Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Permasalahan yang ada dilapangan terkadang setiap orang tidak


mengetahui tentang anak Autisme tersebut. Oleh karena itu kita harus kaji lebih
dalam tentang anak Autisme. Dalam pengkajian tersebut kita banyak informasi
mengenai siapa anak Autisme, penyebabnya dan lainnya. Dengan adanya bantuan
baik itu pendidikan secara umumm. Dalam mesyarakat nantinya anak-anak
tersebut dapat lebih mandiri dan anak-anak tersebut dapat mengembangkan
potensi yang ada dan dimilikinya yang selama ini terpendam karena ia belum bisa
mandiri. Oleh karena itu, makalah ini nantinya dapat membantu kita mengetahui
anak Autisme tersebut.

Autisme didapatkan pada sekitar 20 per 10.000 penduduk, dan pria lebih
sering dari wanita dengan perbandinga 4:1, namun anak perempuan yang terkena
adan menunjukkan gejala yang lebih berat. Beberapa penyakit sistemik, infeksi
dan neurologis menunjukkan gelaja-gejala seperti austik atau memberi
kecenderungan penderita pada perkembangan gejala austik. Juga ditemukan
peningkatan yang berhubungan dengan kejang.

Gejala-gejala autisme mulai tampak sejak masa yang paling awal dalam
kehidupan mereka. Hal ini tampak ketika bayi menolak sentuhan orang tuanya,
tidak merespon kehadiran orang tuanya, dan melakukan kebiasaan-kebiasaan
lainnya yang tidak dilakukan oleh bayi-bayi normal pada umumnya sebagian
besar penderita autisme mengalami gelaja-gejala negatif skizoprenia, seperti
menarik diri dari lingkungan, serta lemah dalam berpikir ketika menginjak
dewasa. Sebagian besar penderita autisme, yakni sekitar 75% termasuk dalam
kategori keterlambatan mental. Tetapi sejumlah 10% dari mereka malah dapat
digolongkan kedalam orang jenius.

1
Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai
jenis penyembuhan telah dilakukan. Beberapa implementasi penyembuhan
tersebut bukan hanya bersifat psikis, tetapi juga fisik, mental, emosional hingga
fisiologis. Tetapi penyembuhan yang diterapkanpun dilakukan dengan berbagai
varian teknik, diantaranya teknik belajak dan bermain yang dapat dilakukan
secara verbal maupun non verbal (Purwati,2010).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Autisme?
2. Bagaimana etiologi dari Autisme?
3. Bagaimana manifestasi klinis Autisme?
4. Bagaimana patofisiologi Autisme?
5. Bagaimana Pathway Autisme?
6. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik Autisme?
7. Bagaimana Penatalaksanaan Autisme?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan Autisme?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui Definisi autisme
2. Mahasiswa mampu mengetahui Etiologi dari autisme.
3. Mahasiswa mampu mengetahui Manifestasi Klinis dari autisme.
4. Mahasiswa mampu mengetahui Patofisiologi dari autism.
5. Mahasiswa mampu mengetahui Pathway dari autisme.
6. Mahasiswa mampu mengetahui Pemeriksaan diangnostik dari autisme.
7. Mahasiswa mampu mengetahui Penatalaksanaan dari autisme.
8. Mahasiswa mampu mengetahui Asuhan Keperawatan dari Autisme.

2
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi penulis atau mahasiswa

Penulis dapat mengetahui dan memahami asuhan keperawatan


pada anak dengan gangguan “Autisme” serta Penulis dapat terlatih
mengembangkan keterampilan membaca yang efektif karena sebelum
menulis karya ilmiah, ia mesti membaca relevansinya dengan topik yang
hendak dibahas.

1.4.2 Bagi pembaca

Manfaat penulisan karya ilmiah bagi pembaca yaitu menjadi


sumber referensi dan informasi bagi orang yang membaca karya tulis ini
supaya mengetahui dan lebih mendalami gangguan Autisme pada anak.

1.4.3 Bagi institusi keperawatan

Dapat digunakan sebagai informasi dan pembelajaran bagi institusi


untuk pengembangan mutu dimasa yang akan datang.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak yang
mengalami kondisi menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan anak
mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku
(Purwati, 2010)
Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang interaksi sosial. Komunikasi,
perilaku, emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan
terlambat atu tidak normal. Autisme mulai tampak sejak lahir atau saat masi bayi
(biasanya sebelum usia 3 tahun) (Hidayat, 2013).
Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun
saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial
atau komunikasi yang normal. Hal ini mengakibatkan anak tersebut terisolasi dari
anak yang lain (Maulana, 2008).

Gangguan spectrum autism (autism spectrum disorder, ASD), juga disebut


dengan gangguan perkembangan pervasive, memiliki awitan pada masa bayi atau
masa anak awal. Jangkauan ASD ini dapat ringan maupun berat (Kyle, 2015).

Perilaku autisme dapat diketahui pertama kali pada masa bayi karena
peerkembangan tertunda atau antara usia 12 dan 36 bulan ketika anak mengalami
regresi atau kehilangan kemampuan yang diperoleh sebelumnya. Kekhawatiran
prang tua tentang perkembangan dapat menjadi indikator sensitif terjadinya
autism (Kyle, 2015).

Anak yang menyandang autisme dapat gagal mengembangkan hubungan


interpersonal dan mengalami isolasi sosial. Sebagian besar anak yang
menyandang autisme mengalami ketunadayaan secara intelektual, yang
memerlukan supervise sepanjang hayat. Akan tetapi, beberapa diantara mereka
berbakat secara intelektual (Winarno 2013).

4
Bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang
secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif dan dan mempengaruhi
kemampuan bahasa komunikasi dan interaksi sosial. Gangguan-gangguan dalam
berkomunikasi, interaksi sosial dan imajinasi sering saling berkaitan sehingga
semuanya dapat digambarkan sebagi tigaserangkai. Gejala lainnya antara lain
berupa kehidupan dalam dunia sendiri tanpa memnghiraukan dunia luar
(Winarno, 2013).

2.2 Etiologi

Faktor penyebab autisme terus dicari dan masih dalam penelitian para ahli.
Beberapa teori terakhir mengatakan itu faktor genetika (keturunan peran penting
dalam proses lanjut autisme.

2.2.1 Faktor Genetik

Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor


genetik.Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah
tuberous sclerosis (17-58%) dan sindromfragile X (20-30%). Disebut
fragile- X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai olehadanya
kerapuhan (fragile) X 4.Sindrome fragile X merupakan penyakit yang
diwariskan secaraX-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola
penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan
X-linked lainnya, karena tidak bisa digolongkan sebagaidominan atau resesi,
laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa
sifat(carrier) (Maulana, 2008). 

2.2.2 Gangguan pada Sistem Syaraf

Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki


kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling

5
konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan
berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada autisme. Otak kecil berfungsi
mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang
mengatur  perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu
maka akan mengganggufungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti
misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku (Winarno, 2013).

2.2.3 Ketidakseimbangan Kimiawi

Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik


berhubungan denganmakanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi
terhadap makanan tertentu, seperti bahan- bahan yang mengandung susu,
tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan
pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun
2000 sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak
yang memenuhi kriteria gangguan autismemenurut DSM IV. Rentang umur
antara 1 – 10 (Winarno, 2013).

2.2.4 Masalah Selama Kehamilan

Masalah pada masa kehamilan dan proses melahirkan, resiko autisme


berhubungan dengan masalah-masalah yang terjadi pada 8minggu pertama
kehamilan. Ibu yang mengkonsumsi alcohol, terkena virus rubella menderita
infeksi kronis ataumengkonsumsi obat-obatan terlarang diduga mempertinggi
resiko autisme. Proses melahirkan yang sulit sehingga bayikekurangan
oksigen juga diduga berperan penting. Bayi yang lahir prematur atau berat
badan dibawah normal lebih besar kemungkinannya untuk mengalami
gangguan pada otak dibandingkan bayi normal (Winarno, 2013).

2.2.5 Terinfeksi Virus

6
Lahirnya anak autisme dapat disebebkan oleh virus seperti rubella.
Toxoplasmaosis, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan, dan
keracunan makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat
pertumbuhan sel otak yang menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung
terganggu terutama fungssi pemahaman,komunikasi dan interaksi (Maulana,
2008).

Efek virus dan keracunan tersebut dapat berlangsung terus setelah


anak lahir dan terus merusak pembentukan sel otak sehingga anak kelihatan
tidak memperoleh kemajuan dan gejala semakin parah. Gangguan
metabolisme, pendengaran dan pengelihatan juga diperkirakan dapat menjadi
penyebab lahirnya anak autisme (Maulana, 2008).

2.3 Manifestasi Klinis


2.3.1 Hubungan Sosial
Anak autisme memiliki kesulitan dalam pembentukan kedekatan
terhadap orang tua, apalagiterhadap orang lain.kesulitan ini kadang-
kadang muncul pada usia dini, yaitu saat masih bayi (Winarno, 2013).
Seorang bayi dapat sajamenolak untuk digending. Selain kurang
kurang mesra secara fisik, anak balita yang autisme jarang sekali
melakukan kontak mata dengan orang lain. Mereka tidak pernah
membalas atau merespons oranglain secara sosial, misalnya tertawa,
tersenyum, atau menunjukkan ekspresi wajah (Winarno, 2013).
Secara umum mereka tidak mengenal seseorang sebagai individu,
tidak menganggap sebagai manusia. Secara unik, anak autisme merasa
hidup dengan sendirinya (Winarno, 2013).

7
2.3.2 Kerusakan kualitas dalam interaksi sosial
Anak autisme mengalami kesulitan dalam hal non verbal
behavior, seperti kontak mata, ekspresi wajah, body posture,dan
gesture untuk mengatur interaksi sosial. Dia gagal mengembangkan
hubungan age-appropriate dengan teman seusianya. Dia kehilangan
upaya untuk berbagi kesenangan atau hal-hal yang memikat bersama
orang lain. Hal itu ditandai dengan hilangnya daya saling tukar-
menukar emosional dalam hubungan sosial (Winarno, 2013).
Banyak anak dengan ASD memberikan respons yang sangat
positif terhadap perubhan diet menu dan gizi yang mereka konsumsi.
Melakukan optimasi asupan zat gizi juga berarti melakukan optimasi
otak dan fungsi tubuh sehungga anak dapat merespons perlakuan lain
yang dilakukan dan mencapai hasil akhir yang dianggap paling baik
(Winarno, 2013).
2.3.3 Bahasa
Anak autisme mengalami keterlambatan dalam perkembangan,
khususnya terhadap kepekaan bahasa. Tanda-tanda khusus anak
autisme berupa echolalia, yaitu kecenderungan untuk mengulang suara
dan kata-kata orang lain. Biasanya ia suka menirukan bunyi setelh
orang lain berbicara. Tetapi bebrapa anak autis lainnya memiliki
kemampuan rendah untuk mengingat seluruh pembicaraan atau
program televise sehingga memerlukan waktu yang lama untuk
mengartikan makna yang ia dengar dan lihat (Winarno, 2013).
Meskipun tampaknya ia berbicara secara masuk akal, hal itu
masih sering diwarnai dengan beberapa kesalahan gramatikal dan
keanehan lain. Salah satu karakteristik anak autisme adalah
kecenderungan mencampurkan atau memutarbalikkan makna
ucapannya (Winarno, 2013).
Cara bicara anak autisme biasanya datar, tanpa intonasi dan
emosi. bila intonasinya berubah, sering kali terjadi secara tidak tepat.

8
Ekspresi non verbal yang eluar dan emosi, seperti gerakan tubuh dan
ekspresi wajah, sering tidak diikuti dengan perkataan. Semua
kebiasaan tersebut terus berlangsung sampai usia dewasa (Winarno,
2013).
2.3.4 Tabiat atau behavior
Anak autis sangat meolak perubahan, misalnya makanan, mainan,
perabot rumah, dan baju baru. Mereka sering mengulang gerakan
seperti berayun-ayun, bertepuk-tangan, atau memutar-mutar benda.
Beberapa diantara mereka sering melukai diri sendiri dengan berulang-
ulang membenturkan kepala ke tembok atau menggigit bagian tubuh
sendiri (Winarno, 2013).
2.3.5 Kecerdasan
Sekitar 65% pada anak autisme memiliki keterbelakangan mental
dalam tingkat tertentu, dengan IQ kurang dari 70. Namun, kecerdasan
anak autis tidak sama. Hasil tes kemampuan motorik dan spasial lebih
baik daripada tes verbal (Winarno, 2013).
2.3.6 Kemampuan berintegrasi
Salah satu hal penting dari ASD yaitu diagnosis tidak hanya
menunjukkan lambatnya, perkembangan tubuh atau hilangnya suatu
skill tertentu, tetapi kurangnya kualitas atau kemampuan berinteraksi.
Meskipun mampu menangkap banyak banyak bahasa, ia tidak
menggunakannya untuk berkomunikasi. Bahasa yang dikuasai
mungkin bisa canggih, tetapi kemampuan berkomunikasi tidak
dipraktikkan (Winarno, 2013).
Istilah Autism Spectrum Disonder digunakan untuk member
indikasi bahwa ada banyak kemungkinan kombinasidan gejala yang
serius.tidak semua anak autisme memenuhi jumlah kombinasi tertentu
secara pasti (Winarno, 2013).

9
Namun, anak autis berbeda dari anak-anak yang hanya memiliki
daya berbicara yang lambat atau keterlambatan seluruh proses
perkembangan atau hilangnya kemampuan sosial dan interaksi.
a. Preocupation yang tidak lazim dengan bidang yang menarik
bagian yang abnormal, baik dari segi intensitas maupun fokus.
b. Nonfuncional routines, pengulangan gerakan motorik, terus-
menerus bertepuk tangan, mengguncang-guncang tubuh, dan terus-
menerus memperhatikan bagian benda tertentu, misalnya lebih
sukamemutar roda mobil-mobilan daripada bermain dengan mobil
itu sendiri (Winarno, 2013).

Menurut Winarno, 2013 autisme terjadi fungsi yang abnormal


sebelum berusia 3 tahun, diantaranya pada salah satu dari
beberapa hal tersebut:
a. Interaksi sosial
b. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial
c. Symbol atau hal yang bersifat imajiner

2.3.7 Ciri-ciri yang Khas Autisme


1. Penarikan Diri
kemampuan komunikasi verbal (berbicara) dan non verbal
yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli kerna dapat
menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya
sosialisasi memperssulit istimasi potensi intelektual kelainan pola
bicara, gangguan kemampuan mempertahankan pecakapan,
permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan tidak
kemampuan berteman (Purwati, 2010).
Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup
bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas
intelektual yang memadai. Anak autisme mungkin terisolasi,

10
berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar
yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri
(Purwati, 2010).

2. Gerakan Tubuh Stereotipik


Kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasikan
dengan bagian-bagian tubuh.
3. Anak biasa dengan waktu lama sibuk dengan tangannya, menatap
pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok
saat dewasa dimana anak tercengang dengan objek mekanik.
4. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak
untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai
perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dengan
suatu objek dan dapat diramalkan.
5. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
6. Kontak mata minimal dan tidak ada.
7. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, penguyahan
benda, dan menggosokkan permukaan menunjukkan penguatan
kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, seddangkan
hilangnya respon terhadap nyeri dan berkurangnya respon terkejut
terhadapsuara keras yang mendadak menunjukkan menurunnya
sensivitaspada rangsangan lain..
8. Keterbatasan Kognitif, pada tipe deficit pemrosesan kognitif
tampak pada emosional.
9. Menunjukkan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata
secara tepat) saat berbicara,pembalikkan kata ganti pronominal,
berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya
terbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk bicara pada
sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun

11
10. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dlam
reterdasi secara fungsional.
11. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan
mengeipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan-
jalan berjingkat-jingkat (Purwati, 2010).

2.4 Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik
(dendrit). Sel saraf terdapat dilapisan luar otak yang berwarna kelabu
(korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak dibagian otak
berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps (Hidayat,
2013).
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga samapi tujuh bulan. Pada
trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan mulai pembentukan
akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua
tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa
bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini
dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai
brain growth factors dan proses belajar anak (Hidayat, 2013).
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan
akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan.
Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson,
dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan
kematian sel, berkurangnua akson, dendrit, dan sinaps (Hidayat, 2013).
Kelainan genetik, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak
adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses-proses tersebut.
Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel syaraf (Hidayat,
2013).

12
Pada pemerikasaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui
pertumbuhan abnormal pada penderita autisme dipicu oleh berlebihnya
neutrropin dan neupeptida otak (brain-derived neutrophic factor, neurotriphin-
4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang
merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur
penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan
jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak
(Hidayat, 2013).
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan
pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autisme terjadi
kondisi growth wthout guidance, dimana bagian-bagian otak tumbuh dan mati
secara tak beraturan (Hidayat, 2013).
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel
saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel
saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil
pada autisme. Berkurangnya sel purkinye diduga merangsang pertumbuhan
akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga
terjadi pertumbuhan otak secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang
jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neutrophin-4
menyebabkan kematian sel Purkinye (Hidayat, 2013).
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder.
Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purinye merupakan
gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan karena ibu
mengkonsumsi makanan yang mengandung logam berat. Degenerasi sekunder
terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang
menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa
kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide
(Hidayat, 2013).
Otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan gerakan
motorik, belajar sensori-motorik, atensi, proses mengingat, serta kegiatan

13
bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat,
kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan
kegagalan mengeksplorasi lingkungan (Hidayat, 2013).
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian
depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Berkurangnya ukuran sel neuron
di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalm fungsi luhur dan
proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang
berperan dalam proses memori). Faktor lingkungan yang menentukan
perkembangan otak anatara lain kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat
gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial,
serta asam folat. Adapun hal yang merusak atau menggangu perkembangan
otak antara lain alkohol, keracunan timah hitam, alimunium serta
mentilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan (Hidayat,
2013).

14
2.5 Pathway

Hidayat (2013).

15
2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejala dapat menjadi bukti


dari berbagai kombinasi gngguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral
maupun komunikasi tidak dapat ,endeteksi adanya autisme, maka beberapa
instrumen screening yang saat ini berkembang dapat digunakan untuk mediagnosa
autisme:

a) Childhood Autisme Rating Scale (CARS) : skala peringkat autisme masa


kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang
didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15;
anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan
tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi
verbal (Hidayat, 2013).
b) The Checklis for Autisme in Toddlers (CHAT) : berupa daftar pemeriksaan
autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18
bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an
(Hidayat, 2013).
c) TheAutismScreeningQuestionare : adalah daftar pertanyaan yang terdiri
dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk
mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka (Hidayat, 2013).
d) The Screening Test for Autism in Two-Years Old : tes screening autisme
bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh wendy Stone di Vanderbilt di
dasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motorik dan
konsentrasi (Hidayat, 2013).

16
2.7 Penatalaksanaan
Menurut Hidayat, 2013 penatalaksanaan dibagi dua yaitu
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan.
1. Penatalaksanaan medis
Umumnya tetapi yang diberikan ialah terhadap gejala, edukasi
dan penerangan kepada keluarga, serta penanganan perilaku dan edukasi
bagi anak. Manajemen yang efektif dapat mempengaruhi outcome.
Intervensi farmakologi, yang saat ini dievaluasi, mencakup obat
fenfluramine, lithium, haloperidol dan naltrexone. Terhadap gejala yang
menyertai. Terapi anak dengan autisme membutuhkan identifikasi diri.
Intervensi edukasi yang intensif, ligkungan yang terstruktur, atensi
individual, staf yang terlatih bai, peran serta orang tua dapat
meningkatkan prognosis. Terapi perilaku sangat penting untuk
membantu para anak autis untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam
masyarakat. Bukan saja guru yang harus menerapkan terapi perilaku
pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di rumah harus
bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi anak autis. Terapi
perilaku yang asosial. Dalam terapi parmakologi dinyatakan belum ada
obat atau terapi khusus yang menyembuhkan kelainan ini. Medikasi
(terapi obat) berguna terhadap gejala yang menyertai, misalnya
haloperidol, risperidone dan obat anti-psikotik terhadap peralaku agresif,
ledakan-ledakan perilaku, instabilitas mood (suasana hati), obat
antidepresi jenis SSRI dapat digunakan terhadap kecemasan,
mengurangi stereotip, perilaku perseveratif dan fluktuasi mood. Perilaku
mencederai diri sendiri dan mengamuk kadang dapat diatasi dengan obat
naltrexone (Hidayat, 2013).

17
2. Penatalaksanaan keperawatan
Menurut Purwati, 2010 penatalaksanaan pada autisme bertujuan untuk :
a) Mengurangi masalah perilaku
b) Terapi perilaku dengan memanfaatkan keadaan yang terjadi dapat
meningkatkan kemahiran berbicara. Manajemen perilaku dapat
mengubah perilaku destruktif dan agresif.
c) Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama
bahasa. Latihan dan pendidikan dengan menggunkan pendidikan
(operant conditioning) yaitu dukungan positif (hadiah) dan dukungan
negatif (hukuman).
d) Anak bisa mandiri dan bersosialisasi. Mengembangkan keterampilan
sosial dan keterampilan praktis.
2.8 Asuhan Keperawatan
2.8.1 Pengkajian Keperawatan Teori
a) Pengkajian ibu dari anak Autisme

Memang tak mudah bagi orang tua terutama ibu untuk


membesarkan anak dengan autisme. Sewaktu-waktu bisa saja orang
tua mengalami kegoyahan mental dalam menghadapi kondisi buah
hatinya. Lelah, stress, bahkan depresi merupakan hal-hal yang bisa
dialami.

1. Menghadapi Keluarga Besar dan Masyarakat. Tidak sedikit


ditemukan bahwa ibu memiliki masalah dengan keluarga. Ibu
dituduh sebagai penyebab hadirnya keturunan dengan gangguan
autsitik karena dalam riwayat keluarga suami tidak ditemukan
anak berkebutuhan khusus. Hal lainnya adalah rasa malu dan
tertekan terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga ibu
menyembunyikan anaknya dari lingkungan masyarakat sekitar.
Pada sisi yang lain, perlakukan masyarakat (sekolah dan tetangga)
yang tidak tepat membuat keluarga memiliki beban yang lebih

18
berat. Perlakuan yang diskriminatif dan stigma negatif tentu
menambah stres yang tinggi bagi keluarga.
2. Reaksi awal mereka pada umumnya terkejut dan tidak percaya.
Apalagi bila anak masih kecil dan ciri-ciri yang tampak belum
terlalu nyata. Krisis ini dapat muncul dikarenakan reaksi-reaksi
dari ibu dan orang di sekitarnya, misalnya ibu menolak diagnosis
dan tidak memperbolehkan melakukan terapi atau kebalikannya
mencari terapi secara membabi buta dengan harapan mendapatkan
“penyembuhan” bagi perilaku anaknya. Konflik besar dapat terjadi
antara keluarga (suami dan istri) tentang perbedaan pandangan
tentang anak, penanganan, masalah finansial dan saling
menyalahkan antara suami dan istri.
3. Orang tua bisa berkonsultasi dengan dokter, minum obat dan
vitamin yang diperlukan, terutama bagi orang tua yang memiliki
penyakit seperti darah tinggi dan diabetes, makan makanan bergizi,
istirahat cukup, mengalihkan stress dengan hobi, rekreasi,
meditasi, curhat, serta berkonsultasi dengan psikolog jika
diperlukan.
4. Ibadah juga penting karena dengan kita berdoa pada Tuhan, kita
akan merasa lebih tenang dan kita bisa mensugesti diri kita untuk
lebih berpikir positif. Perilaku individu autistik yang beragam dan
susah diprediksi jelas menimbulkan beban makanya kalau tidak
ditangani secepatnya bisa mengakibatkan stress berkepanjangan
bahkan depresi.
b) Identitas klien

Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat,


pekerjaan, suku bangsa, tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan
diagnosa medis.

19
c) Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan
berbahasa, keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara.
Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya
dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak senang atau
menolak dipeluk. Saat bermain bila didekati akan menjauh. Ada
kedekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu,
atau guling, terus di pegang di bawa kemana saja ia pergi. Bila
senang satu maianan tidak mau mainan lainnya. Sebagai anak
yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada
tempatnya. Menggigit, menjilat, mencium mainan atau benda apa
saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ
dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari50%. Namun
sekitar 5% mempunyai IQ diatas 100.
2. Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)
a. Sering terpapar zat toksit, seperti timbal.
b. Cidera otak.
3. Riwaat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan. Biasanya pada anak autis ada riawayat
penyakit keturunan.
d) Status perkembangan anak
1. Anak kurang respon orang lain
2. Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenai bagian tubuh
3. Anak mengalami kesulitan dalam belajar
4. Anak sulit menggunakan ekspresi nonverbal
5. Keterbatasan kognitif

20
e) Pemeriksaan fisik
1. Anak tertarik pada sentuhan (menyetuh/setuhan)
2. Terdapat ekolalia
3. Sulit fokus apad objek semula bila anak berpaling ke objek lain
4. Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut
5. Peka terhadap bau
f) Psikososial
1. Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
2. Memiliki sikap menolak perubahan secara exstrem
3. Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
4. Perilaku menstimulasi diri
5. Pola tidur tidak teratur
6. Permainan steretoip
7. Prilaku destruktif terhadap diri sndiri dan orang lain
8. Tantrum yang sering
9. Peka terhadap suara-suara lembut bukan pada suatu pembicaraan
10. Kemampuan bertutur kata menurun
11. Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
g) Neurologis
1. Respon yang tidak sesuai terhadap stimulus
2. Refleks mengisap buruk
3. Tidak mampu menangis ketika lapar
2.8.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan Neuromuskuler b.d tidak
mampu berbicara atau mendengar, menunjukkan respon tidak sesuai,
sulit mempertahankan komunikasi.
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan
perkembangan.

21
N DIAGNOSIS KEPERAWATAN (SDKI)
KODE DIAGNOSA
O
1 Kategori: Relasional
Subkategori: Interaksi Sosial
Diagnosa: Gangguan interaksi sosial
Definisi: Kuantitas dan/ atau Kualitas yang kurang atau
D.0118 berlebihan.
Penyebab:
1. Hambatan perkembangan
Gejala dan Tanda Mayor:
Subjektif :
1. Merasa tidak nyaman dengan situasi sosial
2. Merasa sulit menerima atau mengkomunikasikan
perasaan
Objektif :
1. Kurang responsive atau tertarik pada orang lain
2. Tidak berminat melakukan kontak
Gejala dan Tanda Minor:
Subjektif
1. Sulit menggunakan kasih sayang
Objektif:
1. Gejala cemas berat
2. Kontak mata kurang
3. Ekspresi wajah tidakresponsif
4. Tidak kooperatif dalam bermain dan berteman dengan
sebaya
5. Perilaku tidak sesuai usia
Kondisi klinis terkait :
1. Gangguan autistic
2 Kategori: Relasional

22
Subkategori: Interaksi Sosial
D.0119 Diagnosa: Gangguan komunikasi verbal
Definisi: Penurunan, perlambatan, atau ketiadaan kemampuan
untuk menerima, memproses, mengirim, dan atau
menggunakan sistem simbol
Penyebab:
2. Gangguan neuromuskuler
Gejala dan Tanda Mayor:
3. Tidak mampu berbicara atau mendengar
4. Menunjukkan respon tidak sesuai
Gejala dan Tanda Minor:
1. sulit mempertahankan komunikasi
Kondisi klinis terkait :
1. Autisme

23
2.8.3 Intervensi

SLKI SIKI
NO
KODE HASIL KODE HASIL
1. Tujuan: 1.13484 Modifikasi Perilaku
Setelah dilakukan perawatan Keterampilan Sosial
selama 1x24 jam, Intervensi:
diharapkan Observasi
Gangguan Interaksi Sosial 1. Identifiaksi penyebab
dapat teratasi dengan kurangnya keterampilan
L.13115 kriteria hasil sebagai sosial
berikut: 2. Identifikasi focus pelatihan
1. Perasaan nyaman dengan keterampilan sosial
situasi sosial dari skala 2 Terapeutik
(cukup menurun) 1. Motivasi untuk berlatih
menjadi skala 4 (cukup keterampilan sosial
meningkat). 2. Beri umpan balik positif
2. Responsif pada orang (pujian atau penghargaan)
lain dari skala 2 (cukup terhadap kemampuan
menurun) menjadi skala sosialisasi
4 (cukup meningkat). 3. Libatkan keluarga selama
3. Minat melakukan kontak latihan keterampilan sosial
fisik dari skala 2 (cukup Edukasi
menurun) menjadi skala 1. Edukasi keluarga untuk
4 (cukup meningkat). dukungan keterampilan
4. Kontak mata dari skala 2 sosial
(cukup menurun) 2. Latih keterampilan sosial
menjadi skala 4 (cukup secara bertahap
meningkat).
2. Tujuan: 1.13492 Promosi Komunikasi : Defisit
Setelah dilakukan perawatan Bicara

24
SLKI SIKI
NO
KODE HASIL KODE HASIL
selama 1x24 jam, Intervensi:
diharapkan Observasi
Gangguan Komunikasi 1. Monitor proses kognitif,
Verbal dapat teratasi dengan anatomis, dan fisiologis yang
kriteria hasil sebagai berkaitan dengan bicara.
berikut: 2. Monitor, frustasi, marah.
L.13118 1. Kemampuan berbicara Depresi, atau hal yang
dari skala 1 (menurun) menganggu bicara
menjadi 3 (sedang). Terapeutik
2. Kesesualan ekspresi 1. Gunakan metode komunikasi
wajah/tubuh dari skala 1 alternatif (menulis, mata
(menurun) menjadi 3 berkedip, papa komunikasi
(sedang). dengan gambar dan huruf,
3. Respons perilaku dari isyarat tangan)
skala dari skala 2 (cukup 2. Berikan dukungan psikologis
menurun) menjadi 4 Edukasi
(cukup meningkat). 1. Anjurkan berbicara perlahan
4. Pemahaman komunikasi 2. Ajarkan pasien dan keluarga
dari skala dari skala 2 proses kognitif, anatomis,
(cukup menurun) dan fisiologis yang b.d.
menjadi 4 (cukup kemampuan bicara.
meningkat).
Promosi Komunikasi: Defisit
Pendengaran
Intervensi
1.13493 Observasi
1. Periksa kemampuan
pendengaran

25
SLKI SIKI
NO
KODE HASIL KODE HASIL
2. Identifikasi metode
komunikasi yang disukai
pasien (lisan, tulisan, geraka
bibir, Bahasa isyarat)
Terapeutik
1. Gunakan Bahasa sederhana
2. Berhadapan dengan pasien
secara langsung selama
komunikasi
3. Pertahankan kontak mata
selama komunikasi
Edukasi
1. Anjurkan menyampaikan
pesan dengan isyarat

2.8.4 Implementasi Keperawatan


Implentasi adalah melakukan dari tindakan semua yang sudah di
rencanakan atau di intervensikan dan berharap semua intervensi dapat
dilakukan dan berhasil.
2.8.4 Evaluasi Keperawatan
Akhir dari proses keperawatan adalah ketentuan hasil yang diharapkan
terhadap perilaku dan sejauh mana masalah klien dapat teratasi. Disamping itu
perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan yang
ditetapkan belum berhasil atau teratasi.

26
BAB III
APLIKASI KASUS
3.1 Kasus

An. I usia 7 tahun saat ini berada di Panti Asuhan Bakti Luhur.
Berdasarkan cerita pengasuh panti yang diperoleh dari orang tuanya An. I
pada waktu bayi mengalami panas tinggi dan mengalami kejang, ketika
di rumah pada usia anak 3 tahun selalu menyendiri dan suka main air di
kamar mandi berjam-jam bahkan air di bak sering diminum, BAB dan
BAK digosokkan ke rambut dan anggota tubuh lainnya bahkan sering
dimasukan kemulutnya karena melihat keadaan seperti itu keluarga
memutuskan An I di bawa ke panti Bakti Luhur Tropodo Sidoarjo pada
tanggal 10 maret 2013. Dan pada pemeriksaan medis An I di diagnosa
mengidap Autisme.

3.2 Pengkajian

1. Identitas Pasien
Nama Klien : An. I
TTL : Surabaya, 20 September 2011
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia
Pendidikan : -
Alamat : Jl. Kapuas FI N0. 22 Wisma Tropodo
Diagnosa Medis : Autisme
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. F
TTL : Kefa, 1 April 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
Pendidikan : DIII
Alamat : Jl. Kapuas FI N0. 22 Wisma Tropodo
Hubungan Klien : Suster/Ibu Asuh di Panti

27
Lama tinggal di panti : ± 4 tahun
3. Keluhan Utama
Klien tidak bisa berbicara dan asik dengan dirinya sendiri seperti teriak-
teriak jika lapar atau menginginkan sesuatu.
4. Riwayat Kesehatan
(1) Riwayat Kesehatan sekarang
An. I didiagnosa mengalami cerebral autis An. I memiliki kebiasaan
asik pada diri sendiri, hanya memainkan jari jari tangannya, menghindari
kontak mata dengan lawan bicara, lebih senang dengan menyendiri dari
pada diajak bermain dengan teman-temannya, kadang-kadang diam dan
berteriak-teriak, tidak peka terhadap rangsangan nyeri. An. I tidak
mampu berbicara, hanya mengerang. Seluruh Activity Daily Living
(ADL) An. I dibantu oleh pengasuh
(2) Riwayat Kesehatan lalu
An. I masuk Panti Asuhan Bakti Luhur pada tanggal 10 maret 2013
dan di antar oleh orang tuanya. Berdasarkan cerita pengasuh panti yang
diperoleh dari orang tuanya An. I pada waktu bayi mengalami panas
tinggi dan mengalami kejang, ketika di rumah pada usia anak 3 tahun
selalu menyendiri dan suka main air di kamar mandi berjam-jam bahkan
air di bak sering diminum, BAB dan BAK digosokkan ke rambut dan
anggota tubuh lainnya bahkan sering dimasukan kemulutnya karena
melihat keadaan seperti itu keluarga memutuskan An I di bawa ke panti
Bakti Luhur Tropodo Sidoarjo.
(3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ditemukan data untuk riwayat kesehatan keluarga An.I
(4) Susunan Genogram
Tidak ditemukan data yang lengkap tentang susunan genogram
keluarga An. I, yang diketahui bahwa An. I anak ke dua dari dua
bersaudara. An I memiliki satu kakak perempuan yang tinggal serumah
dengan kedua orang tuanya.

28
5. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kesadaran compos mentis, An. I tampak kurus, menggunakan pakaian
rapi dan bersih, tampak duduk ranjang tempat tidurnya dengan diruangan
tengah asrama dengan memainkan dan menggigit jari-jari tangannya ke
dalam mulut, An I sering menekan-nekan lehernya menggunakan jari
tangannya, kadang-kadang melompat-lompat dan berteriak An. I tidak
mampu berbicara, hanya mengerang, An I sering membanting badannya
langsung terbaring di tempat tidurnya.
2) Tanda-tanda Vital
Nadi : 98 x/menit
Suhu : 37 0C
Respirasi : 20x/menit
3) Kepala dan Wajah
Rambut berwarna kecoklatan, keadaan baik tidak rontok, tidak ada
benjolan pada kulit kepala. Keadaan hidung bersih tidak ada sekret.
Penglihatan dan pendengaran tidak fokus, An. I tidak pernah merespon
ketika dipanggil namanya.
4) Leher dan Tenggorokan
Di leher sebelah kiri nampak seperti lingkaran, berwarna kehitaman Tidak
ada peningkatan vena jugularis dan tidak ada pembesaran limfa. Reflek
menelan baik.
5) Dada
Bentuk dada simetris. Tidak ada nyeri tekan dan tidak ada sesak nafas.
Bunyi nafas vesikuler. Pola nafas teratur dengan frekuensi 20x/menit
6) Abdomen
Bentuk perut simetris. Tidak terdapat penonjolan dan nyeri tekan. Bising
usus 18x/menit.
7) Ektrimitas

29
Pergerakan/tonus otot kaku, lemah/terbatas. tidak ada oedem dan sianosis. Keadaan
kulit/turgot elastik. Kekuatan otot 4 4
8) Genetalia 3 3

Keadaan genetalia bersih dan tidak terdapat lesi. Pengeluaran urine normal
±5 kali/hari (memakai popok), urine berwarna kuning bening.
6. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
1) Gizi
Selera makan An. I baik, dapat menghabiskan 1 porsi makanan yang
diberikan dengan reflex menelan baik. BB:16 kg, TB: 100 cm
2) Kemandirian dalam bergaul
An. I tidak mampu beraktifitas/bermain selalu asik dengan dirinya sendiri
saat di panggil namanya pun tidak ada respon.
3) Motorik halus
An. I hanya tidak mampu mamainkan jari-jari tanganya
4) Motorik Kasar
An. I tidak mampu melakukan aktifitas seperti, menulis, melempar, berdiri
dan berjalan dibantu untuk menjaga keseimbangan tubuhnya..
5) Kognitif dan bahasa
An. I tidak mampu berbicara hanya mengerang saja.
6) Psikososial
An. I tidak mampu berinteraksi dengan orang lain, hanya mampu
berteriak.

7. Pola Aktivitas Sehari-hari


No Pola Kebiasaan Keterangan

Nutrisi

30
a. Frekuensi 3 kali sehari
b. Nafsu Makan/selera Baik
c. Jenis Makanan Nasi, sayur, lauk
Eliminasi
a. BAB 1 kali sehari, lembek
b. BAK ±5 kali/hari (memakai popok), urine berwarna
kuning bening
Istirahat dan tidur
a. Siang/jam 2 jam
b. Malam/jam 8 jam
Personal Hyigene
a. Mandi 2kali/hari
b. Oral Hyegene 2kali/hari

8. Data Penunjang
An. I diberikan terapi Snozelen (terapi stimulasi multisensory seperti
visual, auditori, taktil, pembauan) dan Fisioterapi (terapi untuk memperbaiki
gangguan fungsi alat/fungsi tubuh yang terganggu yang kemudian diikuti
dengan proses terapi gerak) pada hari Senin dan Kamis.

31
2.2 ANALISA DATA
DATA SUBYEKTIF DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB MASALAH
DS:- Gangguan Gangguan
DO: Neuromuskuler komunikasi
- An I tampak tidak bisa berbicara hanya Verbal
mengerang
- Asik dengan dirinya sendiri
- Teriak-teriak dan hanya berkata “mam-mam”jika
lapar atau menginginkan sesuatu.
- An. I mengikuti terapi sensorik
DS: Hambatan Gangguan
Perkembangan Interaksi Sosial
DO:
- Sangat menghindari kontak mata dengan lawan bcara
- Asik pada dirinya sendiri
- An. I tampak kesulitan menggerakan tangan dan
kakinya.
- Tidak ada menunjukan keinginan untuk bergaul
dengan teman-temannya yang lain
- Hanya diam dan kadang-kadang eriak-teriak di
ranjang tempat tidurnya
- An. I tidak mampu beraktifitas / bermain
- An. I tidak mampu melakukan aktifitas seperti,
menulis, melempar, berdiri dan berjalan.
- An. I tidak mampu berinteraksi dengan orang lain,
jika dipanggil namanya tidak ada respon sama
sekali
- An I tidak peka terhadap rangsangan nyeri.

3.3

32
3.4 Diagnosa
1. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan Neuromuskuler b.d tidak mampu
berbicara atau mendengar, menunjukkan respon tidak sesuai, sulit
mempertahankan komunikasi.
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan perkembangan.
3.5 Intervensi

SLKI SIKI
NO
KODE HASIL KODE HASIL
1. Tujuan: 1.13484 Modifikasi Perilaku Keterampilan
Setelah dilakukan perawatan Sosial
selama 1x24 jam, diharapkan Intervensi:
Gangguan Interaksi Sosial Observasi
dapat teratasi dengan kriteria 1. Identifiaksi penyebab
hasil sebagai berikut: kurangnya keterampilan sosial
L.13115 1. Perasaan nyaman dengan 2. Identifikasi fokus pelatihan
situasi sosial dari skala 2 keterampilan sosial
(cukup menurun) menjadi Terapeutik
skala 4 (cukup meningkat). 1. Motivasi untuk berlatih
2. Responsif pada orang lain keterampilan sosial
dari skala 2 (cukup 2. Beri umpan balik positif (pujian
menurun) menjadi skala 4 atau penghargaan) terhadap
(cukup meningkat). kemampuan sosialisasi
3. Minat melakukan kontak 3. Libatkan keluarga selama
fisik dari skala 2 (cukup latihan keterampilan sosial
menurun) menjadi skala 4 Edukasi
(cukup meningkat). 1. Edukasi keluarga untuk
4. Kontak mata dari skala 2 dukungan keterampilan sosial
(cukup menurun) menjadi 2. Latih keterampilan sosial
skala 4 (cukup meningkat). secara bertahap

33
SLKI SIKI
NO
KODE HASIL KODE HASIL
2. Tujuan: 1.13492 Promosi Komunikasi : Defisit
Setelah dilakukan perawatan Bicara
selama 1x24 jam, diharapkan Intervensi:
Gangguan Komunikasi Verbal Observasi
dapat teratasi dengan kriteria 1. Monitor proses kognitif,
hasil sebagai berikut: anatomis, dan fisiologis yang
1. Kemampuan berbicara berkaitan dengan bicara.
dari skala 1 (menurun) 2. Monitor, frustasi, marah.
L.13118 menjadi 3 (sedang). Depresi, atau hal yang
2. Kesesualan ekspresi menganggu bicara
wajah/tubuh dari skala 1 Terapeutik
(menurun) menjadi 3 1. Gunakan metode komunikasi
(sedang). alternatif (menulis, mata
3. Respons perilaku dari berkedip, papa komunikasi
skala dari skala 2 (cukup dengan gambar dan huruf,
menurun) menjadi 4 isyarat tangan)
(cukup meningkat). 2. Berikan dukungan psikologis
4. Pemahaman komunikasi Edukasi
dari skala dari skala 2 3. Anjurkan berbicara perlahan
(cukup menurun) menjadi 4. Ajarkan pasien dan keluarga
4 (cukup meningkat). proses kognitif, anatomis, dan
fisiologis yang b.d. kemampuan
bicara.

Promosi Komunikasi: Defisit


Pendengaran
Intervensi
1.13493 Observasi

34
SLKI SIKI
NO
KODE HASIL KODE HASIL
1. Periksa kemampuan
pendengaran
2. Identifikasi metode komunikasi
yang disukai pasien (lisan,
tulisan, geraka bibir, Bahasa
isyarat)
Terapeutik
1. Gunakan Bahasa sederhana
2. Berhadapan dengan pasien
secara langsung selama
komunikasi
3. Pertahankan kontak mata
selama komunikasi
Edukasi
1. Anjurkan menyampaikan
pesan dengan isyarat

35
3.6 Implementasi dan Evaluasi

No Tangga Implementasi Evaluasi paraf


dx. l/ jam
1 07.00 1. Mengidentifiaksi penyebab kurangnya S: Pasien mengatakan
keterampilan sosial mau di ajak bermain
07.10 2. Memotivasi untuk berlatih keterampilan O: terlihat mulai
sosial melakukan
3. Memberi umpan balik positif (pujian atau keterampilan sosial
09.00 penghargaan) terhadap kemampuan seperti bermain
sosialisasi dengan temannya,
4. Melibatkan keluarga selama latihan tetapi masih belum
keterampilan sosial bisa melakukan kontak
12.00 5. Mengedukasi keluarga untuk dukungan mata
keterampilan sosial A: masalah teratasi
12.10 6. Melatih keterampilan sosial secara bertahap sebagian
P: intervensi dilanjutkan
2 07.00 1. Memonitor proses kognitif, anatomis, dan S: klien mengatakan mau
fisiologis yang berkaitan dengan bicara. memperkenalkan diri
2. Memonitor, frustasi, marah. Depresi, atau O: terlihat masih terlihat
hal yang menganggu bicara marah, sukar berbicara
07.15 3. Menggunakan metode komunikasi alternatif dan kurang
(menulis, mata berkedip, papa komunikasi mempertahankan
dengan gambar dan huruf, isyarat tangan) kontak mata
09.00 4. Menganjurkan berbicara perlahan A: masalah teratasi
5. Menggunakan Bahasa sederhana sebagian
09.10 4. Berhadapan dengan pasien secara langsung P: intervensi dilanjutkan
selama komunikasi
5. Mempertahankan kontak mata selama
komunikasi

36
BAB IV
APLIKASI JURNAL

PENGARUH TERAPI BERMAIN TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK


AUTIS DI SDLB PROF. DR. SRI SOEDEWI MASJCHUN SOFWAN, SH
JAMBI TAHUN 2014

Judul : Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi

Volume : Vol.16 No.1

Tahun : 2016

Penulis : Suryati Rahmawati

Resume

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hasil pengukuran pertama


sebelum dilakukan terapi bermain diketahui bahwa hanya 2 responden yang mau
menatap mata (11,8%) dan selebihnya tidak ada interaksi.

Berdasarkan hasil pengukuran kedua (setelah dilakukan terapi bermain)


diperoleh hasil 11 responden (64,7%) mau menatap mata dan 10 responden (58,8%)
menoleh saat dipanggil, namun pada komponen mau bermain dengan teman, empati
dan tidak asyik dengan dunia sendiri belum ada perubahan. Setelah dilakuakn terapi
bermain telihat peruhanan interaksi sosial anak autis.

Rata-rata interaksi sosial anak autis sebelum dilakukan terapi bermain adalah
0.12 dengan standar deviasi 0,33. Pada pengukuran kedua setelah dilakukan terapi
bermain didapat rata-rata interaksi sosial anak autis 1,24 dengan standar deviasi 0.90.
Terlihat nilai mean perbedaan antara interaksi sosial sebelum dilakukan terapi dan
interaksi sosial setelah dilakukan terapi adalah 1,18 dengan standar deviasi 0,928.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p-value 0.00 maka dapat disimpulkan ada pengaruh
Terapi Bermain terhadap Interaksi Sosial Anak Autis di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi
Masjchun Sofwan, SH Jambi tahun 2014.

Dari hasil pengukuran pertama interaksi sosial sangat minim dari 5 komponen
yang di observasi hanya pada kontak mata yang ada interaksi itupun hanya 2 orang.
Minimnya interaksi sosial bisa terjadi karena responden baru mengenal peneliti
sehingga kontak yang terjadi sangat sedikit. Disamping itu rasa percaya terhadap
orang lain belum terjalin sehingga interaksi antar anak dan peneliti sangat

37
dibatasi.dan mungkin responden belum tahu tujuan anak diajak bermain. Disamping
itu anak belum terlalu terbiasa kontak dengan orang banyak sehingga terlihat sangat
asyik dengan dunianya sendiri.

Setelah dialkukan terapi bermain terdapat perubahan dalam interaksi sosial,


hal ini dapat dilihat sudah banyak anak yang mau menoleh saat dipanggil, dan ada
kontak mata saat diajak bicara. Menurut Nasir dkk (2011) hakikat interaksi sosial
terletak pada kesadaran yang mengarahkan pada tindakan orang lain. Di sini,
hakikatnya harus ada orientasi timbal balik antara pihak-piliak yang bersangkutan
tanpa menghiraukan isi perbuatannya

Banyaknya anak yang interaksi sosial sudah mulai ada bisa terjadi karena rasa
percaya sudah tebentuk dan mulai timbul rasa nyaman pada saat bermain. Namun
karena intensitas terapi bermain yang tidak banyak hanya 5 kali interaksi sosial yang
terbentuk hanya pada 2 item observasi yaitu kontak mata dan menoleh saat dipanggil.

Menurut asumsi peneliti semakin lama terapi diterapkan pada anak maka
interaksi sosial akan semakin baik, hal ini dapat dilihat dari hasil observasi selama
peneliti melakukan penelitian, pada dasarnya anak autis juga bisa berinteraksi dengan
lingkungan namun memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan anak
yang tidak mengalami masalah mental. Jika terapi dilakukan terus menerus dan
dengan teknik yang bervariasi maka akan meningkatan interaksi anak terhadap
lingkungan dan secara tidak langsung melatih kemampuan motorik dan kreatifitas
anak sehingga dapat lebih mandiri.

Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya


kerja sama terapis dengan orang tua dan orangorang lain yang terlibat dalam
pengasuhan anak sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer ketrampilan
yang sudah diperoleh selama terapi yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan
dalam kehidupan di luar program terapi.

38
BAB V
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang berat pada anak.
Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Perkembangan
mereka menjadi terganggu terutama dalam komunikasi, interaksi, dan perilaku.
Misalnya, pada usia 2-3 tahun, dimasa anak balita lain mulai belajar bicara, anak
autis tidak menampakkan tanda-tanda perkembangan bahasa. Kadang ia
mengeluarkan suara tanpa arti. Namun anehnya, sekali-kali ia bisa menirukan
kalimat atau nyanyian yang sering di dengar, tapi bagi dia kalimat ini tidak ada
maknanya. Banyak kalangan yang harus dilibatkan mulai dari orang tua, dokter,
para profesional, perawat anak autis dan juga faktor lingkungan. Karena itu,
pemahaman dari berbagai pihak terhadap kondisi sang anak menjadi sangat
penting, juga pengetahuan tentang penyakit itu sendiri.
Yang paling penting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme
hendaknya tetap melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar
setiap orang tua merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisme
mereka dalam fase terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan
perbaikan anak autisme kepada para ahli ata terapis tetapi juga turut menentukan
tingkat perbaikan yang perlu di capai oleh si anak. Dengan demikian, akan
terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat antara orang tua dengan anak
autismenya dan hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional
dan mental si anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat
memahami asuhan keperawatan autisme pada anak dan khususnya bagi orang tua
yang memiliki anak autism.

39
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat,A. 2013. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta : Salemba Medika.

Kyle, Terri. 2015. Pediatric Nursing Clinical Guide (Buku Praktik Keperawatan
Pediatri). Jakarta: EGC.

Maulana, Mirza. 2008. Anak Autis I Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain
Menuju Anak Sehat. Jogyakarta : Kata Hati.

Purwati, Nyimas. 2010. Teknik Bermain Kreatif Verbal dan Non Verbal Pada Anak
Autisme. Jakarta : EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.

Winarno, G.,zF. 2013. Autisme dan Peran Pangan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.

40

Anda mungkin juga menyukai