.

b. Intrinsic certainty (kepastian intrinsik)

Kepastian pemahaman intuisi biasanya dihubungkan dengan perasaan (feeling)


tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subjektif,
terasa seperti sudah menjadi ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung
eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara
formal atau empiris).

c. Coerciveness (pemaksaan)

Intuitif mempunyai sifat memaksa pada strategi penalaran individual, seleksi


hipotesis, dan solusi. Hal ini berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi
alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya. Sebagai contoh: biasanya siswa percaya
bahwa perkalian akan menjadikan lebih besar dan pembagian akan menjadikan lebih
kecil. Hal ini karena pada masa kanak-kanak terbiasa dengan mengoperasikan bilangan
asli. Dikemudian hari setelah belajar bilangan rasional masih dirasa untuk memperoleh
keyakinan yang sama, yang secara jelas sudah tidak sesuai lagi.

d. Ekstrapolativeness (perkiraan)

Sifat penting dari kognisi intuitif adalah kemampuan untuk meramalkan


melampaui segala dukungan empiris.

e. Perseverance (ketekunan)

Intuitif yang dibangun memiliki kekokohan atau stabil. Artinya bahwa intuisi
merupakan strategi penalaran individual yang bersifat kokoh dan tidak mudah berubah.
Sebagai contoh: jika seseorang mengatakan bahwa persegi panjang bukanlah jajar
genjang. Kondisi semacam ini sulit dilakukan perubahan untuk menjadikan mereka
menerima bahwa persegi panjang adalah jajar genjang.

f. Globality (umum)

Berpikir intuitif adalah aktivitas berpikir yang global yang berlawanan dengan
aktivitas berpikir yang logis, berurutan dan secara analitis. Sifat global intuisi
menunjukkan bahwa orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan obyek
daripada bagian-bagian detailnya.

g. Implicitness (tersembunyi)

Implicitness berarti tersembunyi, tidak nampak, berada di balik fakta. Maksudnya


dalam membuat interpretasi, keputusan atau konklusi tertentu atau dalam menyelesaikan
masalah tidak dinyatakan dalam alasan atau langkah-langkah yang jelas (eksplisit).
Adakalanya kemampuan kognisi seseorang dalam menyelesaikan masalah bersifat
implisit dan tidak dinyatakan melalui langkah demi langkah.5

5
Muchlisin Riadi”Intuisi (Pengertian, Sifat, Karakteristik, Jenis dan

Perkembangan”

https://www.kajianpustaka.com/2021/02/intuisi-pengertian-sifat-karakteristik.html?m=1 di akses pada


tanggal 19,2024
F. WAHYU

Ilmu pengetahuan Islam menempatkan wahyu Tuhan di tempat tertinggi, bahkan


rasio berada di bawahnya. Wahyu merupakan sumber dari segala sumber sehingga ia
ditempatkan pada posisi tertinggi. Kebenaran mutlak wahyu Tuhan merupakan status
abadi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan.6Hal ini memberikan konsekuensi
bahwa menurut pandangan Islam indera dan akal harus tunduk kepada petunjuk wahyu.

Islam memandang bahwa kecerdasan manusia tidak sebanding dengan petunjuk


wahyu yang berasal dari sisi Tuhan. Akan tetapi dalam hal ini Islam tidak berarti
meremehkan atau tidak menghormati keberadaan pikiran manusia sebagai karunia dari
Allah swt. Terdapat hubungan sifat dalam pandangan yang harus kita terima
kenyataannya meskipun masih banyak sekali kontroversi yang rumit:

a) Wahyu Tuhan diterima jika akal menunjukkan pada keyaninan yang benar.
b) Wahyu Tuhan berupa pembicaraan eksternal yang dibungkus ke dalam makna
sehingga masuk dalam perasaan dan pendengaran pembaca sebelum mereka
percaya dan mengimani.
c) Wahyu memberikan petunjuk dan arahan yang benar menurut Tuhan tentang
alam dan manusia, manusia dengan akalnya pun berusaha mencari petunjuk
tersebut.7

Berbeda dengan filsafat barat, filsafat Islam menempatkan wahyu sebagai tempat
tertinggi sekaligus arah tujuan berpikir filsafat. Menurut Ibnu Maskawaih dalam
Khudori, bahwa melalui wahyu Nabi mencapai kebenaran puncak sedangkan filosof
mencapai kebenarana puncaknya melalui berpikir, bernalar dan merenung.8

Para filosof muslim menempatkan wahyu sebagai sumber filsafat Islam dan dalil
yang logis, lebih-lebih dalam kajian metafisika yang tidak dapat dijangkau oleh
pengetahuan inderawi. Domain metafisik dan domain eskatologis lebih tepat jika dikaji
dengan menggunakan pendekatan iman, karena ia merupakan kaharusan metafisik

6
Rendra K, Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal: 166
7
Muhammad Muqim (ed), Research Metodology in Islamic Perspektive (New Delhi: Institute of Objective
studies, 1994), hal: 17-18
8
Khudori Sholeh, Integrasi Agama dan Filsafat: Pemikiran Epistimologi al-Farabi (Malang: UIN MALIKI
PRESS, 2010), hal: 67
(metaphysic necesity). Dalam hal ini para filosof muslim sangat berpegang teguhkepada
wahyu sebagai kebenaran tertinggi.

‫الكتاب جاء ما على اإللهيات في أي المستافيزيقي بحثهم في اإلسالم فالسفة إعتمد وقد‬
‫إستدالل على مثال ولتضرب والبرهان بالقياس ا العقلية بالحاجة مدعما والسنة‬
‫هلال وحدانية على كدليل بالقران الفالسفة‬. ‫تعالى قوله إلى الفالسفة كل إستدل فقد‬: ‫وال‬
‫هو إال إله ال أخر إلها هلال مع تدع‬. ‫تعالى وقوله‬: ‫ أحد هلال هو قل‬...‫يؤكدون وكانوا‬
‫ العقلية بأدلة األدلة هذه‬9‫المنطقية‬

Jika kepada hal-hal metafisika para filosof muslim bertumpu kepada al-
Qur’an, maka demikian halnya dengan hal-hal fisik seperti manusia dan alam maka
mereka pun berpedoman kepada al-Qur’an.

Menurut al-Farabi, wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi bersumber


pada intelek aktif yaitu Allah. Seorang filosof dapat mampu mencapai intelek
perolehan (al-‘aql al-mustafid) melalui proses intelektual dan latihan sungguh-
sungguh. Pengetahuan hasil dari bernalar mereka dapatkan dari pertemuannya dengan
intelek aktif, yang sama-sama menjadi sumber wahyu kenabian. Dalam hal ini, baik
secara sebstansi dan materi, hasil renungan filosofis tidak berbeda dengan wahyu.10

Meskipun hasil renungan filosofis tersebut tidak berbeda dengan wahyu,


namun tetap sesuatu yang tidak dapat disamakan. Filosof melibatkan akal dan peran
otak untuk memperoleh suatu kebenaran relatif. Sedangkan Nabi tidak
hanyamelibatkan intelek saja melainkan juga daya-daya kognitif lainnya. Proses
penerimaan wahyu yang terjadi antara malaikat dan Nabi merupakan suatu
pengalaman spiritual yang melebihi proses berpikir filosof. Nabi menerima wahyu
tanpa tabir, terjadi ‘komunikasi’ secara langsung antara keduanya. Dalam komunikasi
tersebut Jibril menyentuh langsung pikiran Nabi dan ini tidak dapat dilakukan
manusia biasa yang masih menggunakan suara atau isyarat dalam menyampaikan
pesan. Selanjutnya, Nabi tidak melalui pelatihan-pelatihan khusus yang melibatkan
indera internal atau eksternal untuk mempersiapkan penerimaan wahyu. Sedangkan
filosof, ahrus menjalani latihanlatihan intelektual dan moral sebelum mencapai titik

9
Ash-Showi ash-Showi Ahmad, al-Falsafah al-Islamiyah: Mafhumuha wa Ahammiyatuha wa Nasyatuha wa
Ahammu Qodhoyaha (Madarisul Falsafah: ،‫جامعة قئاة السوي‬, 1998), hal: 125
10
Khudori Sholeh, Op.cit, hal: 78
puncak ‘kesempurnaan’, hal ini untuk mensucikan jiwa raga demi mencapai intelek
perolehan (al-‘aql al-mustafid) untuk dapat sampai pada intelek aktif. Demikian sakral
proses penerimaan wahyu sebagai petunjuk dan sumber berfilsafat dalam Islam.

Untuk mempertemukan kebenaran wahyu, kini telah banyak kajian dan


penelitian tentang alam semesta dan manusia yang mana hasil penelitian tersebut
sesuai dengan petunjuk-petunjuk baik yang tersirat maupun yang tidak tersirat dalam
alQur’an. Pernyataan-pertanyaan mendasar dalam filsafat Islam, tentang adanya
gunung misalnya, telah tercantum di dalam al-Qur’an bahwa ia berfungsi sebagai
penyeimbang bumi, selain sebagai pasak yang ditancapkan ke dalam perut bumi. Hal-
hal demikianbaru ditemukan oleh peneliti pada akhir-akhir zaman ini.

Al-Farabi sebagai filosof intuisi, menyatakan bahwa kebenaran intuisi lebih


unggul dari pada yang diperoleh indera dan rasio. Kebenaran yang ditangkap oleh
indera masih sangat rentan salah. Sebagai contoh kecil, pandangan mata terhadap
fatamorgana, yang semakin didekati semakin jauh. Sebagaimana yang diungkapkan
Ibnu Maskawaih, bahwa khathaul hawas meliputi kesalahan dalam jarak jauh,
kesalahan dalam jarak dekat, kesalahan dalam mendengar dan sebagainya.11

Lebih lanjut, rasio pun tidak dapat sepenuhnya menjangkau makna dibalik
indera, kemampuannya sangat terbatas bahkan diluar kesanggupan akal pikiran
manusia. menurut Henry dalam Khudori, indera dan rasio berada dalam tahap
“pengetahuan mengenai” (knowledge about) belum tahap “pengetahuan tentang”
(knowledge of).

Sedangkan pendekatan terhadap wahyu bertitik tolak dari keyakinan terhadap


kebenaran wahyu itu sendiri.12 Mencari kebenaran baru sebagai sebuah alternative
adalah tidak tepat namun dengan memahami terhadap kebenaran mutlak yang
terkandung dalam wahyu adalah suatu kebenaran. Dengan mengoptimalkan potensi
nalar manusia, manusia diseru untuk mendapatkan kebenaran yang diharapkan dapat
mencapai kebenaran mutlak tersebut.13

11
Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlak wa Tathhirul al-A’raq (Iraq: Thali’ah Nur, 1426), hal: 89
12
Mujammil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, tt), hal:135
13
Jaluddin dan Usman Said, Filsafat pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hal: 6
Dengan demikian, al-Qur’an yang berisikan wahyu ilahi sebagai sumber
filsafat Islam tidak dapat diragukan kebenarannya. Hal ini dikarenakan sifat
kandungan alqur’an yang tidak terbatas. Ia akan terus melahirkan pemikiran-
pemikiran baru bagi siapapun yang mempelajarinya dan mengkajinya. Dengan
menempatkan wahyu sebagai posisi tertinggi sebagai sumber filsafat, membuktikan
adanya pengakuan suatu energi tak terbatas dan Maha Sempurna yang berada diluar
kemampuan manusia.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sumber atau alat untuk memperoleh pengetahuan dalam filsafat dapat


dikelompokkan menjadi tiga: akal, ilham, dan wahyu. Pertama, akal merujuk pada
kemampuan rasional manusia untuk berpikir, menganalisis, dan menyimpulkan secara
logis. Melalui akal, manusia menggunakan proses berpikir yang terstruktur untuk
memahami dunia dan menemukan kebenaran. Kedua, ilham adalah pengalaman intuitif
yang mendalam dan seringkali sulit dijelaskan secara rasional. Ilham muncul tanpa
penalaran yang jelas dan dapat memberikan wawasan atau pemahaman yang mendalam
tentang aspek-aspek tertentu dari realitas. Terakhir, wahyu adalah pengungkapan
langsung dari yang ilahi, yang diterima manusia sebagai bentuk komunikasi atau panduan
dari kekuatan ilahi. Wahyu dapat muncul dalam bentuk ajaran agama atau pengalaman
spiritual yang mendalam. Ketiga sumber ini memberikan kontribusi yang berbeda dalam
pemahaman manusia tentang realitas dan pencarian akan kebenaran.

B. Kritik dan Saran

Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di


atas masih banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis
akan segera melakukan perbaikan susunan makalah dengan menggunakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Showi ash-Showi Ahmad, al-Falsafah al-Islamiyah: Mafhumuha wa


Ahammiyatuha wa Nasyatuha wa Ahammu Qodhoyaha (Madarisul Falsafah: ،‫جامعة قئاة السوي‬,
1998), hal: 125
Fazar Sinaga"Perspektif filsafat tentang intuisi”
https://www.kompasiana.com/fazarsinaga/6062393fd541df3f443ba8a2/perspektif-filsafat-
tentang-intuisi di akses pada tanggal 19,2024
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 7-8.
Uyyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003), hal. 32.
Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlak wa Tathhirul al-A’raq (Iraq: Thali’ah Nur, 1426),
hal: 89
Jaluddin dan Usman Said, Filsafat pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal: 6
Khudori Sholeh, Integrasi Agama dan Filsafat: Pemikiran Epistimologi al-Farabi
(Malang: UIN MALIKI PRESS, 2010), hal: 67
Muchlisin Riadi”Intuisi (Pengertian, Sifat, Karakteristik, Jenis dan Perkembangan”

https://www.kajianpustaka.com/2021/02/intuisi-pengertian-sifat-karakteristik.html?m=1 di
akses pada tanggal 19,2024

Muhammad Muqim (ed), Research Metodology in Islamic Perspektive (New Delhi:


Institute of Objective studies, 1994), hal: 17-18
Mujammil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, tt), hal:135
Rendra K, Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal: 166

Anda mungkin juga menyukai