Anda di halaman 1dari 14

Gangguan Berbahasa Autisme: Kajian Psikolinguistik

Oleh:
Wulan, Khusnihita
Universitas Tidar
Email: wulankhusnihita126@gmail.com

Abstrak
Gangguan berbahasa ialah salah satu kajian yang dibahas dalam psikolinguistik
Gangguan berbahasa dapat menghambat seorang dalam berbahasa. Artikel jurnal ini
bertujuan buat memberikan data terkait gangguan berbahasa autisme serta hubungannya
menggunakan psikolinguistik. Metode yg digunakan sesuai metode deskripsi kualitatif,
yaitu metode riset dengan memberikan penjelasan berupa deskripsi sesuai data berasal
banyak sekali referensi ilmiah. berdasarkan data serta surat keterangan ilmiah yang
dikumpulkan, dianalisis, serta dikaji, didapatkan hasil bahwa autisme ialah suatu
gangguan perilaku dampak perkembangan syaraf yang berpengaruh di kemampuan
seorang untuk berkomunikasi dan berinteraksi. gejala primer yang ditimbulkan oleh
pengidap autisme ialah gangguan dalam berbahasa. Pengidap autisme mengalami
gangguan dan kesulitan dalam berbicara maupun aktivitas berbahasa yg lain. Gangguan
dalam berbahasa tadi dapat terjadi sebab adanya keterhambatan anak autis pada
memperoleh dan menyerap bahasa-bahasa yang terdapat di lingkungan lebih kurang.
Gangguan berbahasa autisme ialah salah satu kajian pada psikolinguistik. Psikolinguistik
menerapkan pola dasar dalam pemerolehan bahasa seorang. pada proses pemerolehan
bahasa dapat ditemukan gejala-gejala mental atau psikologi yg mempengaruhi
kemampuan seorang pada berbahasa. salah satunya ialah gejala mental atau psikologi
pada pengidap autisme.

Kata Kunci: gangguan berbahasa, autisme, psikolinguitik, terapi berbicara

Pendahuluan
Bahasa adalah komponen utama pada komunikasi seelain gerak tubuh, nada, serta
sebagainya. Bahasa pada ranah linguistik dikatakan sebagai sebuah sistem suara yang
arbriter, konvensional, serta dipergunakan manusia untuk komunikasi (Muradi, 2018).
Fungsi primer bahasa adalah menjadi alat komunikasi di pada rakyat. Fungsi tersebut
dipergunakan pada berbagai lingkungan, tingkatan, dan kepentingan yang beraneka
ragam (Saddhono, 2012). Bahasa berperan sebagai media untuk menyampaikan gagasan,
berinteraksi dan berkomunikasi. Bahasa merujuk di istilah buat menjelaskan makna serta
pikiran ke pada sistem linguistic yang dipergunakan sebagai dasar mengangkut pikiran.
Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi antar anggota warga yang berupa simbol
bunyi yg dihasilkan oleh indera ucap manusia. bisa dikatakan bahwa bahasa artinya
sistem lambang bunyi yang arbitrer dan dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial
untuk bekerja sama, berkomunikasi serta mengidentifikasikan diri (Tarigan, 2019).
Bahasa mempunyai sifat universal sebagai akibatnya bahasa manapun dapat diperoleh
oleh seseorang (Adi, 2018). Pentingnya faktor bahasa menjadi indera komunikasi inilah
yang menjadikan beberapa linguis menyatakan bahwa berbahasa sama pentingnya
dengan bernapas. Noam Chomsky, bapak Linguistik dunia, berkata, Jika kita mempelajari
bahasa maka pada hakikatnya kita sedang menyelidiki esensi manusia, yg berakibat
keunikan insan itu sendiri (Muzaiyanah,2015). asal beberapa pengertian dan hakikat
bahasa, dapat dikatakan bahwa bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat
komunikasi untuk berinteraksi maupun untuk mengidentifikasikan kelompok sosial
(Simatupang, 2018).
Salah satu kajian dalam ilmu linguistik adalah psikolinguistik. Psikolinguistik
dapat dikatakan sebagai interdisiplin antara linguistik dan psikologi. Psikolinguistik
merupakan pengembangan berasal 2 bidang ilmu tersebut. Psikologi adalah ilmu yg
mempelajari tingkah laku insan, yaitu interaksinya dengan dunia lebih kurang, mirip
menggunakan sesame insan, hewan, lingkungan, kebudayaan, dll (suroso, 2014).
Linguistik adalah telaah ilmiah tentang bahasa manusia. Bisa dikatakan bahwa
psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari sikap berbahasa, baik itu sikap berbahasa
yang tampak ataupun yang tidak tampak (natsir, 2017). Pada kajiannya, psikolinguistik
pula membahas korelasi antara otak insan dengan bahasa. Berasal penerangan pada atas,
dapat disimpulkan bahwa secara umum, psikolinguistik adalah salah satu bidang kajian
berasal linguistik makro yang mempelajari proses-proses mental yang dilewati insan
dalam berbahasa.
Menurut KBBI, gangguan adalah halangan, rintangan, godaan, sesuatu yang
menyusahkan. Mengganggu juga diartikan sebagai hal yang menyebabkan
ketidakwarasan atau ketidaknormalan (tentang jiwa, kesehatan, pikiran), hal yang
menyebabkan ketidaklancaran. Berbahasa memiliki arti berkomunikasi menggunakan
suatu bahasa. Kemampuan berbahasa meliputi berbicara, menulis, membasa, dan
menyimak. Salah satu keterampilan yang produktif adalah keterampilan berbicara, yaitu
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi, atau lata-kata untuk mengekspresikan,
mengatakan, serta menyampaikan pikiran , gagasan, dan perasaan. Gangguan berbahasa
berarti halangan, rintangan, dan sesuatu yang menyusahkan seseorang dalam
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi, atau lata-kata untuk mengekspresikan, mengatakan,
serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Anak yang normal memperoleh
bahasa secara alami dan mampu mendapatkan pembelajaran bahasa.Namun, sebagian
anak lainnya mengalami kesulitan karena beberapa sebab dalam kaitannya untuk
memperoleh bahasa dan pembelajaran bahasa (Hikmawati, 2018).
Terdapat beberapa penyakit atau gangguan yang dapat mempengaruhi
kemampuan berbahasa seseorang. Gangguan tersebut banyak terjadi akibat akibat
beberapa penyakit atau gangguan pada perkembangan syaraf yang memberi dampat pada
cara dan kemampuan seseorang dalam berbahasa. Perlu diketahui, bahwa otak merupaka
pusat dari berbagai aktivitas manusia, termasuk dalam berbicara atau berbahasa.
gangguan dalam berbahasa merupakan kajian dalam salah satu cabang linguistic makro,
yaitu psikolinguistik. Gangguan berbahasa merupakan salah satu fokus pembahasan
dalam psikolinguistik. Psikolinguistik merupakan studi proses mental dalam pemakaian
bahasa. Psikolinguistik menguraikan proses-proses psikologi ketika seseorang
mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya ketika berkomunikasi, dan bagaimana
kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Chaer, 2015). Psikolinguistik
mendiskusikan tentang berbagai macam gangguan bahasa, yakni dyslexia, anomia
aphasia, apraxia, alexia, dan autis. Anak autis merupakan seseorang yang tidak bisa
berkomunikasi dengan baik karena memiliki kesulitan untuk memahami suatu
pembicaraan (Fimawati, 2017).
Salah satu gangguan berbahasa adalah gangguan berbahasa pada autisme.
Autisme atau yang disebut pula Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu gangguan
perkembangan syaraf yang terus terhadap kemampuan seseorang dalam berkomunikasi
dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya (American Psychiatric Association
1994). Gangguan ini dapat berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam berbahasa,
karena pengidap autisme bahkan tidak dapat mengucap satu kata pun pada usia satu tahun.
Gangguan berbahasa pada autisme dapat ditangani dengan berbagai terapi komunikasi
dan terapi penunjang lainnya sehingga dapat memperbaiki kemampuan berbahasa bagi
pengidapnya. Melalui kajian psikolinguistik, dapat diketahui berbagai gejala mental dan
psikologi yang dialami oleh pengidap autisme terkait gangguan dalam berbahasa serta
berbagai penanganan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuannya
dalam berkomunikasi dengan lingkungan.
Istilah autism berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti
suatu aliran. Autism diartikan sebagai suatu aliran dimana seseorang hanya tertarik pada
dunianya sendiri (Subyantoro, 2013). Autisme juga dapat diartikan sebagai cacat pada
perkembangan syaraf dan psikis manusia yang terjadi sejak janin dan seterusnya sehingga
menyebabkan kelemahan atau perbedaan dalam berinteraksi sosial, kemampuan
berkomunikasi, pola minat, dan tingkah laku (Subyantoro, 2013).

Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penyusunan artikel jurnal ini adalah metode
deskripsi kualitatif, metode kualitatif yaitu penelitian sastra yang dilakukan dengan cara
menggunakan sajian yang berwujud deskriptif (Ratna, 2007 dalam Wahid, 2017). Merode
kualitatsif dalam penelitian ini yaitu metode riset dengan memberikan penjelasan berupa
deskripsi berdasarkan data dan berbagai referensi ilmiah. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang atau perilaku yang diamati (Moeleong, 2017) dalam (Supriyono, 2018). Data
dan referensi ilmiah tersebut dikumpulkan, dianalisis, dan dikaji hingga menghasilkan
suatu kesimpulan. Kesimpulan inilah yang menjadi hasil dan pembahasan pada artikel
jurnal ini. Pada jurnal ini data dan referensi berupa teori-teori dari berbagai sumber terkait
psikolinguistik dan gangguan berbahasa autisme.

Hasil dan Pembahasan

1. Hakikat Psikolinguistik
Psikolinguistik merupakan salah stau cabang dalam linguistic makro.
Penelitian psikolinguistik menekankan pada proses psikologi pada pemerolehan
dan penggunaan bahasa manusia (Nurjanah, 2018). Bidang kajian dari
psikolinguistik antara lain, komprehensif, yaitu kemampuan menangkap hal yang
dikatakan orang lain dan memahami maksudnya; produksi, yaitu kemampuan
untuk dapat berujar seperti yang ingin diujarkan; landasan biologi serta neurologis
yang membuat manusia dapat berbahasa; pemerolehan bahasa, cara setiap anak
memperoleh bahasa. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan
abad ke-20 ketika psikolog Jerman Wilhelm Wundth menyatakan bahwa bahasa
dapat dijelaakan dengan dasar prinsip-prinsip psikologi (Kess, 1992) dalam
(Dardjowidjojo, 2012). Dalam menerapkan ilmu ini, akan dihadapkan dengan
gangguan-gangguan berbahasa yang secara mental dapat mempengaruhinya.
Psikolinguistik menerapkan pola dasar dalam pemerolehan bahasa seseorang.
Pemerolehan bahasa seorang anak dapat melalui orangtua ataupun keluarga yang
kemudian bahasa pertama seorang anak disebut dengan bahasa ibu, yaitu bahasa
pertama yang dikenalkan atau yang dipahami oleh seseorang.
Bahasa seorang anak diawali dengan pemerolehan bahasa pertama atau
dikenal dengan istilah bahasa ibu (Pandudinata, 2018). Dalam proses
pemerolehan bahasa dapat ditemukan gejala-gejala mental atau psikologi yang
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berbahasa. Ada beberapa hal yang
tidak sesuai dengan usia dan tumbuh kembangnya. Gejala ini dapat merujuk ke
beberapa diagnosis penyakit atau gangguan mental seseorang dalam berbahasa.
Pada permasalahan inilah, psikolinguistik memberikan kajian dalam
pembahasannya.

2. Definisi dan Gejala Autisme


Salah satu gangguan dalam berbahasa terkait mental manusia adalah
autisme. Istilah autism pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner, seorang
psikiater dari Harvard pada taun 1943. Menurutnya, istilah autisme diambil dari
istilah schizophrenia yaitu Bleuler yang mengindikasikan gejala berupa
kehidupan dalam dunia sendiri tanpa menguharukan dunia luar (Indah, 2011).
Secara sederhana, autisme dapat diartikan sebagai kelainan yang terjadi pada anak
yang tidak mengalami perkembangan normal, khususnya dalam hubungan dengan
orang lain (Winarno, 2015). Anak-anak yang mengalami autisme mempunyai
imajinasi dan sering melakukan tingkah laku atau pergerakan badan yang
berulang-ulang (Wing & Gould 1979). Autisme mempengaruhi syaraf seseorang
dalam memberikan instruksi terhadap inderanya. Hal ini terlihat ketika seorang
pengidap autisme yang diberi rangsangan berupa suara, ia akan mendengar.
Namun, ia tidak memberikan respon atas rangsangan tersebut. Autis diartikan
sebagai keadaan yang dikuasai oleh kecenderungan pikiran atau perilaku yang
berpusat pada diri sendiri (Ezmar&Ramli, 2014) Selain itu, gejala lain juga
muncul dalam proses ketika seorang anak diberi pengajaran mengenai hal-hal
dalam keseharian. Shadock dan Shadock (2009) dalam (Ali, 2017) mengatakan
bahwa gangguan autistic spectrum disorder dikenal dengan early infantile autism,
childhood autism atau Kanner’s autism yang ditandai dengan gangguan dalam
interaksi sosial timbal balik, keterlambatan keterampilan komunikasi dan
pengulangan terbatas pada aktivitas dan minat.
Pengidap autisme tidak memberikan respon terhadap hal-hal yang
diberikan kepadanya. Pengidap autisme bukan berarti bodoh atau memiliki IQ
yang rendah. Sebaliknya, terdapat pula pengidap autisme yang memiliki IQ
normal bahkan di atas rata-rata. Memurut (Winarno, 2013, hal.13), tanda-tanda
atau gejala utama autisme tampak paling menonjoldan jelas yaitu ketika anak
berusia di bawah 3 tahun (batita). Tanda-tanda tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Tidak pernah menunjuk dengan pada usia 1 tahun; 2) Tidak mengoceh pada usia
sekitar 1,5 tahun; 3) Tidak pernah mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun; 4)
kemampuan berbahasa dapat hilang setiap saat; 5) Tidak pernah berpura-pura
bermain dan tidak bereaksi ketika dipanggil namanya; 6) Tidak acuh dengan hal-
hal lain; 7) Mengulang-ulang gerakan badan atau anggota tubuh; 8) Perhatian
hanya terfokus pada objek tertentu saja; 9) Biasanya menolak keras perubahan
terhadap hal yang bersifat rutin; 10) Sangat peka terhadap tekstur dan bau tertentu.

3. Penyebab Autisme
Penderita autisme mempunyai beberapa ciri-ciri atau gejala yang terlihat
dari adanya gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris.
Autisme dilihat sebagai kelainan perkembangan sosial dan mental karena
gangguan perkembangan otak yang diakibatkan oleh kerusakan selama
pertumbuhan fetus, saat kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupannya
(Winarno, 2013). Meskipun dari segi fisik anak autisme terlihat seperti anak
normal, namun dari segi perilaku, mental, dan pola pikir, mereka memiliki
kelemahan. Anak autis memiliki kesulitan dalam mengendalikan emosi serta
banyak melakukan gerakan-gerakan yang kurang wajar tanpa mereka bisa
kendalikan. Selain itu,anak autisme juga memiliki kesulitan dalam berbicara,
sehingga berpengaruh dalam kemampuan berbahasanya. Dengan adanya
gangguan-gangguan tersebut, dapat berpengaruh terhambatnya kegiatan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Hingga saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari autisme Penyebab
yang melibatkan banyak faktor (multifaktor) secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu genetik dan lingkungan. Dari faktor genetik telah ditemukan
gen autis yang diturunkan orangtua kepada beberapa anak autis. Sedangkan faktor
lingkungan adalah terkontaminasinya lingkungan oleh zat-zat beracun, pangan,
gizi, dan juga diakibatkan karena raksenasi. Kenyataan yang terlihat saat ini
adalah bahwa anak autis selalu mengalami keresahan dan gangguan kognitif atau
fungsi persepsi sehingga mereka memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi dan
bersosialisasi dengan lingkungan. Beberapa pakar menjelaskan bahwa hal itu
terjadi karena pusat di otak (brain center) yang mengatur input rangsangan
(sensoring and processing) mengalami gangguan terutama dalam kemampuan
berbahasa (Winarno, 2013). Penyebab lain yang bisa terjadi adalah kontaminasi
logam berat, yaitu merkuri. Hal ini dapat memicu kondisi hiperaktif pada anak.
Merkuri merupakan senyawa beracun yang dapat memengarui anak-anak.
Menurut (Subyantoro, 2013) terdapat beberapa hal lain yang diduga dapat
menyebabkan autisme, yaitu: 1) Adanya vaksin yang mengandung Thimerosal,
yaitu zat pengawet yang digunakan di berbagai vaksin; 2) Televisi, yang
mengakibatkan seseorang jarang bersosialisasi dengan lingkungan. 3) Radiasi
pada janin bayi. 4) Folic acid, yaitu zat yang diberikan pada wanita hamil untuk
mencegah cacat fisik pada janin.

4. Gangguan Berbahasa pada Autisme


Penderita autisme mengalami gangguan dan kesulitan dalam berbicara
maupun kegiatan berbahasa yang lain. Menurut (Koswara 2013) dalam
(Rahmawati, 2018), terdapat 3 masalah dalam belajar autis, yaitu 1) komunikasi,
2) interaksi sosial, 3) perilaku. Pemerolehan bahasa anak autis berbeda dengan
anak normal. Anak-anak normal memperoleh ujaran pertama saat menginjak usia
beberapa bulan. Sedangkan penderita autis, dapat melakukan ujaran pertama
setelah satu tahun atau lebih. Gangguan atau penyakit bawaan pada anak autis
menyebabkan terganggunya sistem komunikasi dalam melakukan interaksi (Yani,
2017).
Penyandang autisme bisa jadi membisu hingga usia lima tahun, atau hanya
membeo dari kata-kata orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa penderita autisme
memiliki kesulitan atau hambatan dalam berkomunikasi. Tidak hanya mengalami
hambatan, penderita autisme juga mengalami penyimpangan dalam berbahasa.
Menurut (Indah, 2011, hal 91), secara fonologi penderita autisme memiliki
artikulasi cukup jelas meskipun sering muncul beragam kesalahan dalam
penyebutan objek. Kemampuan morfologisnya juga sering memunculkan
kesalahan. Misalnya menyebut dengan kata lain, menghilangkan suku kata
tertentu, asimilasi, menambah dengan suku kata yang salah. Intonasinya
cenderung datar dan salah dalam menekankan ucapan. Kemampuan sintaksisnya
juga sangat lamban dan sering muncul kalimat peniruan, yaitu mengulang-ulang
kalimat yang tidak relevan dengan konteks. Kemampuan memahami semantik
juga lamban, seperti membedakan antara “ibu menyuapi adik” dengan “Adik
menyuapi Ibu”. Terdapat temuan yang menarik pada penyandang autisme yaitu
kecenderungan hiperleksis pada beberap penyandang yang memiliki IQ tinggi.
Anak hiperleksik dapat belajar mandiri membaca dengan cepat dan nyaring, tetapi
mereka tidak memahami makna yang dibacanya. Kegemaran membacanya ini
didorong oleh kemampuan dalam menghafal dan kekuatan memorinya,
khususnya ketika membaca kalender dan informasi detail lain yang dianggap tidak
penting bagi orang awam.
Hasil pengamatan Cossu dan Marshall dalam (Indah, 2011 (hal.92))
menyebutkan keunikan penyandang autisme di Italia yang berusia sembilan tahun
di kelas tiga Sekolah Dasar dengan IQ 47 yang dapat membaca dengan lancar.
Kemampuan bahasanya normal walaupun buruk dalam pemahaman auditori,
kemampuan meniru gambar, serta mengingat angka. Namun, dia murid terbaik
ketika membaca nyaring di kelas meskipun dia tidak bisa menangkap isi bacaan
(dalam Obler&Gjerlow, 2000 dalam Indah, 2011). Dalam hal ini dapat terlihat
bahwa keterampilan membaca seorang hiperleksik sebatas kemampuan
mengenali kode fonologis bahasa tulis, tidak secara langsung memaknai maksud
tulisan (Indah, 2011).
Penderita autisme mengalami gangguan dalam pemerolehan bahasa. Hal
ini diungkapkan oleh Armisa dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa anak
autis yang menderita gangguan pada otak mengakibatkan hilangnya fungsi
interaksi dan komunikasi. Anak autisme seakan-akan memiliki dunianya sendiri
dan mengabaikan atau tidak mempedulikan lingkungan di sekitarnya. Ezmar dan
Ramli dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak yang mengalami gejala autis
seringkali memiliki masalah dengan kemampuan bahasanya. Dikatakan pula
dalam penelitian yang sama, bahwa 2/3 sampai 50% anak penderita autis tidak
mengalami perkembangan bahasa sehingga berakibat pada ketidakmampuannya
dalam berkomunikasi dengan baik. Hal ini senada dengan pendapat yang
menyatakan bahwa salah satu gejala utama autis adalah gangguan bahasa dan
komunikasi, sebanyak 40% anak autis tidak bisa berbicara sama sekali
(Zambrano, Garcia, Southa, 2002 dalam Tarigan, 2019).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Tarigan dalam
penelitiannya, anak autis mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa karena
mereka belum bisa memahami bahasa tersebut. Selain itu, mereka juga tidak bisa
mengucapkan bahasa dengan tepat. Hal itu senada dengan pendapat Priyatna yang
menyatakan bahwa anak dengan autisme sering mengulang kata yang didengar
sebelumnya atau biasa disebut echolalia (meniru atau membeo). Mereka juga
mengalami kesulitan dalam memahami percakapan (Priyatna, 2010 dalam
Tarigan, 2019).

5. Penanganan Gangguan Berbahasa pada Autisme


Menurut berbagai penelitian, autisme tidak dapat disembuhkan secara
total. Namun, gejala-gejalanya dapat dikurangi dengan metode yang terstruktur
dan sistematis disertai dengan pembiasaan perilaku belajar. Dengan begitu gejala
dan gangguan pada autisme dapat diminimalisasi. Terapi pada anak autis
bertujuan untuk mengurangi perilaku yang tidak normal, meningkatkan
kemampuan belajar, dan meningkatkan perkembangan agar kemampuannya
sesuai dengan usia anak.
Terapi yang dapat digunakan untuk memperbaiki gangguan
berkomunikasi pada pengidap autisme adalah dengan terapi komunikasi. Terapi
ini merupakan terapi yang paling mendasar di antara berbagai jenis terapi untuk
pengidap autisme, dan keberhasilan dalam terapi komunikasi ini dapat
memudahkan pelaksanaan terapi yang lain. Menurut (Subyantoro, 2011), terapi
komunikasi tidak menekankan agar anak harus dapat berbicara, tetapi lebih
kepada kemampuan berkomunikasinya dengan orang lain. Hal lain yang dapat
dilakukan untuk menangani autisme adalah dengan melakukan intervensi dini
yang ditunjang dengan diet CFGF (Casein Free Gluten Free), yaitu diet bagi autise
dengan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung kasein dan
gluten. Hal ini dapat mendukung proses perbaikan pada kondisi psikologi,
neurologis, fisiologis, dan endokrin. Program intervensi bahasa yang dapat
dilakukan pada penyandang autisme antara lain:
a) Melibatkan teman sejawat untuk berkomunikasi
b) Memperhatikan tingkat perkembangan dan gaya belajar anak
c) Komunikasi bermakna yang melibatkan maksud prelinguistik dan
kombinasi berbagai kata, contoh: “siapa namamu?/namamu siapa?/
namanya siapa sih?”
d) Komunikasi terjadi dalam konteks alami supaya anak menyadari
perbedaan dan komunikasi yang tepat pada lingkungan yang sesuai
e) Melibatkan banyak pihak untuk kemajuan dan keberhasilan anak.

Terdapat beberapa terapi yang dapat menunjang proses penanganan


gangguan berbahasa dan berbicara. Salah satu yang dapat diterapkan bagi
penyandang autisme yaitu Auditory Integration Training (AIT), yaitu terapi
penunjang dengan piranti musik. Keberhasilannya dilihat dari perkembangan
anak dalam memproses informasi auditori. AIT menggunakan musik untuk
melatih otot telinga berefleksi dan meningkatkan kemampuan otak untuk
menyaring suara yang masuk (Moor, 2008 dalam Indah 2011).
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi dengan anak
autisme antara lain: menggunakan bahasa yang sederhana, menyebut nama
mereka ketika mengajak berbicara, menggunakan bahasa tubuh untuk
memperjelas maksud yang ingin disampaikan, berbicara dengan pelan dan jelas,
memberi waktu agar mereka dapat mencerna apa yang kita sampaikan, serta
hindarilah berbicara kepada mereka di tempat yang berisik, karena akan
menyulitkan mereka untuk fokus terhadap hal yang dibicarakan.

6. Psikolinguistik dan Gangguan Berbahasa Autisme


Dalam Lingkup kajian ilmu berbahasa , psikolinguistik merupakan sebuah
kajian ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa, perilaku, dan akal budi
manusia. Perkembangan anak dalam pemerolehan bahasa berbeda-beda satu sama
lain. Perkembangan bahasa pada anak biasanya mulai terlihat pada usia sekitar
satu tahun ketika anak mulai belajar berjalan. Pada usia itu anak sudah mulai
mengeluarkan kata-kata pertamanya. Namun, hal tersebut berbeda pada anak yang
mengalami gangguan berbahasa sejak lahir sepeeti anak-anak penderita autisme.
Kondisi penderita autis kiranya sesuai dengan definisi autisme menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga tahun (2003: 77) menyatakan bahwa
autisme berarti gangguan perkembangan anak yang berakibat tidak dapat
berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya
sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu.
Meski dalam suasana yang ramai. Meskipun anak autis suka berbicara,
tetapi apabila didengar dengan seksama, akan terdengar bahwa yang
diucapkannya semacam “igauan” saja bukan bahasa yang bermakna. Mereka
hanya mampu mengulang kata yang didengarnya (membeo). Kondisi ini sangat
memprihatinkan. Terlebih jika melihat bahwa bahasa merupakan sarana
komunikasi untuk menjalin ineraksi sosial. Keterbatasan kemampuan
berbahasanya ini mengakibatkan mereka terasing dari lingkungan, karena
ketidaksesuaian respon yang diberikan penderita autisme, seperti menangis,
marah, memukul-mukul, dan mondar-mandir.
Masuknya bahasa pada penderita autis dimulai dengan kontak mata yang
bertujuan untuk menarik perhatian penderita autis agar fokus dan mengenal lawan
bicaranya. Berawl dari adanya kontak mata ini makan akan dapat diketahui
kesiapan penderita autisme untuk mempelajari bentuk rentetan kata yang
bermakna. Setelah kontak mata, tahap selanjutnya adalah kontak fisik yang
dilakukan melalui sentuhan dan rabaan. Penderita autis akan dikenalkan pada
benda dan kata, situasi dan kata, atau tempat dan kata. Sentuhan fisik yang disertai
pelafalan kata sangat penting untuk meningkatkan pemahaman penderita autis
terhadap makna suatu kata. Hal ini dilakukan dengan memanggil nama mereka
secara berulang-ulang dengan suara nyaring disertai sentuhan, yang kemudian
dilanjut dengan memberikan atau menunjukkan hal-hal yang disukai, dan
pemaksaan (Subyantoro, 2011:63). Penderita autis dianggap sudah mampu
berbahasa jika sudah bisa diajak berbicara dan mampu menulis. Meskipun yang
dikatakan atau yang ditulisnya sekadar untuk memenuhi tuntutan yang diberikan
padanya. Kata-katanya juga terbatas pada kata-kata kunci untuk sekadar
menanggapi lawan bicaranya.

Simpulan
Gangguan berbahasa pada autisme sebenarnya dapat diatasi melalui terapi
komunikasi atau terapi wicara. Terapi ini merupakan metode pembelajaran bahasa yang
tidak hanya mengenai belajar bahasa lisan, tetapi juga bahasa tulis. Keberhasilan terapi
komunikasi atau terapi wicara dapat dilihat dari kemampuan penderita autis dalam
mengemukakan pengetahuan yang telah diserapnya melalui bahasa lisan dan bahasa tulis.
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu diperhatikan bahwa dalam mengasah dan
melatih kemampuan berbahasa dan komunikasi bagi penderita autisme adalah dengan
melakukan penanganan yang tepat dan pengenalan gejala autisme sejak dini sheingga
penderita autisme dapat menemukan bakat dan kemampuannya. Selain itu, untuk
mengembangkan kemampuan dalam berinteraksi sosial, diperlukan jalinan komunikasi
dan interaksi dengan penderita autis secara terus menerus dan berkelanjutan.
Gangguan berbahasa autisme memang belum dapat disembuhkan secara
langsung. Perlu dilakukan berbagai terapi dan pengobatan penunjang lainnya guna
mendukung pengidap autisme untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
lain. Dukungan dari orangtua, keluarga, dan orang-orang terdekat merupakan faktor yang
sangat penting dan menentukan keberhasilan dalam terapi autisme, khususnya dalam
kaitannya dengan gangguan berbahasa. penderita autisme bukan anak idiot, mereka hanya
memusatkan perhatian pada diri sendiri sehingga tidak dapat fokus dan sulit berbaur
dengan sekitar. Ilmu psikolinguistik mencoba menelusuri, mengidentifikasi, dan
memberikan kajian terkait gangguan berbahasa pada penderita autisme dilihat dari segi
ilmu kebahasaan atau linguistik, bukan secara medis atau psikologi yang berkaitan
langsung dengan gejala, penyebab, dan pengobatannya secara umum. Namun,
psikolinguistik lebih menitikberatkan dari bagaimana penderita autisme memperoleh
bahasa pertamanya dan seperti apa mereka memperoleh bahasa berikutnya atau disebut
dengan pembelajaran bahasa.
Daftar pustaka

Chaer, Abdul. 2015. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dardjowidjojo. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Hikmawati, Yaumil. 2018. Pemerolehan Bahasa Pada Anak Autis: Kajian

Psikolinguistik. Artikel Penelitian. Universitas Tanjungpura Pontianak.

Indah, Rohmani Nur. 2011. Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar. Malang: UIN-

Maliki Press.

Anda mungkin juga menyukai