Anda di halaman 1dari 65

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN

PSIKO SOSIAL DAN SPIRITUAL


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Keperawatan Gerontik

TIM DOSEN
Inggrid Dirgahayu, S.Kp., M.KM

Disusun:
Astiyani AK.1.16.007
Fahrul Hikmah Rinaldi AK.1.16.019
Ghina Nur Maulida AK.1.16.022
Lisna Widiyanti AK.1.16.031
M. Wisnu Suryaman AK.1.16.038
Sri Nuryanti AK.1.16.050
Tirta Budiman AK.1.16.051

Kelas A Tingkat III Semester VI, Kelompok 5

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BHAKTI KENCANA BANDUNG
2019Kata Pengantar

Puji dan syukur Tim penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas
Rahmat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Gangguan Psiko
Sosial dan Spiritual” yang merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Gerontik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan masih terdapat
beberapa kekurangan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya pengetahuan dan
wawasan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan di masa yang akan
datang, karena manusia yang mau maju adalah orang yang mau menerima kritikan
dan belajar dari suatu kesalahan.
Akhir kata dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Gangguan Psiko Sosial dan
Spiritual” mendapat ridho dari Allah SWT, dan dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amiin....

Bandung, Maret 2019

Tim Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
2
C. Tujuan Penulisan
2

BAB II Tinjaun Teori 3


2.1 Konsep Lansia
3
2.2 Konsep Gangguan Psikologi Pada Lansia
16
2.3 Konsep Gangguan Psikososial Pada Lansia
22
2.4 Konsep Gangguan Spiritual Pada Lansia
44

BAB III Penutup 60


3.1 Kesimpulan
60
3.2 Saran
60

1
Daftar Pustaka 62

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan adalah ilmu yang mempelajari penyimpangan atau tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang dapat mempengaruhi perubahan,
penyimpangan atau tidakberfungsinya secara optimal setiap unit yang terdapat
dalam sistem hayati tubuh manusia,baik secara individu, keluarga, ataupun
masyarakat dan ekosistem. Komunitas adalahsekelompok manusia yang saling
berhubungan lebih sering dibandingkan dengan manusialain yang berada
diluarnya serta saling ketergantungan untuk memenuhi keperluan barangdan jasa
yang penting untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang
saling berkaitan dengan masalah – masalah lain diluar kesehatan sendiri.
Demikian pula pemecahan masalahkesehatan masalah, tidak hanya dilihat dari
segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat darisegi – segi yang ada pengaruhnya
terhadap masalah “sehat sakit” atau kesehatan tersebut.
Komunitas adalah kelompok sosial yang tinggal dalam suatu tempat, saling
berinteraksi satu sama lain, saling mengenal serta mempunyai minat dan interest
yang sama (WHO). Komunitas adalah kelompok dari masyarakat yang tinggal di
suatu lokasi yang samadengan dibawah pemerintahan yang sama, area atau lokasi
yang sama dimana mereka tinggal,kelompok sosial yang mempunyai interest yang
sama (Riyadi, 2007).
Meningkatnya usia harapan hidup (UHH) memberikan dampak yang
kompleksterhadap kesejahteraan lansia. Di satu sisi peningkatan UHH
mengindikasikan peningkatantaraf kesehatan warga negara. Namun di sisi lain
menimbulkan masalah masalah karenadengan meningkatnya jumlah penduduk
usia lanjut akan berakibat semakin besarnya bebanyang ditanggung oleh keluarga,
masyarakat dan pemerintah, terutama dalam menyediakanpelayanan dan fasislitas

2
lainnya bagi kesejahteraan lansia. Hal ini karena pada usia lanjutindividu akan
mengalami perubahan fisik, mental, sosial ekonomi dan spiritual
yangmempengaruhi kemampuan fungsional dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
sehinggamenjadikan lansia menjadi lebih rentan menderita gangguan kesehatan
baik fisik maupunmental.
Kebutuhan Psikososial juga nerupakan kebutuhan dasar bagi lansia. Di sini
perawat mempunyai peranan penting mengadakan pendekatan edukatifpada klien
lanjut usia, perawat dapat berperan seebagai supporter, interpreter terhadap segala
sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat
yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan waktu yang cukup
banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa
puas. Perrawat harus selalu memegang prinsip “Tripple S”, yaitu Sabar, Simpatik,
dan Service.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun Rumusan Masalah pada Makalah ini yaitu:
1. Jelaskan Konsep Lansia!
2. Jelaskan Konsep Gangguan Psikologi Pada Lansia!
3. Jelaskan Konsep Gangguan Psikososial Pada Lansia!
4. Jelaskan Konsep Gangguan Spiritual Pada Lansia!

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun Tujuan Penulisan pada Makalah ini yaitu:
1. Untuk Mengetahui dan MemahamiKonsep Lansia
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Konsep Gangguan Psikologi Pada
Lansia
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Konsep Gangguan Psikososial Pada
Lansia

3
Untuk Mengetahui dan Memahami Konsep Gangguan Spiritual Pada Lansia

4.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Lanjut Usia


2.4.1 Definisi Lanjut Usia
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan
dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan
dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu
ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan
dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses
menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut
usia. Kelompok lanjut usia (LANSIA) adalah kelompok penduduk yang
berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut
usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di
dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan
struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan
mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4).

1
Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara
usia 65 dan 75 Tahun. Jumlah kelompok usia ini meningkat drastic dan ahli
demografi memperhitungkanpeningkatan populasi lansia sehat terus
menigkat sampai abad selanjutnya. (Potter & Perry, 2005)
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.
Dalam mendefinisikanbatasan penduduk lanjut usia menurut Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional adatiga aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami
proses penuaansecara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya
daya tahan fisik yaitu semakinrentannya terhadap serangan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkanterjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secaraekonomi,
penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai
sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak
lagi memberikan banyakmanfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan
bahwa kehidupan masa tua, seringkalidipersepsikan secara negatif sebagai
beban keluarga dan masyarakat (Ismayadi, 2004).
Menurut Constantinidies menua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnyasecara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri/ mengganti diri danmempertahankan fungsi formalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi danmemperbaiki kerusakan
yang diderita. Menurut organisasi dunia (WHO) lanjut usia meliputi usia

2
pertengahan (middleage) adalah kelompok usia 45- 59 tahun, Usia lanjut
(elderly) adalahkelompok usia 60- 74 tahun, Usia lanjut (Old) adalah
kelompok usia 75- 90 tahun, dan usia sangat tua (Very old) adalah kelompok
usia diatas 90 tahun.
Asuhan keperawatan lansia mengahadapi tantangan khusus karena
perbedaanfisiologis, kognitif, dan kesehatan psikososial. Lansia bervariasi
pada tingkat kemampuanfungsional. Mayoritas merupakan anggota
komunitas yang aktif, terlibat, dan produktif. Hanya sedikit yang telah
kehilangan kemampuan untuk merawat diri sendiri, bingung ataumerusak
diri, dan tidak mampu mebuat keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan
mereka.

2.4.2 Penggolongan Lansia


Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994)
menjadi tiga kelompok yakni:
1. Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang
baru memasuki lansia.
2. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
3. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari
70 tahun.

Berdasarkan usianya, organisasi kesehatan dunia (WHO)


mengelompokan usia lanjut menjadi empat macam meliputi:

3
1. Usia Pertengahan (Middle Age) Kelompok Usia 45 Samapai 59
Tahun
2. Usia Lanjut (Elderly) Kelompok Usia Antara 60 Samapai 70 Tahun
3. Usia Lanjut Usai (Old) Kelompok Usia Antara 75 Sampai 90
Tahun
4. Usia Tua (Veryold)Kelompk Usia Di Atas 90 Tahun

4
2.4.3 Tipologi Manusia Lanjut Usia
Terdapat macam-macam tipologi lanjut usia, ada tipe mandiri, tipe
tidak puas, tipe pasrah, dan tipe binggung. Pertama, pada lansia tipe mandiri,
mereka mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan kegiatan-kegiatan
yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta
memenuhi undangan. Ke dua, lansia tipe tidak puas cenderung memiliki
konflik lahir batin, menentang peroses penuaan yang menyebabkan
hilangnya kecantikan,daya tarik jasmaniah, kekuasaan, status, teman yang di
sayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani
dan pengkritik. Ketiga, lansia tipe pasrah cenderung menerima dan
menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis gelap terbitlah terang,
mengikuti kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
Keempat, lansia tipe bingung cenderung kaget, kehilangan keperibadian,
mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.
Pengelompokan lain sebagaimana dikemukakan oleh tipe lain dari
lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (Bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (Kecewa akibat kegaggalan dalam melakukan sesuatu),
serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
Tipe lansia berkaitan dengan karakter, pengalaman kehidupannya,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya, antara lain tipe
optimis, tipe kontruktif, tipe ketergantungan (dependent), tipe defensif, tipe
militan dan serius, tipe marah/frustasi (the angry man), dan tipe putus asa
(self heating man)
Ada juga pendapat yang menggolongkan lansia dalam kelompok-
kelompok sebagai berikut: Lanjut usia mandiri sepenuhnya, lanjut usia
mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, lanjut usia mandiri dengan
bantuan tidak langsung, lanjut usia dibantu oleh badan sosial, lanjut usia

1
panti sosial tresna werda, lanjut usia yang dirawat dirumah sakit, dan lanjut
usia yang menderita gangguan mental.
Dinegara maju, ukuran kemampuaan kemandiriian paralanjut usia
berupa kemampuaan melakukan aktivitas normal sehari-hari. Apakah tanpa
bantuan orang lain mereka dapat bangun, mandi, ke wc, kerja ringan,
olahraga, pergi ke pasar, berpakaian rapi, membersihkan kamar, tempat
tidur, lemari, mengunci pintu dan jendela, dan aktivitas lain-lain. Salah satu
faktor yang sangat menentukan adalah keadaan mental yang dapat
menyebabkan demensia (kemunduran dalam sistem berfikir).
Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho 2000
dalam maryam dkk,2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan bersifat rumah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undanagan dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang mengganti dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi
undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang peroses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar. Dan mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan kegiatan apa saja.
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan keperibadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,
pasif, dan acuh tak acuh.

2
2.4.4 TeoriPsikologi Pada Lanjut Usia
Pada usia lanjut proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan
penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan
pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif.
Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat
menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia yang positif dapat
menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap
nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan
dari intelektualitas yang meliputi persepsi kemampuan kognitif memori dan
belajar pada usia lanjut memnyebabkan mereka sulit untuk diphami dan
berinteraksi persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada ligkungan
dengan adanya punurunan fungsi system sensori, maka akan terjadi pula
penurunan kemapuan untuk menerima, memproses, dan merespon stimulus
sehingga terkadang akan muncul aksi / reaksi yang berbeda dari stimulus
yang ada. Kemapuan kognitif dapat dikaitkan dengan penurunan fisiologis
organ otak namun untuk fungsi-fungsi positif yang dapat dikaji ternyata
mempunyai fungsi lebih tinggi seperti simpanan informasi usia lanjut,
kemampuan member alasan secara abstrak dan melakukan penghitungan.
Memori adalah kemampuan daya ingat lansia terhadap suatu kejadian /
peristiwa baik jangka pendek maupun jangka panjang.Memori terdiri atas
tiga komponen sebagai berikut:
1. Ingatan yang paling singkat dan segera. Contohnya pengualangan
angka
2. Ingatan jangka pendek contohnya peristiwa beberapa menit hingga
beberapa hari yang lalu.
3. Ingatan jangka panjang

Kemampuan belajar yang mnurun dapat terjadi karena banyak hal.


Selain keadaan fungsional organ otak, kurangnya motivasi pada lansia juga

1
berperan. Motivasi akan semakin menurun dengan menganggap bahwa
lansia sendiri merupakan beban bagi orang lain dan keluarga.

2.4.5 Teori Sosial Tentang Penuaan


1. Teori Interaksi Sosial (Social Exchange Theory)
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak
pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal- hal yang dihargai
masyarakat. Mauss (1954), Homans (1961) dan Blau (1964)
mengemukakan bahwa Interaksi Sosial didasarkan atas hokum
pertularan barang dan jasa, sedangkan pakar lain Simmons (1945)
mengemukakan bahwa kemampuan Lanjut Usia untuk terus menjalin
interaksi social merupaka kunci mempertahankan status sosialnya atas
dasar kemampuannya untuk melakukan tukar- menukar.
Menurut Dowd (1980), Interaksi di Antara Pribadi dan kelompok
merupakan Upaya untuk meraih keuntungan sebesar- besarnya dan
menekan kerugian sehingga sesedikit mungkin. Kekuasaan akan timbul
akibat seseorang atau kelompok mendapatkan keuntungan lebih besar
dibandingkan dengan pribadi atau kelompok lainnya.
Pada Lanjut Usia, Kekuasaan dan Prestisenya berkurang yang
menyebabkan Interaksi Sosial mereka Kurang juga. Yang tersisa
hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
Pokok- pokok Social Exchange Theory adalah sebagai berikut:
1) Masyarakat sendiri atas actor-aktor social yang berupaya
mencapai tujuannya masing- masing
2) Dalam upaya tersebut terjadi Interaksi Sosial yang
memerlukan biaya dan Waktu
3) Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seseorang
actor mengeluarkan biaya
4) Actor senantiasa berusaha mencari keuntungan dan
mencegah terjadinya kerugian
5) Hanya interaksi yang ekonomis saja yang dipertahankan
olehnya.

2
2. Teori Penarikan Diri (Disengagement Theory)
Teori ini merupakan teori social tentang penuaan yang paling
awal, dan pertama kali diperkenalkan oleh Cumming dan Henry (1961).
Kemiskinan yang diderita Lajut Usia dan menurunnya derajat kesehatan
mengakibatkan seorang Lansia secara perlahan- lahan menarik diri dari
pergaulan sekitarnya. Selain hal tersebut, dari pihak masyarakat juga
mempersiapkan kondisi agar para Lanjut Usia Menarik Diri. Keadaan ini
mengakibatkan Interaksi Sosial Lanjut Usia menurun, baik secara
kualitas maupun Kuantitas.
Pada Lanjut Usia sekaligus terjadi Kehilangan Ganda (Triple
Loss), Yaitu:
a.Kehilangan Peran (Loss of Roles)
b. Hambatan Kontak Sosial (Restriction of Contacts and
Relationship)
c.Berkurangnya Komitmen (Reduced Commitment to Social Mores
and Values)

Menurut teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses


penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu
dan dapat memusatkan diri kepada persoalan pribadi dan mempersiapkan
diri menghadapi kematiannya.
Pokok- pokok Disengagement Theory adalah:
a) Pada Pria, kehilangan peran hidup utama terjadi pada masa
pension. Pada wanita terjadi pada masa peran dalam keluarga
berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa dan meninggalkan
rumah untuk belajar dan menikah
b) Lanjut Usia dan Masyarakat menarik manfaat dari hal ini,
karena Lanjut Usia dapat merasakan bahwa tekanan Sosial berkurang
sedangkan kaum muda memperoleh kerja yang lebih luas
c) Tiga aspek utama dalam teori ini adalah: (1) Proses menarik
diri terjadi sepanjang hidup, (2) Proses tak dapat dihindari, dan (3)
Hal ini diterima Lanjut Usia dan Masyarakat.

1
Teori ini mempengaruhi kebujakan negara terhadap Lanjut Usia,
antara lain di Amerika Serikat.

3. Teori Aktivitas (Activity Theory)


Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon et
al. (1972) yang menyatakan, bahwa penuaan yang sukses tergantung dari
bagaimana seorang lanjut usia merasakan kepuasan dalam melakukan
aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.
Adpaun kualitas aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas
aktivitas yang dilakukan. Dari satu segi aktivitas Lanjut Usia dapat
menurun, akan tetapi di lain segi dapat dikembangkan, misalnya Peran
baru Lanjut Usia sebagai:
1) Relawan
2) Kakek atau Nenek
3) Ketua Rukun Warga
4) Seorang Duda atau Janda, karena ditinggal wafat pasangan
hidupnya

Dari pihak lanjut usia sendiri terdapat anggapan bahwa proses


penuaan merupakan suatu perjuangan untuk tetap muda dan berusaha
untuk mempertahankan perilaku mereka semasa mudanya.
Pokok- pokok Teori Aktivitas adalah:
1) Moral dan Kepuasan berkaitan dengan Interaksi social dan
keterlibatan sepenuhnya dari Lanjut Usia di Masyarakat
2) Kehilangan Peran akan menghilangkan kepuasan seorang
lanjut usia.

Pencapaian teori aktivitas ini dalam penyusunan kebijakan terhadap


Lanjut Usia sangat Positif, Karena memungkinkan para Lanjut Usia
berintegrasi sepenuhnya di masyarakat.

4. Teori Kesinambungan (Continunity Tbeory)


Teori ini di anut oleh banyak pakar sosial. Teori ini
mengemukakan adanya kesinambungan dalam dalam siklus kehidupan
lanjut usia, dengan demikian pengalaman hidup seseorang pada suatu
saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Dan

2
hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang
ternyata tak berubah, walaupun ia menjadi lanjut usia.
Menurut teori penarikan diri dari dan teori aktivitas, proses
penuaan merupakan suatu pergerakan dan peroses yang searah, akan
tetapi pada teori kesinambungan merupakan pergerakan dan peroses
banyak arah, tergantung dari bagimana penerimaan seseorang terhadap
status kehidupannya.
Kesulitan untuk menerapkan teori ini adalah, bahwa sulit
memperoleh gambaran umum tentang seseorang, karena kasus orang per
orang sangat berbeda.
Pokok-pokok dari continunity tbeory adalah sebagai berikut:
a Lanjut usia tak disarankan untuk melepaskan peran atau
harus aktif dalam proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada
pengalamannya di masa lalu. Dipilih peran apa yang harus din
pertahankan atau dihilangkan,
b Peran lanjut usia yang hilang tak perlu diganti.
c Lanjut usia dimungkinkan untuk memilih berbagai macam
cara adaptasi.

3
5. Teori Perkembangan (Development Tbeory)
Teori ini menkankan pentingnya mempelajari apa yang
telah di alami oleh lanjut usia pada saat muda hingga dewasa, dengfan
demikian perlu di pahami teori frund, buhler, jung dan erikson.
Sigmund frund meneliti tentang psikoanalisa dan perubahan
psikososial anak dan balita.Erikson (1930) membagi kehidupan menjadi
delapan fase dan lanjut usia perlu menemukan integritas diri melawan
keputusasaan (Ego Integrity Versus Despair) seperti berikut:

Ego integrity
a Lanjut usia menerima apa adanya.
b Merasakan hidup penuh arti.
c Lanjut usia yang bertanggung jawab dabn kehidupan yang berhasil.

Despair;
a Lanjut usia takut mati
b Penyesalan diri
c Merasakan kegentiran dan merasa terlambat untuk memperbaiki.

Havighurst dan duvall mengurraikan tujuh jenis tugas


perkembangan (developmental teks) selama hidup yang harus
dilaksanakan oleh lanjut usia, yaitu:
1. Penyesuaian terhadap penurunan fisik dan psikis.
2. Penyesuaian terhadap pension dan penurunan pendapatan.
3. Menemukan makna kehidupan.
4. Mempertahankan pengaturan hidup memuaskan.
5. menemukan kepuasan dalam hidup keluarhga
6. penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia.
7. Menerima dirinya sebagai sesorang lanjut usia.

1
Joan birchenall RN,Med, dan Mary E. streight RN (1973),
menekankan perlunya mempelajari psikologi perkembangan guna
mengerti prubahan emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupanya.
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua
merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lanjut usia terhadap
berbagai seseorang, yang dapatb positif maupun negatif, akan tetapi teori
tak menggariskan bagaimana cara mennjadi tua yang diinginkan atau
ang seharsnya.
Hal-hal yang kurang mendukung dalam penerapan teori ini:
a Pendekatan yang digunbakan abstrak
b Bila seseorang berbuat kesalahan pada pase sebelumnya, hal
tersebut tak dapat diperbaikinya dalam pase selanjutnya.
c Tak dapat dilakukan pengujuan secara empiris dan cara tak
dapat digeneralisasi.

Pokok-pokok dalam development theory adalah:


a) Masa tua merupakan saat lanjut usia merumuskan seluruh masa
kehidupan.
b) Masa tua merpakan masa penesuaian diri terhadap kenyataan
sosial yang baru yaitu pensiun dan atau menduda atau juga
menjanda.
c) Lanjut usia harus menyesuaikan diri, akibat perannya yang
berakhir di dalam keluarga kehilanagan identitas dan hubungan
sosialny akibat pensiun, ditinggal mati oleh pasangannya dan
teman-temanya.

6. Teori Stratifikasi Usia (Age-Strafication Theory)


Wiley (1971), menyusun stratifikasi lanjut usia berdasarkan usia
kronologis yang menggambarkan serta membentuk adanya perbedaan
kapasitas, peran, kewajiban serta hak mereka bedasarkan usia. Dua

2
elemen penting dari model stratifikasi usia tersebut adalah struktur dan
prosesnya.
1) Struktur mencakup sebagi berikut:
a Bagaimanakah peran dan harapan menurut penggolongan
usia
b Bagaimanakah penilaiaan strata oleh strata itu sendiri dan
strata lainya.
c Bagaimanakah terjadinya penyebaran peran dan kekuasaan
yang tak merata pada masing masing strata, yang didasarkan
pada pengalaman dan kebijakan lanjut usia.
2) Proses mencakup hal-hal berikut :
a Bagimanakah menyesuaikan keddukan seseorang dengan
peran yang ada
b Bagaimanakah cara mengatur transisi peran secara
berurutan dan terus menerus.

Pokok-pokok dari teori stratifikasi usia adalah:


a) Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat
b) Pendapatnya transisi yang di alami oleh kelompok.
c) Terdapatnya mekanisme pengalokasian peran di antara
penduduk.

Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang


dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk
mempelajari sifat kelompok lanjut usia secara cohort serta bersifat
makro. Serta kelompok usia dapat ditinjau dari sudut pandang demografi
dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainya
Kelemahannya, teori ini tak dapat dipergunakan untuk menilai
lanjut usia secara perorangan mengingat bahwa stratifikasi sanagat
komplek dan didamis , serta terkait dengan klasifikasi kelas dan
kelompok etnik.Setelah menelaah bermacam-macam teori penuaan yang

3
berasal dari berbagai disiplin ilmu, dalam praktek sering dijumpai
kesulitan bila diperlukan suat pandangan lintas disiplin, terlebih-lebih
bila hendak diterapkan di indonesia, mengingat bahwa kebanyakan teori
berasal dari amerika serikat, dan kadang-kadang di negara asia atau
eropa.
2.4.6 Teori Spiritual pada Lanjut Usia
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individutentang arti
kehidupan.
James Fowler mengungkapkan tujuh tahapan perkembangan
kepercayaan (wong, et,.al, 1999). Fowler juga meyakini bahwa
kepercayaan/demensia spiritual adalah suatu kekuatan yang memberi arti
bagi kehidupan seseorang. Fowler menggunakan istilah kepercayaan sebagai
suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir.
Menurutnya, kepercayaan adalah suatu fenomena timbale balik, yaitu suatu
hubungan aktif antara seseorang dengan orang lain dalam menanamkan
keyakinan, cinta kasih, dan harapan. Fowler meyakinkan bahwa
perkembangan kepercayaan antara orang dan lingkungan terjadi karena
adanya kombinasi antara nilai-nilai dan pengetahuan. Fowler juga
berpendapat bahwa perkembangan spiritual pada lansia berada pada tahap
penjelaskan pada prinsipp cinta dan keadilan

2.2 Konsep Gangguan Psikologi Pada Lansia


Gangguan Psikologi yang biasa terjadi pada Lanjut Usia, Yaitu:

1. Demensia
1) Definisi Dimensia
Davison, Neale, dan Kring (2014:742) mengemukakan bahwa
dimensia merupakan istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan
kemunduran intelektual hingga ketitik melemahkan fungsi sosial dan
pekerjaan. Liftiah (2009:218) mengemukakan bahwa demensia merupakan
gangguan kognitif, meliputi berkurangnya ingatan secara bertahap,

4
ketidakmampuan mempelajari informasi baru, kemampuan
berkomunikasi, berpendapat, dan koordinasi motorik. Sunberk, Winebarge,
dan Taplin (2007:304) mengemukakan bahwa demensia merupakan
gangguan kompeks yang mencakup beberapa entitas penyakit yang khas.
Dimensia ditandai dengan berkurangnya fungsi kognitif sehingga
mempengaruhi kegiatan sehari hari.

2) Penyebab Demensia
Sunberk, Winebarge, dan Taplin (2007:304) mengemukakan bahwa
dimensia disebabkan oleh perubahan pada otak yang tidak dapat
dipulihkan meliputi penyakit dan kematian jaringan otak. Papalia dan
Feldman (2014:242) mengemukakan bahwa dimensia timbul disebabkan
oleh penyebab fisiologis. Penyebab fisiologis utama dimensia yaitu
penyakit alzheimer dan parkinson.

3) Gejala dimensia
Davison, Neale, dan Kring (2014:743) mengemukakan bahwa
symtom utama penyakit demenisa yaitu kesulitan dalam mengingat banyak
hal dan peristiwa baru. Dimensia mengakibatkan penderitanya mengalami
kesulitan dalam memahami pemikiran abstrak, dan gangguan emosi
menjadi hal umum, termasuk simtom depresi, afek datar, dan ledakan
emosional secara berkala.
Davison, Neale, dan Kring (2014:743) mengemukakan bahwa
individu yang menderita demensia memiliki kemungkinan gangguan pola
bicara yang membingungkan. Meskipun sistem motorik tetap berfungsi
namun penderita demensia mengalami kesulitan berbagai aktivitas
motorik, seperti mengosok gigi, melambaikan tangan, dan berpakaian.
Davison, Neale, dan Kring (2014:743) mengemukakan bahwa lebih dari
50 persen penderita demensia mengalami delusi dan halusinasi.

2. Alzheimer
1) Definisi Alzheimer
Davison, Neale, dan Kring (2014:743) mengemukan bahwa
alzheimer merupakan pengklasifikasian paling umum dari dimensia.

5
Davison, Neale, dan Kring (2014:743) mengemukakan bahwa alzheimer
istilah untuk rusaknya jaringan otak yang tidak dapat diperbaiki.
Sunberk, Winebarge, dan Taplin (2007:304) mengemukakan bahwa
penyakit alzheimer disebabkan oleh perubahan besar pada otak yaitu
pembentukan daerah yang mengeras pada bagian otak. Plak merupakan
bagian yang mengeras pada otak. Letak dari plak mempengaruhi gejala
yang muncul. Davison, Neale, dan Kring (2014:743) mengemukakan
bahwa penyakit alzheimer lebih umum terjadi pada perempuan. Papalia
dan Feldman (2014:242) mengemukakan bahwa penyakit alzheimer
secara perlahan merampas kecerdasan, keawasan, dan bahkan
kemampuan penderitanya untuk mengontrol fungsi tubuh mereka dan
pada akhirnya menyebabkan kematian.

2) Gejala Alzheimer
Papalia dan Feldman (2014:243) mengemukakan bahwa gejala klasik
dari alzheimer berupa kerusakan memori, kemunduran bahasa,
kekurangan dalam pemrosesan visual dan ruangan. Salah satu gejala yang
paling jelas adalah ketidakmampuan mengingat kejadian baru atau
memproses informasi baru. Gejala lain yang cenderung muncul diawal
penyakit yaitu gangguan kepribadian secara cepat menjadi kaku, apatis,
egosentris, dan kontrol emosi yang terganggu.
Papalia dan Feldman (2014:243) mengemukakan bahwa semakin
banyak gejala yang mengikuti seperti mudah tersinggung, cemas, depresi,
delusi, delirium, dan berkeliaran, mengakibatkan kerusakan pada ingatan
jangka panjang, penilaian, konsentrasi, dan orientasi serta gangguan
bicara. Individu yang mengalami alzheimer mengalami kesulitan
melakukan aktivitas rutin dikehidupan sehari-hari. Cummings (Papalia
dan Feldman, 2014:244) mengemukakan bahwa pada akhirnya individu
tidak bisa memahami atau menggunakan bahasa, tidak mengenali anggota
keluarga, tidak bisa makan tanpa bantuan, tidak bisa mengatur kapan
buang air, dan kehikangan kemampuan untuk berjalan, duduk dan

6
menelan makanan padat. Kematian biasanya datang sekitar 8 samapai 10
tahun setelah gejala muncul.

3) Penyebab Alzheimer
Papalia dan Feldman (2014:244) mengemukakan bahwa penyebab
utama perkembangan penyakit alzheimer yaitu kekusutan neurofibriler
(massa neuron mati yang terpelintir) dan sejumlah lilin plak amiloid
(jaringan yang tidak berfungsi). Otak manusia tidak dapat membersihkan
plak karena plak tersebut tidak dapat larut. Lama kelamaan jaringan
tersebut akan mengeras / membaur dan menghancurkan neuron
disekitarnya.

3. Gangguan Anxietas
1) Definisi Anxietas
Liftiah (2009:63) mengemukakan bahwa anxietas merupakan
perasaan khawatir yang tidak nyata, tidak masuk akal, tidak sesuai, yang
berlangsung intens, atas dasar prinsip yang terjadi dan nyata. Davidson
dan Neale (Liftiah, 2009:63) mengemukakan bahwa anxietas juga dapat
diartikan sebagai kondisi mood yang negatif yang ditandai dengan
simtom simptom tubuh, ketegangan fisik, dan keakutan terhadap kejadian
yang akan datang.

2) Penyebab Anxietas
Anxietas pada individu berusia lansia merupakan kecemasan yang
umumnya khawatir pada munculnya berbagai macam penyakit dan
mengalami kelemahan fisik dan khawatir tidak mampu berperan penting
sehingga akan tersingkir dari kehidupan sosial. Davison, Neale, dan
Kring (2014:764) mengemukakan bahwa masalah kecemasan lansia
sering kali dihubungkan dengan penyakit medis. Orang orang yang
mengidap demensia seperti alzheimer mungkin mencerminkan
kecemasan yang timbul akibat kebingungan dan frustasi saat mereka tidak
mampu melakukan hal yang tampak kecil seperti memakai jaket.

4. Parkinson

7
Santrock (2012:197) mengemukakan bahwa parkinson merupakan
penyakit kronis dan progresif yang ditandai oleh gemetar pada otot, gerakan
yang melambat, kelumpuhan sebagian wajah. Papalia dan Feldman
(2014:242) mengemukakan parkinson merupakan penyakit yang melibatkan
degenerasi neurologis yang progresif, ditandai dengan tremor, kekakuan,
pergerakan lambat dan postur tubuh yang tidak stabil.
Penyakit parkinson ditangani dengan memberikan obat yang
meningkatkan dopamin kepada penderita yang berada ditahap awal penyakit,
dan L-dopa, yang dapat diubah menjadi dopamin oleh otak. Penanganan
lainnya yaitu dengan menstimulasi otak secara mendalam yang mencakup
implantasi elektroda di dalam otak. Elektroda tersebut di stimulasi oleh alat
yang mirip alat pacu jantung (Santrock, 2012:198).

5. Delirium
Davison, Neale, dan Kring (2014:752) mengemukakan bahwa
delirium merupakan penggambaran untuk kondisi kaburnya kesadarana.
Individu yang menderita delirium kadang secara mendadak mengalami
kesulitan untuk berkonsentrasi dan memusatkan perhatian serta tidak mampu
mempertahankan alur pemikiran yang teratur dan terarah. Liftiah (2009:219)
mengemukakan bahwa delirium merupakan keadaan kebingungan mental
yang mengakibatkan penderitanya sulit berkonsentrasi dan berbicara secara
jelas dan masuk akal.
Individu yang menderita deirium tidak mungkin dapat terlibat dalam
percakapan karena perhatian mereka yang tidak dapat terfokus pada satu hal
dan pikirannya terpecah-pecah. Pada kondisi parah, cara berbicara menjadi
parah dan tidak karuan. Delisah dan bingung, penderita delirium dapat
mengalami disorientasi waktu, tempat, dan kadang diri yaitu mereka tidak
dapat mengetahui dengan pasti hari apa sekarang dan dimana mereka
sekarang (Davison, Neale, dan Kring, 2014:753). Penderita delirium sering
mengalami gangguan perseptual dengan menganggap bedara dalam rumah
bukan dalam rumah sakit. Halusinasi umum terjadi, namun delusi tidak selalu
terjadi dan cenderung berubah ubah, tidak terlalu nyata, dan singkat.

8
6. Hipokonriasis
Siegler dan Costa (Davison, Neale, dan Kring, 2014:774)
mengemukakan bahwa secara luas hipokondriasis sangat umum terjadi dalam
populasi lansia. Lansia dapat mengalami berbagai macam masalah fisik,
diantaranya sakit pada kaki dan punggung, pencernaan yang buruk, sembelit,
sesak napas dan keinginan yang amat sangat. Secara kelompok para lansia
cenderung kurang melaporkan simpom somatik yang ia derita, sekali lagi
mungkin karena permasalahan kekhawatiran.
Davison, Neale, dan Kring (2014:774) mengemukakan bahwa para
ahli klinis setuju bahwa secara umum tidak ada gunanya meyakinkan orang
yang bersangkutan bahwa ia sehat karena orang tersebut tidak peduli dengan
hasil tes laboratorium yang negatif atau pendapat otoritatif dari berbagai
sumber resmi. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengajaknya
berjalanmjalan dan membantunya mengalihkan pikirnnya dari rasa sakit.
Pengalihan aktivitas dapat membuat para individu bekerja lebih baik terlepas
dari penyakitnya dan lebih memperoleh kepuasan.

7. GangguanTidur
Davison, Neale, dan Kring (2014:774) mengemukakan bahwa
insomnia merupakan gangguan yang umum terjadi pada lansia. Miles dan
Dement (Davison, Neale, dan Kring, 2014:774) mengemukakan bahwa
masalah tidur yang paling sering dialami oleh lansia adaah sering terjaga
pada malam hari, sering terbangun pada dini hari, sulit untuk tidur, dan rasa
lelah yang amat sangat di siang hari. Waktu tidur lansia agak singkat dan
sering terputus secara spontan. Selain itu lansia membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk dapat tertidur setelah mereka terbangun.
Gangguan tidur pada lansia disebabkan oleh penyakit, obat-obatan,
kafein, stres, kecemasan, depresi, kurang beraktivitas, dan kebiasaan tidur
yang buruk. Prinz dan Raskin (Davison, Neale, dan Kring, 2014:775)
mengemukakan bahwa rasa sakit terutama arthritis merupakan penyebab
utama gangguan tidur pada lansia. Penanganan insomnia pada lansia dapat
melalui pemberian obat obatan, namun obat-obatan juga memiliki efek
samping berupa ketergantungan. Davison, Neale, dan Kring (2014:776)

9
mengemukakan bahwa penggunaan obat tidur secara terus menerus dapat
mengakibatkan berkurangnya kefektifitasan obat dan bahkan mengakibatkan
tidur cenderung terputus putus dan terganggunya tidur dalam kondisi REM.

2.3 Konsep Gangguan Psikososial Pada Lansia


2.3.1 Definisi Gangguan Psikososial
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri
yang utuh. Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat
lansia berusaha menuntun generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan
sudut pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diri akan merasa
putus asa dan menyesali masa lalunya karena tidak merasakan hidupnya
bermakna (Anonim, 2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh
Arya (2010) perubahan psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi
pencapaian keintiman, generatif dan integritas yang utuh.
Menarik diri adalah penilaian yang salah tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri
pencapaian ideal diri /cita-cita /harapan langsung menghasilkan perasaan
berharga .Harga diri dapat diperoleh melalui penghargaan diri sendiri maupun
dari orang lain.Perkembangan harga diri juga ditentukan oleh perasaan
diterima,dicintai,dihormati oleh orang lain,serta keberhasilan yang pernah
dicapai individu dalam hidupnya (Hidayat,2006). Isolasi adalah keadaan
dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau
keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak
mampu untuk membuat kontak ( Carpenito, 1998 )
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam(Towsend,1998)

10
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi
dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan
tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi
atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap memisahkan diri,
tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang
lain (DepKes, 1998).
Dari segi kehidupan sosial cultural, interaksi sosial adalah merupakan
hal yang utama dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai dampak adanya
kerusakan interaksi sosial : menarik diri akan menjadi suatu masalah besar
dalam fenomen kehidupan, yaitu terganggunya komunikasi yang merupakan
suatu elemen penting dalam mengadakan hubungan dengan orang lain atau
lingkungan disekitarnya.

2.3.2 EtiologiGangguan Psikososial


Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah yaitu perasaan
negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan, yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri,
rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan

11
martabat, percaya diri kurang, dan juga dapat mencederai diri
(Carpenito,L.J,1998:352)

2.3.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Psikososial


1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan
perkembangan yang dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri,
tidak percaya orang lain, ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan
dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan
keinginan dan merasa tertekan. Berbagai teori telah diajukan untuk
menjelaskan gangguan alam perasaan yang parah. Teori ini menunjukkan
rentang faktor-faktor penyebab yang mungkin bekerja sendiri atau dalam
kombinasi.
1) Faktor genetik, dianggap mempengaruhi tranmisi gangguan efektif
melalui riwayat keluarga atau keturunan.
2) Teori agresi menyerang kedalam menunjukkan bahwa depresi
terjadi karena perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri.
3) Teori kehilangan objek, merujuk kepada perpisahan traumatik
individu dengan benda atau yang sangat berarti.
4) Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri
yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan
dan penilaian seseorang terhadap sesuatu
5) Model kognitif menyatakan bahwa defresi, merupakan masalah
kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri
seseorang, dunia seseorang, dan masa depan seseorang.

2. Faktor Presipitasi
Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena
menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah karena meninggal dan faktor
psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat atau kegagalan

12
orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga
menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari
lingkungan (Stuart and sundeen, 1995).

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan


psikososial lansia menurut Kuntjoro (2002), antara lain:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology),
misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi
makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara
berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan
fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam
kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka
perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik
maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk
mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia
harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur,
istirahat dan bekerja secara seimbang.

2. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual


Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti:
1) Gangguan jantung
2) Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
3) Vaginitis
4) Baru selesai operasi: misalnya prostatektomi
5) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu
makan sangat kurang
6) Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan
steroid, tranquilizer.

13
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
1) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia.
2) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
3) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
4) Pasangan hidup telah meninggal
5) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

3. Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara
fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga
mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan
kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan
berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya
tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai
sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini
ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada
masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan
otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe
ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan
keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak,
tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang

14
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit
dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini
setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya,
banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara
seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia
tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit
dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati
hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri.
Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model
kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental
setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu
dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada
yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua
dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-
masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing
individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan
kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu
untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan
tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi
masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment

15
untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas
dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki
masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah
minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka
usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan
hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga
menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang
selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan
dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa
setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya.

5. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat


Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak
fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan
kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran
sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering
menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu
mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih
sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika
keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan
orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna
serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya
lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran)
masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit,
sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care)
dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya
pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah

16
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi
terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay
rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain
perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan
dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup
sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia

2.3.4 Tanda dan Gejala Gangguan Psikososial


1. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri) klien tampak
memisahkan diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang atau tidak ada.
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang
mobilitasnya.
6. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan
kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.

2.3.5 Rentang Respon Sosial


1. Menyendiri (solitude) merupakan respon yang dibutuhkan
seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah
selanjutnya.
2. Otonomi merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Bekerjasama (mutualisme) adalah suatu kondisi dalam hubungan
interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi dan
menerima.

17
4. Saling tergantung (interdependen) adalah suatu kondisi saling
tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.
5. Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseoramg
menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan
orang lain.
6. Tergantung (dependen) terjadi bila seseorang gagal
mengambangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi
secara sukses.
7. Manipulasi merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat
pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu
tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
8. Curiga terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya
dengan orang lain. Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan
tanda-tanda cembru, iri hati, dan berhati-hati. Perasaan induvidu ditandai
dengan humor yang kurang, dan individu merasa bangga dengan sikapnya
yang dingin dan tanpa emosi.

2.3.6 Karakteristik Perilaku Gangguan Psikososial


1. Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.
2. Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
3. Kemunduran secara fisik.
4. Tidur berlebihan.
5. Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
6. Banyak tidur siang.
7. Kurang bergairah.
8. Tidak memperdulikan lingkungan.
9. Kegiatan menurun.
10. Immobilisasai.
11. Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).
12. Keinginan seksual menurun.

18
2.3.7 Permasalahan Pada Psikososial
Berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan pencapaian
kesejahteraan Lanjut Usia, antara lain sebagai berikut:
1. Permasalahan Umum
1) Masih besarnya jumlah Lajut Usia yang berada dibawah garis
kemiskinan.
2) Makin melemahnya nilai kekerabatan, sehingga anggota
keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dan
dihormati, berhubung terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga
yang secara fisik lebih mengarah pada bentuk kelurga kecil.
3) Lahirnya kelompok masyarakat industri, yang memiliki ciri
kehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan menjalankan
kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien,
yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lanjut usia.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional
pelayanan lanjut usia dan masih terbatasnnya sarana pelayanan dan
fasilitas khusus bagi lanjut usia dengan berbagai bidang pelayanan
pembinaan kesejahteraan lanjut usia.
5) Belum membudaya dam melembaganya kegiatan pembinaan
kesejateraan lanjut usia.

2. Permasalahan Khusus
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1998), berbagai
permasalahan khusus yang berkaitan dengan kesejahteraan lanjut usia
adalah sebagai berikut:
1) Berlangsungnya proses menjadi tua, yang berakibat timbulnya
masalah baik fisik, mental maupun sosial. Mundurnya keadaan fisik
yang menyebabkan penuaan peran sosialnya dan dapat menjadikan
mereka lebih tergantung kepada pihak lain.

19
2) Berkurangnya integrasi sosial Lanjut Usia, akibat produktivitas dan
kegiatan Lanjut Usia menurun. Hal ini berpengaruh negatif pada
kondisi sosial psikologis mereka yang merasa sudah tidak diperlukan
lagi oleh masyarakat lingkungan sekitarnya.
3) Rendahnya produktivitas kerja lanjut usia dibandingkan dengan
tenaga kerja muda dan tingkat pendidikan serta ketrampilan yang
rendah, menyebabkan mereka tidak dapat mengisi lowongan kerja
yang ada, dan terpaksa menganggur.
4) Banyaknya lanjut usia yang miskin, terlantar dan cacat, sehingga
diperlukan bantuan dari berbagai pihak agar mereka tetap mandiri serta
mempunyai penghasilan cukup.
5) Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan
masyarakat individualistik, sehingga Lanjut Usia kurang dihargai dan
dihormati serta mereka tersisih dari kehidupan masyarakat dan bisa
menjadi terlantar. Di samping itu terjadi pergeseran nilai budaya
tradisional, dimana norma yang dianut bahwa orang tua merupakan
bagian dari kehidupan keluarga yang tidak dapat dipisahkan dan
didasarkan kepada suatu ikatan kekerabatan yang kuat, dimana orang
tua dihormati serta dihargai, sehingga seseorang anak mempunyai
kewajiban untuk mengurus orang tuanya. Di pihak lain, dapat terjadi
sebagian generasi muda beranggapan bahwa para lanjut usia tidak
perlu lagi aktif dalam urusan hidup sehari-hari. Hal ini akan
memperburuk integrasi sosial para lanjut usia dengan
masyrakatlingkungannya, sehingga dapat terjadi kesenjangan antara-
generasi tua dan muda. Dengan demikian, sulit untuk mempertahankan
dan melestarikan budaya bangsa ini secara terus-menerus dari generasi
ke generasi selanjutnya.
6) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan seperti dampak
lingkungan, polusi dan urbanisasiyang dapat mengganggu kesehatan
fisik lanjut usia. Terkosentrasinya dan penyebaran pembangunan yang

20
belum merata menimbulkan ketimpangan antara penduduk lanjut usia
di kota dan di desa.

2.3.8 PerubahanPsikososial pada Lansia


Berdasarkan beberapa evidence based yang telah dilakukan terdapat
perubahan psikososial yang dapat terjadi pada lansia antara lain:
1. Kesepian
Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya bahwa
lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang dialami dapat
berupa kesepian emosional, situasional, kesepian sosial atau gabungan
ketiga-tiganya. Berdasarkan penelitian tersebut beberapa hal yang dapat
memengaruhi perasaan kesepian pada lansia diantaranya: a) merasa tidak
adanya figur kasih sayang yang diterima seperti dari suami atau istri, dan
atau anaknya; b) kehilangan integrasi secara sosial atau tidak terintegrasi
dalam suatu komunikasi seperti yang dapat diberikan oleh sekumpulan
teman, atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal itu disebabkan karena
tidak mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan di kompleks
hidupnya; c) mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal wafat pasangan
hidup (suami dan atau istri), dan hidup sendirian karena anaknya tidak
tinggal satu rumah.

2. Kecemasan Menghadapi Kematian


Ermawati dan Sudarji (2013) menyimpulkan dalam hasil
penelitiannya bahwa terdapat 2 tipe lansia memandang kematian. Tipe
pertama lansia yang cemas ringan hingga sedang dalam menghadapi
kematian ternyata memiliki tingkat religiusitas yang cukup tinggi.
Sementara tipe yang kedua adalah lansia yang cemas berat menghadapi
kematian dikarenakan takut akan kematian itu sendiri, takut mati karena
banyak tujuan hidup yang belum tercapai, juga merasa cemas karena
sendirian dan tidak akan ada yang menolong saat sekarat nantinya.

21
3. Depresi
Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut Jayanti,
Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya depresi lansia adalah: (a) jenis kelamin, dimana
angka lansia perempuan lebih tinggi terjadi depresi dibandingkan lansia
laki-laki, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan hormonal, perbedaan
stressor psikososial bagi wanita dan laki-laki, serta model perilaku tentang
keputusasaan yang dipelajari; (b) status perkawinan, dimana lansia yang
tidak menikah/tidak pernah menikah lebih tinggi berisiko mengalami
depresi, hal tersebut dikarenakan orang lanjut usia yang berstatus tidak
kawin sering kehilangan dukungan yang cukup besar (dalam hal ini dari
orang terdekat yaitu pasangan) yang menyebabkan suatu keadaan yang
tidak menyenangkan dan kesendirian; dan (c) rendahnya dukungan sosial.
Berdasarkan konsep lansia dan proses penuaan yang telah
dijabarkan, maka lansia rentan sekali menghadapi berbagai permasalahan
baik secara fisik maupun psikologis. Kane, Ouslander, dan Abrass (1999)
menjabarkan permasalahan yang sering dihadapi lansia ke dalam 14
masalah atau yang sering disebut 14i Sindrom Geriatri (Geriatric
Syndrome). Keempat belas masalah tersebut adalah:
1) Immobility (penurunan/ketidakmampuan mobilisasi)
2) Instability (ketidakseimbangan, risiko jatuh)
3) Incontinence (inkontinensia urin/alvi, tidak mampu menahan
buang air kecil/besar)
4) Intelectual Impairment (penurunan fungsi kognitif, demensia)
5) Infection (rentan mengalami infeksi)
6) Impairment of Sensory/Vision (penurunan penglihatan,
pendengaran)
7) Impaction (sulit buang air besar)
8) Isolation (rentan depresi/stres sehingga lebih sering menyendiri)
9) Inanition (kurang gizi)
10) Impecunity (penurunan penghasilan)
11) Iatrogenesis (efek samping obat-obatan)
12) Insomnia (sulit tidur)
13) Immunedeficiency (penurunan daya tahan tubu)
14) Impotence (impotensi).

22
Nilai seseorang sering di ukur melalui produksivitasnya dan
identitasnya di kaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Menurut Nugroho,
W, (2008), bila mengalami pensiun (purnatugas), seseorang akan mengalami
kehilangan antara lain:
1. Kehilangan finansial (pendapatan berkurang)
2. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan/posisi yang cukup
tinggi, lengkap dengan semua fasilitas)
3. Kehilangan teman/kenalan atau relasi
4. Kehilangan pekerjaan/kegiatan.

Di samping itu:
1. Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan cara hidup
(memasuki rumah perawatan, bergerak lebih sempit)
2. Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya
hidup meningkat pada penghasilan yang sulit, biaya pengobatan
bertambah
3. Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan
4. Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial
5. Adanya gangguan saraf panca-indra, timbul kebutaan dan ketulian
6. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan
7. Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman
dan famili
8. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri).

Lanjut usia harus beradaptasi pada perubahan psikososial yang terjadi


pada penuaan. Meskipun perubahan tersebut bervariasi, tetapi beberapa
perubahan biasa terjadi pada mayoritas lanjut usia.

Pensiun
Pensiun sering di kaitkan secara salah dengan kepasifan dan
pengasingan. Dalam kenyataannya, pensiun adalah tahap kehidupan yang
dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan peran, yang dapat menyebabkan

23
stress psikososial. Stress ini meliputi perubahan peran pada pasangan atau
keluarga dan masalah isolasi sosial.
Pensiun juga mempunyai dampak pada pasangan. Contohnya,
ketegangan dapat terjadi karena adanya perubahan peran dan dukungan serta
karena ibu rumah tangga mungkin merasa beban pekerjaan bertambah.
Faktor yang paling kuat yang mempengaruhi kepuasa hidup seorang
yang pensiun adalah status kesehatan, pilihan untuk terus bekerja, pendapatan
yang cukup.
Perawat dapat membantu klien lanjut usia dan keluarga mempersiapkan
masa pensiun dengan memberikan pertanyaan yang dapat membantu mereka
membuat keputusan.

Isolasi Sosial
Banyak lanjut usia mengalami isolasi sosial, yang meningkat sesuai
dengan usia. Tipe isolasi sosial yaitu sikap, penampilan, perilaku dan geografi.
Beberapa lanjut usia mungkin dipengaruhi oleh keempat tipe tersebut, lanjut
usia yang lain hanya dipengaruhi oleh satu tipe, lueckenotte, A, dalam potter
& perry, (2005).

24
Isolasi Sikap
Terjadi karena nilai pribadi atau budaya. Lansianisme adalah sikap
yang berlaku menstigmatisasi lanjut usia. Suatu bias yang menentang dan
menolak lamjut usia. Karena itu isolasi sosial sikap terjadi ketika lanjut usia
tidak secara mudah diterima dalam interaksi sosial karena bias masyarakat.
Lingkungan setan mungkin terjadi. Seiring lanjut usia semakin ditolak, harga
diri pun berkurang, sehingga usaha bersosialisasi berkurang, lueckenotte, A,
dalam potter & perry, (2005).

Isolasi Penampilan
Isolasi penampilan diakibatkan oleh penampilan yang tidak dapat
diterima atau faktor lain yang termasuk dalam menampilkan diri sendiri pada
orang lain. Faktor kontribusi lain adalah citra tubuh, higyiene, tanda penyakit
yang terlihat dan kehilangan fungsi. Seseorang diisolasi karena penolakan oleh
orang lain atau karena sedikit interaksi yang dapat di lakukan akibat kesadaran
diri, lueckenotte, A, dalam potter & perry, (2005).

Isolasi Perilaku
Isolasi perilaku diakibatkan oleh perilaku yang tidak dapat diterima
pada semua kelompok usia dan terutama pada lanjut usia, perilaku yang tidak
diterima secara sosial menyebabkan seseorang menarik diri. Perilaku yang
biasanya dikaitkan dengan pengisolasian pada lanjut usia meliputi konfus,
demansia, alkoholisme, eksentrisitas dan inkontinensia. Perawat dapat
menggunakan teknik modifikasi perilaku untuk membantu menurunkan
frekuensi perilaku tersebut pada lanjut usia, lueckenotte, A, dalam potter &
perry, (2005).

1
Isolasi Geografis
Isolasi geografis terjadi karena jauh dari keluarga, kejahatan di kota,
dana barier institusi. Dalam masyarakat kini yang suka berpindah, umumnya
anak hidup sangat jauh dari orang tuannya. Sehingga kesempatan untuk
mengunjungi anak-anak berkurang.
Di daerah perkotaan, angka kriminal yang tinggi menghalangi lanjut
usia bersosialisasi. Hidup di daerah dengan angka kriminal yang tinggi dapat
mengakibatkan ketidakinginan untuk ke luar rumah karena mungkin akan
terjadi perusakan atau perampokan saat rumah kosong. Salah satu barier
institusi adalah kurangnya kemudahan akses bagi orang yang menggunakan
kursi roda, walker, tongkat, atau kruk. Juga, bila lanjut usia memerlukan
perawatan di institusi, lanjut usia harus berpisah dengan teman-temannya.
Interaksi sosial bergantung pada mereka yang datang mengunjungi. Kondisi
ini utamanya terjadi di negara lain seperti Amerika, Inggris, di indonesia
aktivitas sosial masih baik.
Perawat dapat membantu lanjut usia yang kesepian untuk
membangun kembali hubungan sosial. Salah satu sumber adalah membuat
program pencapaian yang dirancang untuk menghubungkan lanjut usia yang
terisolasi. Program tersebut dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, kebutuhan
bersosialisasi seperti hubungan telepon setiap hari oleh sukarelawan, atau
kebutuhan aktivitas seperti tamasya. Di samping itu, perawat dapat
menyelidiki jaringan dalam komunikasi lanjut usia. Hal ini meningkatkan
kesempatan bertemu orang-orang dengan kegiatan minat dan kebutuhan yang
sama. Untuk indonesia kondisi seperti ini masih jauh, karena kondisi
masyarakat yang 80% hidup di pedesaan dengan fasilitas yang sangat
sederhana, lueckenotte, A, dalam potter & perry, (2005).

2
2.3.9 Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan Psikososial

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN MASALAH


PSIKOSOSIAL:MENARIK DIRI

a) Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama,
tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan
alamat klien.
2. Orang-orang terdekat
Status perkawinan, kebiasaan pasien di dalam tugas-tugas keluarga dan
fungsi-fungsinya, pengaruh orang terdekat, proses interaksi dalam
keluarga.
3. Kultural
Latar belakang etnis, tingkah laku mengusahakan kesehatan (sistem
rujukan penyakit), nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan dan
keperawatan, faktor-faktor kultural yang dihubungkan dengan penyakit
secara umum dan respons terhadap rasa sakit, kepercayaan mengenai
perawatan dan pengobatan.
4. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak
interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari – hari ,
dependen.
5. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan ,harapan orang tua yang tidak
realistis,kegagalan /frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya;
perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus
dioperasi , kecelakaan dicerai suami ,putus sekolah ,PHK, perasaan
malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan ,dituduh KKN,

1
dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai
klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
6. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB)
dan keluhafisik yang dialami oleh klien.
1) Aspek Psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
a) Citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang
berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah
terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan
perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh.
Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang ,
mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri , sukar menetapkan
keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan
penyakit , proses menua , putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya:
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap
diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan
martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.
c. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan
hubunga sosialdengan orang lain terdekat dalam kehidupan,
kelempok yang diikuti dalam masyarakat.
d. Keyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah
(spritual)
7. Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata ,
kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan

2
kurang mampu berhubungan denga orang lain , Adanya perasaan
keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
8. Kebutuhan persiapan pulang.
a. Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b. Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan WC, membersikan dan merapikan pakaian.
c. Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat
rapi
d. Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat
beraktivitas didalam dan diluar rumah
e. Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan
benar.
9. Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan
nya pada orang orang lain ( lebih sering menggunakan koping menarik
diri).
10. Aspek Medik
1) Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi
ECT, Psikomotor,therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola
respons baik aktual maupun potensial (Stuart and Sundeen, 1995)
Masalah keperawatan yang sering muncul yang dapat disimpulkan
dari pengkajian adalah sebagai berikut :
a) Gangguan konsep diri: harga diri rendah
b) Isolasi sosial : menarik diri
c) Resiko perubahan sensori persepsi
d) Koping individu yang efektif sampai dengan
ketergantungan pada orang lain
e) Gangguan komunikasi verbal, kurang komunikasi verbal
f) Intoleransi aktifitas.
g) Kekerasan resiko tinggi.

b) Diagnosa Keperawatan

3
1. Harga diri rendah berhubungan dengan merasakan/mengantisipasi
kegagalan pada peristiwa-peristiwa kehidupan.
2. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan
ketidakseimbangan sistem saraf; kehilangan memori;
ketidakseimbangan tingkah laku adaptif dan kemampuan memecahkan
masalah.
3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional/maturasional.
4. Ketidakpatuhan berhubungan dengan sistem penghargaan pasien;
keyakinan kesehatan,nilai spiritual, pengaruh kultural.

c) Intervensi keperawatan
1. Intervensi Diagnosa 1:
1) Dorong pengungkapan perasaan, menerima apa
yang dikatakannya.
Rasionalnya: membantu pasien/orang terdekat untuk memulai
menerima perubahan dan mengurangi ansietas mengenai
perubahan fungsi/gaya hidup.
2) Bantu pasien dengan menjelaskan hal-hal yang
diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin di perlukan untuk
dilepaskan atau dirubah.
Rasionalnya: memberi kesempatan untuk mengidentifikasi
kesalahan konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan; meningkatkan
orientasi realita.
3) Berikan informasi dan penyerahan ke sumber-
sumber komunitas.
Rasionalnya: memungkinkan pasien untuk berhubungan dengan
grup yang diminati dengan cara yang membantu dan perlengkapan
pendukung, pelayanan dan konseling.

4
2. Intervensi Diagnosa 2:
1) Kaji munculnya kemampuan koping positif, misalnya
penggunaan teknik relaksasi keinginan untuk mengekspresikan
perasaan.
Rasionalnya: jika individu memiliki kemampuan koping yang
berhasil dilakukan dimasa lampau, mungkin dapat digunakan
sekarang untuk mengatasi tegangan dan memelihara rasa kontrol
individu.
2) Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin dimiliki pasien
Rasionalnya: membantu mengidentifikasi dan membenarkan
persepsi realita dan memungkinkan dimulainya usaha pemecahan
masalah.

3. Intervensi diagnosa 3:
1) Pahami rasa takut/ansietas
Rasionalnya: perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk
terbuka sehingga dapat mendiskusikan dan menghadapinya.
2) Kaji tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat ansietas.
Rasionalnya: respon individu dapat bervariasi tergantung pada pola
kultural yang dipelajari. Persepsi yang menyimpang dari situasi
mungkin dapat memperbesar perasaan.
3) Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi
saat ini dan apa yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan
tidak tertolong dan ansietas.
Rasionalnya: menyediakan petunjuk untuk membantu pasien dalam
mengembangkan kemampuan koping dan memperbaiki
ekuilibrium.

4. Intervensi diagnosa 4:

1
1) Tentukan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
Rasionalnya: memberikan wawasan mengenai pemikiran/faktor-
faktor yang berhubungan dengan situasi individu. Kepercayaan
akan meningkatkan persepsi pasien tentang situasi dan partisipasi
dalam regimen keperawatan.
2) Kaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
Rasionalnya: adanya keluarga/orang terdekat yang
memperhatikan/peduli dapat membantu pasien dalam proses
penyembuhan.

d) Evaluasi
1. Pasien mampu mengidentifikasi adanya kekuatan dan pandangan
diri sebagai orang yang mampu mengatasi masalahnya.
2. Pasien mampu menunjukkan kewaspadaan dari koping
pribadi/kemampuan memecahkan maslah.
3. Pasien mampu melakukan relaksasi dan melaporkan berkurangnya
ansietas ke tingkat yang dapat diatasi.
4. Pasien dapat menunjukkan pengetahuan yang akurat akan penyakit
dan pemahaman regimen pengobatan.

2.4 Konsep Gangguan Spiritual Pada Lansia


2.4.1 Definisi Spiritual
Aspek spiritual meliputi 3 komponen dasar yaitu: spiritual (keyakinan
spiritual),kepercayaan dan agama.
1. Spiritual, merupakan keyakinan dalam hubungannya dengan yang
maha kuasadan maha pencipta dan percaya pada Allah atau Tuhan yang
maha pencipta.
2. Kepercayaan, mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap
sesuatu atauseseorang, juga dapat dikatakan upaya seseorang untuk
memahami tempatseseorang dalam kehidupan atau dapat dikatakan bagai
mana seseorangmelihat dinnya dalam hubungannya dengan lingkungan

2
3. Agama, merupakan suatu system ibadah yang terorganisir atau
teratur,mempunyai keyakinan sentral, ritual dan praktik yang biasanya
berhubungandengan kemaflan, perkawinan dan keselamatan dan
mempunyai aturan-aturantertentu yang dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari dalam memberikankeputusan bagi yang menjankannya.
Sehingga Dapat Disimpulkan bahwa, Spiritual adalah kebutuhan dasar
dan pencapaian tertingggi seorang manusia dalam kehidupannya tanpa
memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi:
kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan
aktualitas diri. Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan spiritual seseorang,
dimana berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih
sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian serta memiliki tujuan hidup yang
jelas (Maslow 1970, dikutip dari prijaksono, 2003)

2.4.2 Kebutuhan Spiritual


Kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan
dan memenuhikewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf
(pengampunan),mencintai, menjalin hubungan penuh nasa percaya path
tuhan. Kebutuhan spiritualjuga dapat memenuhi kebutuhan untuk mencarai
anti dan tujuan hidup, kebutuhanuntuk mencintai dan dicintai, rasa
keterikatan dan kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf.

2.4.3 Karakteristik Spiritual


Aspek spiritual tidak terlepas dari hubungan dengan diri sendiri
(kekuatanalaxn/self-relisnce), yang meliputi: pengetahuan diri dan sikap
seseorang,sedangkan hubungan dengan alam dapat berkomunikasi dengan
alam sekitarnyayang menjadi acuan kita untuk ingat kepada Allah.
Hubungan dengan orang lain (harmonis atau sportif), hubungan ini
berupa hubungan timbal balik (saling membutuhkan)Contoh: kamu dikatakan
pandai karena ada yang bodoh. Meyakini kehidupan dankematian
Hubungan dengan orang lain yang tidak harmonisContoh: konflik
dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisandan friksi.

3
Hubungan dengan ketuhanan, hal ini menunjukan seseorang apakah
masukagamis atau tidak agamis
1. Merumuskan tujuan positif didunia atau kehidupan
2. Mengembangkan arti penderitaan
2. Menjalin hubungan positif dan dinamis
3. Membina integritas personal dan merasa diri berharga
4. Merasa kehidupan terarah melalui harapan
5. Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif

2.4.4 Perkembangan Spiritual


Perkembangan spiritual sesuai dengan perkembangan dan tugas
tumbuhkembangnya:
1. Bayi dan Toddler (0-2 tahun)
a Rasa percaya kepada yang mengasuh
b Belum memiliki rasa salah-benar dan keyakinan spiritual
c Mulai meniru kegiatan ritual
2. Pra Sekolah (3-5 tahun)
a Dipengaruhi oleh sikap orang tua
b Meniru apa yang dia lihat
c Sering bertanya tentang moralitas dan agama Contoh: apa itu
surga? dan sebaliknya
d Meyakini orang tua seperti tuhan
3. Usia Sekolah (6-21 tahun)
a Mengharapkan tuhan akan menjawab do’a
b Masa pubertas, anak msering mengalami kekecewaan, karena
tidakselalu do’anya terkabulkan
c Mulai dapat mengambil keputusan
d Mulai membandingkan standar orang tuanya dengan orang lain
e Membandingkan standar ilmiah dengan standar agama
4. Dewasa
a Mulai menyadani arti agama setelah mendapat pertanyaan dari
anak ataugenerasi yang Iebih muda
b Mengingatkan kembali pengajaran agama dan orang tuanya dulu
5. Usia Pertengahan dan Lansia
a Lebih banyak waktu untuk benibadah
b Perasaan kehilangan karena pension
c Berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga
d Lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat
ditolak
e Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Flower (1978),
secara menyeluruh, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini

4
adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberi contoh cara
mencintai dan keadilan.

2.4.5 Keterkaitan Antara Spiritualitas, Kesehatan Dan Sakit


Spiritualitas, Kesehatan Dan Sakit Merupakan Satu Kesatuan Yang
Saling Berkaitan,Meliputi:
1. Menentukan
Kebiasaan Hidup Sehari-Hari
Pandangan Seseorang Tentang Kegiatan Sehari-Hari Didasarkan Pada
Kepercayaan Meliputi Makan, Berobat, Keluarga Berencana, Dan Lain-
Lain.
2. Sumber Dukungan
Keyakinan Terhadap Agama Merupakan Suatu Modal Seseorang Untuk
BerbaktiKepada Sang Penciptanya, Yang Meliputi: Sembahyang,
Berdo’a, Membaca Alqur’an, Dan Lain-Lain.
3. Sumber Kekuatan
Dan Penyembuhan
Dukungan Spiritual Juga Dapat Menahan Atau Meminimalkan Distress
Fisik LuarBiasa Sehingga Dapat Menyakinkan Keberhasilan.
4. Sumber Konflik
Bila Terjadi Konflik Antara Keyakinan Dan Kesehatan Maka Respon
ManusiaBerbeda-Beda Ada Yang Mempunyai Kemampuan Ada Yang
TidakBerkemampuan Untuk Memecahkan Konflik, Maka Dikembalikan
Kepada SangPencipta.

2.4.6 Masalah Spiritual Pada Lansia


Permasalahan terbesar yang dialami lansia pada dasarnya sama yaitu
menyiapkan kematian yang notabene akan dialami oleh semua orang, namun
hal ini menjadi berbeda pada lansia karena sebagian besar lansia berpikir
bahwa “yang tua akan cepat mati” hal inilah yang menjadikan lansia
memiliki dua sudut pandang berbeda. Pada lansia dengan tingkat spiritual
yang tinggi maka akan dapat menerima kenyataan yang akan diterimanya
nanti dan siap dalam menghadapi kematian, sedangkan pada lansia dengan

5
tingkat spiritual yang rendah maka mereka akan sulit dalam menerima
keadaan yang menimbulkan kemungkinan terburuk yaitu menyalahkan takdir
allah swt.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang
menghadapi kematian, dr. Tony styobuhi mengemukakan bahwa maut sering
kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam
faktor, seperti ketidak pastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit
dan kegelisahan kumpul lagi bengan keluatga dan lingkungan sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi
yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi
hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan
keluarga perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun
kelurga tadi di tinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus mereka.
Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.
Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan
seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran
seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan
hanya terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan
pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka

Distress spiritual
a. DefinisiDistress
Spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) definisi distress spiritual adalah
hambatan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna
dan tujuan dalam hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain,
musik, seni, buku, alam, ataupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.
a) Hubungan dengan diri sendiri
o Marah

6
o Rasa bersalah
o Koping buruk
o Mengekspresikan kurangnya: Penerimaan, semangat
memaafkan diri sendiri, harapan, cinta
o Makna dan tujuan hidup
o Kedamaian dan ketentraman
b) Hubungan dengan orang lain
o Mengungkapkan pengasingan
o Menolak interaksi dengan orang terdekat
o Menolak interaksi dengan pembimbing spiritual
c) Hubungan dengan Seni, Musik, Buku, Alam
o Tidak tertarik pada alam
o Tidak tertarik membaca literature keagamaan
o Ketidakmampuan mengekspresikan status kreativitas yang
dahulu (Bernyanyi, dan mendengarkan music serta menulis)
d) Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa
o Mengungkapkan di tinggalkan
o Mengungkapkan marah terhadap Tuhan
o Mengungkapkan keputusasaan
o Mengungkapkan penderitaan
o Ketidakmampuan mengintropeksi diri atau menilik diri
o Ketidakmampuan mengalami transendensi diri
o Ketidakmampuan berpartisipasi dalam aktifitas keagamaan
o Ketidakmampuan berdoa
o Meminta berteman dengan pembimbing spiritual
o Perubahan mendadak pada praktik spiritual

b. Faktor yang
berhubungan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai faktor
yang berhubungan dengan distress spiritual, sebaga berikut:
a) Menjelang ajal aktif
b) Ansietas
c) Penyakit kronik pada diri sendiri dan orang lain
d) Kematian [orang lain]
e) Perubahan hidup
f) Kesepian atau pengasingan social
g) Nyeri
h) Peniadaan diri
i) Deprivasi sosiokultural

2.4.7 TerapiSpiritual Pada Lansia

7
Perawat yang notabane adalah member perawatan secara holistic
kepada klien dari segi bio-siko-sosial-spiritual makan pada permasalahan
inilah perawat harus mampu memberikan pelayanan spiritual secara komplit
kepada lansia guna membangun koping individu. pada permasalahan yang
dihadapi lansia inilah perawat perlu mencari alternatif terbaik yang dapat
diberikan kepada lansia agar dapat meningkatkan koping terhadap perubahan
yang mereka alami. salah satu alternatif yang dapat diberikan untuk
peningkatan tingkat spiritual pada lansia adalah metode “spiritual night
care”. beradasarkan penelitian ramachandran 1995, diketahui bahwa pada
lobus temporal manusia terdapat gog spot yang membuat manusia selalu
terkait dengan tuhan-nya. penelitian inilah yang mendasari tercetusnya ide
penerapan metode “spiritual night care” dalam membangun tingkat spiritual
pada lansia sehingga mampu menerima perubahan yang terjadi pada diri
mereka. metode ini dijalankan dengan cara membiasakan lansia untuk
mendengarkan atau lebih baiknya membaca ayat-ayat al-quran bersama
sehingga akan terbentuk ketenangan jiwa yang akan berdampak langsung
pada kedekatan dengan allah swt. selain hal ini, kegiatan lain yang akan
diterapkan pada metode ini adalah terapi zikir malam bersama sehingga
hubungan langsung antara pasien dan allah pun akan berlangsung dengan
baik. peran perawat disini adalah membimbing pasien dalam pelaksanaan
kegiatan tersebut, walau notabene perawat belum memiliki skill khusus
mengenai terapi ini paling tidak setiap muslim bisa membaca al-quran dan
berzikir sehingga tidak terdapat alas an tidak bisa bagi perawat dalam
membimbing pasien.
1. Penerapan Metode Pembacaan Ayat Al-
Quran Menjelang Tidur Lansia
Konferensi kedokteran indonesia islam amerika utara pada tahun
1994, menyebutkan bahwa al-quran terbukti mampu mendatangkan
ketenangan sampai 97% bagi yang mendengarkannya. Ketenangan jiwa
merupakan salah satu efek penting yang harud didapatkan oleh lansia
sehingga mereka akan dapat menjalankan hidup meraka dengan lebih

8
dekat kepada allah dan meningkatkan kemampuan mereka dalam koping
individu dalam penerimaan perubahan tubuh.
Malam hari menjelang tidur merupakan waktu yang tepat dalam
pelaksanaan terapi hal ini, karena pada waktu inilah seluruh kegiatan
telah selesai dilaksanakan sehingga focus fikiran tidak akan terbagi untuk
kegiatan lain. Saat tenang sebelum tidur ini kita manfaatkan untuk
memberikan terapi membaca bersama atau mendengar lantunan ayat suci
al-quran sehingga terbangun kualitas spiritual yang baik menjelang tidur.
Hasil yang diharapkan dari terapi ini adalah peningkatan kualitas tidur
pasien sehingga waktu terjaga hingga terbangun pada malam hari lansia
dapat merasakan ketenangan jiwa dan siap menjalani aktivitas pagi
selanjutnya.
Terdapat dua metode pelaksanaan terapi ini yang pertama adalah
perawat mengajak lansia untuk mengaji surat-surat pendek secara
bersama, perawat meluangkan waktu sekitar lima belas menit untuk
mengaji bersama lansia dan memberikan kesempatan pada lansia untuk
menceritakan sedikit keluhan yang ia rasakan sepanjang hari tersebut.
Selain mengaji bersama kegiatan “curah” antara klien lansia dengan
perawat akan membantu lansia untuk meluapkan perasaan dan
membangun kedekatan serta kepercayaan kepada perawat. Metode kedua
adalah berkumpul bersama melakukan meditasi bersama saling “curhat”
antar teman dengan perawat sebagai pendamping dan advokat bagi klien
lansia. Metode kedua ini cocok diterapkan pada lansia yang tinggal
bersama di panti jompo.

2. Penerapan Metode Zikir Sesaat Setelah


Terbangun
Penerapan “spiritual night care” dibagi menjadi dua kegiatan yaitu
kegiatan malam menjelang tidur sebagai bentuk evaluasi dan penanaman
jiwa spiritual. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan malam setelah tidur
guna membentuk emosi spiritual yang stabil dalam menjalankan
kegiatannya dalam sehari ini.

9
Doa dan dzikir merupakan terapi psikoreligius yang dapat
membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting
selain obat dan tindakan medis. Melihat khasiat yang begitu menakjubkan
dari kegiatan berdzikir maka klien lansia diwajibkan untuk menerima
program dzikir rutin bersama dengan bimbingan perawat.
Kegiatan setelah bangun menjelang shalat subuh ini dilakukan
melalui tiga tahapan yaitu zikir sebelum shalat subuh, shalat subuh dan
mindset kegiatan yang akan dilakukan sehari ini. Kegiatan pertama yaitu
berdzikir, kegiatan kedua setelah dzikir adalah shalat subuh berjamaah,
selain pahala yang berlipat yang didapatkan maka rasa kebersamaan
antara perawat dank lien lansia dapat terbangun dengan baik. Kegiatan
ketiga adalah kegiatan yang cukup penting karena pada kegiatan inilah
perawat berperan dalam membantu lansia membangun mindset kegiatan
yang akan dialami dalam sehari ini. Saat mindset kegiatan keseharian
terbangun dengan baik maka klien akan cenderung terbawa pola piker
kebaikan yang akan di alami dan cenderung mindset menjadi sebuah
kenyataan, karena persepsi cenderung membawa aksi. Bila pada
penanaman pola piker kita sebagai perawat menanamkan motivasi
spiritual bahwa allah akan memberikan kebaikan maka tingkat spiritual
kita dalam meyakini kebaikan allah dapat meningkat.

2.4.8 UpayaUntuk Meningkatkan Taraf Kehidupan Spiritual


Salah satu upaya yang dianggap dapat dijadikan tahapan dalam meniti
dan meningkatkan taraf kehidupan spiritual yang baik antara lain dapat
dilakukan kegiatan – kegiatan berikut:
1 Mendalami kitab suci agar dapat lebih mengerti kandungan warta
yang diberikan sesuai dengan agama masing – masing. Dalam tahap ini,
berbagai pengalaman hidup hendaknya dapat dikaji dan apabila terdapat
kekurangan dan kesalahan tertentunya perlu disertai dengan upaya
memperbaiki diri.
2 Melakukan samadi/meditasi dengan memilih salah satu topik yang
menyapa hati, atau melalui latihan meditasi tertentu

10
3 Berdoa untuk menjalin hubungan yang lebih mendalam dengan
Yang Maha Esa. Dengan keberanian untuk terbuka, seseorang akan
mengakui kesalahan dan berani melakukan pertobatan (melalui puasa
atau bersilih/bersedekah/beramal dan lain – lain).
4 Kontemplasi: pelibatan diri dalam kondisi dalam kondisi dan
situasi sesuai dengan “warta” yang diberitakan dalam kitab suci, dan
aplikasikan dalam kehidupan masa kini. Kehidupan kontemplatif yang
umunya akan diarahkan dalam karya sehari – hari tentunya akan
mengarah pada “manunggaling Kawula Pada Gusti- Nya” – pencapaian
suasana yang serasi, damai dan penuh berkat sehingga Lanjut Usia tadi
dapat kembali secara sempurna dan utuh ke pangkuan Ilahi.

2.4.9 Asuhan Keperawatan Masalah Spiritual Pada Lanjut Usia


1. Pengkajian
a. Keyakinan dan makna
Penting untuk mempelajari tentang filosofi hidup seseorang,
perspektif spiritualitasnya, dan apakah pandangan spiritualnya sebagai
bagian darikehidupannya secara keseluruhan. Tanyakan kepada klien,
“Dapatkah anda katakan kepadasaya tentang filosofi hidup anda?
jelaskan kepada saya apa yang paling penting dalam hidup anda?
katakan kepada saya apa yang telah memberi makna hidup anda?”.
Informasi ini dapat membantu perawat untuk mengenali fokus
spiritual klien dan dampak penyakit pada kehidupan seseorang. Suatu
pemahaman tentang keyakinan dan makna yang mencerminkan sumber
spiritual seseorang memudahkan dalam mengatasi kejadian troumatik
atau yang menyulitkan. (Potter & perry, 2005., p.571)

b. Autoritas dan pembimbing


Autoritas dapat berupa yang maha kuasa, pembuka agama,
keluarga atau teman, diri sendiri. Suatu autoritas memandu seseorang
dalam mengujai keyakinan dan mengalami pertumbuhan. Perawat
dapat mengkaji sumber autoritas dan pedomn seseorang dengan
menanyakan klien “apa yang memberi anda kekuatan dari dalam?

11
Kepada siapa anda mencari bantuan untuk pedoman dalam hidup
anda?”. Juga penting untuk mengetahui apakah ada sumber keagamaan
yang berkonflik dengan pengobatan medis. Hal ini sangat
mempengaruhi pilihan yang diberikan perawat dan pemberi perawatan
kesehatan lainnya kepada klien. Misalnya jika klien penganut saksi
yehove sebagai sumber autoritasnya maka tranfisi darah tidak akan
diterima sebagai suatu bentuk pengobatan. (Potter & perry, 2005.,
p.571).

12
c. Pengalaman dan emosi
Pengkajian spiritual yang mencakup tinjauan tentang riwayat
seseorang dengan dan kapasitas pengalaman keagamaan dan apakah
pengalaman tersebut terjadi mendadak atau bertahap. Perawat dapat
menanyakan “pernahkah anda mempunyai pengalaman keagamaan
atau spirirual yang membuat berbeda dalam anda menjalani hidup?”.
Perawat menggali emosi atau suasana hati seperti kebahagian damai,
marah, rasa bersalah, harapan atau rasa malu yang berkaitan dengan
pengalaman keagamaan. Informasi tersebut dapat menunjukkan makna
spiritualitas yang dianut dan apakan perasaan tersebut
menyatu kedalam atau ditolak oleh keyakina klien. (Potter & perry,
2005., p.572).

d. Persahabatan dan komunitas


Pengkajian holistik perawat menggali keluasan jaringan
dukunan seseorang dan hubungan mereka dengan klien. Apakah klien
mempunyai satu hubungan persahabatan atau lebih? tingkat dukungan
apa yang diterima dari komunitas ini? bagaimana komunitas
mengekspresikan perasaan tentang perhatian dan persahabatan?
perawat ingin mempelajari apakah terdapat keterbukaan diantara klien
dan individu tersebut dengan siapa klien membentuk persahabatan.
(Potter & perry, 2005., p.572).

e. Ritual dan ibadat


Klien yang beragama islam mungkin berkeinginan untuk
memadukan ritual sembahyang mereka ke dalam rutinitas perawatan
kesehatan. Ketika kematian klien sudah dekat, sangat penting artinya
untuk mengetahui apakah praktik keagamaan harus di lakukan untuk
memastikan ketenangan jiwa bagi klien dan keluarganya. (Potter &
perry, 2005., p.573).

13
3. Dorongan dan pertumbuhan
Pengkajian mencakup tinjauan apakah klien membiarkan
keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa keyakinan baru
akan muncul. Hal ini penting karena kehilangan harapan dapat
menyebabkan keputusasaan. Jika penyakit membuat seseorang lebih
bergantung, dapatkah sumber baru muncul? (Potter & perry, 2005.,
p.574).

f. Panggilan dan konsekuensi


Individu mengekspresikan spiritulitas mereka pada rutinitas
sehari-hari, pekerjaan, hubungan, dan bidang lainnya. Hal tersebut
dapat menjadi panggilan dalam hidup dan menjadi bagian dari
identitas mereka. Perawat mengkaji apakah dalam menghadapi
penyakit, klien kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan rasa
keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar darinya. (Potter &
perry, 2005., p.574)

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA 2003, mengakui tiga diagnosis yg berhubungan
dengan spiritual:
1) Distress spiritual adalah hambatan kemampuan untuk mengalami
dan mengintegrasikan makna dan tujuan dalam hidup melalui
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, music, seni, buku, alam,
ataupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2) Distress spiritual, risiko adalah beresiko terhadap hambatan
kemampuan untuk mengalami dan megintrasikan makna dan tujuan
dan tujuan dalam hidup melalui hubungan diri sendiri, orang lain, seni,
musik, buku, alam, ataupun dengan Tuhan yang Maha Esa.
3) Kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual adalah
kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan
hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, music,
buku, alam, ataupun demgam Tuhan Yang Maha Esa dan dapat
ditingkatkan.

14
Aktivitas keperawatan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai
aktivitas keperawatan distress spiritual, sebagai berikut:
1. Pengkajian
Untuk pasien yang mengindikasikan adanya ketaatan beragama,
kaji adanya indikator langsung status spiritual pasien dengan mengajukan
pertanyaan sebagai berikut:
1) Apakah anda merasa keimanan Anda dapat membantu Anda?
Dengan cara apa keimanan tersebut penting bagi Anda saat ini?
2) Bagaimana saya dapat membantu Anda menjalani keimanan Anda?
Misalnya, apakah Anda ingin saya membacakan buku doa untuk Anda?
3) Apakah Anda menginginkan kunjungan dari penasihat spiritual
atau layanan keagamaan dari rumah sakit?
4) Tolong beri tahu saya tentang aktivitas agama tertentu yang penting
bagi Anda.

Lakukan pengkajian tidak langsung terhadap statusa spiritual


pasien dengan melakukan langkah berikut:
1) Tentukan konsep ketuhanan pasien dengan mengamati buku-buku
yang ada disamping tempat tidur atau di program televisi yang dilihat
pasien. Juga catat apakah kehidupan pasien tampak memiliki arti, nilai,
dan tujuan.
2) Tentukan sumber-sumber harapan dan kekuatan pasien. Apakah
tuhan dalam arti tradisional, anggota keluarga, atau kekuatan
“bersumber dari dalam dirinya”? catat siapa yang paling banyak
diperbincangka oleh pasien, atau tanyakan, “siapa yang penting bagi
Anda?”
3) Amati apakah pasien berdoa ketika Anda memasuki ruangan,
sebelum makan, atau saat tindakan.
4) Amati barang-barang, seperti leteratur keagamaan, rosario, kartu
ucapan semoga lekas sembuh yang bersifat keagamaan di samping
tempat tidur pasien.

15
5) Dengarkan pandangan-pandangan pasien tentang hubungan antara
kepercayaan spiritual dan kondisi spiritualnya, terutama untuk
pertanyaan, seperti, “mengapa tuhan membiarkan hal ini terjadi pada
saya?” atau “jika saya beriman, saya pasti akan sembuh.”

2. Aktivitas Kolaboratif
1) Komunikasi kebutuhan nutrisi (misalnya, makanan halan, diet
vegetarian, dan diet tanpa-daging babi? Dengan ahli gizi
2) Minta konsultasi spiritual untuk membantu pasien atau keluarga
menentuka kebutuhan pascahospitalisasi dan sumber-sumber dukungan
di masyarakat
3) Dukungan Spiritual (NIC): Rujuk ke penasihat spiritual pilihan
pasien.

3. Aktivitas lain
1) Jelaskan pembatasan yang dilakukan sehubungan dengan perawat
terhadap aktivitas keagamaan
2) Buat perubahan yang diperlukan segera untuk membantu
memenuhi keutuhan pasien (misalnya, dukung keluarga pasien atau
teman untuk membawa makanan istimewa)
3) Jaga privasi dan beri waktu pada pasien untuk mengamati praktik
keagamaan
4) Dukungan Spiritual (NIC):
a. Terbuka terhadap ungkapan pasien tentang kesepian dan
ketidakberdayaan
b. Gunakan teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien
mengklarifikasi kepercayaan dan nilai yang ia yakini, jika perlu
ungkapkan empati terhadap perasaan pasien
c. Dengarkan dengan cermat komunikasi pasien dan
kembangkan makna waktu berdoa atau ritual keagamaan

16
d. Beri jaminan kepada pasien bahwa perawat selalu ada
untuk mendukung pasien saat pasien measakan penderitaan
e. Anjurkan kunjungan pelayanan keagamaan, jika diinginkan
beri artikel keagamaan yan diinginkan, sesuai pilihan pasien.

Perawatan Dirumah
a. Tindakan di atas tepat diterapkan dalam perawatan dirumah
b. Bantu pasien dan keluarga menciptakan satu ruang di dalam
rumah untuk meditasi atau beribadah.

Untuk lansia
Atur seseorang (misalnya, pembantu rumah tangga) untuk
membacakan kitab suci untuk klien jika klien menginginkannya dan
tidak mampu membacanya sendiri.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan
dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan
dengan waktu.
Teknik komunikasi yang diterapkan oleh perawat pada lansia bisa melalui
pendekatan asertif, responsif, fokus, supportif, klarifikasi, sabar dan ikhlas.
Sedangkan untuk teknik pendekatan kepada klien lansia bisa melalui teknik
pendekatan fisik, pendekatan psikologis, pendekatan sosial, dan pendekatan
spiritual.
Meningkatnya usia harapan hidup (UHH) memberikan dampak yang
kompleksterhadap kesejahteraan lansia. Di satu sisi peningkatan UHH
mengindikasikan peningkatantaraf kesehatan warga negara. Namun di sisi lain

17
menimbulkan masalah masalah karenadengan meningkatnya jumlah penduduk
usia lanjut akan berakibat semakin besarnya bebanyang ditanggung oleh keluarga,
masyarakat dan pemerintah, terutama dalam menyediakanpelayanan dan fasislitas
lainnya bagi kesejahteraan lansia. Hal ini karena pada usia lanjutindividu akan
mengalami perubahan fisik, mental, sosial ekonomi dan spiritual
yangmempengaruhi kemampuan fungsional dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
sehinggamenjadikan lansia menjadi lebih rentan menderita gangguan kesehatan
baik fisik maupunmental.

3.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini
dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Capernito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinis.


(Kusrini Semarwati Kadar, Penerjemah). Jakarta: EGC

Cynthia M. Taylor & Sheila Sparks Ralph. 2012. Diagnosis Keperawatan Dengan
Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC

Davison, G. C., Neale, J. M., Kring A. M. (2014). Psikologi abnormal (9th ed.).
Depok: Kharisma Putra Utama.

Hardywinoto dan Tony Setiabudhi. 2005. Panduan Gerontologi Tinjauan dari


berbagai aspek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan. (5thed.). Erlanga: Jakarta.

Litfiah (2009). Psikologi abnormal. Semarang: Widya Karya.

Santrock, J. W. (2012). Perkembangan masa hidup. Indonesia: PT Gelora Aksara


Pratama

19

Anda mungkin juga menyukai