Anda di halaman 1dari 13

PENGGUNAAN METODE PECS (Picture Exchange Communication System)

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS

Euis Heryati, Een Ratnengsih

Departemen Pendidikan Khusus


Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAK

Gangguan kualitatif dalam komunikasi merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki
oleh anak autis. Dengan adanya gangguan ini, anak autis seringkali sulit mengungkapkan
berbagai hal baik tentang dirinya maupun lingkungan di sekitarnya. Pada anak autis terjadi
perkembangan bicara yang terlambat atau dapat sama sekali tidak berkembang dan anak tidak
berusaha untuk berkomunikasi secara nonverbal. Bila anak autis dapat bicara maka bicaranya
sering tidak dipakai untuk berkomunikasi. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah metode yang
tepat untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis. Metode PECS (Picture
Exchange Communication System) merupakan suatu pendekatan yang dapat dijadikan
alternative dalam melatih komunikasi anak autis karena metode ini menyesuaikan dengan
karakteristik komunikasi dan keunikan-keunikan anak autis. Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan suatu pendekatan dalam rangka meningkatkan kemampuan komunikasi,
mengetahui kemampuan komunikasi anak autis sebelum dan sesudah intervensi dan
mengetahui sejauh mana pengaruh metode PECS untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi anak autis. Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang anak autis yang
mengalami hambatan dalam komunikasi. Metode yang digunakan adalah metode
eksperimen dengan menggunakan pendekatan Single Subject Reserch dengan desain penelitan
A-B-A. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mean level kemampuan awal subjek 1 dalam
kemampuan komunikasi pada baseline-A (A-1) sebesar 4,7 pada fase intervensi memperoleh
mean level 6,5, sedangkan pada fase baseline-2 (A-2) setelah diberikan intervensi
mendapatkan mean level sebesar 10. Sedangkan kemampuan awal subjek 2 dalam
kemampuan komunikasi pada baseline-A (A-1) sebesar 5,7 pada fase intervensi memperoleh
mean level 7,63, sedangkan pada fase baseline-2 (A-2) setelah diberikan intervensi
mendapatkan mean level sebesar 11. Hasil penelitian kedua subjek di atas memiliki arti bahwa
terdapat peningkatan kemampuan komunikasi anak autis pada kedua subjek.

Kata kunci: Kemampuan Komunikasi, Anak Autis, PECS (Picture Exchange


Communication System)

1
A. PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, oleh
karena itu untuk kelangsungan hidupnya manusia membutuhkan interaksi dan komunikasi
dengan lingkungannya. Bagi semua anak, tanpa memandang tingkat perkembangannya dan
jenis atau derajat kecacatannya, interaksi dan komunikasi merupakan fondasi penting untuk
belajar dan berkembang. Perkembangan tidak terjadi secara vakum. Perkembangan terjadi
secara simultan dalam semua bidang perkembangan, dan bidang-biang ini saling terkait dan
saling mempengaruhi.
Anak autis dipahami sebagai anak dengan gangguan perkembangan neurobiologis yang
berat sehingga gangguan tersebut mempengaruhi bagaimana anak belajar, berkomunikasi,
serta keberadaan anak dalam lingkungan dan hubungan dengan orang lain.
Gangguan kualitatif dalam komunikasi merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki
oleh anak autis. Dengan adanya gangguan ini, anak autis seringkali sulit mengungkapkan
berbagai hal baik tentang dirinya maupun lingkungan di sekitarnya.
Pada anak autis terjadi perkembangan bicara yang terlambat atau dapat sama sekali tidak
berkembang dan anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara nonverbal. Bila anak autis
dapat bicara maka bicaranya sering tidak dipakai untuk berkomunikasi.
Dari semua anak autis, sekitar lebih dari setengahnya tidak memperoleh bahasa yang
bermanfaat (Rutter, 1978 dalam Lewis 2003). Semakin terbatasnya kemampuan bahasa pada
masa kanak-kanak, maka semakin buruk prognosis perkembangan bahasa anak autis di masa
mendatang (Howlin & Rutter, 2000 dalam Lewis 2003).
Anak autis mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena mereka mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasanya. Sedangkan bahasa merupakan media utama dalam
komunikasi. Jadi apabila perkembangan bahasa mengalami hambatan, maka kemampuan
komunikasi pun akan terhambat.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas banyak orang tua anak autis sangat cemas dengan
perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi anaknya. Karena itu, para orang tua
berusaha untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dengan melatih anak untuk
berbicara. Padahal melatih berbicara saja belum tentu tepat, karena hanya melatih berbicara
berarti hanya melatih salah satu aspek saja dari komunikasi. Dengan menuntut anak untuk
berbicara lancar akan membuatnya semakin tegang dan ketegangan itu menghambatnya untuk
berpikir leluasa.

2
Tuntutan agar anak autis terus dilatih bicara lancar tidak hanya muncul dari orang tua saja
tapi datang juga dari para pendidik/guru. Para guru menuntut anak autis berbicara lancar
karena dengan kepentingan program pembelajaran, diantaranya diharapkan setidaknya anak
autis mampu menjawab secara lisan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Memang benar
kemampuan bicara penting dalam pembelajaran, namun sesungguhnya yang lebih penting
adalah pemahaman terhadap bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi dua arah.
Semua pihak (orang tua dan guru) harus menyadari bahwa yang harus ditekankan adalah
kemampuan komunikasi tidak hanya bicara, tapi semua aspek komunikasi. Dengan pemikiran
seperti itu maka banyak hal dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi
anak autis. Kemampuan komunikasi anak autis dapat dikembangkan karena sesungguhnya
mereka masih memiliki potensi untuk berkomunikasi misalnya dengan gerak tubuh atau
dengan visualnya.
Berdasarkan paparan di atas, maka perlu dipikirkan suatu pendekatan atau metode yang
dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dan interaksi anak autis, agar potensi yang
mereka miliki akan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Salah satu
metode yang dapat digunakan adalah PECS (Picture Exchange Communication System).
PECS ini merupakan suatu pendekatan untuk melatih kemampuan komunikasi dengan
menggunakan simbol-simbol verbal. PECS dapat digunakan untuk mengembangkan
keterampilan komunikasi anak autis atau anak-anak yang perkembangan bahasanya tidak
menggembirakan dan mereka yang tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan
orang lain.
PECS dikembangkan untuk anak-anak autis karena kebanyakan anak autis memiliki
ingatan visual yang mengherankan, mereka dapat menghafal dengan mudah, mereka
pembelajar visual, mereka dapat memproses banyak materi dengan langkah yang cepat, dan
sangat teliti dalam mengerjakan tugas-tugas secara sempurna (Heflin et al., 2007).

B. KAJIAN TEORI
Komunikasi Anak Autis
Autisme merupakan salah satu kelainan perkembangan yang terjadi pada masa anak,
yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Istilah autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943
oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau.

3
Di berbagai belahan dunia, jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat dalam
dekade terakhir ini. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980.
Di Amerika Serikat diperkirakan prevalensi autisme mencapai 10-20 kasus dari 10.000 orang,
sementara di Inggris pada awal tahun 2002 dilaporkan angka kejadian autisme meningkat
sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autisme. Di Indonesia yang berpenduduk
sekitar 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang autisme
namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150-200 ribu orang. (Judarwanto, W,
2006)
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang secara menyeluruh
mengganggu fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak. Penyebab autisme diduga
bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik atau biologik dan faktor lingkungan. Bila
dilihat dari penampilan luar secara fisik, anak-anak autis tidak berbeda dengan anak-anak lain
pada umumnya. Perbedaan anak autis dapat dilihat apabila mereka melakukan aktivitas
seperti berkomunikasi atau bermain. Ronald (dalam azwandi, 2005) mengatakan bahwa anak
dengan gangguan autistic tidak akan merespon stimulus dari lingkungan sebagaimana
mestinya, memeperlihatkan kemiskinan kemampuan komunikasi dan sering merespon
lingkungan secara aneh.
Proses komunikasi anak autis seringkali dimanifestasikan dalam bentuk lain, baik
perilaku yang muncul secara berlebihan maupun kekurangan. Sehingga perilaku autistik dapat
digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang
defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum
(mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar, memukul, serta sering terjadi
prilaku menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit ditandai dengan gangguan bicara,
perilaku sosial kurang sesuai (misalnya naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi
untuk meraih kue), defisit sensoris sehingga sering dianggap tidak mendengar, bermain tidak
benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab dan
melamun. (Handojo, Y, 2004).
Pada dasarnya untuk melakukan komunikasi dibutuhkan sebuah alat. Alat utama dalam
komunikasi adalah bahasa. (Jordan dan Powell, 2002). Berarti komunikasi itu melibatkan
bahasa verbal maupun non verbal, mencakup lisan, tulisan, bahasa isyarat, bahasa tubuh, dan
ekspresi wajah. Namun sekitar lebih dari setengahnya pada anak autis memiliki hambatan
dalam proses berbahasa, bahasa yang mereka miliki menjadi tidak memilki fungsi sebagai alat
komunikasi. Sehingga hal ini memunculkan banyak hambatan dalam kehidupan anak autis.

4
Metode PECS (Picture Exchange Communication System)
PECS (Picture Exchange Communication System) adalah suatu pendekatan untuk
melatih komunikasi dengan menggunkan simbol-simbol verbal (Bondy dan Frost, 1994).
PECS dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori Frost pada tahun 1985 dan mulai
dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Awalnya PECS ini digunkan untuk
siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autism dan kelainan yang berkaitan dengan
gangguan komunikasi. Siswa yang mengunkan PECS ini adalah mereka yang perkembangan
bahasanya kurang baik dan mereka yang tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, pengguanaan PECS telah meluas dapat
digunakan untuk berbagai usia dan lebih diperdalam lagi.
Material yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh
dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, atau gambar dari komputer
(clip art atau dari internet). Bisa juga menggunakan material resmi PECS yang diterbitkan
oleh Pyramid Educational Consultants. Inc. Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk kartu
kemudian dilaminating agar awet dan di belakang gambar itu dipasang pengait (velcro) atau
double tape agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Untuk menyimpan kartu
gambar diperlukan file.
Pelaksanaan intervensi menggunakan metode PECS diawali dengan proses asesmen
terlebih dahulu. Asesmen yang dimaksud disini adalah untuk mengetahui pada level mana
anak dapat memahami gambar yang digunakan, apakah gambar hasil potret, lukisan, atau
yang lainnya. Gambar dicobakan kepada anak dari mulai gambar yang paling mudah sampai
yang paling sulit. Setelah diperoleh hasil asesmen selanjutnya anak mulai masuk pada
penerapan PECS. Dalam manual yang disusun oleh Bondy dan Frost (1994:4) tediri dari enam
Fase. Setiap fase merupakan jenjang hirarkis, saling berkaitan dan harus berurut.
Penelitian terakhir oleh Yoder dan Stone (2006) membandingkan antara anak-anak yang
menggunakan PECS dengan sistem yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak autis
yang dilatih dengan menggunakan PECS lebih verbal dibandingkan dengan yang lain. PECS
ini akan lebih efektif mendorong anak autis untuk lebih verbal jika dilatihkan pada anak
berusia di bawah enam tahun.
Berdasarkan pengalaman Wallin (2007:1) ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh
PECS ini, diantaranya:

5
1. Setiap pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada
saat tangan anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah
permintaan atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan
yang lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya.
2. Sejak dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anak-anak tidak
diarahkan untuk merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh
orang dewasa, akan tetapi anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh
jembatan komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing
mencari apa yang anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi
dengan anak.
3. Komunikasi menjadi sesuatu penuh makna dan tinggi motivasi bagi anak autis.
4. Material (bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan
bisa dipakai kapan saja dan dimana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar
sendiri atau dengan foto.
5. PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap
orang dapat dengan mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat
berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri.
Pembelajaran komunikasi melalui PECS ini harus dimulai dari objek yang benar-benar
anak inginkan. Oleh karenanya menurut Bondy dan Frost (1994) dalam penerapan PECS ini
perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku tersebut akan
diketahui apa yang anak inginkan. Objek yang diinginkan tersebut akan menjadi penguatan
bagi anak untuk melakukan komunikasi melalui pertukaran gambar.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, dengan pendekatan sunjek tunggal atau
single subject research (SSR). SSR mengacu pada strategi penelitian yang dikembangkan
untuk mendokumentasikan perubahan tentang tingkah laku subjek secara individu.
Model yang digunakan yaitu model A - B - A design. Pada model ini digunakan dua
kondisi kontrol (baseline) sebelum dan sesudah intervensi. Baseline (A1): sesi pengamatan
perilaku subjek penelitian sebelum mendapat intervensi, Intervensi (B): kegiatan-kegiatan
intervensi dengan metode PECS. Baseline (A2): kemampuan subjek setelah intervensi.
Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang anak autis yang mengalami hambatan
dalam komunikasi. Pengambilan data penelitian dilakukan di Laboratorium Jurusan

6
Pendidikan Khusus dan SLB-C Asih Manunggal.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Metode PECS (Picture Exchange Communication System) merupakan suatu
pendekatan yang dapat dijadikan alternative dalam melatih komunikasi anak autis karena
secara teoritik metode ini menyesuaikan dengan karakteristik komunikasi dan keunikan-
keunikan anak autis. Penelitian yang dillakukan pada 2 orang subjek anak autis ini
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari penerapan metode PECS dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis yang cenderung mengalami hambatan..
Penelitian ini dilakukan kepada dua subjek anak autis dengan setiap subjek melalui tiga fase
yaitu baseline 1 (A-1), intervensi (B), dan baseline 2 (A-2).

Data hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan komunikasi subjek 1 mengalami


peningkatan setelah diberikan intervensi. Pada fase baseline-1 frekuensi berkomunikasi
subjek terendah pada sesi ke-1 yaitu 4 kali, sedangkan frekuensi tertinggi pada sesi ke-2 dan
ke-3 yaitu 5 kali. Pada fase intervensi kemampuan komunikasi subjek dapat mencapai
frekuensi tertinggi pada sesi ke-11 yaitu 8 kali dan frekuensi terendah yaitu 6 kali. Pada fase
baseline-2 kemampuan komunikasi subjek tertinggi mencapai 11 kali pada sesi ke-14 dan
terendah 9 kali pada sesi ke-12. Secara visual dapat digambarkan melalui grafik sebagai
berikut:

Grafik.1

7
Kemampuan Komunikasi Subjek 1 Fase A1-B-A2

Berdasarkan hasil pengolahan data pada fase baseline 1 (A-1), intervensi (B), dan
baseline 2 (A-2) didapatkan hasil bahwa penerapan metode PECS memberikan peningkatan
pada kemampuan komunikasi anak autis. Hal ini dibuktikan dengan hasil mean level yang
diperoleh anak pada setiap fase frekuensi komunikasainya mengalami peningkatan.
Data mean frekuensi komunikasi yang diperoleh pada subjek 1 setiap fase yaitu
baseline 1 (A-1) sebesar 4,7 mengalami peningkatan pada fase intervensi (B) sebesar 6,5
kemudian meningkat lagi pada fase baseline 2 (A-2) sebesar 10. Adapun jika divisualisasikan
sebagai berikut :

Grafik 1
Mean Level Kemampuan Komunikasi Subjek 1

Berdasarkan pegambilan data yang dilakukan diperoleh hasil pada fase baseline 1
menunjukan frekuensi anak dalam komunikasi hanya berada pada kisaran 4-6, pada fase
intervensi setelah diberikan beberapa kali perlakukan dengan menerapkan metode PECS
mengalami perubahan dengan meningkatnya frekuensi komunikasi anak. Peningkatan
frekuensi komunikasi dari setiap fase semakin meningkat frekuensinya secara signifikan.
Analisis dalam kondisi subjek 1 pada fase baseline 1 (A-1) mengalami perubahan jejak
data menaik, menurun, dan mendatar secara tidak stabil sehingga menimbulkan
kecenderungan arah yang menaik namun kecil. Pada fase intervensi (B) anak mengalami hal
yang sama seperti fase baseline 1 (A-1) namun anak mengalami perubahan dan kecenderugan
arah yang menaik dengan frekuensi terdapat penambahan. Pada kondisi baseline-2 (A-2) anak
mengalami peningkatatan frekuensi dalam komunikasi hingga akhirnya menimbulkan
kecenderungan arah yang menaik.

8
Analisis antar kondisi subjek 1 dari fase baseline 1 (A-1) ke intervensi (B) tidak
mengalami data yang tumpang tindih (overlap), begitu pula pada fase intervensi (B) ke
baseline 2 (A-2) tidak mengalami data yang tumpang tindih dengan hasil presentase 0%.
Sedangkan data hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan komunikasi subjek
mengalami peningkatan setelah diberikan intervensi. Pada fase baseline-1 frekuensi
berkomunikasi subjek terendah pada sesi ke-1 yaitu 5 kali, sedangkan frekuensi tertinggi yaitu
6 kali. Pada fase intervensi kemampuan komunikasi subjek dapat mencapai frekuensi tertinggi
pada sesi ke-11 yaitu 9 kali dan frekuensi terendah pada sesi ke-4 yaitu 6 kali. Pada fase
baseline-2 kemampuan komunikasi subjek tertinggi mencapai 12 kali pada sesi ke 13 dan
terendah 10 kali pada sesi ke-12. Secara visual dapat digambarkan melalui grafik sebagai
berikut:

Grafik.4.2
Kemampuan Komunikasi Subjek 2 Fase A1-B-A2

Sedangkan data mean frekuensi komunikasi yang diperoleh dari setiap yaitu fase
baseline 1 (A-1) sebesar 5,7 mengalami peningkatan pada fase intervensi (B) sebesar 7,63
kemudian meningkat lagi pada fase baseline 2 (A-2) sebesar 11. Adapun jika divisualisasikan
sebagai berikut :

9
Grafik 2
Mean Level Kemampuan Komunikasi Subjek 2

Hasil yang diperoleh pada fase baseline 1 yaitu frekuensi anak dalam komunikasi
hanya berada pada kisaran 5-7, pada fase intervensi setelah diberikan beberapa kali
perlakukan dengan menerapkan metode PECS mengalami perubahan dengan meningkatnya
frekuensi komunikasi anak. Peningkatan frekuensi komunikasi dari setiap fase semakin
meningkat frekuensinya secara signifikan.
Analisis dalam kondisi subjek 1 pada fase baseline 1 (A-1) mengalami perubahan jejak
data menaik, menurun, dan mendatar secara tidak stabil sehingga menimbulkan
kecenderungan arah yang menaik namun kecil. Pada fase intervensi (B) anak mengalami hal
yang sama seperti fase baseline 1 (A-1) namun anak mengalami perubahan dan kecenderugan
arah yang menaik dengan frekuensi terdapat penambahan. Pada kondisi baseline-2 (A-2) anak
mengalami peningkatatan frekuensi dalam komunikasi hingga akhirnya menimbulkan
kecenderungan arah yang menaik.
Analisis antar kondisi subjek 2 sama dengan subjek 1 yaitu dari fase baseline 1 (A-1)
ke intervensi (B) tidak mengalami data yang tumpang tindih (overlap), begitu pula pada fase
intervensi (B) ke baseline 2 (A-2) tidak mengalami data yang tumpang tindih dengan hasil
presentase 0%.
Secara keseluruhan dari data yang telah diperoleh dan diolah hasilnya menunjukkan
adanya peningkatan dalam kemampuan komunikasi pada kedua anak autis dalam penelitian
tersebut.
Hasil penelitian mengenai penerapan metode PECS Picture Exchange Communication
System) ini memperkuat hasil penelitian-penelitian sebelumnya bahwa tidak ditemukan
adanya dampak negatif dari penggunaan PECS ini (Bondy, 2001). Kenyataannya banyak bukti

10
bahwa anak-anak autis yang menggunakan PECS perkembangan keterampilan bicaranya lebih
cepat dibandingkan dengan yang tidak menggunakan PECS (Bondy, 2001).
Kecenderungan naiknya jumlah frekeuansi anak autis dalam berkomunikasi sebagai
dari dampak penggunaan PECS diduga akan terus meningkat seiring dengan kebutuhan
komunikasi anak dalam kehidupannya sehari-hari. Meningkatnya frekuansi anak dalam
komunikasi akan beriringan dengan bertambahnya konten yang akan dikomunikasikan oleh
anak. Sehingga material yang akan digunakan dalam PECS akan semakin bertambah.
Meskipun hasil penelitian ini menunjukan peningkatan yang kecil, namun peningkatan
hampir terjadi pada semua fase intervensi. Jika proses intervensi ini dilakukan kepada anak
dengan kondisi dan karakteristik yang sama seperti kedua subjek dalam penelitian ini secara
berkelanjutan diduga kemampuan anak dengan hambatan komunkasi akan berkembang jauh
lebih baik.

E. KESIMPULAN

Penggunaan metode PECS (Picture Exchange Communication System) dapat dijadikan


alternative dalam melatih komunikasi anak autis karena metode ini menyesuaikan dengan
karakteristik komunikasi dan keunikan-keunikan anak autis. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa mean level kemampuan awal subjek 1 dalam kemampuan komunikasi pada baseline-A
(A-1) sebesar 4,7 pada fase intervensi memperoleh mean level 6,5, sedangkan pada fase
baseline-2 (A-2) setelah diberikan intervensi mendapatkan mean level sebesar 10. Sedangkan
kemampuan awal subjek 2 dalam kemampuan komunikasi pada baseline-A (A-1) sebesar 5,7
pada fase intervensi memperoleh mean level 7,63, sedangkan pada fase baseline-2 (A-2)
setelah diberikan intervensi mendapatkan mean level sebesar 11. Hasil penelitian kedua
subjek di atas menunjukan metode PECS (Picture Exchange Communication System)
memberikan pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak
autis.

DAFTAR PUSTAKA

Azwandi. (2005). Mengenal dan Membantu Penyandang Autis. Jakarta: Rineka.

11
Bondy, A. & Frost, L. A. (1998). An introduction to PECS: The Picture Exchange
Communication System. [video recording]. Newark, DE: Pyramid Educational
Consultants.

Bondy, A. & Frost, L. A. (1994). PECS: The Picture Exchange Communication System.
Cherry Hill, NJ: Pyramid Educational Consultants.

Bondy, A. & Frost, L. (2002). The Picture Exchange Communication System Training
Manual. (2nd ed.). Newark, DE: Pyramid Educational Products.

Delphie, B. (2009). Pendidikan Anak Autistik. Sleman: PT Intan Sejati.

Densmore, A.E. (2007). Helping Children with Autism Become More Social;76 ways to use
narrative play. USA: Preager Publishers, Greenwood Publishing Group, Inc.

Hadis, A. (2006). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus-Autistik. Bandung: Penerbit


Alfabeta.

Handojo, Y. (2004). Autisma: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar anak
Normal, autis, dan perilaku lain. Jakarta: PT. Bhuana ILmu Populer.

Heflin, J. L., & Alaimo, D. F. (2007). Students with autism spectrum disorder: Effective
instructional practices. Upper Saddle River, N J: Pearson

Howlin, P., Gordon, R. K., Pasco, G., Wade, A. & Charman, T. (2007). The effectiveness of
Picture Exchange Communication System (PECS) training for teachers of children
with autism: A pragmatic, group randomized controlled trial. Journal of Child
Psychology and Psychiatry. 48 (5), 473-481.

Jordan, R. and Powel, S. (1995). Understanding and Teaching Children with Autism. New
York: Jonh Wiley & Sons.

Judarwanto, W. (2006). Deteksi Dini Dan Skrening Autis. Tersedia:


http://www.alergianak.bravehost.com

Lewis, V. (2003). Development and Disability. 2nd edition. UK: Blackwell Publishers Ltd, a
Blackwell Publishing Company.

Murdock, L.C., Hobbs, J.Q. (2010). Picture Me Playing:Increasing Play Dialogue of Children
with Autism Spectrum Disorders. Journal Of Autism Developmental Disorder,
published online:25 september 2010.

Pamuji.(2007). Model Terapi Terpadu bagi Anak Autisme. Jakarta: Depdiknas, Dirjen Dikti
Direktorat Ketenagaan.
12
Rudi, L.J. (2007). Physical Therapy and Autism, The Basics. Tersedia: http://autism. about.
com.

Schwartz, I. S., Garfinkle, A. N., & Bauer, J. (1998). The Picture Exchange Communication
System: Communicative outcomes for young children with disabilities. Topics in
Early Childhood Education. 18(3), 144-159.

Vicker, B., (2010). Successfully using PECS with children with ASD. The Reporter, 15(3).
Retrieved from http://www.iidc.indiana.edu/index.php!pageID=3285

Wallin, J. M. (2004). Visual supports. Retrieved March 24, 2009 from:


http://www.polyxo.com/visualsupport/index.html

Wenar, C. and Kerig, P. (2006). Developmental Psychology from Infancy through


Adolescence. 5th edition. Boston: McGraw-Hill.

Wetherby, A.M. and Prizant, B.M,. (2005). Enhancing Language and Communication
Development in Autism Spectrum Disorder: Assesment and Intervention Guidelines.
Dalam Autism Spectrum Disorder: Identification, Education, and Treatment. Edited by
Dianne Zager. 3rd edition. USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Yoder, P., & Stone, W. L. (2006b). Randomized comparison of two communication


interventions for preschoolers with autism spectrum disorders. Journal of Consulting
and Clinical Psychology, 74, 426435. doi:10.1037/0022-006X.74.3.426

13

Anda mungkin juga menyukai