DosenPengampu:
Ahmadun Najah M.H.I.
Disusun oleh:
Puji syukur penulis haturkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya tulisan ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Penulisan
makalah dengan judul “Sumber/Alat Memperoleh Pengetahuan” ini dalam rangka tugas
kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu.
Dalam penulisan makalah ini penulis jauh dari kata sempurna dan menyadari bahwa
tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan baik secara teknik penulisan maupun
secara materi. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang
penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak akan penulis terima dengan
senang hati demi penyempurnaan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pak Ahmadun Najah M.H.I. selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu dan
pihak-pihak yang membantu dalam penulisan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap
semoga makalah ini ada manfaatnya untuk semua pihak yang memerlukan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia, filsafat telah menjadi landasan
penting dalam upaya manusia untuk memahami eksistensi dan realitas. Dalam upaya
memperoleh pengetahuan, manusia mengandalkan berbagai sumber atau alat, di
antaranya adalah akal, ilham, dan wahyu.
Akal, atau kemampuan untuk berpikir rasional dan logis, telah menjadi landasan
utama dalam filsafat. Dengan menggunakan akal, manusia dapat merumuskan argumen,
menganalisis fenomena, dan mempertanyakan kebenaran dengan cara yang sistematis.
Ilham: Selain akal, ilham juga diakui sebagai sumber pengetahuan yang penting
dalam filsafat. Ilham merujuk pada pemahaman intuitif atau pencerahan yang mendadak,
yang mungkin membawa manusia pada wawasan baru atau pemahaman yang mendalam
tentang realitas.
Dengan demikian, penggunaan akal, ilham, dan wahyu sebagai alat atau sumber
dalam memperoleh pengetahuan telah menjadi bagian integral dari tradisi filsafat manusia
sepanjang sejarah.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Akal?
2. Bagaimana Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Ilham?
3. Bagaimana Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Wahyu?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Akal.
2. Untuk Mengetahui Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Ilham.
3. Untuk Mengetahui Sumber Atau Alat Memperoleh Pengetahuan Filsafat Wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dengan Indra/Intelektual
Penginderaan dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan mengindra.
Aliran filsafat yang menggunakan penginderaan sebagai sumber pengetahuan adalah empirisme.
Empirisme ialah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/
penginderaan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan
sumber dari pengetahuan manusia. Tanpa adanya rangsangan dan informasi dari indera maka
manusia tidak akan memperoleh pengetahuan apapun, karena inderalah yang merupakan sumber
utama pengetahuan dalam pandangan kaum empiris.1
B. Dengan Akal
Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari
kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya
“paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya,
maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan,
penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra. Menurut
pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical
intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah
(problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat
melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql mengalami
perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat
Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan nous yang
mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran
tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala.2
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh
pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan benda-benda lain,
dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal
memiliki fungsi dan tugas moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga
1
Uyyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003), hal. 32.
2
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 7-8.
memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan
petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri.3
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan
alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa
pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah Swt.
C. INTUISI/ILHAM
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, intuitif adalah bersifat (secara) intuisi,
berdasarkan bisikan (gerak) hati. Sehingga arti kata intuisi sendiri adalah kemampuan
untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Intuisi dalam
istilah psikologi dan filsafat adalah suatu proses pemahaman dan persepsi terhadap suatu
fakta actual
Dapat dikatakan bahwa Intuisi adalah kemampuan untuk memahami secara tiba
tiba dan keluar dari kesadaran, sebagian intuisi bisa dijelaskan dari sebab akibat. Dalam
Kamus Ilmiah dinyatakan bahwa Intuisionisme adalah suatu anggapan bahwa ilmu
pengetahuan dapat dicapai dengan pemahaman langsung. Anggapan bahwa kewajiban
moral tidak dapat disimpulkan sendiri tanpa pertolongan dari Tuhan. Intuisi tertinggi
tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Intuisionisme
menunjukkan kecenderungan untuk mengutamakan intuisi dalam pengetahuan manusia.
3
Nasution, Akal Dan Wahyu, hal. 12.
Intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang sah. tetapi mereduksi otoritas dan
intuisi kepada nalar dan pengalaman inderawi adalah benar bahwa pada mulanya otoritas
dan intuisi, selalu berasal dari seorang yang melakukan penalaran dan mengalami, tetapi
ini tidak kemudian berarti bahwa otoritas dan intuisi dapat dikurangi kepada nalar dan
pengalaman inderawi belaka. Intuisi juga merupakan sistem etika yang tidak mengukur
baik atau buruknya sesuatu perbuatan, tetapi berdasarkan niat dalam melaksanakan
perbuatan tersebut Intuisi dapat melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai
suatu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia dan memberi banyak tambahan
informasi yang lebih akrab tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda dengan yang
ditempuh oleh akal maupun indera.
Intuisi merupakan bentuk pemikiran yang berada dalam pemikiran yang bersifat
dinamis. Fungsi intuisi yang paling mendasar adalah untuk mengenal hakikat pribadi dan
hakikat seluruh kenyataan.
D. JENIS-JENIS INTUISI
1. Intuisi afirmatori
Intuisi afirmatori berupa pernyataan, solusi yang secara individual dapat diterima
secara langsung, global dan cukup secara intrinsik. Intuisi afirmatori adalah representasi
atau interpretasi berbagai fakta yang diterima sebagai suatu ketentuan dan dianggap benar
atau terbukti dengan sendirinya, serta konsisten dengan sendirinya. Intuisi afirmatori
bersifat menegaskan suatu representasi atau interpretasi. Intuisi afirmatori dapat
4
Fazar Sinaga"Perspektif filsafat tentang intuisi”
https://www.kompasiana.com/fazarsinaga/6062393fd541df3f443ba8a2/perspektif-filsafat-tentang-intuisi di
akses pada tanggal 19,2024
diklasifikasikan ke dalam intuisi afirmatori semantik, intuisi afirmatori relasional, dan
intuisi afirmatori inferensial.
2. Intuisi antisipatori
3. Intuisi konklusif
Intuisi konklusif merupakan upaya meringkas secara umum dengan ide dasar
pemecahan masalah yang sebelumnya telah ditekuni. Hal ini dapat terlihat ketika
sejumlah klaim atau prediksi yang dibuat, kemudian menyusunnya kembali ke dalam
suatu bentuk peta atau kerangka penyelesaian masalah.
E. KARAKTERISTIK INTUISI
a. Self-evidence (pembuktikan)
Self evidence yang dimaksud adalah bahwa intuisi adalah pemahaman yang
diterima sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih
lanjut. Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik merupakan garis lurus antara dua
titik yang menghubungkan keduanya. Hal tersebut adalah self-evidence, pernyataan yang
diterima secara langsung.
c. Coerciveness (pemaksaan)
d. Ekstrapolativeness (perkiraan)
e. Perseverance (ketekunan)
Intuitif yang dibangun memiliki kekokohan atau stabil. Artinya bahwa intuisi
merupakan strategi penalaran individual yang bersifat kokoh dan tidak mudah berubah.
Sebagai contoh: jika seseorang mengatakan bahwa persegi panjang bukanlah jajar
genjang. Kondisi semacam ini sulit dilakukan perubahan untuk menjadikan mereka
menerima bahwa persegi panjang adalah jajar genjang.
f. Globality (umum)
Berpikir intuitif adalah aktivitas berpikir yang global yang berlawanan dengan
aktivitas berpikir yang logis, berurutan dan secara analitis. Sifat global intuisi
menunjukkan bahwa orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan obyek
daripada bagian-bagian detailnya.
g. Implicitness (tersembunyi)
5
Muchlisin Riadi”Intuisi (Pengertian, Sifat, Karakteristik, Jenis dan
Perkembangan”
a) Wahyu Tuhan diterima jika akal menunjukkan pada keyaninan yang benar.
b) Wahyu Tuhan berupa pembicaraan eksternal yang dibungkus ke dalam makna
sehingga masuk dalam perasaan dan pendengaran pembaca sebelum mereka
percaya dan mengimani.
c) Wahyu memberikan petunjuk dan arahan yang benar menurut Tuhan tentang
alam dan manusia, manusia dengan akalnya pun berusaha mencari petunjuk
tersebut.7
Berbeda dengan filsafat barat, filsafat Islam menempatkan wahyu sebagai tempat
tertinggi sekaligus arah tujuan berpikir filsafat. Menurut Ibnu Maskawaih dalam
Khudori, bahwa melalui wahyu Nabi mencapai kebenaran puncak sedangkan filosof
mencapai kebenarana puncaknya melalui berpikir, bernalar dan merenung.8
Para filosof muslim menempatkan wahyu sebagai sumber filsafat Islam dan dalil
yang logis, lebih-lebih dalam kajian metafisika yang tidak dapat dijangkau oleh
pengetahuan inderawi. Domain metafisik dan domain eskatologis lebih tepat jika dikaji
dengan menggunakan pendekatan iman, karena ia merupakan kaharusan metafisik
6
Rendra K, Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal: 166
7
Muhammad Muqim (ed), Research Metodology in Islamic Perspektive (New Delhi: Institute of Objective
studies, 1994), hal: 17-18
8
Khudori Sholeh, Integrasi Agama dan Filsafat: Pemikiran Epistimologi al-Farabi (Malang: UIN MALIKI
PRESS, 2010), hal: 67
(metaphysic necesity). Dalam hal ini para filosof muslim sangat berpegang teguhkepada
wahyu sebagai kebenaran tertinggi.
الكتاب جاء ما على اإللهيات في أي المستافيزيقي بحثهم في اإلسالم فالسفة إعتمد وقد
إستدالل على مثال ولتضرب والبرهان بالقياس ا العقلية بالحاجة مدعما والسنة
هلال وحدانية على كدليل بالقران الفالسفة. تعالى قوله إلى الفالسفة كل إستدل فقد: وال
هو إال إله ال أخر إلها هلال مع تدع. تعالى وقوله: أحد هلال هو قل...يؤكدون وكانوا
العقلية بأدلة األدلة هذه9المنطقية
Jika kepada hal-hal metafisika para filosof muslim bertumpu kepada al-
Qur’an, maka demikian halnya dengan hal-hal fisik seperti manusia dan alam maka
mereka pun berpedoman kepada al-Qur’an.
9
Ash-Showi ash-Showi Ahmad, al-Falsafah al-Islamiyah: Mafhumuha wa Ahammiyatuha wa Nasyatuha wa
Ahammu Qodhoyaha (Madarisul Falsafah: ،جامعة قئاة السوي, 1998), hal: 125
10
Khudori Sholeh, Op.cit, hal: 78
puncak ‘kesempurnaan’, hal ini untuk mensucikan jiwa raga demi mencapai intelek
perolehan (al-‘aql al-mustafid) untuk dapat sampai pada intelek aktif. Demikian sakral
proses penerimaan wahyu sebagai petunjuk dan sumber berfilsafat dalam Islam.
Lebih lanjut, rasio pun tidak dapat sepenuhnya menjangkau makna dibalik
indera, kemampuannya sangat terbatas bahkan diluar kesanggupan akal pikiran
manusia. menurut Henry dalam Khudori, indera dan rasio berada dalam tahap
“pengetahuan mengenai” (knowledge about) belum tahap “pengetahuan tentang”
(knowledge of).
11
Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlak wa Tathhirul al-A’raq (Iraq: Thali’ah Nur, 1426), hal: 89
12
Mujammil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, tt), hal:135
13
Jaluddin dan Usman Said, Filsafat pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hal: 6
Dengan demikian, al-Qur’an yang berisikan wahyu ilahi sebagai sumber
filsafat Islam tidak dapat diragukan kebenarannya. Hal ini dikarenakan sifat
kandungan alqur’an yang tidak terbatas. Ia akan terus melahirkan pemikiran-
pemikiran baru bagi siapapun yang mempelajarinya dan mengkajinya. Dengan
menempatkan wahyu sebagai posisi tertinggi sebagai sumber filsafat, membuktikan
adanya pengakuan suatu energi tak terbatas dan Maha Sempurna yang berada diluar
kemampuan manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
https://www.kajianpustaka.com/2021/02/intuisi-pengertian-sifat-karakteristik.html?m=1 di
akses pada tanggal 19,2024