OSTEOMIELITIS
Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat serta hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan salah satu tugas pada mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah II. Makalah ini berisikan tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Osteoporosis Dan Osteomielitis.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari adanya dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan
masukan yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan, baik dari segi isi
materi maupun sistematika penulisannya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Definisi
B. Etiologi
1. Determinan Massa Tulang
a. Faktor Genetik
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat
kepadatan tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup
besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada
umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia
bangsa Kaukasia. Jacii seseorang yang mempunyai tulang kuat
(terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena
osteoporosis (Purwanto, 2016).
b. Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping
faktor genetik. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang
dan berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa
tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan respons terhadap kerja
mekanik. Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot
besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah
pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi
baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau
tungkainya, sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan
dijumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu
yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa.
Walaupun demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar beban
mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa
tulang di samping faktor genetik (Purwanto, 2016).
c. Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang
cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai
maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan.
Pemberian makanan yang berlebih (misalnya kalsium) di atas
kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat
menghasilkan massa tulang yang melebihi kemampuan pertumbuhan
tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan genetiknya
(Purwanto, 2016).
2. Determinan Penurunan Massa Tulang
a. Faktor genetik
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah
mendapat risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar.
Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai
ukuran tulang normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal
sesuai dengan sitat genetiknya serta beban mekanis den besar
badannya. Apabila individu dengan tulang yang besar, kemudian
terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan
dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih
mempunyai tulang lebih banyak dari pada individu yang mempunyai
tulang kecil pada usia yang sama (Purwanto, 2016).
b. Faktor mekanis
Faktor mekanis mungkin merupakan yang terpenting dalarn proses
penurunan massa tulang schubungan dengan lanjutnya usia. Walaupun
demikian telah terbukti bahwa ada interaksi panting antara faktor
mekanis dengan faktor nutrisi hormonal. Pada umumnya aktivitas fisis
akan menurun dengan bertambahnya usia; dan karena massa tulang
merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut pasti akan
menurun dengan bertambahnya usia (Purwanto, 2016).
c. Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia,
terutama pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan nutrisi
yang sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri menopause,
dengan masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak, akan
mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang
mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik,
menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas,
bahwa pada wanita masa menopause ada hubungan yang erat antara
masukan kalsium dengan keseimbangan kalsium dalam tubuhnya.
Pada wanita dalam masa menopause keseimbangan kalsiumnya akan
terganggu akibat masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi
melalui urin yang bertambah. Hasil akhir kekurangan/kehilangan
estrogen pada masa menopause adalah pergeseran keseimbangan
kalsium yang negatif, sejumiah 25 mg kalsium sehari (Purwanto,
2016).
d. Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan
mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui
urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium. Pada umumnya
protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama makanan lain.
Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fosfor tersebut
akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor
tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil
akhir dari makanan yang mengandung protein berlebihan akan
mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium
yang negative (Purwanto, 2016).
e. Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini
disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari
makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal
(Purwanto, 2016).
f. Rokok dan Kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai
masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok
terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein
dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja
(Purwanto, 2016).
g. Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering
ditemukan. Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan
masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang
meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti
(Purwanto, 2016)
C. Patofisiologi dan WOC
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen
dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortiko steroid menyebabkan
kehilangan tulang. Obat-obatan seperti isoniazid, heparin, tetrasiklin, antasida
yang mengandung aluminium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan
sumplemen tiroid memengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
H. Diagnosis Keperawatan
A. Definisi
B. Etiologi
Infeksi ini dapat disebabkan oleh penyebaran hematogen, dari fokus infeksi
ditempat lain ( misal tonsil yang terinfeksi, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas
atas) osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat trauma
yang terdapat resistensi rendah. Infeksi dapat juga berhubungan Dengan infeksi
jaringan lunak, misal ulkus dekubitus atau ulkus vascular, atau kntaminasi
langsung pada tulang (misal fraktur terbuka, luka ttembak, dan pembedahan
tulang (Lukman & Ningsih, 2009).
Biasanya abses dapat keluar secara spontan, namun lebih sering harus
dilakukan irigasi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam
dindingnya. Membentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga pada
umumnya,jaringan tulang mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan mengalir di
luar,selain itu rongga tidak dapat mengepis dan sembuh.seperti yang terjadi pada
jaringan lunak tetapi yang terjadi adalah pertumbuhan tulang baru (involukrum)
yang mengelilingi sequestrum infeksi kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan
abses kambuhan sepanjang hidup klien,dan ini dinamakan esteomielitis tipe
kronik (Lukman & Ningsih, 2009).
D. Manifestasi Klinis
Berupa progresif atau cepat infeksi hematogen akur, sering terjadi dengan
mamifestasi klinis septicemia yaitu mengigil, demam tinggi, denyut nadi cepet,
dan malasae umum, sedangkan gejala local yang terjadi berupa rasa nyeri, nyeri
tekan, bengkak, dan kesulitan mengerakkan anggota tubuh yang sakit (smelrzer
2002 dan sjamsuhidajat 1997) klien mengambarkan nyeri konstan berdenyut,
semakin nyeri bila digerakkan dan berhubungan dengan tekanan pus yang
terkumpul.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Periksaan darah. Sel darah darah puti meningkat sampai 30.000 gr\dl
disertai peningkatan laju endapan darah.
2. Periksaan titer antibody-antibosyplhylococcus.
Pemeriksaan kultur darah untuk menuntukan bakteri (50% positif) dan
diikuti dengan uji sensitivitas
3. Pemeriksaan kultur feses dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi
oleh salmonella.
4. Pemeriksaan biopsy tulang.
5. Pemeriksaan ultrasound.
Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
6. Pemeriksaan radologis.
Pemeriksaan fot polos dalam 10 hari pertama biasanya tidak ditemukan
kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi
tulag yang bersifat difuse.
F. Penatalaksanaan
Pemberian antibiotic sesuai dosis, waktu dan order sangat penting untuk
mencapai kadar antibiotik dalam darah yang adekuat. Antibiotik parenteral harus
diberikan sesuai dosis yaitu selama enam minggu (revers, 2001). Sebelum
pemberian antibiotik, sebaiknya dilakukan kultur darah dan kultur abses untuk
mengetahui organisme penyebab. Bila infeksi tampak terkontrol, antibiotic dapat
diberikan peroral dan diberikan selama tiga bulan. Untuk meningkatkan absorpsi
antibiotic oral, jangan diminum bersama makanan.
G. Pengkajian
H. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan
keterbatasan beban berat badan
3. Risiko tinggi penyebaran infeksi: pembentukan abses tulang
4. Risiko cedera berhubungan dengan rapuhnya tulang, kekuatan tulang yang
berkurang
5. Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan
I. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Diagnosis keperawatan: nyeri berhubungan dengan inflamasi dan
pembekakan
Tindakan
a. imobilisasi daerah cedera dengan bidai, untuk mengurangi spasme otot
dan nyeri
b. letakan sendi di bagian atas dan bawah yang sakit sedemikian rupa ,dan
anjurkan klien untuk menggerakkan sesuai rentang gerak yang dapat
ditoleransi
c. menangani luka dengan perlahan dan hati-hati
d. tinggikan area yang sakit
e. pantau status neurovaskuker
f. ajarkan teknik relaksasi seperti napas dalam
g. berikan analgesik sesuai order
Kriteria evaluasi
Nyeri reda/berkurang ditandai:
1) klien melaporkan nyeri berkurang
2) tidak mengalami nyeri tekan di area infeksi
3) merasa nyaman bila bergerak
2. Diagnosis keperawatan kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
nyeri, alat imobilisasi ,dan keterbatasan dan berat badan
Tindakan
a. bantu aktivitas sehari-hari klien sesuai kebutuhan
b. anjurkan partisipasi klien dalam kehidupan sehari-hari sesuai toleransi
c. ajarkan dan anjurkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan
aman.
Kriteria evaluasi
Klien memperlihatkan peningkatan mobilitas fisik:
1) berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri
2) mempertahankan fungsi penuh ektremitas yang sehat
3) memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan
aman
3. Diagnosis Keperawatan: Resiko tinggi penyebaran infeksi (pembentukan
abses tulang
Tindakan
a. Observasi tempat pemasangan Infus dari kemungkinan flebitis.
b. Pantau respon klien terhadap terapi antibiotic
c. Pantau hasil pemeriksaan Laboraturium
d. Tinggikan area infeksi
e. Kolaborasi dalam pemberian terapi antibiotic
f. Siapkan pembedahan, bila diperlukan
Kriteria Hasil
Infeksi tidak terjadi yang ditandai dengan :
1) Klien menggunakan antibiotik sesuai resep
2) Suhu badan normal
3) Pembengkakan tidak ada
4) Pus tidak ada
5) Angka leukosit dan lau endap darah kembali normal
6) Biakan darah negatif
4. Diagnosis Keperawatan: Kurang pengetahuan mengenai program
pengobatan
Tindakan
a. Jelaskan penyakit; pengertian, Penyebab, akibat dan cara
pengobatannya.
b. Diskusikan bersama keluarga pentingnya pemberian dukungan kepada
klien
c. Anjurkan klien untuk mematuhi program yang sudah dibuat secara
bersama sama
Kriteria hasil
Klien mematuhi program pengobatan :
1) Menggunakan antibiotik sesuai resep
2) Mematuhi program yang dibuat bersama perawat
BAB III
PENELITIAN TERKAIT SALAH SATU INTERVENSI
2. Importance
3. Applicability
a. Tingkat pengetahuan wanita menopause di kelurahan sumbersari
RW.01 kecamatan lowokwaru kota malang sebagian besar cukup baik
yaitu sebanyak 21 orang (70 %).
b. Konsumsi kalsium dalam tubuh pada wanita menopause di kelurahan
sumbersari RW.01 kecamatan lowokwaru kota malang kurang baik
yaitu sebanyak 23 orang (77 %).
c. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan konsumsi
kalsium dalam tubuh, sesuai hasil uji statistik Spearman menunjukan p
= 0,002 dengan tingkat korelasi r = 0,478.
BAB IV
KESIMPULAN
Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah
penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya
fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap patah tulang.
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Etiologi dari osteoporosis adalah dari faktor genetik, faktor mekanis dan kalsium.
Salah satu manifestasi klinis dari osteoporosis adalah timbulnya nyeri secara
mendadak, dan salah satu pemeriksaan penunjang dari osteoporosis adalah
pemeriksaan radiologi untuk menunjang diagnosis keperawatan serta untuk
menyusun asuhan keperawatan (Lukman & Ningsih, 2009).