Anda di halaman 1dari 12

FILSAFAT ILMU PSIKOLOGI: KAITANNYA DENGAN METODE

PENELITIAN DAN PENERAPAN KODE ETIK PSIKOLOGI


Syurawasti Muhiddin 1.
 
Pendahuluan
Psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang relatif baru mengalami  perkembangan yang
pesat terutama pada abad ke-20. Awalnya, psikologi merupakan  bagian dari filsafat. Saat
bergabung dalam filsafat, kajian psikologi masih relatif abtsrak tentang pikiran dan jiwa itu
sendiri. Pada masa tersebut muncul nama-nama seperti Democritus, Plato, Aristoteles, Descartes
dan Spinoza yang mengkaji konsep-konsep psikologi. Aristoteles kemudian dipandang sebagai
“bapak psikologi” karena dia yang pertama kali yang menuliskan pembahasan mengenai jiwa
secara keseluruhan dalam bukunya
The Anima et Vita
 yang berarti jiwa dan kehidupan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kajian
psikologi menjadi lebih eksplisit. Akhirnya secara resmi psikologi sebagai sebuah ilmu yang
otonom berhasil diletakkan pertama kali oleh Wilhelm Wundt dengan didirikannya laboratorium
psikologi yang pertama di Universitas Leipzig di Jerman pada tahun 1879 (awal abad ke-19).
Psikologi Wundt bertumpu pada introspeksi sebagai metode untuk mengkaji mental. Metode
introspeksi memang berasal dari filsafat, tetapi Wundt telah menambahkan dimensi baru dalam
konsep itu berupa pengamatan dalam eksperimen di laboraturium. Psikologi yang berakar pada
filsafat mengalami perkembangan secara gradual sebagai ilmu yang diterima secara luas dalam
proses lebih dari 200 tahun. Cabang-cabang baru dalam psikologi terus mengalami
perkembangan, demikian juga dengan bukti-bukti ilmiah baru tentang fenomena psikologis
dalam kehidupan manusia.
2
Filsafat psikologi yang dimaksud dalam paper ini bukanlah merupakan cabang filsafat yang
membahas mengenai dasar hakikat dan mekanisme kognisi atau mental. Filsafat  psikologi yang
dimasud adalah landasan filosofis psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan secara menyeluruh.
Namun, tentulah keduanya berkaitan. Dalam membahas psikologi sebagai ilmu maka
pembahasannya tidak dapat dilepaskan dari landasan yang menjadi cakupan filsafat ilmu, yaitu
ontologi, epistimologi dan aksiologi.

Kajian filsafat yang luas  berimplikasi pada munculnya cabang-cabang kajian tersebut dan pada
gilirannya  berimplikasi pada pemisahan berbagai ilmu dari filsafat menjadi ilmu yang mandiri.
Agar psikologi dapat diakui sebagai suatu ilmu dan dibedakan dari ilmu lainnya yang  pernah
menjadi bagian dari filsafat maka psikologi perlu memberikan jawaban dari  pertanyaan yang
berkaitan dengan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Secara sederhana, landasan ontologis
menjawab pertanyaan mengenai apa yang dikaji oleh ilmu pengetahuan itu? Landasan
epistemologi menjawab pertanyaan mengenai  bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan
itu? Sedangkan landasan aksiologi menjawab pertanyaan mengenai untuk apa ilmu itu
dipergunakan? Paper ini bertujuan untuk menjelaskan landasan filosofis psikologi sebagai suatu
ilmu pengetahuan, khususnya landasan ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Setelah
memahami ketiga landasan filosofis tersebut maka akan diketahui bagaimana implementasinya
dalam pengembangan ilmu psikologi dan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan. Dengan
demikian dalam paper ini juga akan dijelaskan kaitan landasan filosofis tersebut dengan metode
penelitian psikologi dan penerapan kode etik psikologi.
2.
 
Landasan Filosofis Psikologi sebagai Ilmu 2.1
 
Ontologi
Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat “ada” dan “realitas” (Lombardo;
Reber, dalam Schuh dan Barab, t.t.). Dengan kata lain, ontologi mendefinisikan apa yang nyata
(riil) di dunia baik itu struktur fisik maupun abstrak (Schuh dan Barab, t.t). Suriasumantri (1990)
mengemukakan bahwa ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau
3 suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab  pertanyaan-
pertanyaan: (a) apakah objek ilmu yang akan ditelaah, (b) bagaimana wujud yang hakiki dari
objek tersebut, dan (c) bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan suatu pengetahuan. Secara
sederhana, ontologi dapat dianalogikan sebagai “lahan garapan” sehingga harus jelas batas-
batasanya. Begitu pula dengan objek suatu ilmu pengetahuan. Objeknya harus jelas sehingga
dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu lain. Ada beberapa ilmu yang objek materialnya sama.
Namun, objek formalnya tidak boleh sama. Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa
pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat, khususnya terkait sudut
pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “apakah yang ada itu? (
What is being 
?)”, “bagaimanakah yang ada itu? (
  How is being 
?)”, dan “dimanakah yang ada itu? (
What is being 
?)”. Pertanyaan-pertanyaan itu melahirkan aliran-aliran besar dalam filsafat yaitu monoisme
yang terbagi menjadi materialisme/naturalistik dan idealisme; dualisme; pluralisme; nihilisme
dan agnostisisme. Aliran ini memengaruhi  pemikiran-pemikiran berbagai ilmuwan terkenal di
dunia ini termasuk ilmuwan  psikologi. Ontologi psikologi dapat diketahui dari makna psikologi
itu sendiri secara harfiah. Psikologi berasal dari bahasa yunani, yaitu
  psyche
 dan
logos
.
  Psyche
 berarti  jiwa, sedangkan logos berarti mengetahui atau ilmu. Jadi secara harfiah psikologi adalah
ilmu tentang jiwa. Pertanyaan yang muncul kemudian bahwa bagaimanakah wujud jiwa itu?
Paradigma positivistik kemudian mereduksi “jiwa” yang subjektif dan dianggap bersifat pseudo-
ilmiah menjadi tingkah laku. Dengan demikian, objek material psikologi sama dengan beberapa
ilmu lainnya (sosiologi, antropologi, kedokteran, dsb.) yaitu manusia, namun objek formalnya
adalah tingkah laku. Bagaimana wujud dari tingkah laku itu? Akhirnya dikembangkan pengertian
psikologi menurut istilah yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia
dan proses-proses yang melatarbelakanginya. Hal ini berarti bahwa objek kajian psikologi pada
dasarnya tidak hanya sebatas tingkah laku nampak yang dapat
4 diistilahkan
overt behavior 
, tetapi termasuk proses-proses mental yang melatarbelakanginya ataupun yang menjadi
predisposisi dalam berperilaku, yang dapat diistilahkan dengan
covert behavior 
. Tingkah laku dan proses mental tidaklah sederhana. Bermudez (2005) mengemukakan bahwa
objek psikologi adalah hal yang rumit dan kompleks karena psikologi menghendaki objek kajian
yang mudah diamati, terukur, sistematis, dan objektif. Namun, di sisi lain kajian psikologi juga
mencakup proses-proses mental. Lebih lanjut, Bermudez (2005) mengatakan bahwa  psikologi
adalah studi tentang pikiran, perilaku dan sifat kognisi serta tindakan. Filsafat psikologi (dari
segi ontologisnya) pada awalnya berfokus pada pikiran dan kognisi. Ketika memutuskan untuk
berpisah dengan filsafat sebagai ilmu mandiri  pada akhir abad ke-19 maka psikologi lebih
banyak mengkaji pikiran dan kognisi (Wilson, 2005). Salah satu keputusan yang dihadapi saat
itu adalah apakah psikologi harus berafiliasi lebih dekat dengan ilmu fisik atau tetap menjadi
subdisiplin ilmu filsafat (Sokal dalam Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2007). Dengan
perkembangan metode-metode psikofisik dan metode-metode waktu-reaksi untuk memahami
transmisi sistem saraf maka para ahli psikologi memercayai bahwa mereka pada akhirnya dapat
mengukur pikiran (Coon dalam Shaughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2007). Sebagaimana
pertanyaan-pertanyaan terkait ontologi melahirkan aliran-aliran dalam filsafat, pertanyaan-
pertanyaan filosofis terkait objek yang dikaji psikologi  juga melahirkan aliran-aliran besar
dalam ilmu psikologi sepanjang sejarah  perkembangannya sampai sekarang ini. Apalagi
manusia merupakan makhluk yang multidimensional. Penekanan dimensi tertentu yang dianggap
lebih dibandingkan yang lainnya melahirkan perspektif yang berbeda dalam memandang tingkah
laku manusia dan manusia itu sendiri secara keseluruhan. Aliran filsafat pun memengaruhi
perkembangan aliran psikologi. Banyak tokoh psikologi yang mengembangkan mazhabnya
dipengaruhi oleh aliran filsafat tertentu dan tokoh-tokoh pembesarnya. Terdapat beberapa aliran-
aliran dalam psikologi dari fase munculnya hingga  perkembangannya saat ini. Struktualisme
muncul pada awal berdirinya ilmu psikologi yang berfokus pada struktur pikiran.
Fungsionalisme berfokus pada fungsi dari
5  pikiran atau proses-proses mental. Minat utama dalam aliran ini adalah apa yang terjadi dalam
sebuah aktivitas psikologis dan apa yang menjadi tujuan dari aktivitas itu (Hewstone, Fincham &
Foster, 2005). Aliran Behaviorisme menekankan studi  pada perilaku yang diamati sebagai
respon terhadap stimulus dari lingkungan. Para  psikolog seharusnya mempelajari kejadian-
kejadian yang terjadi di sekeliling (rangsangan/stimulus) dan perilaku yang dapat diamati
(respon). Aliran Kognitif menekankan bahwa psikologi seharusnya mempelajari proses-proses
mental, seperti  pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah, penggunaan bahasa,
serta  berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang setepat-tepatnya mengenai cara kerja dari
proses-proses tersebut dan bagaimana proses-proses ini dapat dipergunakan di dalam kehidupan
sehari-harinya (Schultz, 2014). Psikologi
Gestalt 
 muncul sebagai ketidakpuasan terhadap aliran strukturalis. Aliran
Gestalt 
 meyakini bahwa  pengalaman seseorang mempunyai kualitas kesatuan dan struktur (Schultz,
2014). Persepsi bukanlah penjumlahan rangsang-rangsang kecil (detail) yang ditangkap oleh
alat-alat indera, melainkan merupakan suatu keseluruhan yang berarti dari detail-detail tersebut.
Aliran Psikoanalisis berfokus pada ketidaksadaran yang tertutup oleh alam kesadaran sehingga
seseorang termotivasi sebagain besar oleh daya ketidaksadaran termasuk tingkah lakunya. Aliran
Humanistik berfokus pada studi tentang makna hidup sebagai seorang manusia dan memandang
manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi, tujuan hidup, nilai-nilai dan keyakinan,
kreativitas, dan mampu bertanggung jawab atas perilakunya sendiri (Schultz, 2014; McLeod,
2008). Aliran yang belakangan berkembang di abad ke-21 ini adalah aliran psikologi  positif
yang melihat manusia dengan segala kekuatan dan potensi dirinya untuk dikembangkan.
Manusia tidak dipandang sebagai manusia yang penuh masalah yang  perlu diatasi masalahnya
sebagaimana pandangan psikologi negatif sebelumnya. Semua aliran-aliran yang berbeda itu
dapat memunculkan ontologi yang berbeda  bahkan dalam lingkup ilmu psikologi itu sendiri.
Psikolog behavioristik akan beda  penakanannya dengan psikolog humanistik dalam melihat
tingkah laku individu dan  proses mentalnya sebagai ontologi psikologi. Salah satu argumen
yang dipersoalkan dalam debat terkait kedudukan psikologi sebagai sains adalah tidak adanya
paradigma
6 teori yang dominan karena psikologi mempunyai beberapa aliran besar yang memiliki
paradigam berbeda (McLeod, 2008). Manusia merupakan makhluk multidimensional. Beberapa
pendapat mengemukakan bahwa manusia terdiri atas dimensi spiritual, dimensi psikis/kejiwaan
dan dimensi jasmani. Secara bahasa maka psikologi seyogianya mengkaji dimensi
psikis/kejiwaan. Namun ketiga dimensi itu tidak dapat dipisahkan untuk mewujudkan suatu
manusia. Kenyataan bahwa tingkah laku diwujudkan dalam ranah jasmani menunjukkan hal
tersebut. Beberapa kajian psikologi belakangan ini bahkan merambah ranah spiritual yang
dikenal secara umum sebagai kajian filsafat dan teologi. Hal ini dikarena pada dasarnya dimensi
spiritual akan dapat memengaruhi tingkah laku manusia. Sudut pandang terkait dimensi manusia
ini pun akan memunculkan perbedaan ontologi dalam ilmu psikologi sejalan dengan mazhab
psikologi yang diikuti.
2.2
 
Epistimiologi
Epistimologi membahas asal-usul, hakikat, metode, dan keterbatasan-keterbatasan dari
pengetahuan manusia (Reber dalam Schuh dan Barab, t.t.), yang menfokuskan pada pertanyaan
tentang pengetahuan dan hakikat pengetahuan (Everitt dan Fisher dalam Schuh dan Barab, t.t).
Epistimologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah) (Siswomiharjo dalam Setyaningtyas, 2013). Salah satu persoalan
terkait dengan epistemologi adalah dengan cara apa kita bisa mengetahui suatu ilmu (Daito,
2011). Dari persoalan ini dapat dipahami bahwa prosedur-proseder ilmiah yang melahirkan ilmu
pengetahuan merupakan suatu bagian dari epistimologi. Secara khusus  pembahasan terkait
metode penelitian akan dikaji dalam epistimologi Akal, pengalaman, atau kombinasi antara
pengalaman dan akal, serta intuisi merupakan sarana yang dimaksud dalam epistimologi
(Siswomiharjo dalam Setyaningtyas, 2013). Dengan demikian terdapat metode-metode
epistemologik  berdasarkan cara memperoleh pengetahuan, yakni rasionalisme, empirisme,
fenomenologi dan intusionisme.
Daito (2011) mengemukakan dua pendekatan dalam
7
 proses epistemologi yang disebut dualisme
deducto hypothetico – empirico verivication
. Hal ini berkaitan dengan metode memperoleh ilmu dengan dua cara yaitu : a) logika
matematika (deduksi/normative) –
deducto hypothetico
, dan b) statistika (induksi/positive) –
inducto empirico
.
Epistimologi psikologi pada dasarnya terkait dengan bagaimana bidang kajian  psikologi, yaitu
perilaku dan proses-proses mental dapat menjadi studi yang ilmiah, objektif, dan valid; serta
bagaimana menggunakan sarana-sarana untuk mencapai  pengetahuan yang objektif (Bermudez,
2005). Dalam perjalanan sejarahnya sebagai ilmu, metode-metode dalam epistimologi secara
umum (rasionalisme, empirisme, fenomenologi, dsb.) memberikan pengaruh pada epistimologi
psikologi. Tentunya epistimologi psikologi juga akan dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan
dalam kaitannya dengan cara memandang manusia (dualisme, pluralisme, agnostisime, dsb.).
Masing-masing mazhab psikologi memiliki ciri khas epistimologinya. Epistimologi aliran
psikoanalisis akan memunculkan perbedaan dengan epistimologi aliran behaviorisme. Botterill
dan Carruthers (1999) mengemukakan bahwa ada hubungan antara
  folk  psychology
 dan
  scientific psychology
. Konsep-konsep untuk menjelaskan tentang  perilaku pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari
common sense
.
  Folk Psychology
 mendasarkan pada pandangan
realist 
 dalam menjelaskan tingkah laku dan proses mental. Beberapa teoritikus berpendapat bahwa
Freud dari aliran psikoanalisisnya mengadopsi bagian tertentu dari konsep
  folk psychology
 dalam menjelaskan perilaku dan proses mental (Botterill, & Carruthers, 1999) sehingga
memunculkan pertanyaan mengenai keilmiahan teorinya. Metode yang digunakan Freud yang
berupa asosiasi  bebas dapat mengalihkan perhatian banyak orang dari perilaku menuju proses-
proses mental. Metode psikoanalisis dalam memahami manusia sangat berbeda dengan para ahli
yang menganut aliran behaviorisme yang cukup dipengaruhi oleh empirisme. Pendekatan
empiris menekankan pada observasi langsung dan eksperimentasi. Aliran  behaviorisme
menguasai perkembangan ilmu yang menfokuskan diri pada perilaku dan pengalaman yang
dapat diobservasi secara langsung sampai pada pertengahan abad ke-20. Fokus ini kembali
bergeser pada proses-proses mental sehingga
8 muncullah dominasi psikologi kognitif dengan metode eksperimen di laboratorium untuk
meneliti perihal proses kognitif. Revolusi komupter menjadi faktor kunci bagi terjadinya
pergeseran tersebut (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2007). Hingga kemudian aliran
humanistik muncul dengan asumsi bahwa perilaku indivudu  berhubungan dengan
inner feeling 
 dan
  self-image
 sehingga hanya individu itu sendiri yang mampu memahami dan mengontrol perilakunya, bukan
dari pihak observer saja (McLeod, 2008). Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa penekanan-
penekakan dan  perspektif yang berbeda dalam memandang tingkah laku dan proses mental
manusia dapat memunculkan metode-metode yang berbeda pula. Tingkah laku dan proses mental
manusia dianalisis ataupun dijelaskan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
memengaruhinya. Suatu perdebatan panjang yang tidak pernah terjawab secara pasti dalam
sejarah perkembangan ilmu psikologi adalah isu terkait
nature vs nurture
 (Myers, 2010), misalnya saja pertanyaan bahwa apakah perilaku dan kepribadian individu
adalah predisposisi genetik ataukah merupakan bentukan dari lingkungannya? Hal ini juga
sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat yang dianut. Hal yang dapat dimunculkan untuk
menengahi perdebatan itu adalah tingkah laku dipengaruhi oleh keduanya, baik
nature
maupun
nurture
. Dalam kaitannya dengan hal ini, psikologi sebagai ilmu yang mengkaji tingkah laku manusia
memiliki level analisis dan perspektif-perspektif yang berkaitan dengan tingkah laku manusia.
Ini bisa dikaji juga sebagai bagian dari ontologi psikologi, namun dalam  paper ini dibahas pada
bagian epistimologi karena akan menekankan pada penjelasan mengenai cara menjelaskan suatu
tingkah laku sebagai ontologi psikologi. Level analisis psikologi terdiri atas tiga yaitu level
biologis yang menelaah pengaruh faktor-faktor biologis terhadap tingkah laku inidvidu; level
psikologis yang menelaah  pengaruh faktor-faktor intra-psikis; serta level sosio-kultural yang
menelaah faktor-faktor sosial dan budaya (konteks lingkungan individu). Level analisis ini
dipengaruhi oleh perspektif yang digunakan seperti
neuroscience, evolutionary, behavior-genetic, behavior-learning, psycodynamic, cognitive
dan
  socio-cultral 
 (Myers, 2010) dan akan melahirkan metode-metode yang berbeda dalam memahami tingkah
laku dan proses mental.
9 Berkaitan dengan cara dan sarana yang digunakan dalam mengkaji objek  psikologi maka hal
tersebut memengaruhi asumsi yang digunakan peneliti untuk mengkaji teori psikologi dalam
risetnya. Dengan demikian aliran filsafat dan mazhab ilmu psikologi yang dirujuk akan sangat
menetukan asumsi yang digunakan. Ada asumsi
  postpositivism
,
  social contructivism
,
emancipatory
 dan
  pragmatism
.
  Postpositivism
 melahirkan pendekatan kuantitatif dalam penelitian.
Social contructivism
 dan
emancipatory
 melahirkan pendekatan kualitatif sementara
  pragmatism
 melahirkan pendekatan campuran (Creswell, 2003). Ketiga pendekatan tersebut digunakan
dalam psikologi. Strategi dari pendekatan kuantitatif dalam  psikologi seperti eksperimen dan
  survey
(non-ekseperimen). Metode eksperimen dalam psikologi umumnya berupa eksperimen kuasi
(semi-eksperimen). Namun ada  juga beberapa yang berupaya menerapkan eksperimen murni.
Metode
  survey
 terdiri dari beberapa desain seperti
cross-sectional 
 dan
logitudinal 
. Strategi dari pendekatan kualitatif seperti studi kasus, naratif, fenomenologi dan
  grounded theory
. Keduanya dapat menerapkan teknik berupa observasi, interview maupun kuesioner. Semua
metode yang disebutkan di atas digunakan untuk mengamati perilaku manusia yang tampak
dalam kehidupan sehari-hari maupun indikator dari potensi manusia yang ditunjukkan dengan
melakukan suatu tindakan tertentu. Di samping itu, digunakan untuk mengamati gejala-gejala
yang tampak pada sekitar manusia yang diteliti tersebut sehingga dapat diambil sebuah
pernyataan yang menghasilkan kesimpulan.
2.3
 
Aksiologi
  Aksiologi
 berarti teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai
(Setyaningtyas, 2013). Secara sederhana landasan aksiologis akan menjawab pertanyaan
mengenai manfaat suatu ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Pembahasan tentang nilai dibagi
ke dalam tiga cabang, yaitu logika, etika, dan estetika. Logika membahas tentang nilai kebenaran
yang membantu kita untuk  berkomitmen pada kebenaran dan menjauhi kesalahan, serta
menerangkan bagaimana seharusnya berpikir secara benar itu. Etika membahas tentang nilai
kebaikan dan
berusaha membantu kita dalam mengarahkan tingkah laku. Etika mengarahkan kita kepada apa
yang seharusnya dilakukan, membatasi makna kebaikan, keburukan, kewajiban, perasaan serta
tanggung jawab moral. Estetika membahas tentang nilai keindahan dan berusaha membantu kita
dalam meningkatkan rasa keindahan dengan membatasi tingkatan-tingkatan yang menjadi
standar dari sesuatu yang indah (Ismail & Mutawalli, 2012). Ilmu psikologi dalam ranah
ontologinya seyogianya merupakan ilmu yang bebas nilai. Dalam ranah epistemologinya, ilmu
ini kadang bebas nilai kadang pula terikat nilai. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian
berikutnya. Namun dalam ranah aksiologinya, ilmu psikologi ini terikat nilai. Hal itu
dikarenakan dalam penerapannya manusia selalu memandang tentang baik dan buruk secara
logika dan etika. Selain itu, konteks di mana manusia hidup pasti berbeda-beda. Secara
sederhana, apa yang dianggap baik dan buruk disuatu konteks berbeda dengan apa yang
dianggap baik dan  buruk pada konteks lainnya. Oleh sebab itu, penerapan ilmu psikologi akan
berbeda- beda pula. Secara umum, ilmu psikologi mempunyai manfaat sejalan dengan tujuan
dari ilmu itu sendiri yaitu untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan memodifikasi
perilaku dan pengalaman-pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan. Penerapan ilmu
psikologi juga akan mempertimbangkan mazhab  psikologi yang digunakan serta filsafat yang
dianut oleh para ilmuwan dan praktisi  psikologi.
Beberapa manfaat ilmu psikologi antara lain sebagai berikut:
1)Mengetahui kondisi mental individu yang termanifestasi dalam tingkah laku,  baik individu
yang normal maupun abnormal.
2)Mengenal dan memprediksi perilaku individu dalam masyarakat.
3)Mengetahui intelegensi manusia yang tentunya berbeda-beda antara manusia yang satu
dengan manusia lainnya. Dalam perkembangannya, tidak hanya kecerdasan intelektual yang
diukur, tetapi juga kecerdasan emosi dan sosial.
4)Mengetahui minat dan bakat seseorang.
5)Mengetahui tahap-tahap perkembangan manusia, mulai dari masa prenatal hingga kematian.

11
3.
 
Kaitan Landasan Filosofis Ilmu Psikologi dengan Metode Penelitian dan Penerapan Kode Etik.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan, psikologi telah memenuhi tiga landasan filosofis ilmu
pengetahuan. Saat ini, ilmu psikologi semakin mengalami  perkembangan dalam berbagai aspek
kehidupan terlepas dari berbagai kritik yang dihadapi tentang keilmuannya. Aplikasi ilmu
psikologi dalam berbagai bidang kehidupan memberikan lapangan kajian yang luas untuk profesi
psikolog dan ilmuwan psikologi. Hal ini lebih lanjut memunculkan persoalan lain dalam
penelitian dan penerapan ilmu psikologi, yaitu persoalan terkait isu-isu etika apalagi di tengah
perkembangan teknologi. Oleh sebab itu, komunitas psikologi di dunia terus melakukan
pengembangan kode etik psikologi untuk menjadi pegangan psikolog dan ilmuwan psikologi
dalam mengembangkan ilmunya.
  American Psychological Association
 telah membuat rumusan kode etiknya sejak tahun 1953 dan telah mengalami revisi hingga yang
terakhir dilakukan tahun 2002. Kode etik psikologi di Indonesia mulai dirumuskan oleh Ikatan
Sarjana Psikologi Indonesia (ISPSI) pada tahun 1959. ISPSI berganti nama menjadi HIMPSI
(Himpunan Psikologi Indonesia) pada tahun 2000 dan bersamaan dengan itu, kode etik psikologi
Indonesia disusun kembali (Purwakania Hasan, 2013). Pada tahun 2010, kode etik psikologi
indonesia diperbarui pada kongres ke XI HIMPSI. Pengembangan kode etik psikologi
merupakan suatu keniscayaan dalam  penelitian dan aplikasi praktis ilmu psikologi. Pembahasan
mengenai kaitan filsafat ilmu dengan metode penelitian dan penerapan kode etik tidak akan
terpisah karena keduanya saling terkait. Salah satu tujuan kode etik diatur adalah untuk
membatasi metode penelitian yang mungkin melampaui hak-hak manusia sebagai objek kajian
psikologi. Meskipun tampak bahwa pembahasan mengenai metode penelitian akan  banyak
berkaitan dengan epistemologi dan penerapan kode etik akan banyak  berkaitan dengan
aksiologi, namun pada dasarnya semua berangkat dari ontologi yang kemudian berkaitan dengan
epistemologi dan aksiologinya. Dalam konteks penelitian psikologi, pemahaman tentang
ontologi akan membuat  para peneliti memahami batasan kajian psikologi. Selain itu, juga
memungkinkan
12  peneliti untuk memahami kajian yang dapat dia angkat sebagai bentuk kajian interdisiplin
dan multidisiplin. Dalam kaitannya dengan ontologi maka psikologi merupakan ilmu yang
terbuka untuk melakukan penelitian bersama dengan ilmu lain, terutama yang objek materialnya
adalah manusia, yang mana psikologi akan berfokus  pada tingkah laku dan proses mental.
Dengan demikian, ilmuwan psikologi tidak akan serta-merta “mencaplok” kajian ilmu lain
sebagai kajiannya. Ini juga menjadi suatu bentuk etika sebagai ilmuwan. Selanjutnya,
pemahaman tentang epistimologi akan membantu peneliti dalam merumuskan cara-cara ataupun
proses dalam mengkaji ilmu psikologi dan mengembangkan teorinya sesuai dengan mazhab yang
dianutnya. Cara-cara ilmuwan psikologi akan berbeda dengan cara ilmuwan lain dalam
memperoleh dan mengembangkan teori. Dalam ranah aksiologisnya, para  peneliti dalam bidang
psikologi seyogianya memahami bahwa teori ataupun model-model yang dikembangkan dapat
diterima oleh masyarakat secara luas, bukan hanya diterima secara ilmiah. Sehingga suatu riset
seyogianya memiliki manfaat praktis,  bukan hanya manfaat teoritis. Pada dasarnya, kode etik
psikologi baik dalam ranah penelitian maupun ranah intervensi akan ada sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuannya karena jika didasarkan pada landasan ontologisnya maka
kajian psikologi adalah manusia. Jika diperhadapkan dengan manusia sebagai objek kajiannya
maka psikologi akan  bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia. Segala hal yang berkaitan
dengan  penelaahan objek material dan formal psikologi seyogianya selalu memerhatikan harkat
dan martabat manusia. Disinilah kemungkinan akan muncul dilema-dilema dalam penerapan
kode etik psikologi karena dalam ranah ontologisnya seyogyanya  psikologi bebas nilai. Namun
kenyataan yang ada bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi
values
 yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya membuat peneliti perlu
mempertimbangkan hal tersebut. Apakah untuk memperoleh hasil yang betul-betul diinginkan
terkait pertanyaan atas tingkah laku tertentu maka  peneliti perlu untuk memperlakukan manusia
sebagai “objek tanpa nilai subjektif”?  Namun hal itu pun belum mencapai suatu kepastian
karena tingkah laku manusia tidak sesederhana yang dilihat secara kasat mata. Jiwa manusia
yang dianggap
13 direpresentasikan dalam tingkah lakunya belum tentu dapat diketahui sebagaimana wujud
jasmaninya. Tentunya hal ini juga akan dipengaruhi oleh perspektif yang digunakan, yang
menandai mazhabnya (misalnya behaviorisme, psikoanalisa dan humanistik). Dalam kode etik
psikologi Indonesia, hal yang berhubungan dengan  pertimbangan ontologi psikologi adalah
rumusan Pasal 2 Prinsip Umum, yaitu prinsip A: penghormatan pada harkat dan martabat
manusia. Dalam ranah epistemologisnya, psikolog dan ilmuwan psikologi dalam
mengembangkan ilmu psikologi menggunakan metode-metode yang berlandaskan kode etik
psikologi. Dalam penyusunan kode etik itu sendiri diatur mengenai cara-cara mencapai ilmu
pengetahuan tersebut. Dalam
the Nazi Human Experimentation
, hal yang bertentangan dengan etika adalah metode yang digunakan para dokter. Pembahasan
tentang epistimologi akan berkaitan erat dengan metode penelitian yang digunakan untuk
menghasilkan konsep dan teori-teori tentang perilaku manusia. Dengan demikian, proses-proses
dalam penelitian perlu diatur dalam kode etik. Dalam kode etik psikologi Indonesia, etika
penelitian dan publikasi diatur dalam BAB IX pasal 45 sampai dengan pasal 55. Beberapa hal
yang diatur antara lain aturan dan izin penelitian, partisipan penelitian,
  Informed Consent 
, manipulasi dalam  penelitian,
debriefing 
, penggunaan hewan untuk penelitian serta pelaporan dan  publikasi hasil penelitian. Bahkan
ketika para peneliti dalam bidang psikologi telah mematuhi kode etik tersebut, mereka terkadang
masih diperhadapkan pada pilihan-pilihan etik dalam  proses penelitiannya. Terutama peneliti
yang terlibat dalam desain eksperimen dalam laboratorium dengan objek penelitian adalah
manusia. Selalu mungkin ada  pertentangan-pertentangan etis yang dihadapi oleh peneliti dalam
dirinya. Pertentangan ini diwarnai juga oleh pertimbangan validitas dan realibilitas hasil
penelitian karena metode yang digunakan. Di satu sisi, peneliti mungkin akan melakukan sesuatu
yang melampaui apa yang seyogyanya dilakukan pada manusia untuk mencapai validitas dan
realibilitas yang lebih baik. Namun, di sisi lain hal itu tidak benar secara etika dilakukan pada
manusia. Persoalan epistimologi yang
14 dihadapi psikologi terkait dengan eksperimen adalah bias dari eksperimenter dan tuntutan
karakter karena dalam hal ini manusia akan mengetes manusia. Penjelasan di atas juga berkaitan
dengan epistemologi yang terikat nilai. Para  peneliti tidak bisa serta merta menerapkan metode
tertentu pada sekelompok masyarakat karena pertimbangan nilai-nilai dalam masyarakat itu.
Misalnya saja metode
natural observation
 untuk mengetahui perilaku seksual pasangan saat  berhubungan seks dapat diterapkan di negara
lain tetapi tidak di Indonesia karena  pertimbangan nilai-nilai dominan masyarakat Indonesia.
Dua eksperimen psikologi yang terkenal dalam kalangan psikologi telah  berupaya menjalankan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam proses penelitian  psikologi, seperti menerima pernyataan
kesediaan dari orang yang menjadi partisipan  penelitian. Namun, eksperimen tersebut juga
masih dipertanyakan secara etika karena dalam proses eksperimen muncul isu-isu etika terhadap
manusia. Eksperimen kepatuhan yang dilaksanakan oleh Stanley Milgram (1961) dan
eksperimen simulasi  penjara Stanford yang dilakukan oleh Philip Zimbardo (1971) termasuk
dalam  penelitian yang dimaksud di atas. Kedua penelitian ini memperlihatkan sisi gelap
manusia. Dalam eksperimen Milgram, terlihat bahwa subjek ternyata dapat terus menyakiti
orang lain (melalui kejutan listrik) terhadap orang lain di bawah perintah orang lain untuk
melakukannya. Dalam eksperimen simulasi penjara Stanford,  banyak partisipan menjadi
melakukan kekerasan dan penyiksaan satu sama lainnya (Purwakania Hasan, 2013). Isu etika
yang juga terkadang diperhadapkan pada peneliti adalah apakah dia harus berbohong atau tidak?
Argumen-argumen etik terhadap penggunaan desepsi difokuskan pada apakah praktik penelitian
deseptif dapat dijustifikasi berdasarkan manfaat potensialnya bagi masyarakat atau dianggap
pelanggaran terhadap prinsip
moral beneficence
 dan menghormati hak-hak dan martabat individu dan kewajiban  psikolog untuk menjaga
kepercayaan para partisipan penelitiannya (Fisher & Fryberg dalam Shaughnessy, Zechmeister,
& Zechmeister, 2007). Selanjutnya, penerapan kode etik pada dasarnya berhubungan erat dengan
ranah aksiologis psikologi. Sebagaimana yang dijelaskan bahwa dalam aksiologi berbicara

 
15 tentang nilai. Dalam ranah aksiologisnya ini, ilmu psikologi pastilah tidak bebas nilai. Pada
dasarnya, kode etik dibuat sebagai pegangan dalam mengaplikasikan ilmu  pengetahuan. Hampir
keseluruhan isi kode etik psikologi Indonesia mengatur tentang  penerapan ilmu psikologi (ranah
aksiologisnya) seperti terkait dengan pendidikan atau pelatihan, asesmen dan intervensi,
psikoedukasi, serta konseling psikologi dan terapi psikologi. Dalam menerapkan ilmu psikologi
untuk kebermanfaatan masyarakat, psikolog dan ilmuwan psikologi seringkali diperhadapkan
pada pilihan- pilihan etis. Dalam menerapkan ilmu psikologi, ada dua konteks yang perlu
dipertimbangkan yaitu konteks moral dan konteks sosial budaya. Ini juga dapat dipertimbangkan
dalam  penerapan metode penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Konteks moral
ini yang akan menuntut psikolog dan ilmuwan psikologi untuk mempertahankan standar tertinggi
perilaku etik. Terdapat berbagai teori etika yang dapat digunakan untuk membuat keputusan etis,
mulai dari etika yang bebas nilai sampai pada etika yang mempertimbangkan nilai. Konteks
sosial-budaya menuntut  psikolog dan ilmuwan psikologi untuk memercayai bahwa perilaku
individu seyogianya dipahami dari budaya mereka sendiri, bukan dari budaya lain. Jika tidak
demikian maka suatu masalah potensial dapat muncul, yaitu etnosentrisme. Kita  berusaha
memahami perilaku orang lain dari budaya yang berbeda melalui
  framework 
 atau pandangan budaya kita sendiri. Contohnya, kita tidak bisa sepenuhnya mengukur
penalaran moral masyarakat yang hidup dalam konteks kolektivisme dengan teori Kohlberg yang
dikembangkan dalam konteks masyarakat individualisme. Jika demikian maka akan diperoleh
kesimpulan bahwa individu-individu dari budaya kolektivistik kurang berkembang secara moral.
Kita tidak bisa sepenuhnya menerapkan teori perkembangan manusia yang dikembangkan dari
hasil riset di negara-negara dengan konteks individualisme pada masyarakat yang hidup dalam
konteks kolektivisme. Contoh lainnya adalah kita tidak bisa mengatakan suatu  perilaku
abnormal pada daerah tertentu. Bisa jadi perilaku itu normal bagi masyarakat daerah tersebut.
Begitupun sebaliknya, perilaku yang dianggap normal disuatu daerah  bisa jadi abnormal di
daerah lain.

 
16
4.
 
Penutup
Psikologi sebagai suatu ilmu memiliki hubungan yang erat dengan filsafat. Dalam memahami
psikologi sebagai ilmu maka perlu dipahami ontologi, epistimologi dan aksiologinya.
Berdasarkan landasan ontologisnya maka psikologi adalah ilmu yang mengkaji tentang tingkah
laku manusia dan proses-proses mental yang melatarbelakanginya. Perbedaan aliran-aliran
filsafat (ontologi) dan perspektif dalam memandang tingkah laku manusia memunculkan aliran-
aliran dalam psikologi yang memengaruhi ontologi psikologi itu sendiri dan kemudian
memengaruhi epistimologinya. Dari kajian epistimologinya, psikologi merupakan ilmu yang
banyak dipengaruhi oleh pendekatan empirisme dan filsafat fenomenologi. Psikologi terus
mengembangkan berbagai metode dalam mengkaji tingkah laku, misalnya melalui survey,
eksperimen, studi kasus dan sebagainya. Dalam ranah aksiologisnya, ilmu  psikologi telah
dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti  pendidikan, industri, ekonomi,
politik, keluarga, dan kesehatan. Berkaitan dengan penelitian maka para ilmuwan psikologi perlu
mempertimbangkan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmunya agar ilmuwan  psikologi
memahami batasan kajian psikologi, metode yang digunakan untuk melakukan penelitian serta
manfaat praktis dari penelitiannya untuk masyarakat. Berkaitan dengan penerapan kode etik
psikologi maka rumusan kode etik psikologi  pada dasarnya mempertimbangkan kajian ontologi,
epistemologi dan aksiologi ilmu  psikologi. Sebagai ilmu yang mengkaji manusia maka psikologi
akan bersinggungan dengan persoalan harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia.
Prodesur- prosedur penelitian psikologi serta aplikasi teori dan konsep-konsepnya seyogyanya
berlandaskan pada kode etik yang berlaku, khususnya terkait etika terhadap umat manusia.
Landasan ontologi, epistimologi dan aksiologi dari ilmu psikologi ini sangat urgen untuk
dipahami sebagai
  framework 
 bagi komunitas psikologi. ***

Anda mungkin juga menyukai