BAB I
PENDAHULUAN
1
2
konsentrasi saat belajar, dan hal sangat merugikan bagi anak itu sendiri. Perawat
sebagai salah satu tenaga kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengatasi
masalah tersebut dengan memberikan inovasi intervensi keperawatan dengan
memberikan asuhan keperawatan secara holistik. Asuhan keperawatan secara holistik
dapat mendukung perkembangan positif pada anak autis. Intervensi yang diberikan
kepada anak autis bertujuan untuk mengurangi gejala gangguan perilaku (Veskariyanti,
2012).
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan anak dengan autisme.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi autisme.
b. Untuk mengetahui etiologi autisme.
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis autisme.
d. Untuk mengetahui klasifikasi autisme.
e. Untuk mengetahui patofisiologi autisme.
f. Untuk mengetahui pathway autisme.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan autisme.
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan anak dengan autisme.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kartono (1989) berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah cara berpikir
yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia
berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, oleh karena itu
menurut Faisal Yatim (2013), penyandang akan berbuat semaunya sendiri, baik cara
berpikir maupun berperilaku.
Autisma/Autisme adalah gangguan yang parah pada kemampuan
komunikasi yang berkepanjangan yang tampak pada usia tiga tahun pertama,
ketidakmampuan berkomunikasi ini diduga mengakibatkan anak penyandangautis
menyendiri dan tidak ada respon terhadap orang lain (Sarwindah, 2012).
Yuniar (2002) dalam Sarwindah, 2012 menambahkan bahwa
Autisma/Autisme adalah gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi
perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan
emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai ketrampilan dan
pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. Autisma/Autisme berlanjut
sampai dewasa bila tak dilakukan upaya penyembuhan dan gejala-gejalanya sudah
terlihat sebelum usia tiga tahun.
Ketika autisma ditambahkan ke dalam IDEA pada tahun 1990, hal itu
diartikan sebagai berikut.
1. Autisma berarti suatu kecacatan perkembangan yang dengan mantap
mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan dan interaksi sosial, pada usia
dibawah 3 tahun, yang berdampak pada perolehan pendidikan pada anak.
Karakteristik lain yang dikaitkan dengan anak autis adalah perulangan aktifitas,
penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan
tanggapan yang tak lazim pada perasaan. Istilah tersebut berlaku jika perolehan
pendidikan anak kurang baik karena anak mengalami gangguan emosional
2. Seorang anak yang memperlihatkan gejala “autis” pada usia di atas 3 tahun dapat
didiagnosa mengalami “autisma” jika kriteria pada paragraf di atas terpenuhi.
3. Definisi ini mengikuti pedoman IDEA, menspesifikasikan beberapa karakter yang
esensial dari siswa dengan gangguan tersebut, di luar kecacatan lain, dan
ketetapan dampak dan perolehan pendidikan. Bagaimanapun, hal itu tidak
3
4
2.2 Etiologi
Menurut Mujianti (2011), Gangguan spectrum autism disebabkan oleh
kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun.
Dua hal tersebut mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang menyebabkan
masalah dalam tingkah laku dan fisik. Secara lebih terperinci, penyebab gangguan
spectrum autism adalah sebagai berikut :
5
1. Komunikasi
a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian
sirna,
c. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat dimengerti
orang lain
e. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
f. Senang meniru atau membeo (echolalia)
g. Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa
mengerti artinya
h. Sebagian dari anak ini tidak berbicara ( non verbal) atau sedikit berbicara
(kurang verbal) sampai usia dewasa
i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu
2. Interaksi sosial
a. Penyandang autistik lebih suka menyendiri
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan
6
2.4 Klasifikasi
7
2.5 Patofisiologi
1. Teori kelebihan opioid dan hubungannya dengan diet protein kasein dan protein
gluten.
8
2.7 Pathway
Penyakit otak Environment
Faktor Keturunan Kelainan kromosom Neurokimia Cedera otak
organik
Abnormalitas neurotransmiter
2.6 Penatalaksanaan
Dari uraian problema autisme, belum ada satu jenis pengobatan yang secara tersendiri
maupun khusus. Penatalaksanaan autism dapat dilakukan secara terpadu bila ingin
didapatakan kemajuan yang maksimal. Akan lebih baik bila anak yang mendapat
diagnosa autism segera mendapatkan intervensi yang tepat. Berikut tindakan yang
dapat dilakukan untuk menangani pasien dengan autisme menurut S.A Nugraheni,
2006 antara lain :
1. Intervensi dini
Anak dengan autisme mempunyai cara mempelajari sesuatu yang berbeda
dari anak non autisme. Mereka cenderung lebih suka melakukan tindakan
seenaknya tanpa menghiraukan lingkungan. Bila tindakan itu dibiarkan terus
menerus makan akan menjadi kebiasaan yang menetap dan sulit dihilangkan.
Mereka sulit meniru dari lingkungan, sehingga konsep ini harus diajarkan pada
mereka. Pada permulaan intervensi dilakukan dengan satu anak satu guru. Anak
mungkin perlu menjalani beberapa jenis terapi seperti berperilaku, terapi wicara
dan okupasi dan bila perlu terapi integrasi sensori. Bila konsep kepatuhan dan
imitasi sudah terbentuk dan anak sudah bisa mengikuti instruksi, maka sebaliknya
ia mulai masuk ke kelompok kecil sehingga bisa meniru perilaku teman
sebayanya yang non autis (Budhiman, 2002 dalam S.A Nugraeni 2006).
Intervensi lainnya dapat berupa pendekatan melalui terapi perkembangan
untuk latihan fisik supaya dapat mengembangan keseimbangan tubuh, koordinasi
dan ketrampilan motoris dan terapi perilaku (Stuadi, 1776, Hartono, 2002 dalam
S.A Nugraheni 2006).
2. Terapi Diet
Anak dengan kasus autisme pada umumnya menderita multiple food allergy.
Tidak ada salahnya untuk tidak mengkonsumsi susu sapi dan tepung terigu, anak
dibiasakan unuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat dan variatif sehingga
kebutuhan gizi tetap terpenuhi (Shattock & Whiteley, 2001, Budhiman, 2002
dalam S.A Nugraheni, 2006).
3. Medikamentosa
Tidak ada satu jenis obat yang secara khusus dapat menyembuhkan autism.
Obat yang dipakai adalah lebih banyak ditujukan untuk perbaikan gejala yang ada,
misalnya hiperaktifitas, agresivitas, menyakiti diri sendiri dan insomnia harus
diperbaiki dengan obat (Budhiman, 2002 dalam S.A Nugraheni 2006).
14
Obat hanyalah terapi pendamping, bukan yang utama. Dengan kata lain bila
metoda intervensi non obat dikombinasikan dengan obat maka diharapkan dapat
hasil intervensi yang maksimal. Obat yang dapat dipakai antara lain (Hartono,
2002 dalam S.A Nugraheni 2006) :
a. Anti depresi (fluoksetin, sertralin) yang secara empiric dapat mengurangi
perilaku agresif, repetitif serta obsesif.
b. Anti psikotik (klorpromasin, teoridasin dan haloperidol) digunakan apabila
agresifitas dan aditatifnya amat dominan.
c. Anti epilepsy digunakan bila mengalami serangan epilepsy (sepertiga kasus
autism mengidap epilepsi)
d. Parisetam digunakan untuk memperbaiki gangguan perkembangan bahasa,
karena terbukti mampu memperbaiki fungsi hemisfer kiri otak
4. Perbaikan metabolisme
Beberapa anak secara genetik mempunyai kelemahan kekebalan tubuh.
Anak dengan multiple food allergy harus diperbaiki dengan diet yang ketat,
hindari makanan yang menyebabkan alergi anak. Food allergy biasanya akan
berkurang setelah mukosa usus membaik. Gangguan keseimbangan mineral
sangat penting untuk diperiksa dan diperbaiki oleh karena keseimbangan dari
mineral esensial akan mengacaukan metabolism tubuh (Budhiman, 2002 dalam
S.A Nugraheni 2006).
5. Detokdifikasi logam berat
Logam seperti As, Cd, Sb, Hg, Pb adalah logam yang seharusnya tidak ada
di dalam tubuh. Karena kelimanya terkenal dengan racun otak. Bila logam
tersebut masuk ke otak melalui pembuluh darah maka anak akan menunjukkan
berbagai macam gangguan misalnya autisme. Lobat tersebut bisa masuk ke tubuh
melalui udara makanan minuman, obat-obatan, kosmetik (pemutih) dan suntikan
(vaksinasi yang mengandung merkuri sebagai zat pengawet). Bila logam
berbahaya tersebut tidak dikeluarkan maka akan menimbulkan dampak berbahaya.
Detoksifikasi yang dilakukan sebaiknya yang tidak menimbulkan trauma pada
anak (Budhiman, 2002 dalam S.A)
3. Intervensi Keperawatan
disorientasi orang ruang dan menggunakan isyarat 9. Beri anjuran kepada pasien dan keluarga
waktu, deficit penglihatan, 5. Pengolahan informasi : klien tentang penggunaan alat bantu bicara
delusi. mampu untuk memperoleh, (misalnya, prostesi trakeoesofagus dan
mengatur, dan menggunakan laring buatan
informasi 10. Berikan pujian positive jika diperlukan
6. Mampu mengontrol respon 11. Anjurkan pada pertemuan kelompok
ketakutan dan kecemasan 12. Anjurkan kunjungan keluarga secara
terhadap ketidakmampuan teratur untuk memberi stimulus
berbicara komunikasi
7. Mampu memanajemen 13. Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain
kemampuan fisik yang di miliki dalam menyampaikan informasi (bahasa
8. Mampu mengkomunikasikan isyarat)
kebutuhan dengan lingkungan
sosial
2 Gangguan interaksi sosial Setelah dilakukan tindakan Communication Enhancement : Hearing
berhubungan dengan kendala keperawatan diharapkan habatan Deficit Communication Enhancement :
komunikasi interaksi social dapat teratasi Visual Deficit Anxiety Reduction Active
kriteria hasil : Listening
1. Lingkungan yang suportif yang
bercirikan hubungan dan tujuan Socialization enhancement:
anggota keluarga 1. Buat interaksi terjadwal
2. Menggunakan aktivitas yang 2. Dorong pasien ke kelompok atau
18
jika diperlukan
3. Anjurkan orangtua untuk mengikuti
konseling
5 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 5. Gunakan pendekatan yang
terkait keluarga keperawatan diharapkan orang tua menyenangkan
klien dapat mengatasi rasa cemas 6. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
dengan dirasakan selama prosedur
Kriteria hasil: 7. Pahami perspektif klien
1. Klien mampu mengidentifikasi 8. Temani pasien untuk memberikan
diri mengungkapkan gejala keamanan dan mengurangi takut
cemas 9. Dorong keluarga untuk menemani anak
2. Mengidentifikasi, 10. Dengarkan dengan penuh perhatian
mengungkapkan dan 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan
menunjukkan teknik untuk perasaan, ketakutan, persepsi
mengontrol cemas 12. Berikan obat untuk mengurangi
3. Vital sign dalam batas normal kecemasan
4. Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjkkan
berkurangnya kecemasan
(Sumber : SDKI, 2017)
21
4. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi
memungkinkan perawat untuk memonitor “ kealpaan “ yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan. ( Nursalam,2001 )
Adapun komponen tahap evaluasi adalah pertama pencapaian kreteria
hasil, kedua keefektifan tahap-tahap keperawatn, ketiga revisi atau terminasi
keperawatn.
Evaluasi perencanaan kreteria hasil tulis pada catatan perkembangan
dalam bentuk SOAPIER
S ( Subyektif ) : Keluhan-keluhan klien
O ( Obyektif ) : Apa yang dilihat, dicium, diraba dan dapat diukur
oleh
perawat.
A ( Analisa ) : Kesimpulan tentang keadaan klien
P ( Plan of care ) : Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi
diagnosa/ masalah keperawatan klien.
I ( Intervensi ) : Tindakan yang dilakukan perawat untuk kebutuhan
klien
E ( Evaluasi ) : Respon klien terhadap tindakan perawat
R ( Ressesment ) : Mengubah rencana tindakan keperawatan yang
diperlukan.
Tujuan evaluasi ini adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan. Hal ini bias dilaksanakan dengan mengadakan hubungan
dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang
diberikan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan :
a. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan
yang ditetapkan).
b. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan
untuk mencapai tujuan)
c. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (kilen memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mencapai tujuan)
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang berat pada anak.
Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Perkembangan
mereka menjadi terganggu terutama dalam komunikasi, interaksi, dan perilaku.
Misalnya, pada usia 2-3 tahun, dimasa anak balita lain mulai belajar bicara, anak autis
tidak menampakan tanda-tanda perkembangan bahasa. Kadang ia mengeluarkan suara
tanpa arti. Namun anehnya, sekali-kali ia bisa menirukan kalimat atau nyanyian yang
sering didengar.tapi bagi dia, kalimat ini tidak ada maknanya.banyak kalangan yang
harus dilibatkan mulai dari orang tua, dokter, paraprofesional,perawat anakautisdan
juga faktr lingkungan. Karena itu, pemahaman dari berbagai pihak terhadap kondisi
sang anak menjadi sangat penting, juga pengetahuan tentang penyakit itu sendiri.
Terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap
melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua merasa
memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam setiap fase
terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan perbaikan anak autisme
kepada para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan tingkat perbaikan yang perlu
dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan terbentuk suatu ikatan emosional yang
lebih kuat antara orang tua dengan anak autismenya dan hal ini diharapkan akan
mendukung perkembangan emosional dan mental si anak menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
3.2 Saran
1. Mahasiswa keperawatan
Dapat menjadi bahan acuan untuk membuat makalah dan asuhan keperawatan
anak dengan autisme.
2. Teman sejawat keperawatan
Dapat dijadikan bahan acuan untuk memberikan asuhan keperawatan anak yang
menderita penyakit autisme.
27
23
DAFTAR PUSTAKA
Suryani Eko, Atik Badi’ah. Asuhan Keperawatan Anak Sehat Dan Anak Berkebutuhan
Khusus. Yogyakarta. Pustaka Baru Press.
Depdiknas. 2002. Pengaruh Perilaku Penyandang Autis Terhadap Desain Ruang Dalam
Studi Kasus : Bangunan Pendidikan. Diakses pada tanggal 28 September 2018.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/purwarupa/article/view/2826/2235
S.A Nugraheni. 2006. Gangguan Perilaku Anak Autis Dan Penatalaksanaannya. Badan
Penertbit Universitas Diponegoro