Anda di halaman 1dari 21

AUTISME

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mandiri


Mata kuliah
:
Dosen Pengampu :

Disusun oleh :
Ais Hamidah Purnama Sari
Non Reguler/ Semester VI/2016

SEKOLAH TINGI FARMASI YPIB


CIREBON
TAHUN

2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Autisme merupakan suatu kumpulan gejala (sindrom) yang


diakibatkan oleh kerusakan saraf. Gejalanya sudah tampak sebelum anak
mencapai usia tiga tahun. Penyandang autisme menunjukkan gangguan
komunikasi yang menyimpang. Gangguan komunikasi tersebut dapat
terlihat dalam bentuk keterlambatan bicara, tidak bicara, bicara dengan
bahasa yang tidak dapat dimengerti (bahasa planet), atau bicara hanya
dengan meniru saja (ekolalia). Selain gangguan komunikasi, anak juga
menunjukkan gangguan interaksi dengan orang disekitarnya, baik orang
dewasa maupun orang sebayanya. (Maulana, 2007)
Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang
berat. Hampir pada seluruh kasus, autisme muncul saat anak lahir atau pada
usia tiga tahun pertama. Pada prinsipnya gangguan gangguan yang terjadi
di otak tidak dapat disembuhkan. Jika anak autistik terlambat atau bahkan
tidak mendapat intervensi hingga dewasa, maka gejala autis bisa semakin
parah. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan terjadinya banyak kasus
anak autis yang gagal dalam mengembangkan kemampuan sosial dan
komunikasi. Untuk itu, perlu dilakukan terapi secara dini, terpadu, dan
intensif sehingga anak mampu bergaul layaknya anak anak yang lain
yang tumbuh secara normal.
Menurut penyelidikan di Amerika, autisme terjadi pada 10 anak dari
10.000 kelahiran. Kemungkinan terjadinya empat kali lebih sering pada
bayi laki-laki dibanding bayi perempuan. Statistik bulan Mei 2004 di
Amerika menunjukkan, satu di antara 150 anak berusia di bawah 10 tahun
atau sekitar 300.000 anak-anak memiliki gejala autis. Dengan perkiraan
pertumbuhan sebesar 10-17 persen per tahun, para ahli meramalkan bahwa
pada dekade yang akan datang di Amerika akan terdapat 4 juta penyandang
autis. Autisme terjadi di belahan dunia manapun. Tidak peduli pada suku,
ras, agama, maupun status sosial. (Maulana, 2007)
Prevalensi anak autis semakin bertambah. Pertambahan di Kanada dan
Jepang mencapai 40% sejak tahun 1980. Di California, pada tahun 2002
ditemukan 9 kasus autis per harinya. Adanya metode diagnosis yang semakin
berkembang hampir di pastikan jumlah anak yang terdeteksi menyandang
autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut sangat mengkhawatirkan,

mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi
bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. (Judarwanto, 2008)

Di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan


jumlahnya akan mencapai lebih dari 400.000 anak yang menyandang
autisme. Menurut Maulana (2007), jumlah penyandang autisme akan
semakin meningkat menjadi 15 20 anak atau 1 per 500 anak tiga tahun
yang akan datang.
Berdasarkan data hasil survey dari beberapa Sekolah Luar Biasa
(SLB) di kota Semarang yang diperuntukkan bagi anak anak
berkebutuhan khusus, SLB Negeri Semarang merupakan salah satu sekolah
dengan jumlah anak autis paling banyak. Hingga saat ini, jumlah
keseluruhan siswa yang menyandang autisme di sekolah tersebut berjumlah
50 siswa. Prevalensi jumlah anak autis meningkat dari tahun ke tahun.
Tercatat sekitar 15% pada tahun 2005 siswa menyandang autis dan
mengalami peningkatan pada tahun 2006 hingga 20%. Pada tahun 2007
terjadi peningkatan yang sangat signifikan sekitar 40 % dan pada tahun
2009 meningkat hingga 60%.
Orangtua yang dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa anaknya
merupakan anak autis, banyak orangtua yang dengan terpaksa menerima
keadaan anaknya. Keberadaan anak autis dalam suatu keluarga membuat
orangtua pasrah atau sebaliknya, orangtua menganggap anak autis sebagai
suatu aib dalam keluarga. Kenyataan yang demikian ini dapat memberikan
pengaruh pada sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang autis.
(Safaria, 2005)
Setiap orangtua akan mengalami berbagai macam perasaan.
Banyak orangtua yang shock setelah mendengar diagnosa dari dokter
bahwa anaknya mengalami gangguan perkembangan yang termasuk dalam
spektrum autisme. Setiap orangtua pasti memiliki reaksi emosional serta
sikap yang berbeda beda. Yang sering terjadi adalah perasaan tidak
percaya, marah, sedih dan bingung, serta tidak dapat menerima dengan
harapan bahwa diagnosis tersebut salah. Sebagian besar orangtua dapat
menerima dengan tabah kabar tersebut dan langsung mengupayakan untuk
membantu penyembuhan anaknya. Sayang, masih ada sebagian kecil

orangtua yang belum dapat menerima kenyataan bahwa anaknya di


diagnosa mengalami gangguan autisme. (Maulana, 2007).
Fenomena semakin meningkatnya jumlah prevalensi autisme, maka
akan semakin banyak pula orangtua yang mengalami konflik batin dalam
menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena
adanya kesenjangan antara keinginan dan harapan orang tua yang tidak
terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga,
sehingga dapat mempengaruhi penerimaan orang tua yang memiliki anak
autis, khususnya ibu. Hal ini dibuktikan oleh wawancara dengan seorang ibu
yang menyekolahkan anaknya yang autis di SLB Negeri Semarang. Secara
umum, sekilas orangtua tersebut terlihat layaknya orangtua yang gembira
mengantar dan menanti kepulangan anaknya. Berbagai perasaan akan muncul
bila teringat akan kondisi anaknya yang autis. Konflik batin yang dialami oleh
ibu tersebut akan mempengaruhi keadaan psikologinya, yang kemudian akan
berdampak pada sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua kepada
anaknya yang autis tersebut

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Defenisi Autisme
2. Gejala Autisme
3. Penyebab Austisme
4. Diagnosis Autisme
5. Pengobatan Autisme
6. Prinsip tentang media dalam e-learning
7. Pengaruh e-learning bagi pendidikan sekolah
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Autisme
2. Untuk menambah pengetahuan tentang Autisme
3. Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah

1.4 Manfaat
Penulisan Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis
pribadi, dan para pembaca makalah ini, khusus nya bagi para
mahasiswa/i yang akan melakukan penelitian mengenai Autisme.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Autisme


Autism berasal dari kata Yunani autos yang berarti self (diri).
Kata

Autisme

ini

digunakan

didalam

bidang

psikiatri

untuk

menunjukkan gejala menarik diri (Budiman, 2002).


Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada
tahun 1943 (Handoyo:2004, Hidayat:2006). Leo Kanner (1943) dalam
Safaria (2005) mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia, pembalikan
kalimat, adanya aktifitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute
ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan
keteraturan di dalam lingkunganya.
Dari deskripsi tersebut muncullah istilah autisme. Istilah autisme
itu sendiri berasal dari kata auto yang berarti sendiri (Handoyo:2004).
Jadi anak autis seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Mereka
cenderung menarik diri dari lingkungannya dan asyik bermain sendiri.
Autism menurut istilah ilmiah kedokteran, psikiatri dan psikologi
termasuk gangguan pervasive (pervasive developmental disorders).
Secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan
distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi
perkembangan ketrampilan social dan berbahasa, seperti perhatian,
persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik.
(Sunu:2012)
Autism merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh
kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syarafsyaraf tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara
normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang pada beberapa aspek,
yaitu antara lain ; komunikasi, kemampuan berinteraksi social, dan
gerakan motorik baik kasar maupun halus. Dan gejala-gejala autism
terlihat dari adanya penyimpangan dari ciri-ciri tumbuh kembang anak
secara normal yang sebaya dengannya. (Sunu:2012)

Handriami (2002) menjelaskan bahwa autisme merupakan


gangguan perkembangan otak dalam arena penalaran, interaksi sosial
dan ketrampilan komunikasi. Lebih lanjut dijielaskan bahwa anak-anak
dan orang dewas dengan autisme meiliki defiensi dalam komunikasi
verbal dan non verbal, interaksi sosial dan aktivitas bermain. Gangguan
ini menyebabkan anak autis sulit untuk berkomunikasi dengan orang
lain dan berhubungan dengan dunia sekitarnya, adanya gerakan-gerakan
yang berulang-ulang respon yang aneh atau kelekatan dengan objek dan
menolak adanya perubahan dari rutinitas. Pada beberapa kasus
ditemukan adanya perilaku agresif atau self-injured.
Menurut DSM V autism spectrum disorder it is a developmental
disorder that involves a wide range of problematic behaviors including deficit
in language and perceptual at motodevelopment really testing, and an inability
to function in social situations the following case illustrates some of the
behaviors that mybe seen in child with autism (James,&Susan:2013)

Menurut DSM V autis adalah gangguan perkembangan yang


melibatkan berbagai perilaku bermasalah termasuk diantaranya masalah
berkomunikasi, masalah persepsi, masalah motorik dan perkembangan
sosial.(James&Susan:2013)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme
merupakan gangguan pervasif yang mencakup gangguan dalam bidang
interaksi sosial, adanya gangguan pola perilaku, minat, kegiatan yang
terbatas dan berulang dan kelemahan dalam komunikasi verbal maupun
non verbal.
2.2 Gejala Autisme
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision
(DSM IV- TR, 2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik
adalah sebagai berikut:
A. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan
setidaknya dua dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):
(1) Kerusakan

kualitatif

dalam

interaksi

sosial,

yang

dimanifestasikan dengan setidak-tidaknya dua dari hal


berikut:

(a) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan


beberapa perilaku non verbal seperti tatapan
langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur
untuk mengatur interaksi sosial.
(b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman
sebaya yang tepat menurut tahap perkembangan.
(c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas
untuk

berbagi

kesenangan,

ketertarikan

atau

pencapaian dengan orang lain (seperti dengan


kurangnya menunjukkan atau membawa objek
ketertarikan).
(d) Kekurangan

dalam

timbal

balik

sosial

atau

emosional.
(2) Kerusakan

kualitatif

dalam

komunikasi

yang

dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal


berikut:
(a) Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada
perkembangan bahasa (tidak disertai dengan usaha
untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari
komunikasi, seperti gestur atau mimik).
(b) Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan
ditandai dengan kemampuan untuk memulai atau
mempertahankan percakapan dengan orang lain.
(c) Penggunaan

bahasa

yang

berulang-ulang

dan

berbentuk tetap atau bahasa yang aneh.


(d) Kekurangan

divariasikan,

dengan

permainan

berpura-pura yang spontan atau permainan imitasi


sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
(3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan
berbentuk

tetap,

ketertarikan

dan

aktivitas,

yang

dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal


berikut:

(a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola


ketertarikan yang berbentuk tetap dan terhalang,
yang intensitas atau fokusnya abnormal.
(b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional
atau ritual yang spesifik.
(c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang
(tepukan atau mengepakkan tangan dan jari, atau
pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).
(d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek
B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari
area berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1)
interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi
sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.
C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder
atau
Childhood Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding
wanita dengan ratio 5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme
untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan atas autisme ringan, sedang dan
berat. Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada orangtua
karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan intervensi yang
dilakukan. Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme
ringan, sedang dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya
harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal.
Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang
autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang
terpenting dalam membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf,
2003).
2.3 Penyebab Autisme
Penyebab terjadinya autisme adalah adanya kelainan pada otak
(Handojo, 2003). Menurut Veskariyanti (2008), autisme disebabkan
karena kondisi otak yang secara struktural tidak lengkap, atau sebagian

sel otaknya tidak berkembang sempurna, ataupun sel-sel otak


mengalami kerusakan pada masa perkembangannya. Penyebab sampai
terjadinya kelainan atau kerusakan pada otak belum dapat dipastikan,
namun ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab kelainan
tersebut, antara lain faktor keturunan (genetika), infeksi virus dan jamur,
kekurangan nutrisi dan oksigenasi, obat-obatan serta akibat polusi udara,
air, dan makanan;banyak mengandung Monosodium Glutamate (MSG),
pengawet atau pewarna.
Gangguan atau kelainan otak tersebut terjadi sejak janin dalam
kandungann, yaitu saat fase pembentukan organ-organ (organogenesis)
pada usia kehamilan trimester pertama (0-4 bulan). Hal ini
mengakibatkan neuro-anatomis pada bagian otak berikut ini: 1) lobus
parietalis, menyebabkan anak autisme tidak peduli dengan lingkungan
sekitar; 2) serebelum (otak kecil) terutama pada lobus VI dan VII
menimbulkan gangguan proses sensoris, daya ingat, berpikir, berbahasa
dan perhatian; 3) sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala.
Kelainan pada hipokampus mengakibatkan gangguan fungsi kontrol
terhadap agresi dan emosi serta fungsi belajar dan daya ingat, sehingga
anak autisme kurang dapat mengendalikan emosi, terlalu agresif atau
sangat pasif, timbulnya perilaku atau gerakan yang diulang-ulang, aneh,
dan hiperaktif serta kesulitan menyimpan informasi baru. Kelainan pada
amigdala

mengakibatkan

gangguan

berbagai

rangsang

sensoris

(pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan rasa takut).


Studi epidemiologi menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali
berisiko lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autisme jika memiliki
saudara kandung yang juga autisme sekitar 3%. Studi lain menunjukkan,
saudara kembar dengan jenis kelamin yang sama tapi merupakan
monozigotik, mempunyai risiko 300 kali lebih besar dari pada dizigotik
(Yoder, 2004).
Beberapa kasus terjadinya anak autisme berhubungan dengan
infeksi virus (rubella kongenital atau cytomegalic inclusion disease),
fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan), dan

sindroma-x yang rapuh (kelainan kromosom). Abnormalitas yang paling


sering terjadi yaitu duplikasi pada kromosom 15 dan kromosom seks.
Bagian 15q dari kromosom yang didapat secara maternal ditemukan
paling banyak berpengaruh pada individu yang menderita autisme.
Bagian ini juga terlibat dalam basis genetik dari disleksia,
salah satu gambaran klinis spektrum autisme. Bahkan akhir-akhir
ini, gen ini dilaporkan ikut berpartisipasi dalam pengkodean gen 3gamma-aminobutyric acid (GABA)-A receptor subunits (Trottier, 1999).
Sedangkan menurut Budiman (2001), peningkatan kasus autisme
selain karena faktor kondisi dalam rahim seperti terkena virus
toksoplasmosis sitomegalovirus, rubella atau herpes dan faktor herediter,
juga diduga karena pengaruh zat-zat beracun, misalnya timah hitam (Pb)
dari knalpot kendaraan, cerobong pabrik, cat tembok, kadmium (Cd)
dari batu baterai, serta air raksa (Hg) yang juga digunakan untuk
menjinakkan kuman untuk imunisasi. Demikian pula antibiotik yang
memusnahkan hampir semua kuman baik dan buruk di saluran
pencernaan, sehingga jamur merajalela di usus. Logam-logam berat
yang menumpuk di dalam tubuh wanita dewasa masuk ke janin lewat
demineralisasi tulang lalu tersalur ke bayi melalui Air Susu Ibu (ASI).
Peresepan antibiotik yang berlebihan adalah masalah yang tidak
dapat dipisahkan dari autisme dan sudah memicu timbulnya resistensi
organisme terhadap antibiotik sehingga organisme semakin sulit untuk
dieradikasi (Jepson, 2003). Selain itu, penggunaan antibiotik yang
berlebihan dapat mengganggu keseimbangan mikroorganisme di tubuh
(Herbert, 2002). Anak-anak autisme mempunyai masalah khusus pada
keadaan ini karena pada penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
anak-anak autisme mempunyai aktivitas T-helper 1 Lymphocyte yang
rendah (Jepson, 2003). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Warren
(1995) dalam Trottier (1999), anak-anak autisme menunjukkan kelainan
cell-mediated immunity termasuk kelainan aktivasi sel T dan penurunan
jumlah

helper-inducer

lymphocytes.

Keadaan

ini

menyebabkan

rendahnya kemampuan untuk membersihkan organisme yang berbahaya

dan mengembalikan keseimbangan flora normal intestinal. Ini dapat


menghasilkan pertumbuhan jamur yang berlebihan dan bakteri yang
persisten di saluran cerna mereka. Organisme tersebut dapat
mengganggu proses pencernaan yang normal dan menghasilkan
metabolit yang berbahaya yang berbahaya yang pada akhirnya
berpengaruh pada kelakuan autisme (Jepson, 2003)
2.4 Diagnosis
Sebagian besar orang tua menyadari gejala-gejala
autisme saat anak mereka berusia 2-3 tahun, tetapi ada
juga

yang

tidak

terdeteksi

sampai

penyandangnya

dewasa.
A.

Langkah Diagnosis Autisme pada Anak-anak

Jika Anda mencemaskan perkembangan anak


Anda,

pastikan

Anda

mengonsultasikannya

pada

dokter. Jika dokter mencurigai adanya gejala autisme,


Anda biasanya akan dirujuk pada para spesialis untuk
diagnosis lebih lanjut seperti psikolog, psikiater, dokter
spesialis anak, dan ahli terapi wicara.
Pada Umumnya dilakukan pemeriksaan fisik
untuk menghapus kemungkinan adanya penyakit lain
dan sejumlah pertanyaan mengenai perkembangan,
kesehatan, serta informasi mengenai perilaku anak
biasanya akan dikumpulkan dari pihak-pihak yang
bersangkutan. Misalnya, dokter dan staf penitipan
anak maupun sekolah.
Pemeriksaan penunjang juga akan dilakukan jika
dokter merasa

perlu. Sang anak biasanya akan

diminta untuk mengikuti sejumlah kegiatan agar

kemampuan

dan

aktivitasnya

bisa

diamati

serta

diperiksa secara khusus. Pemeriksaan terfokus ini


meliputi kemampuan bicara, perilaku, pola pikir anak,
dan interaksi dengan orang lain. Selain itu, para
spesialis

akan

menanyakan

riwayat

kesehatan

keluarga dan perkembangan anak secara mendetail


pada orang tua.
Hasil

pemeriksaan

ini

belum

tentu

bisa

mendiagnosis autisme secara pasti. Jika para spesialis


tidak bisa mengkonfirmasi diagnosis autisme meski
pemeriksaan

tersebut

sudah

selesai,

anak

Anda

mungkin dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan


ulang saat usianya lebih tua dan gejala autisme makin
terlihat.
Diagnosis akan memberikan gambaran jelas di
balik sikap dan kepribadian anak Anda. Reaksi yang
umum

dirasakan

para

orang

tua

saat

pertama

mendengar bahwa anak mereka menderita kelainan


autisme adalah terkejut dan tidak percaya karena
mencemaskan masa depan sang anak.
Tetapi proses ini juga akan memberi kesempatan
agar Anda dapat membimbing perkembangan dan
pertumbuhan mereka. Anda bisa mencari informasi
sebanyak

mungkin

penanganannya
Indonesia

lewat

(MPATI),

serta International

tentang

autisme

Masyarakat

Yayasan
Center

for

Peduli

Autisma
Special

serta
Autis

Indonesia,
Care

Education (ICSCE).
B. Langkah Diagnosis Autisme Pada Orang Dewasa

in

Banyak orang yang menyadari gejala autisme


mereka saat sudah dewasa. Mereka cenderung takut
untuk didiagnosis karena merasa akan dikucilkan dan
diremehkan.
autisme

Tapi

saat

penyandang

sebenarnya

dewasa
serta

langkah

dapat

keluarga

diagnosis

membantu
untuk

para

memahami

gangguan ini dan memutuskan jenis bantuan yang


tepat.
Hubungi dokter jika Anda merasa memiliki gejala
autisme. Anda juga bisa meminta rujukan untuk
psikiater

atau

psikolog

agar

dapat

menjalani

pemeriksaan lebih lanjut.


2.5 Pengobatan
Meski autisme tidak bisa disembuhkan, ada banyak
layanan bantuan pendidikan dan terapi perilaku khusus
yang dapat meningkatkan kemampuan penyandang
autisme. Tetapi bantuan untuk autisme memiliki banyak
jenis dan keluarga biasanya kesulitan untuk memilih
bantuan mana yang cocok karena efeknya akan berbeda
pada

tiap

penyandang.

Penanganan

autisme

juga

membutuhkan komitmen waktu, emosi, dan finansial.


Program

penanganan

autisme

(sering

disebut

intervensi) biasanya melibatkan para spesialis, seperti


dokter spesialis anak, psikolog, psikiater, ahli terapi
wicara, dan ahli terapi okupasi.
Aspek-aspek penting dalam perkembangan anak
yang seharusnya menjadi fokus pada tiap bantuan
adalah

kemampuan

berkomunikasi,

kemampuan

berinteraksi, kemampuan kognitif (misalnya, bermain


secara kreatif), dan kemampuan akademis.
Adapun

jenis

bantuan

terapi

Khusus

untuk

mengatasi Autisme adalah sebagai berikut :


A. Intervensi Interaksi Sosial

Jenis

bantuan

ini

bertujuan

membantu

penyandang autisme anak-anak untuk berkomunikasi


dan

berinteraksi

sehingga

mereka

lebih

mudah

beradaptasi. Intervensi dini ini juga mungkin diadakan


di sekolah atau bersama orang tua dan guru.
B. Analisis Perilaku Terapan (ABA)
ABA

(Applied

Behaviour

Analysis) membagi

kemampuan (misalnya, kemampuan komunikasi dan


kognitif)

menjadi

tugas-tugas

sederhana

yang

diajarkan secara terstruktur serta memberikan hadiah


atau pujian untuk mendorong perilaku baik. ABA
biasanya dilakukan di rumah, tapi ada program
tertentu yang terkadang dapat diterapkan di sekolah
atau tempat penitipan anak.
Tugas-tugas

sederhana

yang

lama-kelamaan

semakin kompleks dalam jenis terapi yang banyak


dipakai

di

perkembangan

Indonesia
sang

anak

ini

dapat

dengan

membantu
meningkatkan

kemampuannya secara bertahap. Tetapi ada sebagian


pakar

yang

meragukan

mengkhawatirkan
kegunaan

intensitasnya

kemampuan

dikembangkan tersebut di luar terapi.

dan
yang

C. Treatment and Education of Autistic and Related


Communication Handicapped Children (TEACCH)
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa anakanak dengan autisme sering menunjukkan respons
yang lebih baik terhadap informasi yang diberikan
secara visual. Karena itulah TEACCH mengutamakan
sistem

pembelajaran

terstruktur

menggunakan

komunikasi visual.
D. Pengajaran dan Pelatihan Untuk Orang Tua

Peran orang tua bagi anak-anak penyandang


autisme sangatlah penting. Partisipasi aktif orang tua
akan

mendukung

dan

membantu

meningkatkan

kemampuan sang anak.


Mencari informasi sebanyak mungkin tentang
autisme

serta

penanganannya

sangat

dianjurkan

untuk para orang tua. Anda bisa mencari tahu lebih


banyak melalui Masyarakat Peduli Autis Indonesia
(MPATI),

Yayasan

serta International

Center

Autisma
for

Special

Indonesia,
Care

in

Education (ICSCE).
Membantu anak untuk berkomunikasi dapat
mengurangi kecemasan dan memperbaiki perilakunya
karena komunikasi adalah hambatan khusus bagi
anak-anak dengan autisme. Kiat-kiat mungkin bisa
berguna:
1) Gunakan kata-kata yang sederhana.
2) Selalu menyebut nama anak saat mengajaknya bicara.
3) Manfaatkan bahasa tubuh untuk memperjelas maksud
Anda.

4) Berbicara pelan-pelan dan jelas.


5) Beri waktu pada anak Anda untuk memproses katakata Anda.
6) Jangan berbicara saat di sekeliling Anda berisik.
E. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi

Ada

beberapa

penanganan

yang

biasanya

dianjurkan untuk mengatasi gangguan komunikasi


yang dialami anak, yaitu:
1. Bantuan terapi psikologi
Penanganan

secara

psikologis

dapat

dianjurkan untuk membantu pengobatan jika


anak Anda menderita autisme dan masalah
kejiwaan, seperti gangguan kecemasan. Contoh
dari jenis penanganan ini adalah terapi perilaku
kognitif

atau

Cognitive

Behavioural

Therapy (CBT).
Terapi

psikologis

umumnya

dilakukan

dengan menemui psikolog untuk menceritakan


perasaan serta dampaknya pada perilaku dan
kesejahteraan. Karena itu para spesialis yang
terlibat

harus

menyesuaikan

metode

terapi

dengan keterbatasan yang dimiliki penyandang


autisme.

Misalnya,

informasi

dalam

bentuk

tulisan atau visual dan menggunakan bahasa


yang sederhana.
2. Terapi wicara
Hampir
mengalami

semua
kesulitan

anak

dengan

bicara.

autisme

Terapi

ini

mengutamakan pelatihan untuk meningkatkan


kemampuan

bicara

sehingga

anak

mampu

berinteraksi dengan orang lain.


Ahli terapi akan menggunakan sejumlah
teknik seperti alat bantu visual, cerita, dan
mainan

untuk

meningkatkan

kemampuan

komunikasi.
3. Picture

Exchange

Communication

System

(PECS)
Ahli

terapi

PECS

akan

menggunakan

gambar untuk membantu anak-anak dengan


autisme. Cara ini dipilih karena gambar lebih
efektif

untuk

berkomunikasi

bagi

sebagian

penyandang autisme anak-anak.


Pada tahap awal, anak-anak akan diajari
cara komunikasi sederhana seperti memberikan
kartu bergambar untuk berkomunikasi dengan
orang

dewasa.

mengajarkan

Lalu

ahli

kemampuan

yang

terapi
lebih

akan
sulit,

misalnya menggunakan kartu bergambar untuk


membentuk kalimat. Proses ini bertujuan agar
anak-anak belajar memulai komunikasi tanpa
diminta.
4. Metode komunikasi Makaton
Makaton

adalah

metode

komunikasi

menggunakan bahasa isyarat dan simbol untuk


membantu penyandang autisme berkomunikasi.
Metode

ini

dirancang

untuk

membantu

komunikasi verbal. Karena itu, bahasa isyarat


dan

simbol

biasanya

digunakan

bersamaan

dengan perkataan agar artinya dapat lebih


dimengerti.
Tiap

gerakan

bahasa

isyarat

Makaton

memiliki simbol masing-masing berupa gambar


sederhana. Simbol tersebut juga bisa digunakan
tanpa bahasa isyarat. Makaton sangat fleksibel
karena

bisa

digunakan

sesuai

kebutuhan

masing-masing pemakainya. Misalnya untuk:


1)
2)
3)
4)
5)

Mengungkapkan pikiran, pilihan, dan emosi.


Menandai objek, gambar, foto, dan tempat.
Bermain dan bernyanyi.
Menulis resep, daftar belanja, surat, dan pesan.
Membantu menunjukkan jalan atau gedung.

Sebagian besar penyandang autisme yang


awalnya menggunakan Makaton lama-kelamaan
akan berhenti secara alami dan beralih pada
kemampuan komunikasi verbal seiring dengan
perkembangan kemampuan bicara mereka.
Selain meningkatkan kemampuan dasar
komunikasi pada sebagian penyandang autisme,
Makaton juga dapat membantu proses interaksi
sosial mereka.
F. Penggunaan Obat-obatan

Walau tidak bisa menyembuhkan autisme, obatobatan

mungkin

bersangkutan

diberikan

untuk

dokter

spesialis

mengendalikan

yang

gejala-gejala

tertentu. Tetapi anak Anda biasanya dianjurkan untuk


menjalani pemeriksaan ulang setelah meminumnya

selama beberapa minggu karena obat-obatan tersebut


memiliki efek samping yang signifikan. Beberapa jenis
obat yang biasa diberikan adalah:
1. Depresi yang

dapat

diatasi

dengan

jenis

obat

penghambat pelepasan selektif serotonin (SSRI).


2. Sulit tidur yang dapat diatasi dengan obat seperti
melatonin.
3. Hiperaktif

yang

dapat

diatasi

dengan

obat

seperti methylphenidate.
4. Epilepsi yang dapat diatasi dengan jenis obat yang
disebut antikonvulsan.
5. Perilaku yang agresif dan yang membahayakan, seperti
mengamuk atau menyakiti diri sendiri. Jika parah atau
penanganan

secara

psikologis

tidak

berpengaruh,

kelainan ini mungkin dapat diatasi dengan obat antipsikotik.


G. Metode Pengobatan yang Sebaiknya Dihindari

Ada sejumlah metode pengobatan alternatif yang


dikira

berpotensi

untuk

mengatasi

autisme,

tapi

keefektifannya sama sekali belum terbukti dan bahkan


ada kemungkinan beberapa di antaranya berbahaya.
Berikut ini

adalah beberapa

metode pengobatan

alternatif yang sebaiknya dihindari:


1. Pola makan khusus, misalnya makanan bebas gluten
atau kasein.
2. Terapi neurofeedback. Aktivitas otak biasanya dipantau
lewat elektroda yang dipasang di kepala. Pasien bisa
melihat gelombang otaknya lewat layar dan diajari cara
mengubahnya.
3. Terapi khelasi yang menggunakan obat atau zat lain
untuk menghilangkan zat logam, terutama merkuri, dari
tubuh.

4. Terapi oksigen hiperbarik. Pengobatan dengan oksigen


dalam ruang udara bertekanan tinggi.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Autisme adalah gangguan perkembagan yang mencakup
bidang komunnikasi, interaksi, dan perilaku. Gejalanya mulai
tampak pada anak sebelum mencapai usia tiga tahun dan adapula
yang baru diketahui saat dewasa. Gangguan autistik ditandai dengan
tiga gejala utama yaitu gangguan interakasi sosial, gangguan
komunikasi, dan perilaku yang stereotipik. Yang disebabkan oleh 6
faktor yaitu : faktor genetis atau keturunan, faktor kandungan atau
pranatal, faktor kelahiran, faktor lingkungan, faktor obat, dan faktor
makanan.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan penulis adalah
hendaknya Saat mengandung para ibu harus lebih menjaga
kesehatan dengan berada dilingkungan yang bersih agar tidak

mudah terkena virus dan tidak mudah alergi. Selain itu juga para ibu
juga harus menjaga pola makannya dengan memakan makan yang
sehat dan bergizi. Selain itu Ibu mengandung juga harus memenuhi
Asupan Asam Folat yang penting bagi janin.

Anda mungkin juga menyukai