Anda di halaman 1dari 10

Nama : Annisa Siti Nurhaliza

Kelas : PAI Regular 1A


Mata Kuliah : Filsafat Imu

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL


1. Jelaskan makna Filsafat Ilmu dengan mengurai istilah-istilah berikut ini:
a. Filsafat: Filsafat bisa diartikan sebagai ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-
dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran atau rasio . Filsafat bukan mempersoalkan
gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena.
Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu” itu
adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara
mendalam dan menyeluruh. Menurut saya, Berfilsafat berarti ber-rendah hati bahwa
tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas.
Dapat saya pahami juga bahwa filsafat merupakan pencarian akan kearifan kehidupan,
usaha untuk menyelami maksud Tuhan serta usaha penyelidikan tentang asal-usul,
keluasan, dan validitas ide manusia guna peningkatan rasionalitas dan keluasan bagi
pemikiran yang jernih. Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir adalah
berfilsafat; Berpikir dalam arti berfilsafat adalah berpikir yang konsepsional dengan ciri
radikal, universal, konseptual, koheren, konsisten, dan sistematik.
b. Ilmu: lmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa
ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merupakan rangkuman dari
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati / berlaku umum dan
diperoleh melalui serangkaian prosedur sistematik, diuji dengan seperangkat
metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
c. Pengetahuan: Pengetahuan adalah keseluruhan ilmu pengetahuan yang belum tersusun,
baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan, pengetahuan adalah
informasi yang ada dan berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme
tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan
pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung
kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan
asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cenderung trial and
error dan berdasarkan pengalaman belaka. Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil
dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan
bersikap dan bertindak (Makhmudah, 2018: 203). Dalam makna ilmu, filsafat adalah
salah satu jenis pengetahuan atau cabang ilmu yang mengkaji segala objek sejauh yang
dapat dijangkau oleh akal fikiran (logis). Filsafat ilmu adalah salah satu bagian dari
cabang filsafat (filsafat pengetahuan = epistemologi) yang mengkaji hakikat ilmu,
terutama berkaitan dengan landasannya (ontologis, aksiologis, epistemologis) serta
hubungan ilmu dengan jenis pengetahuan lainnya.

2. Jelaskan apa perbedaannya dengan makna Filsafat Pengetahuan.


Sebelum itu, kita mesti memahami dulu dalam filsafat pengetahuan, bahwa pengetahuan
pada dasarnya merupakan segenap hasil dari kegiatan mengetahui berkenaan dengan
sesuatu obyek (dapat berupa suatu hal atau peristiwa yang dialami subyek), misalnya:
pengetahuan tentang benda, tentang tumbuh-tumbuhan, tentang binatang, tentang
manusia, atau pengetahuan tentang peristiwa peperangan (Wahana, 2016: 46). Maka,
berbicara mengenai filsafat pengetahuan itu sendiri yang membedakannya dengan filsafat
ilmu ialah cara memperolehnya yang tidak didasarkan pada teori tertentu maupun disusun
secara ilmiah menggunakan metode tertentu sebagaimana halnya ilmu. Maka dari itu, ada
yang dinamakan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yakni pengetahuan yang bertujuan
mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu, yang bisa diperoleh melalui
pendekatan atau cara pandang (approach), metode, dan sistem tertentu. Ilmu pengetahuan
bisa diciptakan manusia karena didorong oleh rasa ingin tahu manusia yang tidak
berkesudahan terhadap objek, pikiran, atau akal budi yang menyangsikan kesaksian
indera, karena indera dianggap sering menipu. Selanjutnya ilmu pengatahuan bahwa bagi
manusia mempunyai kemungkinan untuk mencapai pengetahuan yang lebih sempurna
daripada pengetahuan biasa, yang lebih tinggi derajatnya yang hendak memberikan
‘insight’ (pemahaman yang mendalam).
3. Buatlah refleksi pemikiran dengan memilih salah satu topik / materi kajian
dalam Filsafat Ilmu berikut ini:

EKSISTENSI RASIONALISME DAN EMPIRISME FILSAFAT ILMU DALAM


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Pendahuluan
Suatu hal yang urgen ketika seseorang ingin mendapatkan pengetahuan yang
benar adalah memahami secara komprehensif metodologinya. Hal ini penting untuk
dilakukan agar tidak terjebak pada sebuah konklusi-konklusi yang salah. Epistimologi
adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang pengertian, struktur, metode, validitas
ilmu, teori mengenai hakikat ilmu dan cara memperolehnya. Kendatipun istilah ini baru
dikemukakan pada tahun 1954, tetapi kajian tentang diskursus ini telah berlangsung sejak
lama.
Pertanyaan seputar apakah sumber pengetahuan? Apakah tolak ukur atau validitas
pengetahuan? Merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang terus menerus dikaji dan
diteliti. Kemudian para filosof pun melahirkan beberapa aliran dalam epistemologi,
diantaranya adalah rasionalisme, empirisme, idealisme, positivisme, materialism dan
sekularisme.
Namun, dalam konteks ini penulis akan merefleksikan pemikiran berkenaan
dengan eksistensi rasionalisme dan empirisme filsafat ilmu dalam Pendidikan Agama
Islam.
B. Pembahasan
1. Rasionalisme dan Empirisme dalam Filsafat Ilmu
a) Rasionalisme
Rasionalisme secara bahasa terdiri dari kata rasional dan isme. Rasional dapat
diartikan make sense, sesuai dengan nalar. Sedangkan isme, berarti faham.
Dengan demikian rasionalisme adalah faham yang menyatakan bahwa akal
memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui dan mengungkap prinsip-
prinsip pokok dari alam atau terdapat suatu kebenaran yang menurut logika
berada sebelum pengalaman tetapi tidak bersifat analitik. Secara istilah, Ahmad
Tafsir menjelaskan bahwa rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan
bahwa akal adalah alat penting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. (Tafsir, 2009)
Menurut rasionalisme, agar ilmu dan filsafat berkembang, manusia harus
memiliki metode yang baik, karena kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam
pemikiran-pemikiran filsafat disebabkam tidak adanya metode yang mapan,
sebagai pangkal tolak yang sama bagi berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan
pasti. Metode yang dimaksud aliran ini adalah menyangsikan segala sesuatu atau
berangkat dari keragu-raguan. Urgensi asas tampak pada pernyataan Rene
Deskartes bahwa ia meragukan segalanya, bahkan meragukan pengetahuan yang
dimilikinya, termasuk keyakinan-keyakinan yang selama ini dianggapnya pasti,
seperti adanya dunia materi dan adanya Allah SWT. Satu-satunya yang tersisa
yang diyakininya ialah cargito ergo sum yang berarti “saya berpikir maka saya
ada”. Inilah yang dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat
rasionalisme Rene Deskartes. Lalu berikut lebih jelasnya tentang bagaimana
memperoleh hasil yang shahih: (Himpunan Sarjana PAI Sumatera Utara, 2014)
Pertama, tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali hal itu sungguh-
sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu
merobohkannya. Kedua, pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu, sehingga
tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya. Ketiga,
bimbinglah pikiran dengan teratur dengan memulai dari hal-hal yang sederhana
dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang sulit dan
kompleks. Keempat, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal yang sulit,
selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh.
b) Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa Inggris empiricism dan experience yang berarti
data-data atau kenyataan. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah paham
yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapat melalui
penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkrit.
Sebagimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa kaum empiris telah
berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan didapat lewat penalaran risional
yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkrit. Pemikiran seperti ini
paling tidak dimulai sejak zaman Aristoteles. Semenjak itu muncul tradisi
epistimologi yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pangalaman manusia dan
meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Kaum
empiris mememegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat
diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan
seorang empiris bahwa suatu itu ada,dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada
saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka ia harus diyakinkan oleh
pengalamannya sendiri. Kemudian gejala-gejala alamiah menurut anggapan
kaum empiris adalah bersifat kongkrit dan dapat dinyatakan melalui
tangkapan panca indra manusia. Gejala itu jika kita telaah lebih lanjut
mempunyai beberapa karakteristik tertentu, umpamanya saja terdapat pola yang
teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Misalnya suatu benda padat jika
dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan.
Demikian seterusnya dimana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan
mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Disamping itu
kita melihat adanya karaktristik lain. yakni adanya kesamaan dan
pengulangan.
2. Eksistensi Rasionalisme dan Empirisme dalam Pendidikan Agama Islam
Rasionalisme sebagai sebuah paham yang berpandangan bahwa hanya rasio
sebagai sumber sekaligus instrument untuk menemukan kebenaran dan
mengembangkan ilmu pengetahuan tidak dapat diterima dalam konsep Islam. Islam
juga menolak aliran empirisme lawan dari rasionalisme yang berpandangan bahwa
indra atau pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan instrument untuk
menemukan kebenaran dan mengembangkan ilmu.
Penolakan ini didasarkan pada pandangan bahwa menurut epistemologi Islam
sumber kebenaran dan ilmu adalah Allah SWT yang dapat dipahami maksud dan
tujuannya dengan mengamati dan menganalisa keberadaannya lewat ayat-ayat
qur’aniah dan ayat-ayat kauniah ditambah dengan hadits-hadits nabi Muhammad
SAW. Allah SWT sebagai sumber ilmu pengetahuan dapat dilihat dalam Qs. Saba’
ayat 1-2 sebagai berikut:
‫ح ْم ُد‬
‫ض‬ ‫و ٱ ْْلَ ْر‬ ‫َّللِ ح ن حي ِم ح ٱله ِذى ۥهُ ما ى س‬ ‫س ِم ٱ‬
‫ ٱ ْل‬Qُ‫ى ولَه‬ ‫َما‬ ‫ٱل َم‬ ‫هَّ ِلل‬ ‫ٱلر ٱ ْل ْم ُد‬ ‫ر‬Q ‫ٱل‬
‫ت‬ ‫َو‬ ‫َم‬
‫ِفى ٱ لءاخر َو ٱ ُم ٱ خ ِبير‬
‫ِة ْل وه ْل ح‬
‫ِكي‬

“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dana pa yang di bumi dan
bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui.” (1)

‫وه َو‬
‫ها‬Q‫يخر م َ ِزل من َمآ َ يعرج في‬ ‫و َما‬ ‫ما ٱ َْْل ْر‬ َ
‫عل ُم‬
‫ٱل ِء م‬ ‫ج ْنها م ين‬ ‫ض‬ ‫ى‬ ‫ِلج‬
‫س ا‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫و‬
‫ور‬Qُ‫ٱلر حي ُم ٱ ْل غَف‬
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar daripadanya, apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah yang Maha
Penyayang lagi Maha Pengampun.” (2)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah pemilik alam semesta dan segala isinya, dari-
Nya segala sesuatu bersumber. Dia juga Maha Mengetahui, tiada yang luput dari
pengetahuannya. Semua rahasia alam semesta merupakan milik Allah. Dengan
demikian, sumber pengetahuan dan ilmu hanya Allah SWT, bukan rasio, apalagi
empiris. Secara epistimologi, Allah SWT juga mengajak manusia mempergunakan
sernua potensinva untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya baik di langit
maupun di bumi.
Daya kritis rasio, dan ketajaman empiris memang telah memberi sumbangan dan
pencerahan yang besar bagi kehidupan manusia, tetapi mengenai kebenaran dan
realitas yang tinggi, keduanya tetap membutuhkan dukungan dan bimbingan dari
sumber yang secara substansial tak mungkin salah dan tak mungkin berubah. Dalam
kaitan ini, ayat-ayat quraniyah maupun ayat-ayat kauniyah (nalar) merupakan
kesatuan kebenaran yang bersumber dari ke-Maha Esaan dan ke-Maha Tahuan maka
tidak mungkin terjadi kesalahan dan kontradiksi di antara keduanya.
Kesetaraan yang logis dan rasional antara lebenaran realitas yang tertangkap oleh
rasio dan empiris dengan kebenaran ayat-ayat-Nya menjadi prinsip yang fundamental
bagi epistimologi ilmu Islam. Karena itu, apa pun teori dan hasil penelitian yang
didapatkan oleh manusia jika hal itu tidak sejalan dengan maksud yang dikandung
ayat-ayat Allah perlu dipertanyakan kembali tingkat kebenarannya. Hal ini tidak
boleh diabaikan begitu saja atau dibiarkan sebagai kebenaran masing-masing yang
diakui bersama.
Selanjutnya, empiris juga memiliki fungsi yang sama. Islam secara epistemologi
memandang bahwa indera adalah instrument yang tidak boleh diabaikan dalam proses
menemukan kebenaran.Indera berkolaborasi dengan rasio dalam melakukan upaya
menemukan kebenaran.
Misalkan, dalam Qs. Yusuf ayat 94 yang berbunyi:

‫ن‬Qَ‫ف ۖ ْو َ َٓل أ‬ ‫ري ح‬ َ‫ْ ل‬ ‫ُبو ْم ِإ‬Qَ‫ص ت ٱ ْل ال أ‬ ‫ما‬Q َ‫ول‬


‫ون‬Qُ‫َفِن’د‬Qُ‫ت‬ Q‫ُيوس‬ ‫ِج ُد‬ ‫ِن’ى‬ ‫ل ِعير‬
‫ه‬

“Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka:
"Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah
akal (tentu kamu membenarkan aku)".
Ayat diatas menunjukkan indera penciuman sebagai instrument untuk
menemukan kebenaran. Selain itu, dalam Qs. Al-A’raf:185 yang menunjukkan bahwa
indera mata sebagai instrument untuk menemukan kebenaran.

‫ن‬Qَ‫عس ٓى أ‬
َ‫و َما َ ق َّٱللُ من شى وأ‬ ‫وٱ َْْل‬ ‫ك ت س‬Q َ‫ َولَ ْم ظرو ۟ا مل‬Qَ‫أ‬
‫ٍء ن‬ ‫ض ل‬ ‫ْر ت‬ ‫ِفى و ٱل َم‬ ‫ن‬
‫َو‬
‫خ‬
‫ ُي ْؤ ِمنُون‬Q‫ ۥُه‬Qَ‫ح ٍث بعد‬ ‫كون ٱ َْقت َر ب ج ه‬
‫’ ِدي‬ ‫ِد أ ل ْم‬
‫ى‬
‫ِبأ‬
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka?
Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”

Penjelasan diatas cukup menggambarkan bahwa rasio dan empiris sebagai


instrument untuk menemukan kebenaran dan mengembangkan ilmu menempati posisi
penting dalam ajaran Islam. Bahkan, al-Qur’an mengecam manusia yang enggan
menggunakan dua potensi ini dalam hidupnya dan digolongkan kepada derajat yang
hina karena gagal menjadi hamba-Nya yang bersyukur atas karunia dan nikmat yang
telah diberikan Allah SWT. (Himpunan Sarjana PAI Sumatera Utara, 2014)
C. Simpulan
Rasionalisme dan Empirisme adalah dua aliran filsafat yang telah membangun
prinsip-prinsip dasarnya mengacu kepada namanya masing-masing. Rasionalisme
menjadikan rasio sebagai sumber pengetahuan dan mekanisme kerjanya berawal dari
keraguan, Sebaliknya empirisme bertolak dari empiris/pengalaman. Sumber kebenaran
adalah pengalaman, eksistensi ruh dan jiwa bukanlah suatu yang independen tetapi
merupakan atmosfer yang tercipta dari gerak indera yang bersifat mekanik.
Islam berpandangan bahwa rasio dan empiris tidak dapat dijadikan sebagai
sumber ilmu dan kebenaran. Eksistensi keduanya hanya merupakan instrument dalam
epistemology Islam.

D. Referensi

Himpunan Sarjana PAI Sumatera Utara. (2014). Epistemologi Islam dan Pendekatan
Saintifik dalam Pembelajaran. Bandung: Cita Pustaka Media.

Tafsir, A. (2009). Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai