COMMUNICATION DISORDERS
KELOMPOK C :
VI-C
Laelatul Istivaiyah
Mutia Sari Ramadhani
Tartini
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019
A. Definisi Gangguan Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu proses timbal balik yang terjadi antara pengirim
dan penerima pesan. Proses komunikasi terdiri dari orang yang mengirim pesan, isi
pesan, serta orang yang menerima pesan. Antara si pengirim pesan maupun si
penerima pesan saling mempengaruhi. Orang yang menerima pesan akan menjawab
atau memberi reaksi terhadap pengiriman pesan, sehingga terjadi interaksi antara
pengirim pesan dan penerima pesan.
1. Menurut Hallahan dan Kaufan (2006) dalam buku yang ditulis oleh Frieda
menjelaskan bahwa anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah mereka
yang tidak memiliki perhatian untuk berkomunikasi dengan orang-orang
dilingkungannya dengan tujuan bersosial.
2. Sewaktu kecil, gumaman yang biasanya muncul ketika anak sudah mulai atau
sebelum dapat bicara tidak muncul. Ini terjadi pada anak yang terdiagnoasa
autisma.
3. Berbicara tapi ada hal yang abnormal dari segi intonasi, rate, volume dan isi
bahasanya. Misalnya bicara seperti robot, mengulang-ulang perkataan yang
didengar, sulit menggunakan bahasa karena mereka tidak sadar dengan reaksi
pendengarnya.
4. Sering tidak memahami ucapan yang ditujukan kepada mereka. Sulit memahami
bahwa satu kata memiliki makna atau banyak arti.
5. Meggunakan kata-kata yang aneh, seperti ketika melihat mobil mereka
mengatakan “empat”.
6. Terus mengalami pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meskipun mereka sudah
tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Contoh kecilnya adalah “Ma, itu kambing
ya.?. Mereka tidak menghiraukan lawan bicaranya, yang jelas mereka suka
dengan topik pembahasan yang diangkat dan tidak jarang memperpanjang
pembicaraan.
7. Sering mengulang-ngulang kata-kata yang baru atau pernah mereka dengar tanpa
ada maksud untuk berkomunikasi sama sekali. Mereka sering berbicara dengan
diri mereka atau benda yang disukai dengan bahasa mereka sendiri.
8. Menarik diri dari lingkungan yang mereka tinggali, tidak paham dengan
pembicaraan yang didengarnya, kesulitan dalam mengolah kata-kata.
9. Memiliki gangguan komunikasi non verbal. Tidak pernah menggunakan gerak
tubuh ketika berbicara layaknya orang-orang normal lain yang secara spontan
terlihat ketika mereka berbicara.
10. Pada gangguan lain, gangguan komunikasi biasanya terjadi kepada orang-orang
yang tuna wicara yang memang tidak pernah tahu atau kesulitan untuk menyebut
kata-kata ketika berkomunikasi karena adanya gangguan saraf yang mengontrol
komunikasi verbal manusia.
1. Kondisi organ bicara mengalami kerusakan (bibir, gigi, pita suara, langit-langit
keras atau lunak, rongga mulut, hidung tenggorokan).
2. Organ pendengaran yang berfungsi sebagai transmisi rangsang bunyi dari
lingkungan dan diteruskan keotak untuk menerima pesan tidak berfungsi dengan
baik.
3. Persyarafan pusat yang berfungsi untuk mengkoordinir sensorimotoris dalam
berkomunikasi berfungsi untuk mendasari pikiran dan organ pola tindakan juga
tidak berfungsi dengan baik.
1. Gangguan Bahasa
Bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan. Hal ini sesuai dengan kaidah
pertama bahasa, yakni bahasa adalah lambang bunyi. Ganguan bahasa merupakan
salah satu jenis kelainan atau gangguan dalam komunikasi dengan indikasi klien
yang mengalami kesulitan atau kehilangan dalam proses simbolisasi. Kesuliatan
simbolisasi ini mengakibatkan seseorang tidak mampu memberikan simbol yang
diterima dan tidak mampu mengubah konsep pengertiannya menjadi simbol-
simbol yang dapat dimengerti oleh orang lain dalam lingkungannya. Beberapa
bentuk gangguan bahasa adalah sebagai berikut:
Adalah salah satu bentuk dalam kelainan bahasa yang ditandai dengan
kegagalan klien dalam mencapai tahapan perkembangannya sesuai dengan
perkembangan bahasa anak normal seusiannya.
b. Afasia
Afasia adalah salah satu jenis kelainan bahasa yang disebabkan adanya
kerusakan pada pusat-pusat bahasa di cortex cerebri. Kerusakan pada pusat-
pusat yang dialami oleh anak disebut afasia anak. Dan kerusakan pusat yang
dialami oleh orang dewasa disebut afasia dewasa. Secara klinis afasia
dibedakan menjadi :
1) Afasia Sensoria
2) Afasia Motoris
3) Afasia Konduktif
4) Afasia Amnestik
2. Gangguan bicara
a. Disaudia
Disaudia adalah satu jenis gangguan bicara yang disebabkan gangguan
pendengaran. Gangguan pendengaran tersebut menyebabkan kesulitan dalam
menerima dan mengolah nada intensitas dan kualitas bunyi bicara, sehingga
pesan bunyi yang tidak sempurna dan mungkin salah arti. Pada anak
tunarungu kesalahan tersebut sering dipergunakan dalam berkomunikasi.
Misalnya kata /kopi/, ia dengar /topi/, kata /bola/, ia dengar /pola/.
b. Dislogia
c. Disartria
1) Spastic Disartria
Ketidakmampuan berbicara akibat spastisitas atau kekakuan otot-otot
bicara. Ditandai dengan bicara lambat dengan terputus-putus, karena
tidak mampu melakukan gerakan organ bicara secara biasa.
2) Flaksid Disartria
Ketidakmampuan bicara akibat layuh atau lemahnya otot-otot organ
bicara, sehingga tidak mampu berbicara seperti biasa.
3) Ataksia Disartria
Ketidakmampuan bicara karena adanya gangguan koordinasi gerakan-
gerakan fonasi, artikulasi dan resonansi. Terutama pada saat memulai
kata/kalimat.
4) Hipokinetik Disartria
Ketidakmampuan dalam memproduksi bunyi bicara akibat penurunan
gerak dari otot-otot organ bicara terhadap rangsangan dari pusat/cortex.
Ditandai dengan tekanan dan nada yang monoton.
5) Hiperkinetik Disartria
Ketidakmampuan dalam memproduksi bunyi bicara terjadi akibat
kegagalan dalam melakukan gerakan yang disengaja, ditandai dengan
abnormalitas tonus atau gerakan yang berlebihan sehingga muncul
kenyaringan.
d. Disglosia
3. Gangguan Suara
Gangguan pada proses produksi suara merupakan salah satu jenis gangguan
komunikasi. Gangguan tersebut meliputi:
a. Kelainan Nada
Gangguan pada frekuensi getaran pita suara pada waktu ponasi yang
berakibat pada gangguan nada yang diucapkan, yaitu nada tinggi, nada
rendah, nada datar, dwinada, suara pubertas.
4. Gangguan Irama
c. Palilalia, Kelainan ini jarang terjadi, dan biasanya terjadi setelah usia
dewasa.
Peranan Guru dalam mengatasi anak dengan gangguan Komunikasi di
Sekolah Reguler. Sekolah merupakan lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan untuk peserta didik , yang mempunyai tujuan untuk
mengembangkan kemampuan dengan memperhatikan tahap perkembangan
dasar dan kesesuian dengan lingkungan, sehingga muncul kemandirian.
2. Pola atau cara komunikasi dengan anak gangguan komunikasi, sebagai berikut:
a. Wajah yang terarah
Dasar yang pertama dilakukan pada umunnya ketika seseorang
berbicara dengan orang lain adalah melihat wajah lawan bicaranya, karena itu
anak autis yang biasanya kesulitan melakukan kontak mata, pertama kali
latihlah ia untuk melihat wajah dari lawan bicaranya. Ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk melatih anak melihat wajah :
1) Jangan mulai pembicaraan sebelum anak melihat kepada anda
2) Dekatkan mainan atau benda yang sangat disukai anak ke wajah anda
sehingga anak mengikutinya sebelum mulai berbicara
3) Setiap kali terjadi kontak mata dengan anak anda meskipun tidak
disengaja,usahakan untuk melakukan suatu pembicaraan
4) Bermainlah “ci luk ba” untuk melatih kesadaran anak dengan wajah orang
lain di sekitarnya
b. Suara yang terarah
Anak-anak autis seringkali tidak memahami makna dari bunyi yang
didengarnya, dan itu bunyi apa. Latihlah anak untuk sadar dengan berbagai
bunyi yang ada di sekitarnya dengan beberapa aktivitas sebagai berikut :
1) Pekalah terhadap reaksi anak saat mendengar bunyi tertentu, langsung
tunjukan pada anak dimana sumber bunyi tersebut berasal.
2) Mainkan bunyi-bunyian secara bergantian dari berbagai arah, dan pancing
anak untuk menemukan dari arah mana sumber bunyinya.
3) Biasakan anak bercakap-cakap dengan anda di berbagai suasana, sepi atau
ramai
c. Suasana bersama antara anak dengan orangtuanya
Kemampuan berbahasa kita secara otomatis berkembang ketika kita
berada di tengah lingkungan yang terus menerus menggunakan bahasa
tersebut. Percakapan sehari-hari yang kita dengar sejak bayi membuat kosa
kata kita bertambah dengan sendirinya tanpa ada yang mengajarkannya secara
sengaja. Karena itu percakapan antara anak dengan orang tua ata deungan
orang lain yang ada di sekitarnya sangat penting perannya dalam
mengembangkan kemampuan berbahasa anak. Sering-seringlah mengajak
anak berbicara dalam situasi apapun. Ceritakan pada anak apapun, lepas dari ia
benar-benar mengerti atau tidak. Memang orang tua seringkali terkesan
“cerewet” dalam hal ini, tapi ini akan berdampak positif untuk perkembangan
bahasa dan wicara anak.
d. Tanggapan terhadap apa yang ingin dikatakan anak
Kadang-kadang anak berusaha mengatakan sesuatu, namun karena
kemampuan wicara dan bahasanya yang masih terbatas, ia hanya mengatakan
dengan menggunakan isyarat, eksspresi wajah, atau kata-kata yang tidak
lengkap. Misalnya saat ingin minum, anak hanya menunjuk sambil bilang
‘eeegghh...eghhh..”. saat reperti ini dibahasakanlah kehendak anak dengan
kalimat yang jelas : “oohh andi ingin minum “ atau “Andi haus dan ingin
minum dengan cangkir warna hijau”
e. Manfaatkan kepandaian anak dalam meniru
Anak memiliki kemampuan meniru sesuatu dengan sangat baik. Ada
baiknya kita memanfaatkan kemampuan ini dengan memberikan model bahasa
atau kata-kata yang sesuai. Misal dengan menggunakan flashcard lalu kita
mengucapkan nama gambar di dalam flashcard. Lakukan sesering mungkin
dan terus-menerus. Ajak anak berbicara berdua dengan berbagai kalimat dalam
suasana yang nyaman sesering mungkin sehingga ia terdorong untuk
mengingat dan meniru kata-kata
f. Berikan apresiasi positif atau inisiatif anak bercerita
Ketika anak menceritakan sesuatu tentang dirinya sendiri, misalnya
tentang mainannya, temannya atau apapun secara spontan, selalu sempatkan
untuk memberi tanggapan dengan bahasa indonesia yang baik dan benar yang
sering dipakai dalam percakapan sehari-hari. Beri apresiasi atas apa yang
diceritakan anak sehingga anak termotivasi untuk berceritera kembali lain kali.
Hindari sikap mengabaikan atau komentar yang membuat anak merasa enggan
untuk berbicara lagi lain kali seperti “adek berisik ah, mama jadi gak bisa
mikir nih”. Apresiasi secara positif kemauan anak untuk bercerita dan pancing
dengan berbagai pertanyaan yang membuat anak bercerita lebih banyak.
Selingi aktivitas bercakap-cakap dengan kegiatan yang menyenangkan seperti
meminta anak menggambarkan bentuk mainan yang diceritakannya, atau
binatang yang dilihatnya, memperagakan bagaimana kejadian yang dilihatnya
tadi, agar anak lebih bersemangat.
g. Kembangkan komunikasi yang penuh empati
Biasakan juga untuk melibatkan percakapan yang mewakili muatan
emosi untuk mengembangkan emosi anak terhadap sesuatu disekitarnya. Anak
autis seringkali kesulitan memahami apa yang ada di sekitarnya. Dengan
mengembangkan percakapan yang bermuatan emosi membantu anak sekaligus
untuk belajar peka dan memahami situasi disekitarnya, misalnya : “lihat kaki
kucingnya terluka,pasti sakit sekali kakinya ya, kasihan......, ayo kita obati atau
adek tadi jatuh ya ? kasihan, pasti sakit ya rasanya? Lain kali hati-hati ya ?”
h. Berbicara benar dalam berbagai situasi
Biasakan untuk melakukan percakapan lengkap dengan anak dalam
kondisi apapun, saat anak bermain, di rumah, di sekolah, dalam kegiatan
apapun yang sedang dilakukan anak. Meskipun anak masih kesulitan
mengucapkan kata atau kalimat yang benar, teruslah berbicara pada anak
dengan bahasa yang baik dan benar. Hal ini akan menstimulasi otak anak
untuk memodel kalimat dan kata yang benar. Kalimat-kalimat yang kita
ucapkan menjadi input di otak anak untuk direkam dan dikeluarkan kembali
pada saat ia berbicara nantinya.
i. Permainan tiba-tiba
Permainan tiba-tiba merupakan permainan tidak terencana tapi
mengasyikan, karena mengajari anak berbicara dari apa yang menarik
perhatian anak saat itu. Misalnya anak tertarik pada kaleng berkas yang
kebetulan tergeletak di lanlai. Lantas anak mengambil, membuka dan menutup
kaleng tersebut. Kesempatan ini dapat digunakan oleh orang tua atau terapis
untuk mengajari konsep “ buka “ atau “tutup”.
Caranya, orang tua atau terapis menutup kaleng sambil mengatakan,
“tutup”. Lantas penutup kaleng tersebut diberikan kepada anak. Kemudian
minta anak untuk mengikuti apa yang dilakukan sebelumnya. Atau, bisa juga
menggunakan kaleng lain, agar orang tua atau terapis dan anak melakukan
permainan ini secara bersamaan.
Jadi, Pola atau cara orang tua melakukan komunikasi dengan anak di
rumah adalah melalui latihan kepatuhan kemudian diikuti dengan kontak mata
melalui tatacaranya masing-masing dan bila dua hal itu terjadi anak akan
diberikan imbalan seperti pujian dan pelukan, belaian baru dilanjutkan dengan
melafalkan huruf-huruf atau bertanya siapa namanya, sedang buat apa atau
mengajak anak bernyanyi lagu-lagu yang pendek bahkan dalam bidang
akademik anak diajar menulis, membaca dan berhitung dan bila berhasil
dilakukan oleh anak akan diikuti dengan imbalan seperti pujian.
1. Language Disorder
a. Kesulitan yang sifatnya terus menerus dalam menerima dan menggunakan
bahasa saat melakukan banyak hal (berbicara, menulis, bahasa isyarat dan
lainnya) karena kurangnya pemahahan atau produktivitasnya yang
diantaranya meliputi :
1) Pengurangan kosa kata
2) Struktur kalimat yang terbatas
3) Kelemahan dalam percakapan
b. Kemampuan bahasa yang pada hakikatnya dan secara terukur berada
dibawah apa yang seharusnya terjadi pada usia tertentu, yang menghasilkan
keterbatasan dalam berkomunikasi yang efektif, partisipasi sosial, prestasi
akademik atau kinerja pekerjaan, terjadi secara individu ataupun dalam
bentuk gabungan.
c. Munculnya gejala-gejala pada awal masa perkembangan.
d. Kesulitan yang dialami tidak disebabkan karena kelemahan atau kerusakan
pendengaran ataupun kemampuan sensoris lainnya, tidak karena ketidak
berfungsian motorik atau kondisi medis dan neurologi lainnya, serta
dijelaskan sebagai gangguan intelektual atau keterlambatan perkembangan
global.
2. Speech Sound Disorder
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Kemampuan Berbicara :
a. Kesulitan dalam mengeluarkan suara sehingga mengganggu kejelasan suara
atau menghalangi komunikasi pesan verbal.
b. Gangguan berbicara menyebabkan keterbatasan dalam komunikasi yang
efektif yang mengganggu partisipasi sosial, prestasi akademik atau kinerja
kerja, secara individual atau dalam kombinasi apapun.
c. Timbulnya gejala dalam periode awal perkembangan.
d. Gangguan berbicara tidak disebabkan atau didapat dari kondisi bawaan
seperti kelumpuhan pada otak, bibir sumbing, tuli atau gangguan
pendengaran, cedera otak traumatis atau neurologis atau kondisi medis
lainnya.
3. Childhood-Onset Fluency Disorder (Stuttering)
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Kefasihan Kata Pada Anak-anak (Gagap):
a. Gangguan kelancaran kata tidak sesuai untuk usia yang pada umumnya sudah
mampu untuk berbicara normal dan kemampuan bahasa pada individu ini
biasanya bertahan dari waktu ke waktu dan sering ditandai dengan satu
kejadian (atau lebih), seperti berikut;
1) Penggulangan suara pada suku kata.
2) Perpanjangna suara pada konsonan maupun vocal.
3) Pemutusan kata (misalnya, jeda dalam kata)
4) Hambatan yang terdengar atau tenang (ada atau tidaknya jeda dalam
berbicara).
5) Pemakaian kata-kata yang terlalu banyak (substitusi kata untuk
menghindari kata-kata bermasalah).
6) Menghasilkan kata-kata yang berlebihan akibat ketegangan fisik yang
berlebihan.
7) Pengulangan seluruh kata yang bersuku (misalnya, aku-aku-aku-aku
melihatnya).
b. Gangguan kelancaran kata ini menyebabkan kecemasan atau keterbatasan
berbicara dalam komunikasi yang efektif, partisipasi sosial, atau kinerja
akademis atau pekerjaan, baik secara individu atau dalam kombinasi apapun.
c. Timbulnya gejala pada periode awal perkembangan.
d. Gangguan kelancaran kata tidak disebabkan oleh kemampuan bicara motorik
dan sensorik, ketidaklancaran yang berhubungan dengan kondisi neurologis
(misalnya, stroke, tumor, trauma) atau kondisi medis lain dan tidak dapat
dijelaskan oleh gangguan mental lain.
4. Social (Pragmatic) Communication Disorder
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis) :
a. Kesulitan terus-menerus dalam penggunaan komunikasi sosial verbal dan
nonverbal seperti yang dituturkan hal berikut:
1) Kurang berkomunikasi dalam berinteraksi dalam sosial, seperti menyapa
dan berbagi informasi, dalam menggunakan cara yang tepat untuk
konteks sosial.
2) Kelemahan dalam kemampuan mengubah komunikasi untuk
mencocokkan konteks dengan pendengar, seperti berbicara secara
berbeda di kelas daripada di taman bermain, berbicara secara berbeda
kepada anak-anak daripada orang dewasa, dan menghindari penggunaan
bahasa yang terlalu formal.
3) Kesulitan dalam aturan berbicara dan bercerita, seperti bergiliran dalam
berbicara, mengulang ketika disalah pahamkan, dan mengetahui
bagaimana menggunakan sinyal verbal dan nonverbal untuk mengatur
interaksi berikut.
4) Kesulitan memahami apa yang tidak dinyatakan secara eksplisit
(membuat kesimpulan) dan makna nonliteral atau ambigu dari bahasa
(ungkapan, humor, kiasan, beberapa makna yang bergantung pada
konteks untuk interpretasi).
b. Kurangnya berkomuniksi mengakibatkan keterbatasan fungsional dalam
komunikasi yang efektif, partisipasi sosial, hubungan sosial, prestasi
akademik, atau kinerja kerja, secara individual atau dalam kombinasi.
c. Timbulnya gejala dalam periode awal perkembangan (tapi defisit tersebut
mungkin tidak menjadi sepenuhnya terwujud sampai tuntutan komunikasi
sosial melebihi kapasitas tertentu).
d. Gejala tersebut tidak disebabkan kondisi medis atau neurologis atau
kemampuan rendah dalam mendomain struktur kata dan tata bahasa, dan
gangguan spektrum autism tidak menjelaskan dengan baik, cacat intelektual
(gangguan perkembangan intelektual), keterlambatan perkembangan global,
atau gangguan mental lainnya .
5. Unspecified Communication Disorder (Gangguan komunikasi yang tidak
ditentukan)
Kelompok ini berlaku pada gejala karakteristik dari gangguan komunikasi
yang disebabkan karena distress atau kelemahan sosial, pekerjaan atau bidang-
bidang penting lainnya tentang fungsi yang menonjol namun tidak memenuhi
kriteria secara keseluruhan untuk gangguan komunikasi atau untuk salah satu
gangguan dalam gangguan perkembangan syaraf.
Kelompok Unspecified Communication Disorder digunakan pada situasi
dimana klinisi memilih untuk tidak memberikan diagnosa dengan alasan bahwa
kriteria gangguan tidak terpenuhi untuk gangguan komunikasi atau gangguan
perkembangan syaraf tertentu, dan disajikan ketika informasi tidak mencukupi
untuk membuat diagnosa khusus.
G. Perkembangan Bahasa Pada Anak Umumnya
Menurut Nippold (2006), Masykouri (2011a, 2011b, 2011c) dan Zubaidah,
perkembangan bahasa dalam komunikasi sesuai tingkatan usia adalah sebagai berikut:
1) Masa usia 0 – 2 tahun
Pada rentang usia 0-2 tahun, bayi mengalami beberapa tahapan berbahasa,
yaitu :
a) Usia 0-6 minggu. Sejak bayi lahir hingga ia berusia 6 minggu, bayi hanya
dapat menangis dan tidak dapat mengeluarkan suara tertentu. Adapun
bentuk komunikasi yang dapat dilakukan oleh bayi adalah komunikasi
nonverbal atau bahasa tubuh dalam komunikasi lainnya seperti gerakan
kaki atau gerakan lengan, kontak mata, dan ekspresi wajah.
b) Usia 2-4 bulan. Di usia ini, bayi mulai mengeluarkan suara-suara atau
bunyi-bunyi vokal yang dilakukan secara berulang seperti “u…u…” atau
“a…a…” ketika ia merasa nyaman. Namun, suara atau bunyi seperti itu
selanjutnya akan menghilang beberapa bulan setelahnya.
c) Usia 4-6 bulan. Di usia sekitar 5 bulan, bayi akan mengeluarkan bunyi
mengoceh secara acak yaitu sekumpulan suara yang dikeluarkan bayi
ketika mendapatkan perhatian orang lain. Selain itu, bayi juga mulai dapat
mengeluarkan suara atau bunyi yang lebih beragam. Hal ini disebabkan
karena semakin matang dan membaiknya pita suara serta kemampuan
bernafas bayi.
d) Usia 6-8 bulan. Di rentang usia ini, bayi mengeluarkan ocehan dengan
bunyi yang lebih terkendali serta mulai menggunakan suara yang berulang
dan lebih jelas seperti “papapa”, “mamama”, atau “dadada”.
e) Usia 8-12 bulan. Di masa ini, anak mulai mengeluarkan suara seakan-akan
berbicara dengan orang tuanya. Komunikasi nonverbal seperti intonasi
suara dan ekspresi wajah mulai tampak seperti benar-benar berbicara,
tetapi belum ada kata jelas yang diucapkannya.
f) Usia 12-18 bulan. Di rentang usia ini, anak mulai dapat mengucapkan kata
pertama. Hingga usianya mencapai 18 bulan, kata-kata yang berhasil
diucapkan mencapai 50 kata.
2) Masa usia 2-4 tahun
Pada rentang usia ini, kemampuan bahasa anak mulai berkembang. Ia
tidak lagi menangis ketika ingin sesuatu tetapi mulai dapat mengungkapkan
apa yang ia inginkan. Tidak hanya kemampuan berbahasa yang mengalami
perkembangan melainkan juga kemampuan mendengar serta kemampuan
sosialnya. Di masa ini seorang anak mulai bermain dengan teman sebayanya
dan belajar berbagai keterampilan sosial dalam interaksi bersama lingkungan
sosialnya. Adapun tahapan perkembangan bahasa pada masa ini ditandai
dengan :
a) Usia sekitar 2 tahun. Di usia ini, anak mulai dapat menerima bahasa
dengan baik, menggunakan bahasa telegrafik yang terdiri dari 2 hingga 3
kata. Selain itu, jumlah kosa kata yang digunakan terdiri 3 hingga 50
kata.
b) Usia sekitar 3 tahun. Di usia ini, anak keterampilan sosial anak mulai
meningkat, berusaha untuk berkomunikasi, dan mulai menggunakan
percakapan. Jika anak tidak memahami apa yang disampaikan oleh orang
lain akan menunjukkan frustrasi. Adapun jumlah kosa kata yang dikuasai
semakin bertambah yakni sekitar 300 hingga 500 kata.
c) Masa usia 4-6 tahun. Di rentang usia 4-6 tahun, anak mengalami
kemajuan dalam penggunaan bahasa. Anak sudah mampu untuk
mengemukakan pikirannya dengan menggunakan kalimat-kalimat yang
jelas.
Di masa usia sekolah ini, anak-anak juga juga mulai dapat memberikan
bantuan dan menunjukkan sifat memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan orang lain, mengembangkan kemampuan naratif yang ditandai
oleh peristiwa yang diurutkan secara sebab akibat atau
bercerita, menunjukkan peningkatan keterampilan percakapan, memperluas
topik pembicaraan, dan menggunakan bahasa untuk berbagai macam fungsi.
DSM – 5. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Washington DC:
American Psychiatric Association
File.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA
Greene B., Rathus. A, & Nevid S. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 2. PT. Gelora Aksara
Pratama: ERLANGGA.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/aini-mahabbati-spd-ma/ppmlayanan-
pendidikan-untuk-anak-berkebutuhan-khusus.pdf
Wahyuningtyas.2010. Gangguan