Anda di halaman 1dari 98

PELAKSANAAN TERAPI WICARA TERHADAP ANAK AUTIS DI

SLB AUTISMA PERMATA BUNDA BUKITTINGGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Strata-1 (S1) Pada Jurusan
Bimbingan dan Konseling Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Oleh:

ROZA ZAHARA
2613.026

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BUKITTINGGI
1439 H/2017 M

1
2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pelayanan bimbingan dan konseling semakin dikenal dan

dibutuhkan di masyarakat, khususnya di sekolah. Pelayanan bimbingan

dan konseling dibutuhkan disekolah-sekolah, tidak saja disekolah yang

diperuntukan bagi peserta didik yang normal tapi juga bagi peserta didik

yang berkebutuhan khusus disekolah-sekolah yang luar biasa atau

disekolah biasa yang menerapkan sistem pendidikan inklusi. Untuk

menjawab hal itubimbingan dan konseling yang merupakan salah satu

jurusan di perguruan tinggi mempelajari pokok-pokok penting yang

dipelajari dalam bimbingan konseling adalah konseling populasi khusus.

Dalam konseling populasi khusus membahas tentang anak-anak

berkebutuhan khusus dan bantuan bimbingan apa yang dapat diberikan

bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Salah satu diantara anak yang

dibahas dan tergolong kedalam kategori anak berkebutuhan khusus adalah

anak autis.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 31

ayat 2 di sebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

pengajaran, dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional pasal 5 ayat 2 bahwa warga negara yang memiliki

kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak

mendapatkan pendidikan khusus.


3

Pendidikan dalam berbahasa pun sangat dibutuhkan sebagai sarana

komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam berbagai aspek

kehidupan, kemampuan berbahasa anak dapat dilihat sesuai dengan

pertumbuhan usia dan kemampuan anak dalam berkomunikasi dengan

baik sesudah mendapat pengajaran dalam bahasa. Namun, tidak semua

anak dapat melakukan komunikasi dengan baik dengan pembelajaran

seperti anak normal lainnya. Hal ini disebabkan oleh kesulitan dalam

memperoleh bahasa, seperti gangguan psikologi dan perkembangan

tingkah laku atau abnormalitas pada anak. Apabila terdapat gangguan pada

proses perkembangan anak, hal tersebut dapat berimploaso terhadap

pembelajaran berbahasa anak. Gangguan ini dapat berupa gangnguan

berbahasa dan berbicara seperti gangguan pada anak autis. Penderita autis

dapat di latih dengan menggunakan terapi yang sesuai dengan jenis autis

yang di deritanya.

Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autis yang dalam

pelaksanaannya harus melibatkan peran aktif dari orang tua. Psikoterapi

menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan non verbal yang

memungkinkan orang tua lebih mendekatkan diri kepada anak autis

mereka dan lebih mengenal lagi berbagai kondisi anak secara mendetail

guna membantu proses penyembuhan anak. Psikoterapi adalah suatu

interaksi sistematis antara pasien dan terapis yang mengguankan prinsip-


4

prinsip psikologi untuk mengatasi tingkah laku abnormal dan memecahkan

masalah-masalah dalam hidup dan berkembang sebagai seorang individu.1

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam

bicara dan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang,

namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya untuk

berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Untuk mendapatkan

hasil yang optimal, materi specch therapy sebaiknya dilakukan

berkolaborasi dengan metode ABA selain itu mengharuskan mereka juga

memahami langkah-langkah dalam metode lovass sebagai dasar bagi

materi yang akan diberikan.

Gangguan bicara dan berbahasa bisa diakibatkan adanya gangguan

dipusat bahasa pada otak, namun bisa juga diakibatkan oleh gangguan di

wilayah peviper atau tepi yaitu karena postur tubuh anak tidak bagus atau

tidak optimal. Tidak semua anak autis mengalami gangguan bicara dan

bahasa, ada anak autis yang dapat bicara normal dan lancar, ada juga yang

bicara tapi dengan kemampuan yang terbatas (sulit dan kaku). Namun ada

juga anak autis yang tidak dapat berbicara sama sekali. Anak autis yang

masih memiliki fungsi bicara dan berbahasa yang baik atau mampu

melakukan komunikasi bicara, perlu mendapatkan terapi wicara.2

1
Hembing Wijakusuma, 2004. Psikoterapi Anak Autis, (Jakarta: Pustaka Populer
Obor.hal 3)
2
Bonny Danuatmaja, 2003, Terapi Anak Autis di Rumah (Jakarta: Puspa Swara. hal.137)
5

Dalam Al-Quran pun dijelasakan dalam surat Ar-Rahman ayat 1-4

)٤( َ‫) َعلَّ َمهُ ْالبَيَان‬٣( َ‫سان‬


َ ‫) َخلَقَ اإل ْو‬٢( َ‫) َعلَّ َم ْالقُ ْرآن‬١( ُ‫الرحْ َمه‬
َّ
(Tuhan) yang Maha pemurah, yang telah mengaja rkan Al Quran, Dia
menciptakan manusia,mengajarnya pandai berbicara.

Maksud dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah SWT yang

maha pemurah yang menciptakan manusia yang mengajarkan dari yang

tidak tau menjadi tau, mengajarkan Al quran dan mengajarkan manusia

pandai berbicara dan ayat ini pun berkaitan dengan terapi wicara yang

diberikan kepada anak autis agar ia pandai berkomunikasi walaupun

memiliki kekurangan.

Terapi wicara adalah profesi yang bekerja pada prinsip-prinsip

dimana timbul kesulitan berkomunikasi atau gannguan pada berbahasa dan

berbicara bagi orang dewasa maupun anak. Terapi wicara dapat diminta

untuk berkonsultasi dan konseling, mengevaluasi, memberikan

perencanaan maupun penanganan untuk terapi dan merujuk sebagai bagian

dari tim penanganan kasus. Terapi wicara merupakan salah satu bentuk

terapi ringan yang diberikan kepada anak tidak hanya oleh terapis saja dan

juga boleh dilakukan oleh orang tua, guru-guru di sekolah-sekolah khusus

anak autis dengan tujuan anak mampu meningkatkan kemampuan verbal

anak.3

Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan autis.

Sedangkan autis itu sendiri adalah kelainan perkembangan anak yang

masuk dalam kelompok Pervasif Developmental Disorder (PDD). PDD


3
Prasetyono, 2008, Serba Serbi Anak Autis ( Yogyakarta: Diva Pers, hal.207)
6

merupakan kelompok kelainan perkembangan pada anak yang sifatnya

luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi, bahasa dan

motorik.4 Autis secara umum merupakan suatu gangguan perkembangan

yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai dengan adanya tiga

gejala utama berupa realitas yang kurang dalam interaksi sosial dan

emosinal. Kemampuan komunikasi timbal balik dan kemauan yang

terbatas, serta perilaku yang disertai dengan gerakan yang berulang tanpa

tujuan, dan adanya respon yang tidak wajar terhadap pengalaman

sensorinya. Autism Spectrum Disorder (ASD, Gangguan Spektrum

Autisme) adalah gangguan perkembangan yang secara umum tampak di

tiga tahun pertama kehidupan anak.5 Sehingga sekitar tiga hingga empat

kali lebih mungkin terjadi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan.

Autis adalah gangguan pada otak anak yang menyebabkan

terhambatnya perkembangan dalam berbagai bidang.6 Adapun pendapat

beberapa ahli autis adalah gangguan perkembangan otak anak yang

berakibat tidak dapat berkomunikasi dan mengekpresikan perasaan dan

keinginan, sehingga hubungan dengan perilaku orang lai terganggu.

Defenisi tersebut di dukung oleh Peeters yang mengatakan bahwa autis

merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman, dan

bukan suatu bentuk penyakit mental.

4
Hardiono D. Pusponegoro dan Purboyo Solek, 2007, Apakah Anak Kita Autis?
(Bandung: Trikarsa Multi Media, hal 3)
5
Chris Williams dan Barry Wright HowTo Live With Autism and Asperger Syndrome
(Strategi Praktis bagi Orang tua dan Guru Anak Autis), (Jakarta: Dian Rakyat, hal 3)
6
Adriana S Ginanjar, 2008, Menjadi Orang Tua Istimewa ( Jakarta: Dian Rakyat, hal.23)
7

Penderita autis memiliki dunia sendiri dalam berkomunikasi dan

berbahasa yang kadang susah untuk dimengerti, tetapi apabila kita

memperhatiakan dan mendengarkan bahasa mereka, kita akan mengetahui

maksud dan makna bahasa yang diucapkan penderita autis tersebut. Anak

autis bukan berarti menarik diri dari masyarakat, tetapi mereka memang

tidak pernah sepenuhnya bergabung dengan masyarakat. Minimnya

interaksi sosial dan permasalahan pada keterampilan sosial membuat

mereka jarang mendekati orang lain dan pandangan mereka seolah-olah

melewati orang lain. Dalam perkembangan kebahasaannya, anak autis

mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa. Hal ini disebabkan oleh

gangguan pada sistem kerja otak yang akan mempengaruhi kemampuan

memperoleh bahasa atau kosakata sebagai sarana komunikasi.

Kemampuan berbahasa dan perolehan kosakata pada anak autis

berbeda-beda, sesuai dengan gangguan autis yang mereka alami. Pada usia

6 atau 7 tahun, anak seharusnya sudah bisa berbicara atau berkomunikasi

dengan baik dan lancar. Tidak demikian halnya dengan penderita autis,

sampai usia 12 tahun kadang lebih mereka masih belum bisa

berkomunikasi dengan lancar. Hal ini disebabkan gangguan pada otak

yang menyebabkan keterlambatan dalam berbahasa, bahkan bahasa yang

di kuasainya tidak sebanyak anak normal lain yang seusianya. Dengan

demikian, kemampuan berbahasa pada anak autis dilakukan dengan cara

terapi, yaitu berupa terapi wicara dan dengan memperlihatkan gambar-


8

gambar. Terapi tersebut dapat membuat anak-anak menyebutkan apa yang

dilihatnya dan akan menambah kosakata.

World Health Organizations Internasional Classification of Disease

mendefenisikan autisme khususnya childhood autisme sebagai adanya

keabnormalan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia

tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tigabidan yaitu,

interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang berulang-ulang. Pada anak

normal, dalam perkembangannya mereka mereka akan melakukan

hubungan timbal balik dengan sesamanya yang bertujuan untuk dapat

memenuhi kebutuhannya. Hubungan timbal balik ini dikenal dengan

interaksi sosial. Interaksi sosial yang dilakukan anak akan semakin

membantunya menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Namun,

tidak demikian pada anak autis.

Gangguan dan hambatan yang dimiliki anak autis membuat mereka

sulit untuk melakukan interaksi sosial. Salah satu alat agar anak autis

mampu mengatasi hambatan tersebut diantaranya adalah melalui

pendidikan. Salah satu jenis pendidikan bagi anak autis adalah sekolah

khusus anak autis. Dimana, sekolah ini diperuntukan khusus bagi anak

autis terutama yang tidak memungkinkan mengikuti pendidikan di sekolah

reguler.

Berdasarkan observasi awal pada tanggal 1 juni 2017, penulis akan

meneliti sebuah kasus pada penderita autis. Peneliti ini dilakukan di

sebuah SLB Bukittinggi. Di SLB ini belum pernah dilakukan penelitian


9

terhadap anak autis, baik dari segi perkembangan atau kemampuan

berbahasa anak. Seperti yang di alami oleh beberapa siswa SLB Autisma

Permata Bunda Bukittinggi.

Pada penelitian ini penulis mengambil 2 orang anak AD dan ZD

untuk dijadikan sampel yang mana kedua orang anak ini sama-sama

mengalami keterlambatan dalam berbicara dan di berikan terapi wicara,

Pada umur 1 tahun mulai terlihat tidak adanya perkembangan seperti anak

biasanya lalu orang tua mencoba memeriksa ke dokter dan terdeteksilah

AD menderita autis. AD masuk sekolah pada umur 5 tahun, dan sudah

melakukan terapi wicara selama 2 tahun. Sedangkan ZD mulai terdeteksi

autis pada saat umur 8 bulan karena tidak adanya kontak mata antara ibu

dengan anak, pada umur 4,5 tahun ia masuk ke SLB dan sekarang sudah

diberikan terapi selama 3 tahun.

Dari hasil observasi dan wawancara di atas maka tertariklah

penulis untuk meneliti lebih jauh bagaimana kemampun berbahasa anak

autis setelah melaksanakan terapi wicara. Dari paparan latar belakang

diatas kiranya menjadi suatu hal yang sangat penting sebuah penelitian

dengan judul “ PELAKSANAAN TERAPI WICARA TERHADAP

ANAK AUTIS DI SLB AUTISMA PERMATA BUNDA

BUKITTINGGI”.
10

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka dapat di identifikasi

masalah yaitu:

1. Siswa tidak lancar dalam berbicara dan tidak bisa mengutakan apa yang

ia rasakan.

2. Terapi wicara sudah dilaksanakan namun belum optimal.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah maka penulis membatasi masalah

tentang pelaksanaan terapi wicara terhadap anak autis di SLB Autidma

Permata Bunda bukittinggi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah diatas maka rumusan masalah adalah:

Bagaimanakah pelaksanaan terapi wicara terhadap anak autis di SLB

Autisma Permata Bunda Bukittinggi?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan batasan masalah yang ada

yaitu: Untuk mengetahui pelaksanaan terapi wicara terhadap anak autis di

SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi.


11

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu

pengetahuan dan menerapkan teori yang sudah di kemukan oleh ahli.

2. Manfaat praktis

a. Bagi peneliti sendiri memberikan gambaran dan informasi tentang

perkembangan anak autis setelah mendapatkan terapi wicara. Dan

sangat di harapkan hasil dari penelotian ini dapat berguna dan

menjadi acuan untuk tetap menngkatkan pemberian terapi wicara

bagi anak autis.

b. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat digunakan untuk melakukan

penelitian pada bidang nya dan dapat menjadi bahan perbandingan

untuk melakukan penelitian selanjutnya.

G. Penjelasan Judul

Untuk mengarahkan dan memudahkan pembaca dalam memahami

maksud yang ada dalam tulisan ini, maka penulis memberikan beberapa

istilah yang terdapat dalam judul penelitian ini yaitu:

1. Terapi Wicara : Terapi wicara adalah salah satu bentuk terapi

ringan yang diberikan kepada anak tidak hanya oleh terapis saja dan

juga boleh dilakukan oleh orang tua, guru-guru di sekolah-sekolah


12

khusus anak autis dengan tujuan anak mampu meningkatkan

kemampuan verbal anak.7

2. Anak Autis : Anak penderita autisme adalah Anak dengan

kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrem, anak autis

bisa duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan jari-jarinya

sendiri atau dengan serpihan-serpihan kertas. Tampaknya mereka itu

tenggelam dalam satu dunia fantasi batiniah sendiri.8 Sedangkan Autis

adalah gangguan pada otak anak yang menyebabkan terhambatnya

perkembangan dalam berbagai bidang.9

3. SLB : Sebuah lembaga pendidikan formal yang melayani

pendidikanbagi anak-anak berkebutuhan khusus. 10

Dengan demikian yang penulis maksudkan dalam judul

pelaksanaan terapi wicara terhadap anak autis di SLB Autisma Permata

Bunda adalah usaha yang dilakukan oleh guru terapi untuk mengarahkan

atau memberikan pengajaran kepada anak autis yang memiliki

keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa untuk bisa

berkomunikasi dan berbahasa yang baik dalam lingkungan sosial dan

untuk itu anak perlu mendapatkan penanganan khusus dari terapis yaitu

terapi wicara agar anak dapat menyusun kata dan bekomunikasi dengan

benar walaupun ia autis.

7
Prasetyono, 2008, Serba Serbi Anak Autis ( Yogyakarta: Diva Pers, hal.207)
8
Soelaiman Joesoef dan Noer Abijono, pengantar psychology
9
Adriana S Ginanjar, 2008, Menjadi Orang Tua Istimewa ( Jakarta: Dian Rakyat hal.23)
10
http://fitriafitri.weebly.com/sekolah-luar -biasa.html
13

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, Bab ini menjelaskan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka, Bab ini menguraikan teori-teori utama yang

relevan dengan masalah yang diteliti, yang dapat dijadikan sebgai alat

untuk menganalisis hasil temuan penelitian, dan yang menjadi dasar

penunujang dalam penelitian

BAB III Metodologi Penelitian, Bab ini menjelaskan tentang langkah-

langkah kerja yang dilakukan oleh peneliti yang sifatnya metodologis

yang berkaitan dengan perumusan maslah dengan menggunakan jenis

penelitian kuantitaitif.

BAB IV Merupakan hasil penelitian yang mencakup pembentukan

kepatuhan, pembentukan kontak mata (KM), mengajarkan kemampuan

menirukan, mengajarkan kemampuan bahasa seseptif, mangajarkan

kemampuan bahasa ekspresif, mengajarkan kemampuan pra akademik,

mengajarkan kemampuan akademik, dan mengajarkan kemampuan

membantu diri (self help skill).

BAB V, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


14

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Terapi Wicara

1. Pengertian Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan

dalam bicara dan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup

berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai

kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi atau berintekrasi dengan

orang lain. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, materi specch

therapy sebaiknya dilakukan berkolaborasi denga metode ABA.

Selain itu mereka juga harus memahami langkah-langkah dalam

metode lovass sebagai dasar bagi materi yang akan di berikan.

Terapi wicara adalah profesi yang bekerja pada prinsip-prinsip

dimana timbul kesulitan berkomunikasi atau gangguan pada berbahasa

dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak. Terapi wicara dapat

diminta untuk berkonsultasi atau konseling, mengevaluasi,

memberikan perencanaan maupun penanganan untuk terapi untuk

merujuk sebagai bagian dari tim penanganan kasus.

Terapi wicara merupakan salah satu bentuk terapi ringan yang

diberikan kepada anak tidak hanya oleh terapi saja dan boleh

dilakukan oleh orang tua, guru-guru di sekolah khusus anak autis

dengan tujuan anak mampu meningkatkan kemampuan verbal


15

anak.11Terapi wicara pada umumnya, menjadi keharusan bagi anak

autis karena mereka mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan

berbahasa.12

Menurut penulis dari pendapat para ahli di atas terapi wicara

atau komunikasi diatas dapat penulis simpulkan bahwa terapi wicara

adalah sebuah terapi yang dilakukan untuk pembelajaran anak secara

bahasa lisan atau bahasa tulisan. Dalam kehidupan komunikasi sangat

diperlukan karena untuk menunjang kehidupan sehari-hari dan

bersosial dan itupun juga di butuhkan oleh anak autis untuk

kelangsungan hidupnya di masyarakat sekitar.

Secara umum, seorang anak dinyatakan terlambat wicara jika

ia mengalami hal-hal berikut:

a. Kemampuan true speech atau “bicara benar” terlambat

muncul atau tidak sama sekali.

b. Ada penyimpangan bunyi, suku kata, dan kata.

c. Perbendaharaan dan norma bahasa berada satu tingkat

dibawahnya. Contohnya, kemampuan pemahaman dan

pengajaran yang dimiliki anak usia 2,5 tahun ternyata sama

dengan yang dimiliki anak usia 1,5 tahun.

2. Strategi Terapi Wicara

Terapi wicara atau komunikasi untuk anak autis dapat

dilakukan menggunakan beberapa strategi berikut.

11
Prasetyono. 2008, Serba Serbi Anak Autis. (Yogyakarta: diva pers), hal 207
12
Bonny Danuatmaja. 2003, Terapi Anak Autis di Rumah. (Jakarta: puspa swara), hal 8
16

a. Menggunakan kata yang singkat dan sederhana sambil

memperlihatkan benda konkrit

Tindakan ini dilakukan karena anak autis mengalami

kesulitan dalam memahami konsep abstrak contohnya apabila

akan naik mobil, perlihatkan kunci mobil, apabila akan tidup

perlihatkan piyamanmya.

b. Menggunakan penekanan pada kata kunci

Penekanan pada kata kunci ini dengan mengeraskan suara

pada saat menggunakan kata kunci, atau dengan meletakan kata

kunci dibelakang kalimat. Tindakan ini diambil karena anak autis

lebih mendengarkan kata-kata terakhir dari kalimat yang

diucapkan.

c. Memperlambat ucapan

Caranya, pertama ucapkan kalimat dengan suara normal,

lalu ulangi dengan lambat dan ada jeda. Tetapi usahakan ucapan

kita terdengar alamiah, jangan terlalu lambat dan jangka kaku

seperti robot, karena nanti anak akan meniru.13

Pada saat pelaksanaan terapi wicara juga perlu melibatkan

perkembangan emosi seperti berbicara disertai dengan gerak, ayunan,

atau musik.

Misalnya, pada saat anak mempunyai sepatu baru, maka saat ia

menunjukkan sepatunya, kita sambut dengan berbagai kata yang

13
Retno Sintowati, 2007.Autisme. (PT Sunda Kelapa Pustaka). hal 22
17

mempunyai makna emosi. Dengan demikian anak akan merasa aman

dan bisa membangun emosi sosial dengan lingkungannya.

Terapi wicara ini ditujukan untuk membantu anak

mengucapkan kata-kata dan akhirnya berbicara yang benar.14 Pada

anak autisme sebenarnya yang lebih penting adalah komunikasi,

bukan hanya sekedar bicara.

3. Langkah-langkah pelaksanaan Terapi wicara

Adapun langkah-langkah dalam terapi untuk membantu anak

dalam Batasi pertanyaan langsung, perbanyaklah memberi komentar

tentang kegiatan yang sedang dilakukan.

1) Beri contoh bagaimana berkomunikasi yang baik

(mengucapkan kata atau menegadahkan tangan) dan jangan

terlalu banyak mengoreksi.

2) Dalam menyampaikan pesan, gunakan kalimat singkat dan

sederhana. Gunakan kata yang sama untuk untuk suatu

benda atau kegiatan supaya anak tidak bingung.

3) Tempatkan wajah anda sejajar dangan wajah anak dengan

jongkok di depan anak atau duduk berhadapan bagi anak

yang masih terbatas kontak matanya. Duduklah

bersebelahan sehingga kecemasan anak tidak berlebihan.

14
Adriana S. Ginanjar, Panduan Praktis Mendidik Anak Autis Menjadi Orang Tua
Istimewa, (jakarta: Dian Rakyat, 2008,) h.35
18

4) Berbicaralah dengan ekspresi yang menarik, nada suara

yang tidak terlalu tinggi, dan ucapkan kata-kata dengan

jelas Dan tidak terlalu cepat.

5) Siapkan anak untuk menerima pesan kita dengan

mengatakan : “coba dengarkan”, lihat ibu” atau dengan

menyentuh pundak anak dengan lembut.

6) Hindari menggerak-gerakan tangan terlalu banyak karena

akan membingungkan bagi anak. Lebih baik menggunakan

isyarat yang sama beberapa kali dan bila perlu gunakan alat

bantu visual.15

Adapun langkah-langkah pelaksanaan terapi wicara menurut

ahli yang lain:16

1) Pembentukan Kepatuhan

Ada dua hal yang perlu diajarkan pada anak sewaktu

memulai program mengajar kepatuhan. Bagi anak yang

senang berdiri instruksikan “duduk”. Untuk anak yang

senang duduk instruksikan “berdiri”. Perlu diingat, bahwa

kedua kemampuan ini tidak boleh diajarkan bersamaan,

karena dapat membingungkan anak.

Cara Pengajaran:

15
Adriana S Ginanjar Panduan Praktis Mendidik Anak Autis Menjadi Orang Tua
Istimewa,h.70
16
Y. Handojo, 2009. Autisme Pada Anak. ( Jakarta.PT Bhuana Ilmu Populer) h.18-31
19

a. Pakailah dua buah kursi kecil, satu untuk anak satu

untuk terapis.

b. Duduklah di salah satu kursi dan duduklah anak

menghadap anda.

c. Kaitkan kedua tumit anda ke kaki depan kursi anak,

agar posisi kedua kursi tidak mudah berubah.

d. Bantulah anak berdiri dengan mengangkat pinggangnya

atau kedua pangkal lengannya secara tegas tapi lembut.

Jangan ada kata-kata yang terucap.

e. Instruksikan “duduk” dengan nada datar dan volume

suara yang cukup keras.

f. Tunggulah selama 5 detik, segera lakukan prompt

dengan menekan kedua bahu anak, sehingga anak

terduduk di kursinya.

g. Langsung beriksn imbalan. Sedapat mungkin berikan

keempat jenis imbalan secara berurutan, agar anda pun

dapat berlatih dalam memberikan imbalan kepada anak.

h. Lakukan hal ini beberapa kali sampai anak secara

mandiri mau duduk sendiri. Bila anak menangis dan

berteriak, abaikan. Yang penting diingat, perhatikan

emosi sebagai terapi, sehingga tidak terbawa emosi

anak. Perhatikan wajah netral sewaktu memberikan


20

istruksi. Dab ekspresi yang penuh sukcita, tulus

sewaktu memberikan imbalan.

i. Apabila anak mampu duduk secara mandiri tiga kali

berturut-turut tanpa prompt, maka tercapailah status

mastered.

j. Ulangi kepatuhan ini setiap kali anda memulai terapi,

sehingga kepatuhan anak dapat terjaga secara konsisten.

2) Pembentukan Kontak Mata

Untuk mengajarkan kontak mata, perlu diusahakan

agar pasangan mata anda dan mata anak berada selevel. Ada

tiga cara untuk mengajarkan KM yaitu:

Cara 1:

a. Setelah posisi mata anda dan mata anak berada pada

level tang sama, hadapkan anak kepada anda.

b. Instuksikan “Lihat” dan tunggulah elama 5 detik apakah

anak melakukan KM dengan anda meskipun hanya

sekilas. Anda boleh menggerakkan tubuh dan kepala

anda untuk mencari KM dengan anak.

c. Bila terjadi KM segera berikan imbalan.

d. Lakukan beberapa kali. Batasi penglangan, maksimat

15 kali setiap sesi agar anda tidak bosan.


21

e. Bila anak secara mandiri melakukan KM dengan anda

hingga tiga kali berturut turut maka tercapailah status

mastered.

f. Untuk memprlama KM (yang ideal adalah minimal 5

detik) maka anda dapat secara bertahap menunda

pemberian imbalan. Tetapi perlu diingat jangan sampai

anak putus asa menunggu imbalan anda.

Cara 2:

a. Peganglah sisi kanan-kiri kepala anak dengan kedua

telapak tangan anda, pegang cukup kuat tapi jangan

sampai menyakiti. Ekspresikan wajah netral karena

kegalalan dengan cara 1 bisa saja mengusik emosi anak.

b. Instruksikan “Lihat!” dan tunggu 5 detik sambil

menahan kepala anak ke arah kedua mata terapis.

c. Bila sekilas terjadi KM, berikan imbalan segera.

d. Lakukan beberapa kali sampai tercapai status mastered.

Bila masih gagal, beralihlah ke cara 3 berikut ini, yang

biasanya berhasil.

Cara 3:

a. Pilihlah terlebih dahulu jenis materi yang sangat disukai

anak. Ini bisa berupa makanan, minuman, mainan atau

benda lain. Benda ini akan dipakai sebagai umpan


22

untuk mengundang KM anak. Dan ini juga dapat di

gunakan sebagai imbalan

b. Ambillah posisi seperti cara-cara sebelumnya.

c. Peganglah benda tersebut dengan tangan snda dan

ayunkan ke depan mata anda, persis ditengah antara

kedua mata dan berjarak kira-kira 5 cm dari wajah anda.

Sambil katakan secara bersamaan “Lihat!”.

d. Anak pasti melihat umpan yang anda pakai, segera

berikan imbalan verbal disusul dengan barang tersebut.

e. Lakukan beberapa kali, sampai tercapai status mastered.

f. Kemudian lakukan gerakan yang sama, tapi kali ini

tangan anda tidak membawa umpannya.

g. Bila anak tetap melihat ke arah tangan atau mata anda,

segera berikan imbalan.

h. Lakukan beberapa kali sampai tercapai mestered.

i. Untuk memperlama KM, tunda pemberian imbalan, tapi

jangan sampai anak frustasi. KM selama 5 detik atau

lebih dan konsisten adalah yang paling ideal.

3) Mengajarkan Kemampuan Menirukan

Kemampuan menirukan (imitation) adalah

kemampuan prilaku dasar seorang anak. Hampir semua

anak autis enggan menirukan perilaku orang lain. Kadang

mereka masih mau menirukan apa yang mereka lihat


23

dilayar televisi. Akan tetapi bila mereka disuruh meniruka

perilaku, mereka anak menolaknya atau

menghindar.instruksikan yang dipakai biasanya adalah

“Tirukan!”. Kemampuan meniru dimulai dengan latihan

motorik kasar, kemudian motorik halus, dan terakhir

motorik mulut. Latihan motorik kasar berguna untuk

meningkatkan kemampuan fisik anak yang dapat

meningkatkanrasa percaya dirinya sedangkan motorik halus

terutama di tunjukan untuk melihat konsentrasi dan

koordinasi.

Cara mengajarkan kemampuan menirukan:

a. Dudukan anak diatas kursi berhadapan dengan anda

dengan sebuah meja diantara anda dan anak.

Apabila mata anda tidak selevel dengan mata anak,

pakailah kursi yang berbeda tingginya.

b. Mulailah dengan kepatuhan dan KM, dan bila anak

mematuhinya jangan lupa memberikan imbalan

(biasanya cukup verbal saja).

c. Pilihlah materi yang mudah misalnya “Memegang

hidung”. Instruksikan “Tirukan”sambil memberikan

contoh. Apabila anak belum merespon tunggu 5

detik.
24

d. Ulangi lagi instruksi dan gerakan model yang sama,

tumggu lagi 5 detik, apabila anak belum merespon,

lanjutkan dengan instruksi ketiga dan bersiaplah

untuk melakukan prompt dengan tangan kiri. Atau

bila ada seorang prompter dibelakang anak,

prompter yang bersiap-siap melakukan prompt

penuh.

e. Instruksikan “Tirukan!”segera atau langsung

lakukan prompt yang tegas dan lembut, kemudian

langsung berikan imbalan.

f. Lakukan siklus ini beberapa kali sampai anak

mampu melakukannya secara mandiri tiga kali

berturut-turut.

g. Apabila ketiga terapis berhasil mencapai 3A, maka

anak mencapai keadaan mastered. Segera pindahkan

materi tersebut kr program maintenance.

h. Mulailah mengajar anak agar betah duduk di kursi

selama minimal dua jam, sebagai persiapan masuk

sekolah reguler.

4) Mengajarkan Kemampuan Bahasa Reseptif (Kognitif)

Mengajarkan Kemampuan Bahasa Reseptif

(Kognitif) adalah kemampuan pengenalan akan beragam

benda atau hal. Kemampuan ini di sebut juga identifikasi


25

dan dapat berlanjut ke kemampuan melabel, kemudian

kemampuan bahasa ekspresif. Bagi anak-anak dengan daya

tangkap yang baik pada saat diajarkan kemampuan bahasa

reseptif, dapat langsung dilanjutkan dengan kemampuan

ekspresif. Akan tetapi pada anak-anak dengan daya tangkap

lemah sebaiknya keduaa kemampuan ini diaajarkan

terpisah.

Cara mengajarkan kemampuan bahasa reseptif:

a. Dudukan anak diatas kursi berhadapan dengan anda

dengan sebuah meja diantara anda dan anak. Aturlah

agar mata anda selevel dengan mata anak.

b. Mulaikah dengan kepatuhan dan KM, bila anak

mematuhinya jangan lupa memberikan imbalan.

c. Bila memulai dengan materi yang sama yaitu

”memegang hidung,” gerakannya sama, tetapi

instruksinya yang berbeda. Instruksinya “pegang

hidung!” dengan gerakan yang sama dengan waktu

mengajarkan konsep menirukan.

d. Lakukan beberapa kali dengan siklus DTT, sampai

tercapai status mastered bersama terapis yang lain.

e. Apabila status mastered tercapai, pindahkan materi

tersebut ke program maintenance.


26

f. Lanjutkan dengan materi-materi tingkat dasar,

intermediate, dan advanced.

5) Mengajarkan Kemampuan Bahasa Ekspresif

Mengajarkan bahasa ekspresif adalah memberikan

kemampuan pada anak untuk mengingat dan menggali hal-

hal yang sudah terekam dalam memorinya untuk

diekspresikan. Oleh karena itu, kemampuan ini harus

diajarkan setelah konsep meniru dan konsep bahasa

kognitif sudah cukup di kuasai anak.

Cara mengajarkan kemampuan bahasa ekspresif:

a. Dudukan anak diatas kursi berhadapan dengan anda

dengan sebuah meja diantara anda dan anak. Aturlah

agar mata anda selevel dengan mata anak.

b. Mulaikah dengan kepatuhan dan KM, bila anak

mematuhinya jangan lupa memberikan imbalan.

c. Misalnya kita kembali memilih materi yang sama yaitu

“memegang hidung,” maka instruksikan “Pegang

Hidung” tetapi tanpa memberikan model pada anak.

Biarkan anak menggali dari memorinya untuk

melakukan gerakan yang sudah dipahaminya dari

latihan menirukan dan bahasa kognitif sebelumnya.

d. Lakukan beberapa kali dengan siklus DTT.


27

e. Bila sudah tercapai status mastered, pindahkan materi

tersebut ke program maintenance

f. Lanjutkan dengan materi-materi tingkat dasar,

intermediate dan advanced, sampai semua materi

dikuasai anak.

6) Mengajarkan Kemampuan Pra-Akademik

Kemampuan pra-akademik diindikasikan dengan adanya

kemampuan mengenal warna, bentuk, angka, huruf,

deskripsi orang, tempat, profesi, dan lain-lain. Di sini

dibutuhkan banyak alat peraga, untuk membantu anak autis

menggunakan kemampuan visualnya.

Cara mengajarkan harus melalui 4 tahap yang masing-

masing diajarkan melalui siklus DTT:

Langkah 1

a. Dudukan anak diatas kursi berhadapan dengan anda

dengan sebuah meja diantara anda dan anak.

Aturlah agar mata anda selevel dengan mata anak.

b. Mulaikah dengan kepatuhan dan KM, bila anak

mematuhinya jangan lupa memberikan imbalan.

c. Letakkan alat peraga merah ditengah-tengah meja

dengan hentakan cukup keras sehingga timbul suara

(untuk menarik perhatian anak) dan instruksikan

“pegang merah!”.
28

d. Lakukan beberapa kali sampai tercapai 3A berturut-

turut tanpa prompt.

e. Jangan lupa berikan imbalan.

Langkah 2

a. Kemudian letakkan alat peraga secara acak, dimulai

dengan tempat yang paling dekat dengan tangan

yang dipakai oleh anak.

b. Lanjutkan dengan memindahkan alat peraga secara

acak.

c. Lakukan beberapa kali, sampai tercapai 3A.

Langkah 3

a. Kemudian pakailah alat peraga pembanding di

sebelah peraga merah. Letakkan keduanya di

tengah-tengah meja dengan entakan keras. Warna

merah berada paling dekat denga tangan yang

dipakai anak.

b. Lakukan beberapa kali sampai tercapai 3A.

Langkah 4

a. Langkah terakhi, letakan kedua peraga secara acak,

warna merah diletakkan paling dekat dengan tangan

yang digunakan anak.

b. Kemudian acaklah kedua alat peraga, dengan

instruksi yang sama.


29

c. Lakukanlah beberapa kali, sampai tercapai 3A yaitu

keadaan dimana anda merasa yakin betul dengan

kemampuannya.

7) Mengajarkan Kemampuan Akademik

Perlu dipahami bahwa kemampuan akademik

seseorang sangat bergantung kepada tingkat IQ atau

kecerdasannya. Pada anak autis, secara statistik diketahui

jumlah anak yang memiliki IQ normal ke atas hanya sekitar

35% sisanya 65%, memiliki IQ di bawah normal. Di sisi

lain, kemampuan emosional atau EQ tampaknya sangat

berpengaruh dalam hal sosialisasi. Anak dengan EQ tinggi

akan lebih berhasil dalam hidupnya daripada anak dengan

IQ tinggi.

Cara mengajarkan kemampuan akademik:

a. Dudukan anak diatas kursi berhadapan dengan anda

dengan sebuah meja diantara anda dan anak.

Aturlah agar mata anda selevel dengan mata anak.

b. Mulaikah dengan kepatuhan dan KM, bila anak

mematuhinya jangan lupa memberikan imbalan.

c. Untuk matematika mulailah dengan mengajarkan

simbol angka, kemudian urutan angka dan akhirnya

ajarkan jumlah angka.


30

d. Simbol angka dan urutan angka diaajarkan dengan

cara empat langkah, sedangkan jumlah angka harus

diajarkan dengan cara mencocokkan simbol dengan

jumlahnya. Pakailah alat peraga simbol dan alat

peraga jumlah, misalnya lidi atau kancing.

e. Ingat, jangan terburu-buru dalam mengajarkan dan

berikan imbalan secara konsisten, agar semangat

anak tetap terjaga dan tidak mudah putus asa.

f. Mulailah dengan angka dua dan dua lidi atau

kancing, intruksikan “ Samakan!”.

g. Bila anak sudah menguasainya, tanyakanlah

“Berapa ini?”(Bila anak sudah bisa verbal).

h. Lakukan beberapa kali untuk berbagai angka,

sampai anak memiliki kemampuan yang mandiri.

Untuk mengajarkan huruf:

a. Mulailah dengan konsep huruf-huruf menurut

susunan abjad.

b. Kemudian ajarkan kata demi kata secara utuh,

dimulai dengan kata yang paling sederhana,

misalnya “Mama” dan “Papa”.

c. Sebaiknya anak tidak diajari mengeja, karena

mengeja kata akan menyulitkan anak-anak autis.


31

Apabila anak telah menguasai banyak kata, belajar

mengeja baru dapat dimulai.

d. Untuk mempermudah, mulailah dengan kata-kata

yang fungsional agar dapat segera di praktektek,

misalnya, “Buka” yang dapat digunakan dalam

bentuk imperatif “Buku Pintu!”. Dengan demikian

kita juga mengajarkan bahwa tiap kata mengandung

arti dan dapat digunakan untuk berkomunikasi

dengan orang lain.

8) Mengajarkan Kemampuan Membantu Diri (self help skiills)

Kemampuan membantu diri bertujuan untuk

memampukan anak hidup mandiri dalam melakukan

kegiatan rutin sehari-hari, yaitu makan, minum, mandi,

buang air besar, buang air kecil, memakai dan melepas

baju, memakai dan melepas kaos kaki, dan kegiatan-

kegiatan rutin harian lainnya. Di samping 7 kemampuan

membantu diri di bawah ini, dapat pula diajarkan

kemampuan keterampilan okupasional lainnya yang di

kemudian hari mungkin berguna untuk menjadi sumber

kehidupan hari mungkin berguna untuk menjdi sumber

kehidupan seorang anak seperti menyapu, mencuci

menyeterika, memasak, mengetik, menata tempat tidur,

memotong rumput, dan lain-lain. Tidak semua anak autis


32

memiliki kemampuan akademik yang tinggi, sehingga

semua keterampilan di atas dapat di pakai untuk hidup

mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Latihan

membantu diri harus dan penting untuk terus diajarkan dan

dibiasakan di rumah dalam kehidupan sehari-hari anak

sehingga proses generalisasi lingkungan, subjek, objek, dan

intruksi berjalan dengan tertib.

4. Tahap-tahap Pelaksanaan Terapi

Pada anak autis ada empat tingkatan komunikasi. Tingkat ini

tergatung pada kemampuan berinteraksi, cara berkomunikasi, dan

pemahaman anak. Keempat tahap tersebut sebagai berikut.

a. The Own Agenda Stage

Pada tahap ini anak biasanya tidak bergantung pada

orang lain, ingin melakukan sesuatu sendiri. Anak kurang

berinteraksi dengan orang tua dan hampir tidak pernah

berinteraksi dengan anak lainnya. Bermain dengan cara

yang tidak lazim. Anak juga membuat suara untuk

menenangkan diri, menangis, atau menjerit untuk

menyatakan protes. Anak suka tersenyum dan tertawa

sendiri. Anak pada tahap ini, hampir tidak mengerti kata-

kata yang kita ucapkan.

b. The Requester Stage


33

Pada tahap ini anak mulai dapat berinteraksi

walaupun hanya sedikit. Anak menggunakan suara atau

mengulang beberapa kata untuk menenangkan diri atau

memfokuskan diri. Anak meraih yang dia mau atau menarik

tangan orang lain bila menginginkan sesuatu. Apabila anak

di ajak bermain yang melibatkan kontak fisik, anak bisa

meminta anda untuk meneruskan permainan fisik dengan

melakukan kontak mata, senyum, gerak tubuh atau suara.

Anak kadan-kadang mengerti perintah keluarga dan tahap-

tahap kegiatan rutin di keluarga.

c. The Early Communicator Stage

Pada tahap ini anak dapat berinteraksi dengan orang

tua dan orang yang dikenal, anak ingin mengulang

permainan dan bisa bermain dalam jangka waktu lama.

Kadang-kadang anak merespon dengan mengulang kata

yang di ucapkan dan ia bisa meminta sesuatu menggunakan

gambar, gerak tubuh, atau kata. Anak pada tahap ini dapat

mengerti kalimat sederhana atau kalimat yang sering

digunakan, mengerti nama benda atau nama orang yang

sehari-hari ditemui, contoh ia dapat mengatakan”hai” dan

“dadah”, dapat menjawab pertanyaan dengan mengatakan

“ya atau tidak”.


34

d. The Partner Stage

Pada tahap yang paling tinggi ini, anak dapat

berinteraksi lebih lama dengan orang lain dan dapat

bermain dengan anak lain. Anak juga sudah dapat

menggunakan kata-kata atau metode lain dalam

berkomunikasi untuk meminta, protes, setuju, menarik

perhatian sesuatu, bertanya dan menjawab sesuatu.

Pada tahap ini anak sudah dapat membuat kalimat sendiri dan

melakukan percakapan pendek.kadang anak mengulangi perkataannya

atau membetulkan kata-kata yang diucapkannya apabila orang lain

tidak mengerti. Anak pada tahap ini sudah lebih banyak mengerti

perbendaharaan kata-kata.17

Adapun tahap-tahap pelaksanaan terapi wicara hampir sama

dengan psikoterapi, namun sesuai kebutuhan dari anak itu sendiri.

Setelah mengatahui tujuan terapi perlu mengetahui tahapan-tahapan

dalam terapi.

1. Wawancara

Terapis akan mengetahui keluhan atau permasalahan klien. Dalam

tahap ini perlu dikemukakan :

a. Aturan-aturan apa saja yang perlu diketahui oleh klien

b. Apa yang akan dilakukan oleh terapis

17
Retno Sintowati, 2007. Autisme. (PT Sunda Kelapa Pustaka), hal 20-21
35

c. Adanya persekutuan antara klien dengan terapis untuk

melawan masalah yang dihadapi klien

d. Perlu dibina rapport, yaitu hubungan yang menimbulkan

keyakinan dan kepercayaan klien bahwa ia akan dapat

ditolong. Tanpa ini klien akan lari sebelum mulai. Terapi

tidak akan berjalan seperti yang diharapkan.

e. Perlu dikembangkan komitmen klien untuk menjalankan

perannya sebagai klien.

f. Kontrak terapeutik, perlu pula dikemukakan

g. Persetujuan antara tugas klien dan tugas terapis kapan dan

dimana terapi dilakukan dan berapa lama.

h. Kemukakan tujuan yang akan dicapai oleh klien dalam

trapi. Apa yang dapat dijanjikan terapis dan apa yang

dapat diharapkan oleh klien.

i. Untuk menyakinkan klien perlu dikemukakan

keberhasilan yang telah dialami terapis untuk kasus-kasus

yang sama. Atau dapat dikemukakan hasil penelitian

tentang efektivitas pendekatan yang digunakan terapis.

Tugas terapis adalah memberikan perhatian penuh dan

mendengarkan dengan seksama apa yang diungkapkan oleh klien.

Tugas klien adalah menceritakan semuanya pada terapis. Jangan

sampai terbalik bahwa terapis yang banyak bicara dank lien yang

mendengarkan. Terapis banyak memberikan nasehat dan klien hanya


36

mendengarkan saja. Kalau sampai terjadi seperti ini berarti bukan

merupakan proses psikoterapi tetapi konsultasi.

2. Proses Terapi

Tahap kedua dari psikoterapi adalah proses terapi. Supaya terjadi

komunikasi yang mengalir dengan baik perlu dilakukan hal-hal

sbb:

a. Mengkaji pengalaman klien

b. Menggali pengalaman masa lalu

c. Mengkaji hubungan antara terapis dank lien saat ini dan di

sini.

d. Melakukan pengenalan, jenjelasan, dan pengartian

perasaan dan arti-arti pribadi pengalaman klien.

3. Pengertian ke Tindakan

Tahap ini dilakukan pada saat menjelang terapi berakhir.

Hal-hal yang perlu dilakukan terapis dan klien :

a. Disini terapis mengkaji bersama klien tentang apa yang

telah dipelajari klien selama terapi berlangsung.

b. Apa yang telah diketahui klien akan diterapkan dalam

kehidupannya nanti.

4. Mengakhiri Terapi

a. Terapi dapat diakhiri kalau tujuan telah tercapai. Atau

apabila klien tidak melanjutkan terapi.


37

b. Demikian juga terapis dapat mengakhiri terapi kalau ia

tidak dapat lagi menolong kliennya, karenan dirujuk.

c. Klien harus diberitahu beberapa waktu sebelum

pengakhiran terapi, hal ini penting karena klien akan

menghadapi lingkungannya nanti sendiri tapa bantuan

terapis.

d. Ketergantungannya kepada terapis selama ini sedikit-

sedikit harus dihilangkan dengan menumbuhkan

kemandirian klien.18

Terapi Wicara termasuk ke dalam macam-macam psikoterapi.

Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme yang dalam

pelaksanakannya harus melibatkan peran aktif dari orang tua.

Psikoterapi menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan non

verbal yang memungkinkan orang tua lebit mendekatkan diri kepada

anak autisme mereka yang lebih mengenal lagi berbagai kondisi anak

secara mendetail guna membantu proses penyembuhan anak.

Psikoterapi adalah suatu interaksi sistematis antara pasien dan

terapi yang menngunakan prinsip-prinsip psikologi untuk mengatasi

tingkah laku abnormal dan memecahkan masalah-masalah dalam

hidup dan berkembang sebagai seorang individu.19

18
Iin Tri Rahayu, 2009. Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer. ( UIN-
Malang Press. Hal 196,200,206-208)
19
Hembing Wijakusuma, 2004. Psikoterapi anak autisme, ( jakarta; pustaka populer
obor. Hal 3)
38

Menurut Jalaludin, psikologi adalah ilmu yang mempelajari

gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. Sementara

Robert H.Thouless, mendefenisikan psikologi secara umum sebagai

ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia.20

Menurut James P.Chaplin membagi pengertian psikoterapi

dalam 2 sudut pandang. Secara khusus psikoterapi di artikan sebagai

penerapan teknik khusus pada penyembuhan pengyakit mental atau

kesulitan penyesuaian diri setiap hari. Sedangkan secara luas,

psikoterapi mencakup penyembuhan lewat keyakinan agama melalui

melalui pembicaraan informal atau diskusi personal dengan guru atau

teman.21

Dari berbagai defenisi para ahli diatas maka dapat penulis

disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu tentang tingkah laku

manusia termasuk perasaan, sikap, dan proses mental, atau psikologi

adalah sebuah ilmu yang mempelajari sikap dan tingkah laku manusia

sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada

dibelakannya. Karena kejiwaan itu bersifat abstrak, untuk mempelajari

kehidupan kejiwaan seseorang hanya mungkin dilihat dari gejala yang

tampak, yaitu sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.

Adapun tujuan dari psikoterapi menurut Corey, merumuskan

tujuan psikoterapi pada usaha untuk memberikan rasa aman, bebas,

20
Noer Rahanab, 2013. Pengantar Psikologi Agama, ( yogyakarta; perpustakaan
nasional). hal 2
21
Iin Tri Rahayu, 2009. Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer. (UIN-
Malang Press. Hal. 192)
39

agar klien mengeksplorasi diri dengan enak, sehingga ia bisa

mengenai hal-hal yang mencegah pertumbuhannya dan bisa

mengalami aspek-aspek pada dirinya yang sebelumnya ditolak atau

terhambat. Tujuan psikoterapi dalam pandangan rogerian adalah

untuk memberikan jalan terhadap potensi yang dimiliki seseorang agar

menemukan sendiri arahnya secara wajar, menemukan dirinya sendiri

yang nyata atau ideal, mengekplotasi emosi yang majemuk, dan

memberi jalan bagi pertumbuhan dirinya yang unik.

Adapun tujuan lain dari psikoterapi adalah:

1. Mengubah gejala penyakit mental, yaitu dengan cara:

a. Menghilangkan gejala (symptom) yang ada.

Tujuan utama penyembuhan ialah menyingkirkan penderitaan

pasien dan menghilangkan kerusakan akibat negarif yang

disebabkan adanya gejala tersebut.

b. Mengubah gejala yang ada.

c. Menurunkan gejala yang ada.

2. Perbaikan tingkah laku yang rusak

Pada masa kini kita melihat kenyataan bahwa banyak

permasalahan emosional dalam bidang pekerjaan, pendidikan,

perkawinan, hubungan manusia dan kehidupan kemasyarakatan.

Hal ini merupakan rangsangan dan inspirasi untuk perluasan

penggunaan psikoterapi dalam bidang psikologis dalam hal ini ahli


40

psikoterapi mampu menjadi perantara dalam mekanisme perubahan

struktur watak individu.

3. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian yang

positif

Disini psikoterapi dapat membantu memecahkan rintangan

yang menghambat perkembangan psikososial individu agar dapat

mengembangkan atau mendewasakan dirinya secara kreatif,

bermakna, lebih produktif dan lebih bermanfaat dalam hubungan

dengan orang lain.

Adapun Macam-macam Terapi

1. Applied Behavior Analysis (ABA)

Terapi ini dilaksanakan melalui proses belajar. Terapi

perilaku ini bertujuan mengubah periku anak yang tidak

diinginkan. Pelaksanaan terapi perilaku ini sebagai berikut.

a. Mengurangi perilaku yang berlebihan seperti mengamuk,

agresif, melukai diri sendiri, berteriak-teriak, hiperaktif

tanpa tujuan dan perilaku lain yang tidak bermanfaat.

b. Memunculkan perilaku yang masih berkekurangan seperti

belum bisa berbicara, belum merespon apabila diajak

berbicara, kontak mata yang kurang, tidak mempunyai

inisiatif, tidak bisa berintekrasi wajar dengan lingkunga,

dan kurang mampu bersosialisasi.


41

2. Terapi sensori integrsi

Sensori integrasi adalah suatu proses neurologi yang terjadi

dalam susunan saraf pusat untuk mengatur informasi yang diterima

manusia dari tubuh dan lingkunagn sekitar. Informasi ini kemudian

diproses untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Anak-anak autis mempunyai disfungsi sensori integrasi

sehingga sensorinya tidak berfungsi normal. Adapun ciri-ciri anak

yang mempunyai disfungsi sensori sebgai berikut.

a. Area Taktil/Sentuhan

1) Tidak suka disentuh atau dipeluk.

2) Sering marah jika berada dalam kerumunan dan cenderung

mengisolir diri dari orang lain.

3) Tidak merasakan rasa sakit.

4) Tidak suka apabila dipotong kukunya.

5) Berjalan berjinjit.

6) Tidak mau menggosok gigi.

7) Menyukai makanan dengan tekstur tertentu.

b. Area Vestibular

1) Bersikap terlalu waspada atau cenderung ketakutan.

2) Tidak menyukai aktivitis-aktivitas di tempat bermain,

seperti berayun dan berputar.

3) Tidak bisa naik sepeda.

4) Takut naik tangga.


42

5) Selalu berputar-putar.

6) Meloncat-loncat.

7) Berayun sangat cepat dan dalam waktu yang lama.

8) Mudah jatuh.

c. Area Proprioceptive

1) Sering menabrak atau menendang sesuatu.

2) Menggingit atau menghisap jari.

3) Memukul.

4) Menggosokkan tangan pada meja.

5) Tidak bisa diam.

6) Kesulitan dalam naik turun tangga.

7) Kurang keras atau terlalu keras memegang pensil.

8) Cenderung ceroboh.

9) Menggunakan tenaga berlebihan dalam mengangkat.

10) Postur tubuh kurang baik.

11) Menyandarkan kepala pada lengan ketika sedang belajar.

12) Sering menggertakkan gigi.

Terapi sensori integrasi ini bertujuan memperbaiki cara

otak menerima, mengatur, dan memproses semua informasi yang

ditangkap oleh sensori dan diterima oleh pancaindra, khususnya

indra keseimbangan. Terapi ini dilakukan melalui aktivitas fisik

yang terarah sehingga menimbulkan respon yang adaptif dan


43

semakin kompleks. Dengan demikian efisiensi otak semakin

meningkat.

3. Terapi Wicara/Komunikasi

Pada umumnya anak autis cenderung pendiam. Namun ada

juga diantara mereka yang banyak bicara, tetapi jika didengarkan

dengan seksama akan diketahui bahwa yang mereka ucapkan hanya

semacam “igauan” saja, bukan kata bermakna. Mereka hanya

mampu mengulang-ulang kata atau membeo. Apalagi mereka

belum pernah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus. Kondisi

ini tentu meprihatinkan apalgi komunikasi merupakan kunci

pertama untuk menjalin interaksi sosial. Selain itu, komunikasi juga

merupakan cara mengungkapkan rasa, cipta dan karsanya.

Oleh karena itu terapi wicara atau komunikasi perlu

dilakukan. Terapi ini sebagai metode pembelajaran bahasa yang

meliputi bahasa lisan dan bahasa tulis. Keberhasilan terapi ini dapat

dilihat dari kemampuannya mengemukakan pengetahuan yang

telah diserapnya melalui bahasa lisan atau bahasa tulis.

4. Terapi Visual

Terapi visual biasanya dilakukan secara bersamaan dengan

terapi komunikasi. Hal ini karena sebagian besar anak autis mampu

belajar komunikasi dengan baik apabila menggunakan visual

(penglihatan). Komunikasi menggunakan visualisasi ini

mempunyai beberapa kelebihan di antaranya sebagai berikut.


44

a. Anak bisa berkonsentrasi dalam berkomunikasi.

b. Anak lebih bisa menyerap dan menerima informasi lebih

lama.

c. Anak bisa mengerti pilihan.

d. Anak bisa memahami hal-hal yang akan dilakukan.

5. Terapi Bermain

Terapai bermain diberikan pada anak autis untuk

memperkaya kemampuan merek. Terapi ini banyak mengandung

unsur bersenang-senang. Akan tetapi , cara bermain untuk anak

autis berbeda dengan cara bermain anak normal. Permainan yang

diberikan harus memperhatikan tingkat kecerdasan anak.

Bermain bagi anak merupakan kegiatan yang

menyenangkan tanpa pernah memperhatikan hasil akhir. Dengan

bermain, anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual,

emosi, dan sosial. Selain itu, secara tidak langsung anak bisa

melatih kekuatan, keseimbangan, dan melatih kemampuan

motoriknya. Terapi bermain ini juga dapat sebagai wahana

melepaskan anak dari energi yang berlebihan yang dapat

merugikan diri sendiri dan terapi bermain ini juga berguna untuk

mengacu pada karakteristik anak.

6. Terapi Musik

Musik mempunyai pengaruh pada kehidupan manusia,

mulai dari bayi hingga menjadi dewasa. Penelitian membuktikan


45

bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi

perkembangan IQ (Intelegent Quotien) dan EQ (Emosional

Quotien) manusia.

Oleh karena itu, terapi musik untuk anak autis bertujuan

untuk mempengaruhi perkembang dan pertumbuhan psikomotorik

dan fisiomotorik secara optimum. Musik yang digunakan untuk

terapi harus memperhatikan karakteristik anak.

7. Melakukan Diet CFGF (Casein Free Gluten Free)

Dari penelitian, dikatakan bahwa salah satu penyebab autis

pada anak adalah keracunan logam berat seperyi merkuri.

Keracunan logam berat ini dapat mengakibatkan daya tahan tubuh

menurun, sehingga anak autis mudah sakit.

Oleh para ahli Diet CFGF diyakini dapat memperbaiki

gangguan pencernaan serta bisa mengurangi gejala atau tingkah

laku autistik. Gluten ini merupakan protein yang berasal dari

gandum-ganduman seperti terigu, kasein merupakan protein yang

berasal dari susu sapi. Glutein dan kasein sulit dicerna. Jadi, anak

autis harus menghindari olahan berbahan dasar kedua protein

tersebut.

8. Terapi Biomedis

Terapi biomedis dapat menggunakan obat, vitamin, maupun

suplemen yang aman bagi anak autis. Terapi biomedis ini dapat

dilakukan apabila sudah melakukan uji laboratorium seperti yang


46

telah dipaparkan di diet CFGF dan terapi ini dapat dilakukan

beriringan dengan terapi diet CFGF.22

Dari berbagai macam-macam jenis terapi penulis

berpendapat bahwa semuanya sangat ketergantungan dan harus

dilaksanakan semuanya terhadap anak autis, namun disini peneliti

lebih tertarik kepada terapi wicara atau komunikasi karena dalam

terapi ini seorang terapis profesional akan bekerja pada prinsip

dimana ia memfokuskan perhatian mereka untuk membantu anak

autis agar lebih baik dalam menggunakan bahasa atau

berkomunikasi dengan orang lain karena bisa kita lihat sendiri

komunikasi dan berbahasa sangat di perlukan dalam kehidupan

untuk menunjang pendekatan sosial sesorang dan itupun juga

diperlukan oleh anak autis.

B. Autisme

1. Pengertian Autisme

Autisme adalah suatu gangguan yang umumnya dimulai dan

dialami oleh seseorang pada masa kana-kanak (sering disebut infantil

autism. Autisme pertama kali ditemukan oleh Kanner pada tahun

1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai sebagai

ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan

berbahasa yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda,

echolalia, mutest, pembelian kalimat, adanya aktivitas bermain yang

22
Retno Sintowati, 2007. Autisme. (PT Sunda Kelapa Pustaka hal 17-38)
47

repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif

untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Autisme digolongkan sebagai gangguan perkembangan

pervasif (pervasive developmental disorders), karena banyak segi

perkembangan psikologi dasar anak yang terganggu berat secara

bersamaan seperti fungsi kognitif, emosi dan psikomotorik anak.

Autisme juga disebut sebagai gangguan neurobiologist yang disertai

dengan beberapa masalah, seperti automunitas, gangguan pencernaan,

dysbiosis pada usus, gangguan sensori integrasi, dan

ketidakseimbangan susunan asam amino. Oleh karena sifatnya yang

pervasive dan terjadi pada saat anak masih balita, maka penanganan

autisme harus dilakukan secara cepat, tepat, komprehensif, dan

berkelanjutan dengan melibatkan beragam disiplin keilmuan.23

Secara etimologis kata autisme berasal dari kata “auto” dan

“isme”. Auto artinya diri sendiri, sedangkan isme berarti suatu aliran

atau paham. Dengan demikian autisme diartikan sebagai suatu paham

yang hanya tertarik pada dunianya sendiri. Perilakunya timbul semata-

mata karena dorongan dari dalam dirinya penyandang autisme seakan-

akan tidak peduli dengan stimulus-stimulus yang datang dari orang

lain.

Menurut Sutadi, dalam dalam buku ini menjelaskan bahwa

autistik adalah gangguan perkembangan neorobiologis berat yang

23
Setiati Widihastuti, 2009. Pola Pendidikan Anak Autis, (Yogyakarta;Perpustakaan
Nasional hal 15)
48

mempengaruhi cara seseorang untuk berkominikasi dan berelasi

(berhubungan) dengan orang lain. Memiliki gangguan pada interaksi

sosial dan berkomunikasi.24

Dari beberapa pendapat diatas dapat penulis simpulkan

autisme adalah gangguan perkembangan pada otak anak yang

mempengaruhi keterlambatan perkembangan anak, ia memiliki

dunianya sendiri dan anak penyandang autis ini tidak dapat

berhubungan dengan orang disekitarnya, serta terganggunya

dikarenakan ketidakmampuannya dalam berkomunikasi sehingga

mereka tidak dapat berintekrasi sosial dengan lingkungan sekitarnya.

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak

yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam

bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.

Dengan adanya metode diagnosis yang semakin berkembang, jumlah

penderita autisme semakin mengkhawatirkan, karena sampai saat ini

penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan di

antara para ahli dan dokter didunia. Autisme adalah gangguan yang

dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih belum

ditemukan kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor

risikonya. Dalam keaadaan sepeti ini, strategi pencegahan yang

24
Yosfan Azwandi, 2005. Mengenal dan Membantu Penyandang Autisme (Jakarta; hal
14-15)
49

dilakukan belum optimal. Saat ini tujuan pencegahan hanya bertujuan

mencegah agar gangguan yang terjadi tidak menjadi lebih berat.25

Autis atau autisme adalah salah satu dari lima tipe gangguan

perkembangan pervasif atau PDD (pervasive developmental disorder),

yang ditandai tampilnya abnormalitas pada domain interaksi sosial

dan komunikasi. Autisme merupakan tipe yang paling popular dari

PDD. Autisme mengacu pada problem dengan interaksi sosial,

komunikasi, dan bermain imajinatif yang mulai muncul sejak anak

berusia di bawah 3 tahun. Mereka mempunyai keterbatasan pada level

aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis pun mengalami

beberapa derajat retardasi mental.26

Monks dkk, mengungkapkan bahwa autisme berasal dari kata

autos yang berarti aku. Pada pengertian nonilmiah kata tersebut dapat

ditafsirkan bahwa semua anak yang mengarah pada dirinya sendiri di

sebut dengan autisme.

Sementara itu, Berk menganrtikan autisme dengan istilah

absorbed in the self atau keasyikan dalam dirinya sendiri. Sementara

Wall mengartiakan autisme sebagai aloof atau withdrawn, yang mana

anak-anak dengan gangguan autisme ini tidak tertarik dengan dunia di

sekelilingnya. Kemudian, Tilton mengungkapkan bahwa pemberian

25
Dr. Retno Sintowati, 2009. Autisme (Jakarta Selatan PT Sunda Kelapa), hal 1
26
Andri Priyatna, 2010, Amazing Autisme (Jakarta; PT Gramedia, IKAPI), hal 2
50

nama autisme karena hal ini diyakini dari “keasyikan yang

berlebihan” dalam dirinya sendiri.27

Berdasarkan berbagai arti tersebut, autisme secara sederhana

dapat di simpulkan bahwa anak autis memiliki sikap anak yang

cenderung suka menyendiri karena terlalu asyik dengan dunianya

sendiri. Dengan kata lain, anak dengan gangguan autisme adalah anak

yang sibuk dengan urusannya sendiri ketimbang bersosialisasi dengan

orang lain di sekitarnya.

Autisme merupakan gangguan jiwa pada anak yang

menyebabkan anak nyaman dengan dunianya sendiri tanpa

menghiraukanorang lain.28

Autis merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu

saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak, diagnosisnya

diketahui dari gajala-gejala yang tampak dan ditunjukan dengan

adanya penyimpangan perkembangan.29

Dari beberapa pengertian autisme yang dikemukakan oleh para

pakar diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa autisme adalah kategori

ketidakmampuan yang ditandai dengan adanya gangguan dalam

komunikasi, interaksi sosial dan perilaku emosi. Anak autisme hanya

memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri, dan adanya

27
Novan Ardy Wiyani, M.Pd.I, 2014, Penanganan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus
(yogyakarta: Perpustakaan Nasional KDT), hal 187
28
Handojo Y, Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal,
Autis dan Perilaku Lain, (Jakarta:Bhuana Ilmu Populer, 2003), h.3
29
Prasetyono D.S, Serba Serbi Anak Autis (autisme dan gannguan psikologi lainnya),
(yogyakarta:diva press,2008), h.11
51

pengulangan tingkah laku serta memiliki kecenderungan hidup dalam

dunianya sendiri sehingga hubungannya dengan orang lain terganggu.

Autisme terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran dengan

jumlah penderita laki-laki empat kali lebih besar dibandingkan dengan

penderita perempuan, namun jika perempuan penderitanya maka akan

lebih parah dibandingkan dengan laki-laki. Gangguan autis ditandai

dengan 3 tiga gangguan utama.

a. Gangguan interaksi sosial

b. Gangguan komunikasi

c. Gangguan perilaku

Dari ketiga gangguan tersebut, yang terpenting untuk ditangani

terlebih dahulu ialah gangguan interaksi sosial, jika gangguan

interaksi sosial anak autisme membaik maka gangguan komunikasi

dan gangguan perilaku akan membaik pula.30 Di tinjau dari segi

perilaku, anak-anak penderita autisme cenderung untuk melukai

dirinya sendiri, tidak percaya diri, bersikap agresif, menanggapi secara

kurang atau berlebihan terhadap stimulus sksternal, dan menggerak-

gerakan anggota tubuhnya secara tidak wajar.31

2. Ciri-ciri autisme

Gangguan autisme merupakan masalah perkembangan anak

yang amat kompleks, autisme ditandai oleh tiga ciri utama yaitu:

30
Novan Ardy Wiyani, M.Pd.I, 2014, Penanganan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus
(yogyakarta: Perpustakaan Nasional KDT hal 188)
31
Mirza maulana, Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas
dan Sehat,(yogyakarta:kata hati, 2007), h.13
52

a. Kesulitan dalam interaksi dengan orang lain

b. Hambatan dalam berbicara dan berkomunikasi

c. Tingkah laku repetitive dan minat yang sempit

d. Gangguan tingkah laku

e. Kelekatan pada benda-benda

f. Masalah sensorik

g. Perkembangan yang tidak seimbang

h. Kemunculan pada masa bayi atau kanak-kanak32

Munculnya ciri-ciri autisme pada setiap anak berbeda karena

kompleksnya gangguan perkembangan ini. Sebagian anak punya

banyak ciri yang kelihatan nyata, sementara yang lainnya

menunjukkan beberapa ciri yang tidak terlalu kentara.

Menurut Handojo dalam Galih A Veskariyanti penyandang

autisme mempunyai karakteristik antara lain:

a. Selektif berlebihan terhadap rangsangan

b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru

c. Respon stimulus diri sehingga mengganggu interaksi

sosial

d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement), khususnya

imbalan dari stimulus diri.33

32
Adriana S. Ginanjar, Panduan Praktis Mendidik Anak Autis Menjadi Orang Tua
Istimewa, (jakarta: Dian Rakyat, 2008,) h. 23
33
Galih A Veskarisyanti, 12 Tempi Autis Paling Efektif dan Hemat Untuk Autisme,
Hiperaktif Retardasi Mental. (Yogyakarta Pustaka Anggrek, 2008), h. 12
53

Dari kutipan di atas bahwa ciri-ciri tidak hanya memiliki

ketidakmampuan dalam komunikasi tapi anak autisme selektif

terhadap ransangan yang diterima oleh anak autisme terhadap orang

lain.

Anak-anak penyandang autisme sering tampak normal

perkembangannya sampai usia 3 tahun, yaitu kegagalan dalam

perkembangannya sampai usia 24-30 bulan, sebelum orangtua mereka

menyadari adanya gangguan dalam perkembangan anaknya, yaitu

dalam interaksional, komunikasi dan bermain.34 Jadi dapat diketahui

anak autisme awal terjadi pada usia 3 tahun pada umumnya.

Menurut Sri Utami Soedarsono, dalam Mirza Maulana

penyandang autisme memeiliki karakteristik/gejala dalam hal :

a. Komunikasi

1) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak

2) Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah

berbicara tapi kemudian sirna.

3) Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya

4) Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang

tak dapat dimengerti orang lain

5) Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi

6) Senang meniru atau membeo (echolalia)

34
Aris Sudiyanto, Gangguan Perkembangan Anak Autis Seminar Ehari Diagnosa dan
Intervensi Serta Peran Ortu Dalam Menangani Autis, (surakarta:RS. Dr.oen, 2001), h. 3
54

7) Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau

nyanyia tersebut tanpa mengerti artinya

8) Sebagian dari anak ini tidak berbicara (non verbal) atau

sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa

9) Senang menarik-narik tangan orang lainuntuk melakukan

apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta

sesuatu.

b. Interaksi sosial

1) Penyandang autistik lebih suka menyendiri

2) Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar

untuk bertatap

3) Tidak tertarik untuk bermain bersama teman

4) Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh

c. Gangguang sensoris

1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka

dipeluk

2) Mendengar suara keras langsung menutup telinga

3) Senang mencium-cium, menjilat maianan atau benda-

benda

4) Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut

d. Pola bermain

1) Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya


55

2) Tidak suka bermain dengan anak-anak sebaya

3) Tidak kreatif, tidak imajinatif

4) Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda

dibalik lalu rodanya di putar-putar senang akan benda-

benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda

5) Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang

dipegang terus dan dibawa ke mana-mana

e. Perilaku

1) Mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar

2) Mendekatkan mata kepesawat TV. Lari atau berjalan

bolak balik

3) Melakukan gerakan yang diulang-ulang

4) Tidak suka pada perubahan

5) Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong

f. Emosi

1) Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa,

menangis tanpa alasan

2) Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang

atau tidak diberikan keinginannya

3) Kadang suka menyerang dan merusak

4) Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya

sendiri
56

5) Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan

orang lain35

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri anak

autisme diantaranya memiliki gangguan perkembangan dalam hal

berkomunikasi , interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain,

perilaku, emosi.

Dalam menentukan keautismean seorang anak harus ada

sedikit 6 gejala dari 1, 2, dan 3, dengan minimal 2 gejala dari 1 dan

masing-masing 1 gejala dari 2 dan 3.

a. Gangguan kualitatif dal interaksi sosial yang tibal balik.

Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala di bawah ini:

1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup

memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka

kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju

2) Tidak bisa bermain dengan teman sebaya

3) Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain

4) Kurang hubungan sosial dan emosional yang tibal balik

b. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seprti ditunjukan

oleh minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini:

1) Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak

berkembang (dan tak ada usaha untuk mengimbangi

komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)

35
Mirza maulana, Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas
dan Sehat,(yogyakarta:kata hati, 2007), h.15
57

2) Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk

komunikasi

3) Sering mengguanakan bahasa yang aneh dan diulang-

ulang

4) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan

kurang bisa meniru

c. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku

minat dan kegiatan. Setidaknya harus ada satu dari gejala di

bawah ini :

1) Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara

yang sangat khas dan berlebih-lebihan

2) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau

ritunitis yang tak ada gunanya

3) Ada gerakan-gerakan yang anehyang khas dan diulang-

ulang

4) Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.36

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri anak

autisme diantaranya ada beberapa gangguan yaitu gangguan kualitatif

dalam interaksi sosial yang timbal balik, gangguan kualitatif dalam

bidang komunikasi, suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang

dari perilaku minat dan kegiatan.

36
Handojo. Y, Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal
Autis dan Perilaku Lain(Jakarta: Bhuana Ilmu Popular,2003), h.17
58

3. Faktor-faktor penyebab autisme

Menurut Y Handojo, sampai sekarang belum terdeteksi faktor

yang menjadi penyebab utama timbulnya gangguan autisme. Namun

demikian ada beberapa faktor yang dimungkinkan dapat menjadi

penyebab timbulnya autisme, berikut:

a. Menurut Teori Psikososial

Menurut Kanner dan Bruno Bettelhem autisme

dianggap sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab

antara orangtua(ibu) dan anak. Demikian juga apabila orang tua

emosianal, obsesif, tidak hangat, bahkan dingin dapat

menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.

b. Teori Biologis

1) Faktor genetik: keluarga yang terdapat anak autisme

memiliki resiko lebih tinggi dibanding populasi

keluarga normal.

2) Pranatal, natal dam post natal yaitu: pendarahan pada

kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi terlambat,

gangguan pernafasan, anemia

3) Neuro anatomi yaitu: gangguan disfungsi pada sel-sel

otak selama dalam kandungan yang mungkin

disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi,

pendarahan atau infeksi.


59

4) Struktur dan biokimiawi yaitu: kelainan pada

cerebellum dengan sel-sel parkinje yang jumlahnya

terlalu sedikit, padahal sel-sel parkinje mempunyai

kandungan serotinin yang tinggi

5) Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan

dopamin atau opioid dalam darah

c. Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang tinggal

dekat tambang batu bara, dan sebagainya.

d. Gangguan pencernaaan, pendengaran dan penglihatan. Menurut

data yang ada 60% anak autistik mempunyai sistem pencernaan

kurang sempurna. Dan kemungkinan timbulnya gejala autisme

karena adanya gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.37

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab

autisme adalah hubungan yang kaku dan dingin, adanya faktor gen

dan faktor pada waktu dalam kandungan, keracuna logam berat

gangguang pencernaan, pendengaran, dan penglihatan.

Penyebab autisme adalah gangguan perkembangan pada anak

yang disebabkan oleh gangguan pada fungsi susunan otak. Penyebab

utama dari gangguan ini hingga saat ini masih terus diselidiki oleh

para ahli meskipun beberapa penyebab seperti keracunan logam berat,

37
Handojo. Y, Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal
Autis dan Perilaku Lain (Jakarta: Bhuana Ilmu Popular,2003), h.6
60

genetik, vaksinasi populasi, komplikasi sebelum dan sesudah

melahirkan disebut memiliki andil dalam terjadinya autisme.38

Penyebab autisme dan diagnosa medisnya adalah:

a. Konsumsi obat pada ibu menyusui

Obat migrain, seperti ergot obat ini mempunyai efek samping yang

buruk pada bayi dan mengurangi jumlah ASI.

b. Gangguan susunan saraf pusat

Di dalam otak anak autisme ditemukan adanya kelainan pada

susunan saraf pusat di beberapa tempat.

c. Gangguang metabolisme (sistem pencernaan)

Adanya hubungan antara gangguan pencernaan dengan gejala

autisme. Suntikan sekretin dapat membantu gangguang pencernaan.

d. Peradangan dinding usus

Sejumlah anak penderita gangguan autisme, umumnya memiliki

pencernaan buruk dan ditemukan adanya pandangan usus

peradangan tersebut diduga disebabkan oleh virus.

e. Faktor genetika

Gejala autisme pada anak disebabkan oleh faktor keturunan.

Setidak-tidaknya telah ditemukan dua puluh gen yang terkait

dengan autisme. Akan tetapi, gejala autisme baru bisa muncul jika

terjadi kombinasi banyak gen.

38
Gayatri Pamodji, Seputar Autisme (Jakarta: Gramedia, 2007). h 3
61

f. Keracunan logam berat

Keracuana logam berat penyebab autisme karena adanya sekresi

logam berat dari tubuh terganggu secara genetik. Beberapa logam

berat, seperti arsetik (As), antimon (Sb), cadmium (Cd), air raksa

(Hg), dan timbal (Pb) adalah racun yang sangat kuat.39

Dan pendapat diatas dapat diketahui bahwa autisme

disebabkan oleh konsumsi obat pada ibu menyusui, gangguan susunan

saraf pusat, gangguan metabolisme, peradangan dinding usus, faktor

genetik, dan keracunan logam berat.

Menurut John W. Santrock autisme disebabkan oleh beberapa

bentuk disfungsi otak organik dan dapat juga karena faktor keturunan.

Belum ada bukti yang memuaskan yang membuktikan bahwa

sosialisasi kelurga merupakan penyebab autisme.40 Jadi, penyebab

sosialisasi keluarga yang menyebabkan kaautisan pada anak tidajk

dapat sepenuhnya dibuktikan.

Para ahli menduga bahwa penyebab yang mendasari autisme

berasal dari kerusakan gen atau pengaruh racun terhadap bayi dalam

kandungan.41

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab

autisme begitu beragam seperti konsumsi obat pada ibu menyusui,

39
Prasetyono ,Serba Serbi Anak Autis (autisme dan gannguan psikologi lainnya),
(Yogyakarta:Diva press,2008), h.69
40
John W. Santrock, Perkembangan Masa Hidup (Jakarta: Erlangga, 2002). Jil ke 1. H
214
41
Jeffrey S Novid dkk, Psikologi Abnormal edisi 5, (Jakarta:Erlangga, 2002), jil ke 2, h
147
62

gangguan susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, peradangan

dinding usus, faktor genetik, dan keracunan logam berat.

Konseling Populasi Khusus

Dalam konseling ada membahas permasalah-permasalahan

khusus tentang anak jalanan, anak punk, dll, dan salah satu

pembahasannya adalah tentang anak autis yang sering disebut dengan

konseling populasi khusus. Konseling populasi khusus adalah proses

pemberian bantuan yang dilakukan oleh konselor kepada konseli

(individu atau kelompok) yang mengalami suatu masalah dengan ciri-

ciri yang sama dan menempati ruang yang sama pada waktu tertentu

secara khusus sehingga konseli memperoleh pemahaman yang lebih

tentang dirinya, lingkungannya, dan masalahnya. Serta yang mampu

memecahkan masalah yang dihadapinya dengan mampu mengarahkan

potensi yang optimal dan kemudian dapat mencapai kebahagiaan

dalam hidupnya.

Adapun tujuan dari konseling populasi khusus

Tujuan umum:

Dari kegiatan konseling ini ialah untuk membantu konseli

dalam mencapai suatu kondisi yang normal dari suatu perilaku

yang negatif dan mengembalikan diri seseorang dari jiwa yang

tertekan menjadi jiwa yang sehat dalam menjalani kehidupan

dalam bermasyarakat maupun menjalani proses pembelajaran.

Tujuan khusus:
63

- membantu konseli menghilangkan pandangan negatif tentang

sesuatu

- kemampuan berfikir secara rasional

- Menumbuhkan rasa percaya diri

- membangkitkan motivasi dalam hidup untuk menjadi lebih

baik.

Perbedaan konseling biasa dengan konseling populasi khusus

1) Konseling biasa adalah subjek yang mendapatkan pelayanan

bisa satu orang, ataupun lebih, bisa dalam beberapa kelompok,

misalnya rehabilitasi pengguna narkoba, traumatik, dll. Tidak

terfokus hanya pada satu problem saja, karena problematikanya

heterogen.

2) Konseling khusus adalah subjek pasti lebih dari 2 orang

(keseluruhan dari subjek atau konseli) fokus permasalahan yang

dihadapi atau dinamika konseli adalah yang sama42

Jadi dapat penulis simpulkan pengertian komseling populasi

khusus adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh

konselor kepada konseli ( individu atau kelompok) yang mengalami

suatu masalah dengan ciri-ciri yang sama dan menempati ruang yang

sama pada waktu tertentu secara khusus sehingga konseli memperoleh

pemahaman yang lebih tentang dirinya, lingkungannya dan

masalahnya. Serta mampu memecahkan masalah yang dihadapinya

42
http://bksolusinya.blogspot.co.id/2014/04/konseling-populasi-khusus.html?m=1
diakses kamis 23 nopember 2017 jam 11.30
64

dengan mampu mengarahkan potensi yang dimiliki kearah

perkembangan yang optimal dan kemudian dapat mencapai

kebahagiaan dalam hidupnya.


65

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan atau kancah (Field

Research) yang bersifat kualitatif dengan metode deskriptif, yaitu dengan

menggambarkan kejadian yang terjadi di lapangan sesuai dengan data dan

informasi yang diperoleh atau peneliti berusaha mengumpulkan data-data,

menyajikan data dan menganalisis data, menggambarkan pemecahan masalah

yang ada.43

Jenis penelitian ini pada hakikatnya adalah mengamati orang dalam

lingkungan hidupnya, dan berinteraksi dengan mereka. Melalui penelitian

dengan mempergunakan metode deskriptif, akan diperoleh pemahaman dan

penafsiran secara mendalam mengenai makna dari kenyataan dan fakta yang

relevan. Pertimbangan lain dipilihnya metode ini adalah fakta atau

permasalahan yang ditemukan lebih tepat bila dipecahkan dengan metode

kualitatif. Karena permasalahan yang di angkat yaitu tentang pelaksanaan

terapi wicara terhadap anak autis di SLB Autisma Permata Bunda.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SLB Autisma Permata Bunda yang

bertempat di Birugo Bukittinggi termasuk salah satu sekolah autisme di

Bukittinggi yang mana siswanya diterapi sesuai kebutuhan untuk dirinya agar

ia mampu tampil di masyarakat seperti orang normal lainnya.

43
Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Proses, (Jakarta: Rineka
Cipta: 1998) hal 245
66

Siswa di sekolah ini tidak hanya berasal dari lingkungan sekolah tetapi juga

dari berbagai daerah luar bukittinggi. Di sekolah inipun telah banyak

menjadikan siswa tamatan berhasil melanjutkan pendidikannya di sekolah

umum dan bergabung dengan masyarat lain atau sudah dapat bersosialisasi

dengan lingkungan sekitarnya. Di sekolah inilah penulis menemukan

permasalahan yang perlu untuk dibahas dan perlu pemecahan masalahnnya

secara ilmiah, yaitu pelaksanaan terapi wicara terhadap anak autis di SLB

Autisma Permata Bunda.

C. Informan Penelitian

Yaitu orang-orang yang untuk memberi informasi tentang situasi dan

kondisi latar belakang penelitian.Adapun yang dijadikan sebagai informan

kunci dalam penelitian ini adalah guru yang melaksanakan terapi. Sedangkan

yang menjadi informan pendukung dalam penelitian ini adalah orangtua.

D. Teknik Pengumpulan Data

Setelah menentukan subyek penelitian, untuk mendapatkan data yang

cukup dan sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, maka penulis

menggunakan beberapa metode pengumpulan data yang mana satu sama

lainnya saling melengkapi, metode tersebut antara lain:


67

1. Observasi

Metode observasi adalah metode atau cara-cara menganalisis dan

mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan

melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung.44

Jadi penelitian akan mencatat perilaku serta kejadian sebagaimana

yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya. Penggunaan metode ini di

maksudkan untuk memperoleh data tentang gambaran umum dari dari

siswa yang melaksanakan terapi di sekolah SLB autisma permata bunda

birugo bukittinggi, serta untuk mengetahui secara langsung jalannya

proses pemberian terapi kepada siswa.

2. Wawancara

Wawancara merupakan alat pengumpul informasi dengan cara

mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk di jawab secara lisan

pula. Ciri utama wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka

antara pencari informasi dengan sumber informasi.45

Maksud wawancara seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan

Guba adalah menkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi,

perasaan, motivasi, tututan, kepedulian, dan lain-lain.46 Wawancara yang

digunakan yakni wawancara secara langsung kepada informan. Metode

wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data dari subyek penelitian

44
Husaini Usman Dan Purnomo Setiadi Akbar, Metode Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), hal. 54.
45
Nurul Zuriah, Metodelogi Penelitian Sosial Dan Pendidikan Teori-Aplikasi, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2006), hal. 179.
46
Lexy. J . Meleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2004), hal. 186.
68

yakni kepada siswa yang mengikuti terapi wicara di SLB Autisma

Permata Bunda. Sebelum melakukan metode ini sebaiknya

mempersiapkan pedoman wawancara terlebih dahulu agar wawancara

dapat terarah dan berjalan sesuai dengan yang telah di rencanakan.

3. Dokumentasi

Metode ini merupakan suatu cara pengumpulan data yang

menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap.47

Dengan penelitian yang mengunakan dokumentasi, peneliti akan

mendapatkan suatu penjelasan yang lebih akurat. Penelitian ini

menggunakan dokumentasi seperti dokumentasi kegiatan anak,

dokumentasi pada saat terapi.

E. Teknik Pengolahan Data

Data merupakan gambaran atau keterangan atau cacatan tentang

keadaan sesuatu. Data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan

bermacam-macam teknik pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan

secara terus menerus sampai datanya penuh. Pengumpulan data dapat

dilakukan dengan observasi dan wawancara.

Setelah data terkumpul, kemudian penulis mengolah data dengan

menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif, maksudnya data yang

diperoleh dituangkan tidak dalam bentuk bilangan atau angka statistik,

melainkan tetap dalam bentuk kualitatif, yaitu penelitian yang mementingkan

47
Basrowi, Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), hal.158
69

pengkajian isi dengan tujuan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam

objek penelitian.

F. Analisis Data

1. Analisis selama di lapangan

a. Data Reduction (reduksi data)

Meredusi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang

pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan

polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang

telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan

mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

b. Data Display (penyajian data)

Setelah data direduksi atau dirangkum, maka langkah

selanjutnya adalah penyajian data. Penyajian data bisa dilakukan

dalam bentuk uraian singkat, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.

Yang paling sering digunakan untuk penyajian data dalam penelitian

kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan

mendisplaykan data, maka akan mempermudah untuk memahami apa

yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang

telah dipahami tersebut.

c. Conclusion Drawing/ Verifikation

Langkah ketiga dalam analisis data adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih


70

bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti

yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal

didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti

kembali kelapangan mengumpulkan data-data, maka kesimpulan yang

dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan

dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan

baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa

deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya belum jelas

sehingga setelah diteliti menjadi jelas.48

G. Metode Keabsahan Data


Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

triangulasi. Triangulasi data berusaha untuk mengecek kebenaran data yang

telah dikumpulkan dan berusaha untuk mengecek kebenaran data tertentu

dengan data yang diperoleh dari sumber lain. Moleong menyebutkan definisi

triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data itu.

Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi

sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara

mengecek data dan membandingkan dengan sumber data yaitu lisan

48
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Alfabeta, 2009), hal 336
71

(informan) dan perbuatan (peristiwa). Sedangkan untuk triangulasi metode

ada dua strategi, yaitu:

a. Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan

beberapa teknik pengumpulan data

b. Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan

menggunakan metode yang sama.


72

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Temuan Umum

Pada pembahasan ini penulis akan memaparkan hasil penelitian

penulis tentang profil sekolah SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi

secara umum yang mencakup ke dalam beberapa pembahasan,

diantaranya:

1. Latar Belakang Berdirinya SLB Autisma Permata Bunda

Sekolah SLB Autisma Permata Bunda ini didirikan bertujuan

untuk ikut mengusahakan pembangunan dan pengembangan

masyarakat sektor ekonomi kecil, yang mana sekolah ini bergerak

dalam bidang sosial dan kemanusiaan secara nirlaba dan mandiri.

Secara kelembagaan, sekolah SLB Autisma Permata Bunda didirikan

dengan akta notaris Husna, SH dengan akta No. 7 tanggal 2 agustus

2003, berdasarkan pasal 1 dalam anggaran dasar mengenai nama dan

tempat kedudukan , sekolah SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi

mempunyai perwakilan atau cabang-cabang di tempat lain yang

ditetapkan oleh badan pengurus. Sejak berdirinya SLB Autisma

Permata Bunda Bukittinggi mempunyai Visi “Pengembangan potensi

siswa menuju kemandirian yang bermanfaat”, sedangkan Misi dari

sekolah ini adalah sebagai berikut:49

49
Tata Usaha SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi
73

1. Menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada tuhan yang maha

esa.

2. Mengembangkan pengetahuan, sikap dan psikomotor peserta didik.

3. Menanamkan konsep diri yang positif agar dapat beradaptasi dan

diterima dalam masyarakat.

4. Meningkatkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan.

5. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk peningkatan

keprofesionalan guru dan kemajuan peserta didik.

6. Mengoptimalkan layanan sesuai dengan potensi, minat dan bakat

individu.

Adapun tujuan sekolah SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi

sebagai berikut:

1. Melayani anak berkebutuhan khusus, kesulitan belajar, termasuk

didalamnya kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca,

menulis, berbahasa, dan matematika.

2. Melayani terapi untuk anak autisma.

3. Untuk menormalisasi tingkah laku dan sosialisasi anak

berkebutuhan khusus.

4. Menanamkan nilai-nilai moral untuk membentuk karakter dan

terwujudnya pengalaman agama berdasarkan aqidah yang kuat.

5. Meningkatkan dan mengembangkan mutu pendidikan keterampilan

sesuai dengan bakat dan minat siswa untuk mencapai kemandirian.

6. Terlaksananya pembelajaran yang paikem.


74

7. Terlaksananya akhlak yang mulia, berbudi pekerti luhur dan

tercermin dalam berfikir perkataan dan sikap.

8. Terlaksananya sikap dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-

hari.

2. Lokasi dan Gedung Sekolah

SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi berada di lokasi yang

cukup strategis, lokasi sekolah berada di komplek perumahan di Jln. H.

Burhan Birugo Bukittinggi, jadi sekolah ini jauh dari hiruk pikuk

kendaraan dan transportasi menuju sekolah ini cukup lancar. SLB

Autisma Permata Bunda Bukittinggi sudah mempunyai gedung

sekolah sendiri dan permanen, gedung sekolah ini sudah cukup

memadai untuk dapat digunakan seoptimal mungkin untuk

kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai

pendidik maupun oleh peserta didik.

Gedung sekolah ini terdiri dari 2 lantai, terdiri dari satu kantor, satu

mushalla, satu UKS, dan terdapat 8 kelas dan pekarangan sekolah

cukup luas sehingga anak bebas untuk anak bermain.50

3. Profil Sekolah

A. Identitas Sekolah

1. Nama sekolah : SLB AUTISMA PERMATA BUNDA

2. NPSN : 10307566

3. Jenjang pendidikan : SLB

50
Tata Usaha SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi
75

4. Status sekolah : Swasta

5. Alamat sekolah : Jl. H. Burhan Birugo

RT/RW : 0/0

Kode pos :26000

Kelurahan : Belakang Balok

Kecamatan : Kec. Aur Birugo Tigo Baleh

Kebupaten/kota : Kota Bukittinggi

Provinsi : Prop. Sumatera Barat

Negara : Indonesia

6. Posisi geografis : -0.320413 Lintang

100.3789 Bujur

B. Data Pelengkap

7. SK Pendirian sekolah : No. 7 Tgl 2 agustus 2003

8. Tanggal SK pendirian : 2003-08-05

9. Status kepemilikan : Yayasan

10. SK izin operasional : KPTS. 1543/ 108.6/2004

11. Tgl SK izin operasi : 2005-10-10

12. Kebutuhan khusus

Dilayani :

13. Nomor rekening : 0204.0210.00725-2

14. Nama bank : BPD

15. Cabang KCP/unit :

16. Rekening atas nama : SLB.Autisma Permata Bunda


76

17. MBS : Ya

18. Luas tanah milik(m2) : 600

19. Luas tanah bukan

milik (m2) :0

20. Nama wajin pajak :

21. NPWP :

C. Kontak sekolah

22. Nomor telepon : 0752 8038423

23. Nomor fax :

24. Email : AidaFitriYantiPepi@yahoo.co.id

25. Website :

D. Data periodik

26. Waktu

Penyelenggaraan : Sehai penuh (5h/m)

27. Bersedia menerima

bos? : Ya

28. Sertifikasi ISO : Belum Bersertifikat

29. Sumber listrik : PLN

30. Daya listrik (watt) : 3200

31. Akses internet : Telkomsel Flash

32. Akses internet

Alternatif : Telkom Speedy

E. Sanitasi
77

33. Kecukupan air : Cukup

34. Sekolah memproses

air sendiri : Ya

35. Air minum untuk

Siswa : Disediakan Sekolah

36. Mayoritas siswa

membawa air minum : Ya

37. Jumlah toilet

berkebutuhan khusus : 0

38. Sumber air sanitasi : Sumur Terlindungi

39. Ketersediaan air di

lingkungan sekolah : Ada Sumber Air

40. Tipe jamban : Leher Angsa (toilet jongkok)

41. Jumlah tempat cuci :5

42. Apakah sabun dan air

mengalir pada tempat

cuci tangan : Ya

43. Jumlah jamban dapat

Digunakan : Laki-laki Perempuan Bersama

0 0 6

44. Jumlah jamban

tidak dapat

digunakan : Laki-laki Perempuan Bersama


78

0 0 0

Pada bab ini yang berisi mengenai suatu pembahasan kasus yang

diambil penulis akan coba membahas dengan membandingkan antara teori

dengan praktek di lapangan. Untuk lebih sistematis maka penulis membuat

pembahasan dengan mengacu pada penanganan anak autisme,

menyimpulkan data, menganalisa data dan melakukan penatalaksanaan

penanganan sesuai dengan penanganan anak autis. Adapun pola penangan

guru terapis terhadap anak autisme diaantanya dengan melaksanakan

terapi wicara.

B. Temuan Khusus

Dalam konseling ada membahas permasalah-permasalahan khusus

tentang anak jalanan, anak punk, dll, dan salah satu pembahasannya adalah

tentang anak autis yang sering disebut dengan konseling populasi khusus.

Konseling populasi khusus adalah proses pemberian bantuan yang

dilakukan oleh konselor kepada konseli (individu atau kelompok) yang

mengalami suatu masalah dengan ciri-ciri yang sama dan menempati

ruang yang sama pada waktu tertentu secara khusus sehingga konseli

memperoleh pemahaman yang lebih tentang dirinya, lingkungannya, dan

masalahnya. Serta yang mampu memecahkan masalah yang dihadapinya

dengan mampu mengarahkan potensi yang optimal dan kemudian dapat


79

mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.51 Dalam konseling populasi

khusus membahas tentang anak autis dengan gangguan berkomunikasi lalu

jalan yang di beikan oleh terapis yaitu dengan memberikan anak autis

pengobatan dengan salah satu cara yaitu terapi wicara.52

1. Pelaksanaan terapi wicara

Terapi wicara yaitu melatih anak autisme berbicara, seperti

berkomunikasi dengan anak di sekolah dan di rumah, bertanya sesuatu

dengan anak dan tindakan yang dilakukan oleh terapis apabila anak tidak

merespon.

Langkah-langkah p elaksanaan terapi wicara:

a. Pembentukan Kepatuhan

Berdasarkan observasi awal pada tanggal 16 mei 2017 yang

peneliti lakukan, mengenai pembentukan kepatuhan bahwa AD

terindikasi kurang pemahaman dalam hal pembentukan kepatuhan,

sedangkan ZD sudah mulai terlihat namun jarang.

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan bahwa terapis

ada melakukan pelaksanaan terapi wicara terhadap anak autis di SLB

autisma permata bunda bukittinggi. Kemudian diperkuat dengan

hasil wawancara yang penulis lakukan dengan guru terapi SLB

autisma permata bunda bukittinggi yang mengatakan bahwa:

51
http://bksolusinya.blogspot.co.id/2014/04/konseling-populasi-khusus.html?m=1
diakses kamis 23 nopember 2017 jam 11.30
52
Yosfan Azwandi, 2005. Mengenal dan Membantu Penyandang Autisme (Jakarta; hal
14-15)
80

“Cara ibu menginstruksikan anak agar mau duduk atau


berdiri dengan cara anak ditenangkan terlebih dahulu, diraih,
didudukandi kursi yang disediakan sampai anak bisa tenang,
diperlihatkan benda-benda yang disukainya seperti mainan yang
disukai, perlihatkan pada anak bisa tidak anak tenang di lihat durasi
ia tenang selama 5 detik atau lebih sama dengan koordinasi matanya,
dilihat apabila sudah tenang di bawa bernyanyi-nyanyi terlebih
dahulu, apabila anak sudah tenang baru focus ke kontak.”53

Guru terapis kembali mengatakan bahwa:

“Sebelum memulai terapi biasanya kita berdoa terlebih


dahulu, membaca ayat pendek mana tau didengar walaupun mereka
tidak bisa mengucapkan mereka masih bisa mendengarkan setelah
itu baru masuk ke materi biasanya melihat kontak mata, hampir
setiap pagi melakukan kontak mata terlebih dahulu, tapi kontak
matanya sekarang sudah mengalami kemajuan dari yang biasanya
yang AD kontak matanya 5 detik, kalau ZD sudah bisa ditanyakan
“mana mata?”maka anak itu bisa menunjuk matanya. Kita yang
selalu memberikan stimulus.”54 Instruksi yang ibu berikan kepada
anak pada saat akan memulai terapi, biasanya instruksi yang ibu
berikan kepada AD dan ZD memintanya untuk duduk yang rapi,
lipat tangan, serta angkat tangan untuk berdoa, kalau sudah rapi baru
ibu memfokuskan kontak mata seperti “lihat.”55

Senada dengan hal ini penulis juga mewawancarai orang tua siswa

yaitu AD dan ZD.

“Orang tua AD menjelaskan bahwa pelaksanaan terapi


pembentukan kepatuhan yang dilakukan orang tua dengan cara
biasanya ibu hanya meinstruksikan kepada AD untuk duduk apabila
ingin berkomunikasi dengan AD, apabila AD menolak perintah
tersebut maka ibu yang meraih badannya untuk duduk. Sedangkan
orang tua ZD menjelaskan bahwa apabila ZD berteriak tidak jelas
maka ibu akan menginstruksikan kepadanya untuk diam.”56

53
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
54
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
55
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
56
Wawancara dengan orang tua AD dan ZD
81

Berdasarkan observasi dan wawancara diatas dapat di

simpulkan terungkap bahwa guru terapis ada melakukan

pembentukan kepatuhan kepada AD dan ZD, terlihat AD sedikit ada

perkembangan dalam pembentukan kepatuhan, sedangkan ZD

perkembangannya sudah melebihi AD. Diperkuat dengan teori

bahwa Ada dua hal yang perlu diajarkan pada anak sewaktu memulai

program mengajar kepatuhan. Bagi anak yang senang berdiri

instruksikan “duduk”. Untuk anak yang senang duduk instruksikan

“berdiri”. Perlu diingat, bahwa kedua kemampuan ini tidak boleh

diajarkan bersamaan, karena dapat membingungkan anak.57

b. Pembentukan Kontak Mata (KM)

Berdasarkan observasi awal pada tanggal 16 mei 2017 yang

peneliti lakukan mengenai Pembentukan Kontak Mata (KM) bahwa

pada saat guru terapis akan memberikan terapi terlihat bahwa

susahnya AD dan ZD memfokuskan kontak mata.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru terapis yaitu

ibu azrina oktaviani mengatakan bahwa

“Cara ibu mengajak anak agar kontak mata anak dapat


sejajar dengan mata ibu dengan memperlihatkan benda yang disukai
oleh anak, sejajarkan benda tersebut dengan mata anak, apabila anak
tidak mau melihat atau merespon apa yang dikatakan oleh terapis,
tindakan terapis dengan cara mengarahkan kepala anak dengan
memegang bagian rahang anak lalu di arahkan untuk sejajar dengan
mata terapis.”58

57
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
58
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
82

Berkaitan dengan kontak mata terapis menjelaskan bahwa:

“Yang ibu lakukan ketika kontak mata tidak terjadi pada saat
terapi dengan mengarahkan kepala anak kepada terapis dengan cara
memegang rahang anak lalu diarahkan ke mata terapis apabila anak
tidak mau merespon perlihatkan lagi benda yang disukainya sampai
mata anak sejajar dengan mata terapis.” Selain itu untuk memancing
fokus kontak mata anak terapis memancing kontak matanya dengan
memanggil-manggil nama anak, apabila tidak ada respon dari
panggilan ibu di perlihatkan seperti mainan yang dia sukai, apabila
masih tidak ada respon ibu memegang rahangnya dan diarahkan ke
kontak mata ibu.”59

Senada dengan hal ini penelis juga mewawancarai orang tua

siswa yaitu A D dan ZD.

“Orang tua AD menjelaskan bahwa AD baru menatap mata


ibunya dengan cara ibunya duduk berhadap-hadapan dengan AD dan
menatap mata AD, dan berusaha agar AD dapat melihat mata ibunya
ketika ingin berkomunikasi dengan ibunya. Apabila fokus kontak
mata AD masih susah, ibu memperlihatkan benda yang bisa
memamncing fokus kontak matanya apabila sudah fokus kontak
matanya baru ibu menyampaikan pesan dengan pelan-pelan agar AD
dapat memahami apa yang di sampaikan oleh ibunya. Jika pesan
yang disampaikan oleh ibunya tidak mendapatkan respon, ibu EK
mengulang kembali pesan tersebut berkali-kali sampai AD merespon
dan menjawab dengan baik dan benar.60
Sedangkan orang tua ZD Ibu MR menjelaskan bahwa ZD
sudah terlihat kontak matanya apabila ibu mengajak ZD
berkomunikasi atau menginstruksikan sesuatu yang ibu perintahkan
ZD melihat ibu terlebih dahulu sebelum mengerjakan.61

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diatas dapat di

simpulkan bahwasannya guru terapis ada melaksanakan

pembentukan kontak mata (KM), namun belum ada terlihat kontak

59
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
60
Wawancara dengan orang tua AD
61
Wawancara dengan orang tua ZD
83

mata pada AD, sedangkan ZD sudah dapat memfokuskan kontak

matanya pada saat pelaksanaan terapi. Diperkuat dengan teori bahwa

untuk mengajarkan kontak mata, perlu diusahakan agar pasangan

mata anda dan mata anak berada selevel.62

c. Mengajarkan Kemampuan Menirukan

Berdasarkan observasi awal pada tanggal 16 mei 2017

tentang bagaimana kemampuan anak autis menirukan, terlihat AD

dan ZD masih enggan menirukan apa yang dikatakan oleh terapis.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru terapis yaitu

ibu azrina oktaviani mengatakan bahwa

“Dalam menginstruksikan anak untuk meniru, masih jarang


anak tersebut mengikutinya karena kontak mata anak masih kurang
fokus, namun ketika kontak mata anak ada sedikit-sedikit sudah
fokus, anak bisa menirukannya walaupun hanya sebentar”.
Terapis kembali menjelaskan :
“Terkadang anak mampu menirukan setiap apa yang
diinstruksikan walaupun tidak keseluruhan yang ibu ucapkan, tapi
tidak jarang juga anak tidak merespon atau tidak menirukan apa
yang terapis katakan.
“Hal ini terlihat ketika memperlihatkan gambar-gambar,
makanan yang disukai atau lainnya, jika anak tersebut mau
melihatnya berarti terjadi kontak mata pada anak,”ketika itu pula
terapis memberikan reward berupa “tos, tepuk tangan, jempol,
salam, mainan bahkan bisa juga memberikan ciuman pada anak.
Hindari memberikan makanan pada anak yang menyebabkan
perilaku anak melonjak, apabila ingin memberikan makanan berikan
yang berupa gandum atau kacang-kacangan.”63

Senada dengan hal ini peneliti juga mewawancarai orang tua

siswa yaitu AD dan ZD.


62
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
63
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
84

“Orang tua AD menjelaskan bahwa Ibu EK memberikan


contoh sambil menunjukkan menirukan yang ingin disampaikan
kepada AD seperti “AD ini jari”?, dengan kalimat yang singkat, dan
mengulangnya berkali-kali. Tentunya dengan menyiapkan terlebih
dahulu kalimat yang akan disampaikan, agar AD tidak bingung
untuk menjawab. Dan jika AD memapu menjawab pesan yang
diberikan ibu EK, ibu EK memberikan reward seperti pujian “AD
sudah pintar”atau memberikan dua jempol. Namun tidak jarang AD
menolak untuk menirukan apa yang ibu instruksikan.64
Sedangkan orang tua ZD menjelaskan bahwa Ibu MR selalu
mengejakan kepada ZD terlebih dahulu apa yang akan ditirukan oleh
ZD , dengan lambat dan suara yang jelas, dan tidak membentak.
Karena kalau ibu MR mengejakan seperti membentak, ZD akan
takut bukannya menjawab tapi ZD akan diam dan menjauh dalam
hal ini kesabaran sebagai orang tua harus benar benar di kontrol.”65

Berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara dapat

disimpulkan bahwa perkembangan AD dan ZD sudah mulai terlihat

dalam hal kemampuan menirukan apa yang diinstruksikan oleh guru

terapis dan orang tua, namun tidak jarang juga AD dan ZD menolak

untuk menirukan apa yang diinstruksikan. Dan diperkuat dengan

teori bahwa Kemampuan menirukan (imitation) adalah kemampuan

prilaku dasar seorang anak. Hampir semua anak autis enggan

menirukan perilaku orang lain.66

d. Mengajarkan Kemampuan Bahasa Reseptif (Kognitif)

Berdasarkan hasil observasi awal pada tanggal 16 mei 2017

tentang bagaimana kemampuan bahasa reseptif anak mengenai hal

64
Wawancara dengan orang tua AD
65
Wawancara dengan orang tua ZD
66
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
85

dan benda terlihat bahwa guru terapis ada melakukan pengenalan

mengenal beragam benda dan hal.

Hasil wawancara peneliti dengan guru terapis mengenai

mengajarkan kemampuan bahasa reseptif yaitu:

“Dalam melakukan terapi biasanya ibu hanya menggunakan


benda-benda yang ada di dalam ruangan kelas seperti meja’ kursi,
mainan balok, dan bisa juga tas anak itu sendiri. Pengenalan tentang
hal dan benda yang ada di dalam kelas selalu ibu berikan sampai
anak itu paham jika anak itu sudah paham dalam jangka waktu 2
bulan maka materi akan dilanjutkan, tapi kalau anak masih belum
paham materi tersebut selalu diulang-ulang 5-10 kali sampai anak
paham.”

“Pengenalan yang ibu berikan seperti diperlihatkan langsung


kepada anak benda yang akan dijadikan media dalam pembelajaran
seperti ”ini pensil” di perlihatkan lalu diletakkan di tangan anak agar
anak mengenal apa itu pensil untuk apa gunanya.67.

Senada dengan hal ini peneliti juga mewawancarai orang tua

siswa yaitu AD dan ZD.

“Orang tua AD menjelaskan bahwa benda yang ibu berikan


kepada AD biasa benda yang berbentuk balok atau gambar-gambar
kertas untuk disusun seperti puzzle. Sedangkan orang tua ZD
menjelaskan bahwa ibu memperlihatkan benda-benda seperti bola
kaki, benda tersebut membuat perhatian ZD menjadi terarah kepada
bola.”68

Beradasarkan hasil observasi dan wawancara dapat

disimpulkan bahwa guru terapis ada mengajarkan Kemampuan

Bahasa Reseptif namun terlihat bahwa AD dan ZD belum tampak

perkembangan dalam Kemampuan Bahasa Reseptif atau kemampuan

67
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
68
Wawancara dengan orang tua AD dan ZD
86

dalam pengenalan benda, selain itu orang tua juga ada membantu

pengenalan benda kepada anak seperti pengenalan puzzle dan benda

seperti bola hal ini diperkuat dengan teori mengajarkan kemampuan

bahasa reseptif adalah kemampuan pengenalan akan beragam benda

dan hal.69

e. Mengajarkan Kemampuan Bahasa Ekspresif

Bedasarkan hasil observasi awal pada tanggal 17 mei 2017

tentang bagaimana mengajarkan kemampuan bahasa ekspresif atau

mengingatkan kembali kepada anak bahwa terapis ada melakukan

kemampuan bahasa ekspresif untuk menggali apa saja yang sudah

terekam di memori anak.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru terapis yaitu

ibu Azrina Oktaviani mengatakan bahwa

“Apabila anak lupa dengan materi yang telah diberikan maka


tugas guru disini adalah mengingatkan kembali kepada anak agar
anak kemabali mengingat materi yang telah diberikan, Seiring
dengan itu materi yang terapis berikan akan terlihat bagaimana
ekspresi yang ditimbulkan oleh anak tersebut. Seperti yang terlihat
pada AD tidak tampak ekspresi yang ditimbulkannya, lain hal
dengan ZD ia sudah mulai mampu mengekspresikan apa yang di
instruksikan oleh terapis walaupun ia tidak bisa menyampaikan.”

Senada dengan hal ini penulis juga mewawancarai orang tua

siswa yaitu AD dan ZD.

“Orang tua AD menjelaskan bahwa cara ibu mengulang


kembali hal yang sudah ibu ajarkan contoh dengan cara
menggerakan mengucapkan “mana jari, apabila AD lupa dan tidak

69
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
87

merespon ibuk menggerakan jari ibu dan memperlihatkan


kepadanya”.”70
“Sedangkan orang tua ZD menjelaskan bahwa cara ibu
mengulang atau mengingatkan ZD terhadap hal yang sudah ibu
ajarkan dengan menanyakan kepada ZD “ini apa” sambil
menggerakan objek yang diajarkan, apabila ZD tidak ingat maka ibu
kembali mengajarkan, dan apabila ZD ingat maka ibu memberikan
reward seperti “anak mama pintar atau jempol”.”71

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat di

simpulkan bahwa guru terapis ada Mengajarkan Kemampuan Bahasa

Ekspresif namun dari ingatan AD dan ZD masih kurang untuk

mengingat benda yang ditampilkan oleh guru terapis dan guru terapis

selalu mengulang-ulangnya. Dan diperkuat dengan teori

mengajarkan bahasa ekspresif adalah memberikan kemampuan pada

anak untuk mengingat dan menggali hal-hal yang sudah terekam

dalam memorinya untuk diekspresikan.72

f. Mengajarkan Kemampuan Pra Akademik.

Berdasarkan hasil observasi awal pada tanggal 17 mei 2017

bahwa guru terapis ada Mengajarkan Kemampuan Pra Akademik

agar anak memiliki kemampuan mengenal warna, bentuk, angka,

huruf dan lain-lain.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru terapis yaitu

ibu Azrina Oktaviani mengatakan bahwa

70
Wawancara dengan orang tua AD
71
Wawancara dengan orang tua ZD
72
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
88

“Materi yang diberikan terapis kepada anak biasanya yang


lebih cepat dipahami anak adalah materi tentang benda karena
benda-benda yang digunakan langsung berhadapan dengan anak
contohnya mengenalkan kursi, meja yang selalu di pakai anak dalam
belajar. Mengenai warna anak agak sulit bagi anak, kalau mengenai
tempat anak sudah lumayan bisa mengenal wc, kantor, kelas, dan
mushalla. Dalam pemberian materi angka ZD sudah bisa menghitung
sampai 50 sedangkan AD belum bisa, namun kadang-kadang secara
spontan mengucapkan angka 1 sampai 3. Pemahaman anak tentang
angka lain hal dengan ZD pemahamannya sekitar 70% mengenai
warna, bentuk, dan huruf masih kurang terlihat sedangan AD
pengetahuannya mengenai angka, warna, bentuk dan huruf sekitar di
bawah 50%.73

“Dalam pemberian materi metode yang ibu gunakan untuk


mengajarkan anak membaca yaitu dengan metode ABA, dalam
pemberian terapi wicara metode ini di butuhkan untuk membentuk
prilaku anak yang tidak diinginkan seperti tantrum (mengamuk).
“Dilihat dari mengenal huruf ZD sudah mulai menunjukan
kemampuannya sedikit demi sedikit dan AD belum ada
menunjukkan kemampuannya dalam mengenal huruf.”74

Dari wawancara peneliti dengan guru terapis maka diperkuat

dengan wawancara dengan orang tua siswa yaitu AD dan ZD.

“Orang tua AD menjelaskan bahwa biasanya ibu membeli


poster huruf dan angka yang bermacam-macam warna untu menarik
perhatian AD, namun masih kurang dalam memngingat huruf dan
angka. Hal tersebut senada dengan penjelasan orang tua ZD.”75

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat

disimpulkan bahwa guru terapi ada mengajarkan kemampuan pra

akademik namunAD dan ZD masih kurang terlihat dalam

kemampuan akademik, hanya pada kemampuan mengingat benda-

73
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
74
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
75
Wawancara dengan orang tua AD dan ZD
89

benda yang ada di lingkungan sekolah. Diperkuat dengan teori

kemampuan pra-akademik diindikasikan dengan adanya kemampuan

mengenal warna, benda, angka, huruf, deskripsi orang, tempat,

profesi, dan lain-lain. Di sini dibutuhkan banyak alat peraga, untuk

membantu anak autis menggunakan kemampuan visualnya.76

g. Mengajarkan Kemampuan Akademik.

Berdasarkan hasil observasi awal pada tanggal 17 mei 2017

tidak diketahui kemampuan akademik anak.

Pada dasarnya sekolah sudah membicarakan mengenai tes IQ

kepada orang tua bahwa tes IQ tidak dilakukan di sekolah ini

melainkan kami hanya meminta kepada orang tua untuk membawa

anak melakukan tes IQ di rumah sakit dan yang melakukan tes

tersebut adalah dokter. Dan apabila tes IQ sudah keluar orang tua

disarankan menyerahkan kepada sekolah. Namun kendalanya pada

sekarang ini orang tua masih belum menyerahkan hasil tes IQ anak

kepada sekolah jadi pihak sekolah belum mengetahui berapa IQ AD

dan ZD.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru terapis yaitu

ibu Azrina Oktaviani mengatakan bahwa

“Kemampuan akademik yang menonjol pada ZD dalam


bidang menghitung, terlihat dari kemauannya yang lumayan tinggi,
lain hal dengan AD kemampuan pada bidang akademik belum ada
namun ada sedikit kemampuannya dalam menyusun gambar atau

76
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
90

pazzle. Sebenarnya pada penderita autis perubahan yang terjadi pada


dirinya tergantung berapa besar kemauannya untuk berubah.77

Dari wawancara peneliti dengan guru terapis maka diperkuat

dengan wawancara dengan orang tua siswa yaitu AD dan ZD.

“Orang tua AD menjelaskan bahwa Ibu EK mengulang


kembali pesan tersebut berkali-kali sampai AD merespon dan
menjawab pesan dengan baik dan benar. Sedangkan orang tua ZD
menjelaskan bahwa Jika ZD salah dalam menyebut sebuah benda,
ibu akan perbaiki dengan mengatakan “itu bukan pensil, tapi pena”.78

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat

disimpulkan tidak diketehui kemampuan akademik anak karena tidak

dilakukan oleh pihak sekolah namun pihak sekolah hanya

menganjurkan orang tua anak untuk memeriksa kemampuan

akademiknya kepihak rumah sakit, dari hasil wawancara peneliti

dengan orang tua dapat disimpulkan orang tua mengajarkan

kemampuan akademik sebisanya saja apabila anak salah dalam

menyebutkan maka akan diulang. Diperkuat dengan teori

mengajarkan kemampuan akademik anak berdasarkan kemampuan

IQ, Perlu dipahami bahwa kemampuan akademik seseorang sangat

bergantung kepada tingkat IQ atau kecerdasannya. Pada anak autis,

secara statistik diketahui jumlah anak yang memiliki IQ normal ke

atas hanya sekitar 35% sisanya 65%, memiliki IQ di bawah

normal.79

77
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
78
Wawancara dengan orang tua AD dan ZD
79
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
91

h. Mengajarkan Kemampuan Membantu Diri (Self Help Skill)

Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 17 mei 2017 bahwa

guru terapis ada mengajarkan kemampuan membantu diri agar anak

mampu menjadi mandiri.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru terapis yaitu

ibu Azrina Oktaviani mengatakan bahwa

“Dalam hal bina diri anak langsung di ajarkan bagaimana


cara hidup mandiri dan mulai diajarkan pada awal masuk sekolah,
caranya apabila anak ingin BAK langsung dibawa ke WC tangan
anak di pengang dan diajarkan untuk bersuci sendiri, dan diajarkan
bagaimana memasang baju, makan, cara makan yang benar,
memasukan barang-barang ke dalam tas itu sudah diajarkan dari
awal. Mengajarkan bina diri ini untuk ZD dan AD lumayan lama
sekitar 1,5 tahun sampai ia bisa mengerjakan sendiri, terlihat dari
kemauan ZD yang tinggi ia sudah bisa membersihkan kotorannya
sendiri sedangkan AD belum ada terlihat perkembangan bina diri
dari dirinya.”80

“Dalam hal mandi sendiri dan memasang pakaian ZD sudah


bisa melakukannya sendiri, sedangkan AD bisa mandi sendiri namun
dalam memasang pakaian masih belum bisa ia lakukan sendiri.
Jangka waktu anak diajarkan bina diri tergantung kemampuan anak
itu sendiri apabila anak cepat menerima perintah yang ibuk berikan
maka itu akan cepat ia terapkan, tapi kalau anak ini tidak mau
menerima biasa sampai bertahun-tahun mengajarkannya. Dilihat dari
kendalanya kemauan dari anak itu sendiri, dan kurang nya fasilitas
sarana dan prasarana di sekolah jadi kita memanfaatkan yang ada
saja.”81

Senada dengan hal itu peneliti mewawancarai orang tua

siswa yaitu AD dan ZD.

“Orang tua AD menjelaskan bahwa Ibu melihat banyak sekali


upaya yang diberikan oleh guru di sekolah dari mengajarkan terapi
80
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
81
Azrina Oktavia, Guru terapi, wawancara pribadi
92

wicara kepada AD agar AD bisa berkomunikasi, mengajarkan bina


diri agar AD bisa mandiri seperti walaupun tidak bisa memakai
sabun, walaupun AD masih belum banyak kemajuan tapi ibu sangat
berterima kasih kepada guru terapis sudah dengan sabar
mengajarkan AD.”82

“Sedangkan orang tua ZD menjelaskan bahwa yang ibu


ketahui sudah banyak ya upaya yang di lakukan oleh guru terapis
agar ZD bisa mandiri seperti mandi sendiri, memakai baju, celana,
makan sendiri, dan setelah berikan terapi wicara disekolah dan
alhamdulillah ZD sudah bisa mengucapkan kalimat yang di ajarkan
kepadanya dan sudah banyak respon apabila namanya di panggil. ”83

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat

disimpulkan bahwa guru terapis ada menagajarkan kemampuan

membantu diri, untuk menjadikan anak bisa hidup mandiri, diketahui

bahwa dari hasil wawancara guru terapis mengajarkan anak

kemampuan membantu diri sejak awal masuk sekolah. Dan dari

hasil wawancara dengan orangtua bahwasannya anak telah mampu

melakukan kegiatan sehari hari dan mandiri. Diperkuat dengan teori

kemampuan membantu diri bertujuan untuk memampukan anak

hidup mandiri dalam melakukan kegiatan rutin sehari-hari, yaitu

makan, minum, mandi, buang air besar, buang air kecil, memakai

dan melepas baju, memakai dan melepas kaos kaki, dan kegiatan-

kegiatan rutin harian lainnya.84

Reaksi yang ditimbulkan oleh anak AD dan ZD pada saat

setelah melaksanakan terapi yaitu masih kurang terlihat respon dari

82
Wawancara dengan orang tua AD
83
Wawancara dengan orang tua ZD
84
Y. Handojo, Autisme Pada Anak, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer.2009
93

AD apabila dipanggil dan AD masih belum bisa mengungkapkan apa

yang ia mau, dan terapi ini pun tidak bisa diberikan satu atau dua

kali namun harus dilakukan berulang-ulang, dan kontak mata AD

sangat susah untuk difokuskan karena inti dari sebelum dan saat

pelaksanaan terapi adalah kontak mata apabila kontak mata masih

jauh maka terapi akan sulit dan lama, untuk itu sebelum pelaksanaan

terapi terhadap AD terlebih dahulu AD harus memfokuskan kontak

mata. Reaksi yang ditimbulakan setelah pelaksanaan terapi contoh

terapis menyebeutkan mana jempol reaksi yang di timbulkannya

berlari, berteriak, dan menolak untuk melanjutkan terapi selanjutnya.

Lain hal dengan ZD, ZD terbilang sudah ada perubahan karena

kemauan ZD yang tinggi, sebelum melaksanakan terapi fokus kontak

mata antara terapis dengan ZD sudah terlihat, maka dari itu terapi

bisa dilakukan dan sudah terlihat kemajuan ZD. Reaksi yang di

timbulkan ZD mengikuti apa yang diperintahkan oleh terapis

contohnya menghitung ayam yang sudah di buatkan di kertas ZD

langsung menghitung, walaupun dalam penyampaian angka masih

terbalik-balik namun sudah ada perkembangan setelah terapi.


94

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan dapat diambil kesimpulan

bahwa pelaksanaan terapi wicara di SLB Autisma Permata Bunda

Bukittinggi adalah dengan beberapa langkah-langkah terapi , yaitu

pembentukan kepatuhan, pembentukan kontak mata (KM), mengajarkan

kemampuan menirukan, mengajarkan kemampuan bahasa Reseptif,

mangajarkan kemampuan bahasa ekspresif, mengajarkan kemampuan pra

akademik, mengajarkan kemampuan akademik, dan mengajarkan

kemampuan membantu diri (self help skill). Kemudian, memberikan

pendidikan yang efektif dengan jalan menggunakan kurikulum yang telah

ditetapkan dinas pendidikan dengan memodifikasi sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuan anak autis.

Hal lain yang turut mempengaruhi adalah kemampuan masing-

masing anak autis yang berbeda-beda apabila anak memiliki kemauan

yang tinggi dalam pelaksanaan terapi wicara ini maka akan cepat

perkembangan pada anak dan apabila tidak adanya respon yang ditunjukan

oleh anak pada saat pelaksanaan terapi maka itu akan menjadi penghalang

bagi anak untuk bisa berkomunikasi.

Pelaksanaan terapi wicara dirumah oleh ibu EK kepada AD dengan

cara melakukan tatap muka dengan duduk berhadap-hadapan dengan AD,

kemudian ibu EK memberikan contoh berbicara yang baik dengan cara


95

menyampaikan pesan dengan jelas, dan mengulang-ulang sampai AD

memahami. Sedangkan ZD pelaksanaan terapi yang di lakukan oleh ibu

MR dengan cara mengejakan terlebih dahulu dan mengulang-ulang dengan

memberikan pertanyaan dengan singkat dan jelas sambil berhadapan. ZD

sudah bisa memahami apa yang orang sampaikan kepadanya, namun

dalam penyampaian ZD masih belum mampu.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka ada beberapa

saran yang ingin peneliti sampaiakan antara lain sebagai berikut:

1. Guru Terapi

Bagi guru terapis juga sebaiknya memberikan program

yang lebih spesifik sesuai karakteristik masing-masing pribadi

anak autis agar lebih tepat tujuan dalam membantu meningkatkan

komunikasi anak.

2. Pihak Sekolah

Saran yang dapat penulis berikan kepada pihak sekolah

adalah mencoba dengan menambah guru BK guna memfasilitasi

sekolah dengan orang tua agar terjalin hubungan yang lebih

baiksehingga diharapkan orang tua juga merasa sangat berperan

penting melanjutkan program untuk anak autis di rumah demi

kemajuan perkembangan buah hati mereka.

3. Orang Tua
96

Untuk orang tua, sebaiknya memantau peningkatan

kemampuan anak selama di sekolah, sehingga dapat dapat

melanjutkannya di rumah demi meningkatkan kemampuan anak,

diharapkan kepada orang tua selalu membimbing dan membantu

anak autisme dalam menerapkan terapi wicara di rumah dengan

cara mencari ilmu dibeberapa sumber mengenai penanganan anak

autis, sebaiknya setiap orang tua selalu menyiapkan fasilitas yang

di butuhkan anak autis demi perkembangannya dan di harapkan

tidak memberikan makanan kepada anak yang akan menyebabkan

tingkah laku anak menjadi tambah buruk.


97

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Azwandi, Yosfan. 2005. Mengenal dan Membantu Penyandang Autisme Jakarta

Arikunto, Suharsimi.1998, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek,


Jakarta: Rineka Cipta

Danuatmaja, Bonny. 2003. Terapi Anak Autis di Rumah Jakarta: Puspa Swara.

Ginanjar, Adriana S. 2008. Menjadi Orang Tua Istimewa Jakarta: dian rakyat.

Handojo,Y. 2009. Autisme Pada Anak. (Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer)

Meleong, Lexy. J . 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda


Karya
Joesoef, Soelaiman dan Noer Abijino, pengantar psychology

Maulana, Mirza. 2007. Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju
Anak Cerdas dan Sehat, yogyakarta:kata hati.

Novid, Jeffrey S. 2002 dkk. Psikologi Abnormal edisi 5, Jakarta:Erlangga, jil ke 2.

Pamodji Gayatri. 2007. Seputar Autisme Jakarta: Gramedia, 2007.

Pusponegoro, Hardono D. dan Purboyo Solek. 2007,.Apakah Anak Kita Autis?


bandung: Trikarsa Multi Media

Prasetyono. 2008 Serba Serbi Anak Autis, yogyakarta:diva pers

Rahayu, Iin Tri. 2009. Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer.
UIN-Malang Press.

Rahanab, Noer. 2013. Pengantar Psikologi Agama, Yogyakarta; perpustakaan


nasional.

Sudiyanto, Aris. 2001. Gangguan Perkembangan Anak Autis Seminar Ehari


Diagnosa dan Intervensi Serta Peran Ortu Dalam Menangani Autis,
Surakarta: RS. Dr.oen.

Sintowati, Retno. 2007. Autisme. PT Sunda Kelapa Pustaka.


98

Santrock, John W. 2002. Perkembangan Masa Hidup Jakarta: Erlangga. Jil ke 1.

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta


`
Usman Husaini, dkk. 1996. Metode Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 20 Tahuh 2003, Tentang Sistem


Pendidikan Nasional. Surabaya: Cemerlang

Veskarisyanti, Galih A. 2008. 12 Tempi Autis Paling Efektif dan Hemat Untuk
Autisme, Hiperaktif Retardasi Mental. Yogyakarta Pustaka Anggrek.

Williams, Chris dan Barry Wright HowTo Live With Autism and Asperger
Syndrome (Strategi Praktis bagi Orang tua dan Guru Anak Autis),
Jakarta: Dian Rakyat.

Wiyana, Novan Ardi. 2014. Penanganan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus
Yogyakarta: Perpustakaan Nasional KDT.

Y Handojo. 2003. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak
Normal, Autis dan Perilaku Lain, Jakarta:Bhuana Ilmu Populer.

Zuriah, Nurul. 2006. Metodelogi Penelitian Sosial Dan Pendidikan Teori-


Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.

http://bksolusinya.blogspot.co.id/2014/04/konseling-populasi-khusus.html?m=1
diakses kamis 23 nopember 2017 jam 11.30

http://fitriafitri.weebly.com/sekolah-luar-biasa-html
diakses sabtu 27 januari 2018 waktu 20:15

Anda mungkin juga menyukai