Anda di halaman 1dari 9

Kajian Psikolinguistik terhadap Gangguan

Berbahasa Autisme
ELSA RAKHMANITA
Universitas Sebelas Maret
elsarakhma12@gmail.com

ABSTRACT
This journal article aims to provide data related to autism language disorders and their
relationship with psycholinguistics. The method used is based on a qualitative description method, which
is a research method by providing an explanation in the form of a description based on data from various
scientific references. Based on data and scientific references collected, analyzed, and studied, the results
show that autism is a behavior disorder due to nerve development that affects a person's ability to
communicate and interact. The main symptom caused by people with autism is a language disorder.
People with autism experience interference and difficulty in speaking and other language activities.
Disorders in language can occur due to the inhibition of autistic children in obtaining and absorbing the
languages that exist in the surrounding environment. Autism disorder is one of the studies in
psycholinguistics. Psycholinguistics applies the basic pattern in the acquisition of one's language. In the
process of language acquisition, mental or psychological symptoms can be found that affect one's ability
to speak. One of them is mental or psychological symptoms in people with autism.
Keywords: psycholinguistics, language disorders, speech therapy autism, applied behavior analysis

ABSTRAK
Gangguan berbahasa merupakan salah satu kajian yang dibahas dalam psikolinguistik
Gangguan berbahasa dapat menghambat seseorang dalam berbahasa. Artikel jurnal ini bertujuan
untuk memberikan data terkait gangguan berbahasa autisme dan hubungannya dengan psikolinguistik.
Metode yang digunakan berdasarkan metode deskripsi kualitatif, yaitu metode riset dengan memberikan
penjelasan berupa deskripsi berdasarkan data dari berbagai referensi ilmiah. Berdasarkan data dan
referensi ilmiah yang dikumpulkan, dianalisis, dan dikaji, didapatkan hasil bahwa autisme merupakan
suatu gangguan perilaku akibat perkembangan syaraf yang berpengaruh pada kemampuan seseorang
untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Gejala utama yang ditimbulkan oleh pengidap autisme adalah
gangguan dalam berbahasa. Pengidap autisme mengalami gangguan dan kesulitan dalam berbicara
maupun kegiatan berbahasa yang lain. Gangguan dalam berbahasa tersebut dapat terjadi karena adanya
keterhambatan anak autis dalam memperoleh dan menyerap bahasa-bahasa yang ada di lingkungan
sekitar. Gangguan berbahasa autisme merupakan salah satu kajian dalam psikolinguistik. Psikolinguistik
menerapkan pola dasar dalam pemerolehan bahasa seseorang. Dalam proses pemerolehan bahasa dapat
ditemukan gejala-gejala mental atau psikologi yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
berbahasa. Salah satunya adalah gejala mental atau psikologi pada pengidap autisme.
Kata kunci: psikolinguistik, gangguan berbahasa, terapi berbicara, autisme, applied behavior analysis
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan komponen utama dalam komunikasi seelain gerak tubuh, nada, dan
sebagainya. Bahasa dalam ranah linguistik dikatakan sebagai sebuah sistem bunyi yang
arbriter, konvensional, dan digunakan manusia untuk komunikasi 10(Muradi, 2018). Bahasa
berperan sebagai media untuk menyampaikan gagasan, berinteraksi dan berkomunikasi.
Bahasa merujuk pada istilah untuk menjelaskan makna dan pikiran ke dalam sistem linguistic
yang digunakan sebagai dasar mengangkut pikiran. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi
antar anggota masyarakat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Dapat dikatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan digunakan oleh
para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri
18
(Tarigan, 2019). Bahasa memiliki sifat universal sehingga bahasa manapun dapat diperoleh
oleh seseorang 1(Adi, 2018). Pentingnya faktor bahasa sebagai alat komunikasi inilah yang
menjadikan beberapa linguis menyatakan bahwa berbahasa sama pentingnya dengan bernapas.
Noam Chomsky, bapak Linguistik dunia, mengatakan, jika kita mempelajari bahasa maka pada
hakikatnya kita sedang mempelajari esensi manusia, yang menjadikan keunikan manusia itu
sendiri 11(Muzaiyanah,2015).
Salah satu kajian dalam ilmu linguistik adalah Psikolinguistik. Psikolinguistik dapat
dikatakan sebagai interdisiplin antara Linguistik dan Psikologi. Psikolinguistik merupakan
pengembangan dari dua bidang ilmu tersebut. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia, yaitu interaksinya dengan dunia sekitar, seperti dengan sesame manusia, hewan,
lingkungan, kebudayaan, dll 17(Suroso, 2014). Linguistik merupakan telaah ilmiah mengenai
bahasa manusia. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
perilaku berbahasa, baik itu perilaku berbahasa yang tampak ataupun yang tidak tampak
12
(Natsir, 2017). Dalam kajiannya, psikolinguistik juga membahas hubungan antara otak
manusia dengan bahasa. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum,
psikolinguistik merupakan salah satu bidang kajian dari linguistik makro yang mempelajari
proses-proses mental yang dilalui manusia dalam berbahasa.
Menurut KBBI, gangguan adalah halangan, rintangan, godaan, sesuatu yang
menyusahkan. Mengganggu juga diartikan sebagai hal yang menyebabkan ketidakwarasan
atau ketidaknormalan (tentang jiwa, kesehatan, pikiran), hal yang menyebabkan
ketidaklancaran. Berbahasa memiliki arti berkomunikasi menggunakan suatu bahasa.
Kemampuan berbahasa meliputi berbicara, menulis, membasa, dan menyimak. Salah satu
keterampilan yang produktif adalah keterampilan berbicara, yaitu kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi, atau lata-kata untuk mengekspresikan, mengatakan, serta
menyampaikan pikiran , gagasan, dan perasaan. Gangguan berbahasa berarti halangan,
rintangan, dan sesuatu yang menyusahkan seseorang dalam mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi, atau lata-kata untuk mengekspresikan, mengatakan, serta menyampaikan pikiran ,
gagasan, dan perasaan. Anak yang normal memperoleh bahasa secara alami dan mampu
mendapatkan pembelajaran bahasa.Namun, sebagian anak lainnya mengalami kesulitan
karena beberapa sebab dalam kaitannya untuk memperoleh bahasa dan pembelajaran bahasa
7
(Hikmawati, 2018).
Terdapat beberapa penyakit atau gangguan yang dapat mempengaruhi kemampuan
berbahasa seseorang. Gangguan tersebut banyak terjadi akibat akibat beberapa penyakit atau
gangguan pada perkembangan syaraf yang memberi dampat pada cara dan kemampuan
seseorang dalam berbahasa. Perlu diketahui, bahwa otak merupaka pusat dari berbagai
aktivitas manusia, termasuk dalam berbicara atau berbahasa. gangguan dalam berbahasa
merupakan kajian dalam salah satu cabang linguistic makro, yaitu psikolinguistik. Gangguan
berbahasa merupakan salah satu fokus pembahasan dalam psikolinguistik. Psikolinguistik
merupakan studi proses mental dalam pemakaian bahasa. Psikolinguistik menguraikan proses-
proses psikologi ketika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya ketika
berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia 3(Chaer,
2015). Psikolinguistik mendiskusikan tentang berbagai macam gangguan bahasa, yakni dyslexia,
anomia aphasia, apraxia, alexia, dan autis. Anak autis merupakan seseorang yang tidak bisa
berkomunikasi dengan baik karena memiliki kesulitan untuk memahami suatu pembicaraan
6
(Fimawati, 2017).
Salah satu gangguan berbahasa adalah gangguan berbahasa pada autisme. Autisme atau
yang disebut pula Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu gangguan perkembangan
syaraf yang terus terhadap kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dan berinteraksi
dengan orang-orang di sekitarnya (American Psychiatric Association 1994). Gangguan ini dapat
berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam berbahasa, karena pengidap autisme bahkan
tidak dapat mengucap satu kata pun pada usia satu tahun. Gangguan berbahasa pada autisme
dapat ditangani dengan berbagai terapi komunikasi dan terapi penunjang lainnya sehingga
dapat memperbaiki kemampuan berbahasa bagi pengidapnya. Melalui kajian psikolinguistik,
dapat diketahui berbagai gejala mental dan psikologi yang dialami oleh pengidap autisme
terkait gangguan dalam berbahasa serta berbagai penanganan yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan lingkungan.
Istilah autism berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti suatu
aliran. Autism diartikan sebagai suatu aliran dimana seseorang hanya tertarik pada dunianya
sendiri 16(Subyantoro, 2013). Autisme juga dapat diartikan sebagai cacat pada perkembangan
syaraf dan psikis manusia yang terjadi sejak janin dan seterusnya sehingga menyebabkan
kelemahan atau perbedaan dalam berinteraksi sosial, kemampuan berkomunikasi, pola minat,
dan tingkah laku (Subyantoro, 2013).

METODE
Metode yang dilakukan dalam penyusunan artikel jurnal ini adalah metode deskripsi kualitatif,
yaitu metode riset dengan memberikan penjelasan berupa deskripsi berdasarkan data dan
berbagai referensi ilmiah. Data dan referensi ilmiah tersebut dikumpulkan, dianalisis, dan dikaji
hingga menghasilkan suatu kesimpulan. Kesimpulan inilah yang menjadi hasil dan
pembahasan pada artikel jurnal ini. Pada jurnal ini data dan referensi berupa teori-teori dari
berbagai sumber terkait psikolinguistik dan gangguan berbahasa autisme.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hakikat Psikolinguistik
Psikolinguistik merupakan salah stau cabang dalam linguistic makro. Penelitian psikolinguistik
menekankan pada proses psikologi pada pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia
13
(Nurjanah, 2018). Bidang kajian dari psikolinguistik antara lain, komprehensif, yaitu
kemampuan menangkap hal yang dikatakan orang lain dan memahami maksudnya; produksi,
yaitu kemampuan untuk dapat berujar seperti yang ingin diujarkan; landasan biologi serta
neurologis yang membuat manusia dapat berbahasa; pemerolehan bahasa, cara setiap anak
memperoleh bahasa. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan abad ke-20
ktika psikolog Jerman Wilhelm Wundth menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaakan dengan
dasar prinsip-prinsip psikologi (Kess, 1992) dalam 4(Dardjowidjojo, 2012). Dalam menerapkan
ilmu ini, akan dihadapkan dengan gangguan-gangguan berbahasa yang secara mental dapat
mempengaruhinya. Psikolinguistik menerapkan pola dasar dalam pemerolehan bahasa
seseorang. Pemerolehan bahasa seorang anak dapat melalui orangtua ataupun keluarga yang
kemudian bahasa pertama seorang anak disebut dengan bahasa ibu, yaitu bahasa pertama yang
dikenalkan atau yang dipahami oleh seseorang.
Bahasa seorang anak diawali dengan pemerolehan bahasa pertama atau dikenal dengan
istilah bahasa ibu 14(Pandudinata, 2018). Dalam proses pemerolehan bahasa dapat ditemukan
gejala-gejala mental atau psikologi yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
berbahasa. Ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan usia dan tumbuh kembangnya. Gejala
ini dapat merujuk ke beberapa diagnosis penyakit atau gangguan mental seseorang dalam
berbahasa. Pada permasalahan inilah, psikolinguistik memberikan kajian dalam
pembahasannya.
Definisi dan Gejala Autisme
Salah satu gangguan dalam berbahasa terkait mental manusia adalah autisme. Istilah autism
pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard pada taun 1943.
Menurutnya, istilah autisme diambil dari istilah schizophrenia yaitu Bleuler yang
mengindikasikan gejala berupa kehidupan dalam dunia sendiri tanpa menguharukan dunia
luar 8(Indah, 2011). Secara sederhana, autisme dapat diartikan sebagai kelainan yang terjadi
pada anak yang tidak mengalami perkembangan normal, khususnya dalam hubungan dengan
orang lain 19(Winarno, 2015). Anak-anak yang mengalami autisme mempunyai imajinasi dan
sering melakukan tingkah laku atau pergerakan badan yang berulang-ulang (Wing & Gould
1979). Autisme mempengaruhi syaraf seseorang dalam memberikan instruksi terhadap
inderanya. Hal ini terlihat ketika seorang pengidap autisme yang diberi rangsangan berupa
suara, ia akan mendengar. Namun, ia tidak memberikan respon atas rangsangan tersebut. Autis
diartikan sebagai keadaan yang dikuasai oleh kecenderungan pikiran atau perilaku yang
berpusat pada diri sendiri 5(Ezmar&Ramli, 2014) Selain itu, gejala lain juga muncul dalam
proses ketika seorang anak diberi pengajaran mengenai hal-hal dalam keseharian. Shadock dan
Shadock (2009) dalam 2(Ali, 2017) mengatakan bahwa gangguan autistic spectrum disorder
dikenal dengan early infantile autism, childhood autism atau Kanner’s autism yang ditandai dengan
gangguan dalam interaksi sosial timbal balik, keterlambatan keterampilan komunikasi dan
pengulangan terbatas pada aktivitas dan minat
Pengidap autisme tidak memberikan respon terhadap hal-hal yang diberikan
kepadanya. Pengidap autisme bukan berarti bodoh atau memiliki IQ yang rendah. Sebaliknya,
terdapat pula pengidap autisme yang memiliki IQ normal bahkan di atas rata-rata. Memurut
(Winarno, 2013, hal.13), tanda-tanda atau gejala utama autisme tampak paling menonjoldan
jelas yaitu ketika anak berusia di bawah 3 tahun (batita). Tanda-tanda tersebut adalah sebagai
berikut: 1) Tidak pernah menunjuk dengan pada usia 1 tahun; 2) Tidak mengoceh pada usia
sekitar 1,5 tahun; 3) Tidak pernah mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun; 4) kemampuan
berbahasa dapat hilang setiap saat; 5) Tidak pernah berpura-pura bermain dan tidak bereaksi
ketika dipanggil namanya; 6) Tidak acuh dengan hal-hal lain; 7) Mengulang-ulang gerakan
badan atau anggota tubuh; 8) Perhatian hanya terfokus pada objek tertentu saja; 9) Biasanya
menolak keras perubahan terhadap hal yang bersifat rutin; 10) Sangat peka terhadap tekstur
dan bau tertentu.
Penyebab Autisme
Penderita autisme mempunyai beberapa ciri-ciri atau gejala yang terlihat dari adanya gangguan
komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Autisme dilihat sebagai kelainan
perkembangan sosial dan mental karena gangguan perkembangan otak yang diakibatkan oleh
kerusakan selama pertumbuhan fetus, saat kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupannya
(Winarno, 2013). Meskipun dari segi fisik anak autisme terlihat seperti anak normal, namun
dari segi perilaku, mental, dan pola pikir, mereka memiliki kelemahan. Anak autis memiliki
kesulitan dalam mengendalikan emosi serta banyak melakukan gerakan-gerakan yang kurang
wajar tanpa mereka bisa kendalikan. Selain itu,anak autisme juga memiliki kesulitan dalam
berbicara, sehingga berpengaruh dalam kemampuan berbahasanya. Dengan adanya gangguan-
gangguan tersebut, dapat berpengaruh terhambatnya kegiatan bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar.
Hingga saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari autisme Penyebab yang
melibatkan banyak faktor (multifaktor) secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
genetik dan lingkungan. Dari faktor genetik telah ditemukan gen autis yang diturunkan
orangtua kepada beberapa anak autis. Sedangkan faktor lingkungan adalah terkontaminasinya
lingkungan oleh zat-zat beracun, pangan, gizi, dan juga diakibatkan karena raksenasi.
Kenyataan yang terlihat saat ini adalah bahwa anak autis selalu mengalami keresahan dan
gangguan kognitif atau fungsi persepsi sehingga mereka memiliki keterbatasan untuk
berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Beberapa pakar menjelaskan bahwa hal
itu terjadi karena pusat di otak (brain center) yang mengatur input rangsangan (sensoring and
processing) mengalami gangguan terutama dalam kemampuan berbahasa (Winarno, 2013).
Penyebab lain yang bisa terjadi adalah kontaminasi logam berat, yaitu merkuri. Hal ini dapat
memicu kondisi hiperaktif pada anak. Merkuri merupakan senyawa beracun yang dapat
memengarui anak-anak. Menurut (Subyantoro, 2013) terdapat beberapa hal lain yang diduga
dapat menyebabkan autisme, yaitu: 1) Adanya vaksin yang mengandung Thimerosal, yaitu zat
pengawet yang digunakan di berbagai vaksin; 2) Televisi, yang mengakibatkan seseorang
jarang bersosialisasi dengan lingkungan. 3) Radiasi pada janin bayi. 4) Folic acid, yaitu zat yang
diberikan pada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin.
Gangguan Berbahasa pada Autisme
Penderita autisme mengalami gangguan dan kesulitan dalam berbicara maupun kegiatan
berbahasa yang lain. Menurut (Koswara 2013) dalam 15(Rahmawati, 2018) , terdapat 3 masalah
dalam belajar autis, yaitu 1) komunikasi, 2) interaksi sosial, 3) perilaku. Pemerolehan bahasa
anak autis berbeda dengan anak normal. Anak-anak normal memperoleh ujaran pertama saat
menginjak usia beberapa bulan. Sedangkan penderita autis, dapat melakukan ujaran pertama
setelah satu tahun atau lebih. Gangguan atau penyakit bawaan pada anak autis menyebabkan
terganggunya sistem komunikasi dalam melakukan interaksi 20(Yani, 2017).
Penyandang autisme bisa jadi membisu hingga usia lima tahun, atau hanya membeo
dari kata-kata orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa penderita autisme memiliki kesulitan
atau hambatan dalam berkomunikasi. Tidak hanya mengalami hambatan, penderita autisme
juga mengalami penyimpangan dalam berbahasa. Menurut (Indah, 2011, hal 91), secara
fonologi penderita autisme memiliki artikulasi cukup jelas meskipun sering muncul beragam
kesalahan dalam penyebutan objek. Kemampuan morfologisnya juga sering memunculkan
kesalahan. Misalnya menyebut dengan kata lain, menghilangkan suku kata tertentu, asimilasi,
menambah dengan suku kata yang salah. Intonasinya cenderung datar dan salah dalam
menekankan ucapan. Kemampuan sintaksisnya juga sangat lamban dan sering muncul kalimat
peniruan, yaitu mengulang-ulang kalimat yang tidak relevan dengan konteks. Kemampuan
memahami semantik juga lamban, seperti membedakan antara “ibu menyuapi adik” dengan
“Adik menyuapi Ibu”. Terdapat temuan yang menarik pada penyandang autisme yaitu
kecenderungan hiperleksis pada beberap penyandang yang memiliki IQ tinggi. Anak hiperleksik
dapat belajar mandiri membaca dengan cepat dan nyaring, tetapi mereka tidak memahami
makna yang dibacanya. Kegemaran membacanya ini didorong oleh kemampuan dalam
menghafal dan kekuatan memorinya, khususnya ketika membaca kalender dan informasi detail
lain yang dianggap tidak penting bagi orang awam.
Hasil pengamatan Cossu dan Marshall dalam (Indah, 2011 (hal.92)) menyebutkan
keunikan penyandang autisme di Italia yang berusia sembilan tahun di kelas tiga Sekolah Dasar
dengan IQ 47 yang dapat membaca dengan lancar. Kemampuan bahasanya normal walaupun
buruk dalam pemahaman auditori, kemampuan meniru gambar, serta mengingat angka.
Namun, dia murid terbaik ketika membaca nyaring di kelas meskipun dia tidak bisa
menangkap isi bacaan (dalam Obler&Gjerlow, 2000 dalam Indah, 2011). Dalam hal ini dapat
terlihat bahwa keterampilan membaca seorang hiperleksik sebatas kemampuan mengenali
kode fonologis bahasa tulis, tidak secara langsung memaknai maksud tulisan (Indah, 2011).
Penderita autisme mengalami gangguan dalam pemerolehan bahasa. Hal ini
diungkapkan oleh Armisa dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa anak autis yang
menderita gangguan pada otak mengakibatkan hilangnya fungsi interaksi dan komunikasi.
Anak autisme seakan-akan memiliki dunianya sendiri dan mengabaikan atau tidak
mempedulikan lingkungan di sekitarnya. Ezmar dan Ramli dalam penelitiannya menyatakan
bahwa anak yang mengalami gejala autis seringkali memiliki masalah dengan kemampuan
bahasanya. Dikatakan pula dalam penelitian yang sama, bahwa 2/3 sampai 50% anak penderita
autis tidak mengalami perkembangan bahasa sehingga berakibat pada ketidakmampuannya
dalam berkomunikasi dengan baik. Hal ini senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa
salah satu gejala utama autis adalah gangguan bahasa dan komunikasi, sebanyak 40% anak
autis tidak bisa berbicara sama sekali 18(Zambrano, Garcia, Southa, 2002 dalam Tarigan, 2019).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Tarigan dalam penelitiannya, anak autis
mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa karena mereka belum bisa memahami bahasa
tersebut. Selain itu, mereka juga tidak bisa mengucapkan bahasa dengan tepat. Hal itu senada
dengan pendapat Priyatna yang menyatakan bahwa anak dengan autisme sering mengulang
kata yang didengar sebelumnya atau biasa disebut echolalia (meniru atau membeo). Mereka juga
mengalami kesulitan dalam memahami percakapan (Priyatna, 2010 dalam Tarigan, 2019).
Penanganan Gangguan Berbahasa pada Autisme
Menurut berbagai penelitian, autisme tidak dapat disembuhkan secara total. Namun, gejala-
gejalanya dapat dikurangi dengan metode yang terstruktur dan sistematis disertai dengan
pembiasaan perilaku belajar. Dengan begitu gejala dan gangguan pada autisme dapat
diminimalisasi. Terapi pada anak autis bertujuan untuk mengurangi perilaku yang tidak
normal, meningkatkan kemampuan belajar, dan meningkatkan perkembangan agar
kemampuannya sesuai dengan usia anak.
Terapi yang dapat digunakan untuk memperbaiki gangguan berkomunikasi pada
pengidap autisme adalah dengan terapi komunikasi. Terapi ini merupakan terapi yang paling
mendasar di antara berbagai jenis terapi untuk pengidap autisme, dan keberhasilan dalam
terapi komunikasi ini dapat memudahkan pelaksanaan terapi yang lain. Menurut (Subyantoro,
2011), terapi komunikasi tidak menekankan agar anak harus dapat berbicara, tetapi lebih
kepada kemampuan berkomunikasinya dengan orang lain. Hal lain yang dapat dilakukan
untuk emnangani autisme adalah dengan melakukan intervensi dini yang ditunjang dengan
diet CFGF (Casein Free Gluten Free), yaitu diet bagi autise dengan tidak mengonsumsi
makanan dan minuman yang mengandung kasein dan gluten. Hal ini dapat mendukung proses
perbaikan pada kondisi psikologi, neurologis, fisiologis, dan endokrin. Program intervensi
bahasa yang dapat dilakukan pada penyandang autisme antara lain: 1) melibatkan teman
sejawat untuk berkomunikasi; 2) memperhatikan tingkat perkembangan dan gaya belajar anak;
3) komunikasi bermakna yang melibatkan maksud prelinguistik dan kombinasi berbagai kata,
contoh: “siapa namamu?/namamu siapa?/ namanya siapa sih?”; 4) komunikasi terjadi dalam
konteks alami supaya anak menyadari perbedaan dan komunikasi yang tepat pada lingkungan
yang sesuai; 5) melibatkan banyak pihak untuk kemajuan dan keberhasilan anak.
Terdapat beberapa terapi yang dapat menunjang proses penanganan gangguan
berbahasa dan berbicara. Salah satu yang dapat diterapkan bagi penyandang autisme yaitu
Auditory Integration Training (AIT), yaitu terapi penunjang dengan piranti musik.
Keberhasilannya dilihat dari perkembangan anak dalam memproses informasi auditori. AIT
menggunakan musik untuk melatih otot telinga berefleksi dan meningkatkan kemampuan otak
untuk menyaring suara yang masuk (Moor, 2008 dalam Indah 2011).
Layanan untuk anak autis harus disesuaikan dengan metode yang tepat agar dapat
diterapkan secara langsung. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode Lovaas
atau Applied Behavior Analysis (ABA). Applied Behavior Analysis (ABA) adalah ilmu yang
menerapkan prinsip-prinsip yang diperoleh secara eksperimental perilaku sosial untuk
meningkatkan perilaku yang signifikan 9(Mareyke, 2019). Pada penerapan metode ini anak
diajarkan menjadi disiplin. Kurikulumnya dimodifikasi dari aktivitas sehari hari dan
dilaksanakan secara konsisten. Metode Lovaas atau Applied Behavior Analysis (ABA) ini
memiliki ciri terukur, terarah dan terstruktur sehingga memudahkan dalam pemantauan dan
perkembangannya. Fokus penanganannya yaitu memberikan penguatan positif pada setiap
respon anak yang benar dan sesuai dengan instruksi yang diberikan.metode ini menekankan
pada bentuk penghargaan setiap kali anak berhasil melakukan sesuatu.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi dengan anak autisme antara
lain: menggunakan bahasa yang sederhana, menyebut nama mereka ketika mengajak berbicara,
menggunakan bahasa tubuh untuk memperjelas maksud yang ingin disampaikan, berbicara
dengan pelan dan jelas, memberi waktu agar mereka dapat mencerna apa yang kita sampaikan,
serta hindarilah berbicara kepada mereka di tempat yang berisik, karena akan menyulitkan
mereka untuk fokus terhadap hal yang dibicarakan.
Psikolinguistik dan Gangguan Berbahasa Autisme
Dalam Lingkup kajian ilmu berbahasa , psikolinguistik merupakan sebuah kajian ilmu yang
mempelajari hubungan antara bahasa, perilaku, dan akal budi manusia. Perkembangan anak
dalam pemerolehan bahasa berbeda-beda satu sama lain. Perkembangan bahasa pada anak
biasanya mulai terlihat pada usia sekitar satu tahun ketika anak mulai belajar berjalan. Pada
usia itu anak sudah mulai mengeluarkan kata-kata pertamanya. Namun, hal tersebut berbeda
pada anak yang mengalami gangguan berbahasa sejak lahir sepeeti anak-anak penderita
autisme. Kondisi penderita autis kiranya sesuai dengan definisi autisme menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga tahun (2003: 77) menyatakan bahwa autisme berarti
gangguan perkembangan anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat
mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain
terganggu.
Pada umumnya anak autis cenderung pendiam. Mereka tetap merasa sepi atau senyap
meski dalam suasana yang ramai. Meskipun anak autis suka berbicara, tetapi apabila didengar
dengan seksama, akan terdengar bahwa yang diucapkannya semacam “igauan” saja bukan
bahasa yang bermakna. Mereka hanya mampu mengulang kata yang didengarnya (membeo).
Kondisi ini sangat memprihatinkan. Terlebih jika melihat bahwa bahasa merupakan sarana
komunikasi untuk menjalin ineraksi sosial. Keterbatasan kemampuan berbahasanya ini
mengakibatkan mereka terasing dari lingkungan, karena ketidaksesuaian respon yang
diberikan penderita autisme, seperti menangis, marah, memukul-mukul, dan mondar-mandir.
Masalah lain yang dialami adalah banyaknya kalimat yang terkesan hanya membeo dari
ucapan sebelumnya. Penggunaan bahasa mereka sering tidak memiliki kreativitas dan daya
cipta. Mereka membatasi diri pada pengulangan kalimat yang telah diucapkan orang lain
(Peeters 2004:66 dalam Subyantoro, 2011). Namun, tetap saja, penderita autisme harus
mengenal bahasa dan menguasainya. Hal ini sangat penting dilakukan dalam kaitannya
mereka sebagai makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan sekitar. Proses tersebut dimulai
dengan mengenalkan abjad. Selanjutnya, penyukuan atas dua huruf (gabungan huruf vokal
dan konsonan). Setelah itu, penggabungan penyukuan atau pengulangan penyukuan yang
dikaitkan dengan pemahaman makna, hingga pada pengenalan kata dan tanda baca
(Subyantoro, 2011:63)
Masuknya bahasa pada penderita autis dimulai dengan kontak mata yang bertujuan
untuk menarik perhatian penderita autis agar fokus dan mengenal lawan bicaranya. Berawl
dari adanya kontak mata ini makan akan dapat diketahui kesiapan penderita autisme untuk
mempelajari bentuk rentetan kata yang bermakna. Setelah kontak mata, tahap selanjutnya
adalah kontak fisik yang dilakukan melalui sentuhan dan rabaan. Penderita autis akan
dikenalkan pada benda dan kata, situasi dan kata, atau tempat dan kata. Sentuhan fisik yang
disertai pelafalan kata sangat penting untuk meningkatkan pemahaman penderita autis
terhadap makna suatu kata. Hal ini dilakukan dengan memanggil nama mereka secara
berulang-ulang dengan suara nyaring disertai sentuhan, yang kemudian dilanjut dengan
memberikan atau menunjukkan hal-hal yang disukai, dan pemaksaan (Subyantoro, 2011:63).
Penderita autis dianggap sudah mampu berbahasa jika sudah bisa diajak berbicara dan mampu
menulis. Meskipun yang dikatakan atau yang ditulisnya sekadar untuk memenuhi tuntutan
yang diberikan padanya. Kata-katanya juga terbatas pada kata-kata kunci untuk sekadar
menanggapi lawan bicaranya.

SIMPULAN
Gangguan berbahasa pada autisme sebenarnya dapat diatasi melalui terapi komunikasi atau
terapi wicara. Terapi ini merupakan metode pembelajaran bahasa yang tidak hanya mengenai
belajar bahasa lisan, tetapi juga bahasa tulis. Keberhasilan terapi komunikasi atau terapi wicara
dapat dilihat dari kemampuan penderita autis dalam mengemukakan pengetahuan yang telah
diserapnya melalui bahasa lisan dan bahasa tulis.
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu diperhatikan bahwa dalam mengasah dan melatih
kemampuan berbahasa dan komunikasi bagi penderita autisme adalah dengan melakukan
penanganan yang tepat dan pengenalan gejala autisme sejak dini sheingga penderita autisme
dapat menemukan bakat dan kemampuannya. Selain itu, untuk mengembangkan kemampuan
dalam berinteraksi sosial, diperlukan jalinan komunikasi dan interaksi dengan penderita autis
secara terus-menerus dan berkelanjutan.
Gangguan berbahasa autisme memang belum dapat disembuhkan secara langsung. Perlu
dilakukan berbagai terapi dan pengobatan penunjang lainnya guna mendukung pengidap
autisme untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Dukungan dari
orangtua, keluarga, dan orang-orang terdekat merupakan faktor yang sangat penting dan
menentukan keberhasilan dalam terapi autisme, khususnya dalam kaitannya dengan gangguan
berbahasa. penderita autisme bukan anak idiot, mereka hanya memusatkan perhatian pada diri
sendiri sehingga tidak dapat fokus dan sulit berbaur dengan sekitar. Ilmu psikolinguistik
mencoba menelusuri, mengidentifikasi, dan memberikan kajian terkait gangguan berbahasa
pada penderita autisme dilihat dari segi ilmu kebahasaan atau linguistik, bukan secara medis
atau psikologi yang berkaitan langsung dengan gejala, penyebab, dan pengobatannya secara
umum. Namun, psikolinguistik lebih menitikberatkan dari bagaimana penderita autisme
memperoleh bahasa pertamanya dan seperti apa mereka memperoleh bahasa berikutnya atau
disebut dengan pembelajaran bahasa.

REFERENSI
1
Adi, Afry; Riskiana WA., Oktaviana A P., & Sumarlam.2018. Peranan Pola Pengasuhan
terhadap Pemerolehan Bahasa pada Anak: Sebuah Kajian Psikolinguistik. Jurnal Literasi.
8(2): 75-83 http://dx.doi.org/10.23969/literasi.v8i2.1288
2
Ali. 2017. Ekspresi Verbal Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia Penderitaautistic Spectrum
Disorder Dewasa. Jurnal Bahastra. 1(2): 1-7.
http://www.jurnal.unma.ac.id/index.php/CP/article/download/1353/1235
3
Chaer, Abdul. 2015. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta
4
Dardjowidjojo. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
5
Ezmar&Ramli. 2014. Bahasa Anak Autis Pada Slb Cinta Mandiri Lhoksumawe. Jurnal
Metamorfosa. 2(2):1-18. http://metamorfosa.stkipgetsempena.ac.id/?
journal=home&page=article&op=view&path%5B%5D=18
6
Fimawati, Yuli., Ni Made Dhanawaty & Ni Wayan Sukarini. 2017. Kemampuan Berbahasa
Anak Autis Tipe Pddnos di SLB Muhammadiyah Sidayu Gresik: Kajian Psikolinguistik.
Jurnal Linguistika. 24(47) : 203-220.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/linguistika/article/view/38182/23152
7
Hikmawati, Yaumil. 2018. Pemerolehan Bahasa Pada Anak Autis: Kajian Psikolinguistik.
Artikel Penelitian. Universitas Tanjungpura Pontianak.
8
Indah, Rohmani Nur. 2011. Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar. Malang: UIN-Maliki Press.
9
Mareyke, Jessy., & Noviana, D. 2019. Efektivitas Terapi Applied Behavior Analysis (Aba) terhadap
Perkembangan Bahasa Anak Berkebutuhan Khusus Autisme. Jurnal Cakrawala Pendas. 5(2):
105-109. http://dx.doi.org/10.31949/jcp.v5i2.1353
10
Muradi, Ahmad. 2018. Pemerolehan Bahasa dalam Perspektif Psikolinguistik dan Alquran.
Jurnal Tarbiyah. 7(2) :145-162. http://dx.doi.org/10.18592/tarbiyah.v7i2.2245
11
Muzaiyanah, M. (2015). Proses Pemerolehan Bahasa Anak. Jurnal Wardah, 16(1), 113-124.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/view/364
12
Natsir, Nurasia. (2017). Hubungan Psikolinguistik dalam Pemerolehan dan Pembelajaran
Bahasa. Jurnal Retorika. 10(1), 20-29. http://dx.doi.org/10.17977/um031v4i12018p017
13
Nurjanah, S., Millatuddiiniyyah., & Nofianty. 2018. Pemerolehan Bahasa Anak Akibat
Pengaruh Film Kartun ( Suatu Tinjauan Psikolinguistik). Jurnal Parole. 1(3): 386-390.
http://dx.doi.org/10.22460/p.v1i3p%25p.732
14
Pandudinata, Reza., Sumarlam., dan Kundharu S. 2018. Pemerolehan Bahasa Siswa
Tunagrahita Kelas VI SD. Jurnal Retorika. 1(1) :48–56. DOI: 10.26858/retorika.v11i1.4988
15
Rahmawati, S.,&Asim. 2018. Penerapan Media Interaktif “KNS” untuk Siswa Autis. Jurnal
Ortopedagogia,4(1): 17- 21. http://dx.doi.org/10.17977/um031v4i12018p017
16
Subyantoro. 2013. Gangguan Berbahasa: Mengenali untuk Mengantisipasi Sejak Dini.
Yogyakarta:Penerbit Ombak.
17
Suroso, Eko. 2014. Psikolinguistik. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
18
Tarigan, Risma M. (2019). Pemerolehan Sintaksis pada Anak Autisme. Jurnal Bahasastra, 3(2),
151-156. https://jurnal.uisu.ac.id/index.php/Bahastra/article/download/1154/918
19
Winarno. 2013. Autisme dan Peran Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
20
Yani, Nurul F. Kemampuan Anak Penderita Autis dalam Memahami Tindak Tutur Direktif:
Tinjauan Pragmatik Klinis. 2017. Jurnal Retorika. 10(1): 1—71
https://doi.org/10.26858/retorika.v10i1.4614

Anda mungkin juga menyukai