Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Autis merupakan gangguan perkembangan kompleks yang muncul tiga
tahun pertama kehidupan akibat gangguan neurologi yang mempengaruhi fungsi otak
The Autism Society Of America 2004 dalam (Hasdianah, 2013). Autisme adalah
gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya harus sudah muncul sebelum anak
berusia 3 tahun (Yayasan Autisme Indonesia, 2015). Autis berarti gangguan
perkembangan yang secara signifikan mempengaruhi komunikasi verbal dan non verbal
serta interaksi sosial, yang pada umumnya terjadi sebelum usia tiga tahun (The
Individuals With Disabilities Education Act [IDEA], 2004).
Tahun 2011 tercatat 35 juta orang penyandang autisme di dunia, rata-rata 6
dari 1000 orang di dunia penyandang autisme United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization (UNESCO, 2011). Maret 2013, Amerika Serikat
melaporkan, adanya peningkatan prevalensi menjadi 1:50 dalam kurun waktu setahun
terakhir (Center for Diseases Control and Prevention [CDC], 2014). Hal tersebut
bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan
Amerika namun juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis
di dunia saat ini mencapai 1520 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,l5-0,20%.
Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan, Diah Setia menyebutkan terdapat
112.000 anak di Indonesia yang menyandang autisme dengan rentang usia 5-19 tahun.
Maka jika diasumsikan dengan prevalensi autisme 1,68 per 1000 anak di bawah 15
tahun. Jumlah anak yang berumur 5-19 tahun di indonesia mencapai 66.000.805 jiwa,
maka terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autisme pada rentang usia 5-19
tahun (Hazliansyah, 2013).
Autisme juga mengakibatkan anak-anak dengan gangguan ASD (Autistic
Spectrum Disorder) ini tertinggal dengan anak-anak yang lain dalam memahami dan
menerima stimulasi materi, hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan anak-anak dengan
gangguan ASD ini dalam memusatkan perhatian dan fokus terhadap stimulasi yang
diberikan, padahal perhatian dan konsentrasi adalah suatu hal yang sangat penting
dalam penyimpanan informasi (Hadist, 2006).
Berdasarkan data yang didapat tahun ke tahun angka prevalensi autisme
meningkat, maka berbanding lurus dengan penurunan kecerdasan anak karena sulit

1
2

konsentrasi saat belajar, dan hal sangat merugikan bagi anak itu sendiri. Perawat
sebagai salah satu tenaga kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengatasi
masalah tersebut dengan memberikan inovasi intervensi keperawatan dengan
memberikan asuhan keperawatan secara holistik. Asuhan keperawatan secara holistik
dapat mendukung perkembangan positif pada anak autis. Intervensi yang diberikan
kepada anak autis bertujuan untuk mengurangi gejala gangguan perilaku (Veskariyanti,
2012).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah penanganan dan asuhan keperawatan anak dengan autism?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan anak dengan autisme.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi autisme.
b. Untuk mengetahui etiologi autisme.
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis autisme.
d. Untuk mengetahui klasifikasi autisme.
e. Untuk mengetahui patofisiologi autisme.
f. Untuk mengetahui pathway autisme.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan autisme.
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan anak dengan autisme.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kartono (1989) berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah cara berpikir
yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia
berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, oleh karena itu
menurut Faisal Yatim (2013), penyandang akan berbuat semaunya sendiri, baik cara
berpikir maupun berperilaku.
Autisma/Autisme adalah gangguan yang parah pada kemampuan
komunikasi yang berkepanjangan yang tampak pada usia tiga tahun pertama,
ketidakmampuan berkomunikasi ini diduga mengakibatkan anak penyandangautis
menyendiri dan tidak ada respon terhadap orang lain (Sarwindah, 2012).
Yuniar (2002) dalam Sarwindah, 2012 menambahkan bahwa
Autisma/Autisme adalah gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi
perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan
emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai ketrampilan dan
pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. Autisma/Autisme berlanjut
sampai dewasa bila tak dilakukan upaya penyembuhan dan gejala-gejalanya sudah
terlihat sebelum usia tiga tahun.
Ketika autisma ditambahkan ke dalam IDEA pada tahun 1990, hal itu
diartikan sebagai berikut.
1. Autisma berarti suatu kecacatan perkembangan yang dengan mantap
mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan dan interaksi sosial, pada usia
dibawah 3 tahun, yang berdampak pada perolehan pendidikan pada anak.
Karakteristik lain yang dikaitkan dengan anak autis adalah perulangan aktifitas,
penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan
tanggapan yang tak lazim pada perasaan. Istilah tersebut berlaku jika perolehan
pendidikan anak kurang baik karena anak mengalami gangguan emosional
2. Seorang anak yang memperlihatkan gejala “autis” pada usia di atas 3 tahun dapat
didiagnosa mengalami “autisma” jika kriteria pada paragraf di atas terpenuhi.
3. Definisi ini mengikuti pedoman IDEA, menspesifikasikan beberapa karakter yang
esensial dari siswa dengan gangguan tersebut, di luar kecacatan lain, dan
ketetapan dampak dan perolehan pendidikan. Bagaimanapun, hal itu tidak

3
4

menyediakan banyak detil dalam istilah-istilah dari pemahaman banyaknya jenis


siswa yang mungkin mengalami gangguan-gangguan ini.
Definisi Asosiasi Psikiater Amerika telah menjabarkan definisi autism
sebagai berikut.
1. Karena Gangguan Spektrum Autis umumnya didiagnosa oleh komunitas medis
menggunakan ukuran-ukuran permanen di dalam Diagnostik and Statistikal
Manual of Mental Disorder, edisi ke-4. Perbaikan teks (Asosiasi Psikiater
Amerika, 2000), adalah penting bahwa anda memahami definisi ini sebagaimana
yang disediaka IDEA. Seperti yang dicatat diawal APA menggolongkan autisma
sebagai jenis Gangguan Perkembangan Peruasif (GPP) yang ditandai oleh
perusakan-perusakan pelemahan di beberapa area perkembangan; kemampuan
interaksi sosial, keterampilan komunikasi atau pengulangan perilaku, minat dan
aktivitas.
2. Sub kategori dari gangguan perkembangan peruasif dalam diskusi ini meliputi
gangguan autistik, sindrom asperger, dan gangguan perkembangan peruasif tidak
termasuk yang ditetapkan.
3. Hasil diagnosa dari gangguan autis disediaka bagi individu yang menunjukkan
penurunan interaksi sosial dan komunikasi, seperti halnya, perulangan, membeo
dan diiringi oleh keterlambatan mental/retardasi mental.

Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Autisma/Autisme adalah


gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia
luar, merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku,
dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional
dengan orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial,
tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan.

2.2 Etiologi
Menurut Mujianti (2011), Gangguan spectrum autism disebabkan oleh
kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun.
Dua hal tersebut mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang menyebabkan
masalah dalam tingkah laku dan fisik. Secara lebih terperinci, penyebab gangguan
spectrum autism adalah sebagai berikut :
5

1. Faktor keturunan/genetik. Menurut penelitian 80% penderita gangguan spektrum


autisme adalah kembar monozigot dan 20% lainnya untuk kembar dizigot.Faktor
ini terurama terjadi pada keluarga anak austik (mengalami abnormalitas kognitif
dan kemampuan bicara.
2. Kelainan kromosom (sindrom x mudah pecah atau fragile).
3. Neurokimia ( katekolamin,serotonin,dopamin belum pasti).
4. Cedera otak, kerentanan utama,aphasia,defisit pengaktif retikulum,keadaan tidak
menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf,perubahan
struktur cerebellum,lesi hipocampus otak depan.
5. Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan
sensoris serta kejang epilepsi.
6. Factor lingkungan, terutama sikap orangtua dan kepribadian anak.

2.3 Manifestasi Klinis

Anak penyandang autistik mempunyai masalah/gangguan dalam bidang :

1. Komunikasi
a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian
sirna,
c. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat dimengerti
orang lain
e. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
f. Senang meniru atau membeo (echolalia)
g. Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa
mengerti artinya
h. Sebagian dari anak ini tidak berbicara ( non verbal) atau sedikit berbicara
(kurang verbal) sampai usia dewasa
i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu
2. Interaksi sosial
a. Penyandang autistik lebih suka menyendiri
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan
6

c. tidak tertarik untuk bermain bersama teman


d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh
3. Gangguan sensoris
a. Sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut
4. Pola bermain
a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya
b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya
c. Tidak kreatif, tidak imajinatif

Gambar 1. Pespektif Autisme

2.4 Klasifikasi
7

Klasifikasi autisme menurut Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan


Autisme YPAC dalam Dyah Septia , Lily Mauliani dan Anisa 2017 dapat dibagi
berdasarkan berbagai pengelompokan kondisi :
1. Klasifikasi berdasarkan munculnya kelainan
a. Autisme infantial, anak autis yang sudah mempunyai kelainan sejak lahir
b. Autisme fiksasi, anak autis yang pada saat lahir kondisinya normal, namun
setelah 2/3 tahun tanda-tanda autisnya muncul
2. Klasifikasi berdasarkan intelektual
a. Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat (IQ < 50),
prevalansi 60% dari anak autistic
b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50 – 70), prevelansi 20%
dari anak autis
c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (Intelegensi diatas
70), prevelansi 20% dari anak autis
3. Klasifikasi berdasarkan interaksi sosial
a. Kelompok yang menyendiri, banyak terlihat pada anak yang menarik diri,
acuh tak acuh dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan
perilaku dan perhatian yang tidak hangat
b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan sosial dan bermain
dengan anak lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya
c. Kelompok yang aktif tapi aneh, secara spontan akan mendekati anak yang
lain, namun interaksinya tidak sesuai sering hanya sepihak
4. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian, antara lain sebagai berikut.
a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis)
b. Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan
walaupun problem perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis)
c. Prognosis baik, mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir
normal dan berfungsi dengan baik di sekolah atau di tempat kerja (1/10 dari
penyandang autis).

2.5 Patofisiologi
1. Teori kelebihan opioid dan hubungannya dengan diet protein kasein dan protein
gluten.
8

Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi


dan emosi penyandang autis. Peptide tersebut berasal dari pencernaan makanan
yang tidak sempurna khususnya gluten dan kasein. Gluten berasal dari gandum
dan biji-bijian (sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein
berasal dari susu dan produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut)
maka terjadi peningkatan jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena adanya
peningkatan jumlah peptide yang terbentuk diusus sehingga yang masuk ke aliran
darah pun relative lebih banyak, demikian juga yang melewati sawar darah otak.
Hal ini dapat mengakibatkan gangguan perilaku yang tampak secara klinis
(Nugraheni, 2008).
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua
potein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein
tersebut terserap dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak
anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membrane saluran
cerna pasien autis, yang menyebabkan masuknya peptide didalam darah. Hasil
metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan
reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan
tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan casein menurunkan kadar peptide
opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga,
implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh
kesembuhan pasien (Mujiyanti, 2011).
2. Mekanisme Terjadinya Autis Defisiensi Nutrisi

a. Mekanisme racun logam berat


Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna,
sistem imun tubuh, sistem syaraf dan sistem endokrin. Logam berat
mengubah fungsi seluler dan sejumlah proses metabolisme dalam tubuh,
termasuk yang berhubungan dengan sistem syaraf pusat dan sekitarnya.
Sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh logam berat disebabkan
oleh perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Radikal bebas adalah
molekul yang secara energi keberadaannya tidak seimbang, yaitu terdiri
dari elektron yang tidak berpasangan yang mengambil elektron dari
molekul lainnya. Radikal bebas umumnya muncul apabila molekul sel-sel
bereaksi dengan oksigen. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat
9

terjadi apabila seseorang terpapar logam berat atau anak-anak memiliki


defisiensi antioksidan secara genetis. Radikal bebas akan dapat merusak
jaringan diseluruh tubuh, termasuk otak. Antioksidan seperti vitamin
A,C,dan E melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada
tingkattertentu memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless,
2003).
Sedangkan menurut Budhiman, M; Shattock, P; Ariani, E (2002)
diperkirakan secara genetik anak-anak autis memiliki gangguan untuk
mengeluarkan logam berat dari tubuhnya. Penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa beberapa logam berat seperti arsenik (As), antimony
(Sb), cadmium (Cd), air raksa (Hg) dan timbale (Pb) adalah racun otak yang
kuat. Bernard (2000) melakukan penelitian dan mengungkapkan bahwa
gejala yang diperlihatkan anak autistik nyaris sama dengan gejala
keracunan merkuri.
b. Imun tubuh dan saluran cerna berinteraksi
Imun tubuh adalah pemimpin pertahanan tubuh kita dalam menentang
bakteri pathogen, jamur dan virus. Sistem imun juga dapat membedakan
antara molekul asing (foreign) dan molekul tubuh kita sendiri (self) dan
menggerakkan pasukan sel-sel pertahanan dan antibodi untuk menghadapi
molekul-molekul asing. Namun, sistem imun seharusnya bereakasi apabila
ada masalah. Banyak anak autisme mempunyai semacam imun yang
malfungsi. Seringkali kerusakan fungsi ini menyebabkan tubuh salah
mengidentifikasi selsel diri sendiri (self) dan menduganya sebagai molekul
asing (foreign). Pada tipe disfungsi seperti ini, sistem imun akan menyerang
tubuh itu sendiri. Ini adalah salah satu tipe proses yang antara lain \dapat
menyebabkan peradangan saluran cerna. Saluran cerna merupakan
penghalang penting antara pathogen yang datang dari luar dan organ-organ
dalam dimana sejumlah mekanisme imun terdapat pada ephitalium. Lapisan
usus ini bertugas memblokir patogen luar agar tidak melakukan perusakan
(McCandless, 2003).
c. Pertumbuhan jamur berlebih dapat melukai sistem saluran cerna
Karena terjadi imunodefisiensi anak sering terkena penyakit dan
diberikan obat antibiotik. Pemberian antibiotik yang berlebihan
mengakibatkan banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan
10

menyebabkan terbunuhnya bakteri lactobacillus akibatnya terjadi yeast


grow. Diare kronis atau sembelit pada anak dapat menunjukkan
pertumbuhan pada jamur yang berlebihan pada banyak individu.
Pertumbuhan jamur yang berlebihan dapat melukai sistem saluran cerna dan
merupakan salah satu penyebab spectrum autis (McCandless, 2003).
d. Peningkatan permeabilitas mukosa usus “Leaky Gut”
Adanya mikro organisme di usus halus dapat menyebabkan
permukaan sel epitel mensekresi suatu protein yang dikenal sebagai zonulin
(regulator utama dari permeabilitas usus). Zonulin akan membawa cairan
keluar dari sel dan menghanyutkan bakteri patogen pada permukaan sel
untuk dikeluarkan dari tubuh. Ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh
pada intestine. Sekitar 80% anak dengan autisme menderita autistic
enterocolitis. Pada autisme zonulin/ zonula accludens toxin (Zot) memberi
signal agar tight junction membuka. Zonulin dan zot akan berinteraksi
dengan reseptor yang sama dipermukaan sel usus dengan jumlah yang
bervariasi.
Dalam interaksi ini terjadi polimerisasi yang menyebabkan
pembentukan kembali filamen actin dan protein dari junctional complex.
Akibat yang ditimbulkan dari polimerisasi ini tight junction menjadi
semakin longgar, sehingga terjadi hipermeabilitas pada mukosa intestine
yang dapat menyebabkan sejumlah toksin, antigen, molekul besar yang
belum sempurna dicerna (seperti peptide dari gluten dan kasein) dan zat-zat
yang tidak berguna lainnya diabsorbsi oleh epitel mukosa usus (Nugraheni,
2008).
Penyerapan protein yang tidak cukup atau tidak sesuai oleh usus dapat
menyebabkan kelainan sistem pencernaan. Sistem pencernaan yang sehat
akan mampu mencerna makanan yang kompleks dan memecahnya kedalam
bentuk yang dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang kemudian menjadi energi
melalui metabolisme tubuh. Pada anak autis protein dan peptida yang tidak
dapat dicerna berasal dari kasein dan gluten. Peptida yang tidak bisa
diterima oleh tubuh dapat memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke
otak akan memiliki efek seperti opioid. Lubang- lubang yang abnormal
diantara dinding-dinding lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-
zat beracun lainnya merembes memasuki lairan darah. Substansi racun ini
11

dapat melukai atau merusak sawar darah otak yang menyebabkanrusaknya


kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah laku
(Mujiyanti, 2011).
3. Gangguan Perilaku Hiperaktif

Secara ilmiah tingkah laku hiperaktif dapat dibagi menjadi dasar


pandangan karakteristik tingkah lakunya. Oleh karena itu perlu diketahui secara
mendalam karakteristik tingkah laku hiperaktif ini. Ada cara-cara yang ditempuh
oleh para ahli seperti yang dikatakan oleh Rosenberg, Wilson, Maheady, Sindeler
(1992) ada tiga model strategis untuk ini yaitu : biophysical, behavioral and
cognitive-behavioral (Syamsi, 2005). Perilaku autis digolongkan menjadi 2 jenis
yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan perilaku defisit (berkekurangan).
Perilaku eksesif adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) seperti
menjerit, mengepak, menggigit, mencakar, memukul, dan termasuk juga
menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit adalah perilaku yang
menimbulkan gangguan bicara atau kurangnya perilaku sosial seperti tertawa atau
menangis tanpa sebab serta melamun (Pratiwi, 2013).

Menurut Carruth, dkk (1998) dalam Saraswati (2012) bahwa picky


eater merupakan perilaku menolak suatu jenis atau kelompok makanan tertentu,
yang dianggap tidak sesuai dengan mereka oleh orangtuanya. Perilaku ini
ditandai dengan rendahnya penerimaan terhadap jenis makanan, keengganan
mencoba jenis makanan baru (neophobic), membatasi jenis makanan lain, serta
menunjukkan jenis preferensi yang kuat terhadap jenis makanan tertentu yang
mereka sukai.
12

2.7 Pathway
Penyakit otak Environment
Faktor Keturunan Kelainan kromosom Neurokimia Cedera otak
organik

Abnormalitas struktur otak

Abnormalitas neurotransmiter

Fiksasi pada masa prasimbiotik dari perkembangan

Tugas perkembangan tidak terselesaikan

Ketidakmampuan membedakan Ketidakmampuan untuk


batas-batas tubuh diri sendiri Perubahan status kesehatan
mempercayai anggota keluarga (Anak yang
mengalami autism)

Tidak ada orang terdekat Penolakan diri sendiri

Gangguan Khawatir berlebihan


Penolakan & ketidakmampuan
berbicara Proses
Gangguan Interaksi Sosial Tingkat stress yg bertambah Keluarga
Ansietas

Risiko Mutilasi Diti Gangguan Komunikasi verbal


13

2.6 Penatalaksanaan
Dari uraian problema autisme, belum ada satu jenis pengobatan yang secara tersendiri
maupun khusus. Penatalaksanaan autism dapat dilakukan secara terpadu bila ingin
didapatakan kemajuan yang maksimal. Akan lebih baik bila anak yang mendapat
diagnosa autism segera mendapatkan intervensi yang tepat. Berikut tindakan yang
dapat dilakukan untuk menangani pasien dengan autisme menurut S.A Nugraheni,
2006 antara lain :
1. Intervensi dini
Anak dengan autisme mempunyai cara mempelajari sesuatu yang berbeda
dari anak non autisme. Mereka cenderung lebih suka melakukan tindakan
seenaknya tanpa menghiraukan lingkungan. Bila tindakan itu dibiarkan terus
menerus makan akan menjadi kebiasaan yang menetap dan sulit dihilangkan.
Mereka sulit meniru dari lingkungan, sehingga konsep ini harus diajarkan pada
mereka. Pada permulaan intervensi dilakukan dengan satu anak satu guru. Anak
mungkin perlu menjalani beberapa jenis terapi seperti berperilaku, terapi wicara
dan okupasi dan bila perlu terapi integrasi sensori. Bila konsep kepatuhan dan
imitasi sudah terbentuk dan anak sudah bisa mengikuti instruksi, maka sebaliknya
ia mulai masuk ke kelompok kecil sehingga bisa meniru perilaku teman
sebayanya yang non autis (Budhiman, 2002 dalam S.A Nugraeni 2006).
Intervensi lainnya dapat berupa pendekatan melalui terapi perkembangan
untuk latihan fisik supaya dapat mengembangan keseimbangan tubuh, koordinasi
dan ketrampilan motoris dan terapi perilaku (Stuadi, 1776, Hartono, 2002 dalam
S.A Nugraheni 2006).
2. Terapi Diet
Anak dengan kasus autisme pada umumnya menderita multiple food allergy.
Tidak ada salahnya untuk tidak mengkonsumsi susu sapi dan tepung terigu, anak
dibiasakan unuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat dan variatif sehingga
kebutuhan gizi tetap terpenuhi (Shattock & Whiteley, 2001, Budhiman, 2002
dalam S.A Nugraheni, 2006).
3. Medikamentosa
Tidak ada satu jenis obat yang secara khusus dapat menyembuhkan autism.
Obat yang dipakai adalah lebih banyak ditujukan untuk perbaikan gejala yang ada,
misalnya hiperaktifitas, agresivitas, menyakiti diri sendiri dan insomnia harus
diperbaiki dengan obat (Budhiman, 2002 dalam S.A Nugraheni 2006).
14

Obat hanyalah terapi pendamping, bukan yang utama. Dengan kata lain bila
metoda intervensi non obat dikombinasikan dengan obat maka diharapkan dapat
hasil intervensi yang maksimal. Obat yang dapat dipakai antara lain (Hartono,
2002 dalam S.A Nugraheni 2006) :
a. Anti depresi (fluoksetin, sertralin) yang secara empiric dapat mengurangi
perilaku agresif, repetitif serta obsesif.
b. Anti psikotik (klorpromasin, teoridasin dan haloperidol) digunakan apabila
agresifitas dan aditatifnya amat dominan.
c. Anti epilepsy digunakan bila mengalami serangan epilepsy (sepertiga kasus
autism mengidap epilepsi)
d. Parisetam digunakan untuk memperbaiki gangguan perkembangan bahasa,
karena terbukti mampu memperbaiki fungsi hemisfer kiri otak
4. Perbaikan metabolisme
Beberapa anak secara genetik mempunyai kelemahan kekebalan tubuh.
Anak dengan multiple food allergy harus diperbaiki dengan diet yang ketat,
hindari makanan yang menyebabkan alergi anak. Food allergy biasanya akan
berkurang setelah mukosa usus membaik. Gangguan keseimbangan mineral
sangat penting untuk diperiksa dan diperbaiki oleh karena keseimbangan dari
mineral esensial akan mengacaukan metabolism tubuh (Budhiman, 2002 dalam
S.A Nugraheni 2006).
5. Detokdifikasi logam berat
Logam seperti As, Cd, Sb, Hg, Pb adalah logam yang seharusnya tidak ada
di dalam tubuh. Karena kelimanya terkenal dengan racun otak. Bila logam
tersebut masuk ke otak melalui pembuluh darah maka anak akan menunjukkan
berbagai macam gangguan misalnya autisme. Lobat tersebut bisa masuk ke tubuh
melalui udara makanan minuman, obat-obatan, kosmetik (pemutih) dan suntikan
(vaksinasi yang mengandung merkuri sebagai zat pengawet). Bila logam
berbahaya tersebut tidak dikeluarkan maka akan menimbulkan dampak berbahaya.
Detoksifikasi yang dilakukan sebaiknya yang tidak menimbulkan trauma pada
anak (Budhiman, 2002 dalam S.A)

2.7 Asuhan Keperawatan pada Anak Autis


1. Pengkajian
a. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga
15

b. Riwayat keluarga yang terkena autism


c. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan
1) Sering terpapar zat toksik
2) Cedera otak
d. Status perkembangan anak
1) Anak kurang merespon orang lain
2) Anak sulit focus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh
3) Anak mengalami kesulitan dalam belajar
4) Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal
5) Keterbatasan kognitif
e. Pemeriksaan fisik
1) Tidak ada kontak mata pada anak
2) Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh)
3) Terdapat ekolalia
4) Sulit focus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain
5) Tidak ada ekspresi non verbal
6) Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut
7) Peka terhadap bau.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kebingungan
terhadap stimulus.
b. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan kendala komunikasi
c. Risiko mutilasi diri yang berhubungan dengan rawat inap di rumah sakit.
d. Gangguan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan autisme.
e. Ansietas berhubungan dengan terkait keluarga
16

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


1 Gangguan komunikasi verbal NOC: Communication Enhancement : Speech
b.d hambatan individu (mis. Setelah diberikan tindakan Deficit
Ketakutan,kecemasan, merasa keperawatan diharapkan mampu 1. Gunakan penerjemah, jika diperlukan
malu, emosional, kurang mengontrol emosi dan keinginannya 2. Beri satu kalimat simple setiap bertemu,
privasi) d.d tidak mampu dengan kriteria hasil : jika diperlukan
berbicara atau mendengar, 1. Komunikasi : penerimaan, 3. Konsultasikan dengan dokter kebutuhan
menunjukkan respon tidak intrepretasi dan ekspresi pesan terapi bicara
sesuai, afasia, disfasia, lisan, tulisan, dan non verbal 4. Dorong pasien untuk berkomunikasi
apraksia, disleksia, disartria, meningkat secara perlahan dan untuk mengulangi
afonia, dislalia, pelo, gagap, 2. Komunikasi ekspresif (kesulitan permintaan
tidak ada kontak mata, sulit berbicara) : ekspresi pesan verbal 5. Dengarkan dengan penuh perhatian
memahami komunikasi, sulit dan atau non verbal yang 6. Berdiri di depan pasien ketika berbicara
mempertahankan komunikasi, bermakna 7. Gunakan kartu baca, kertas, pensil,
sulit mempertahankan ekspresi 3. Komunikasi reseptif (kesutitan bahasa tubuh, gambar, daftar kosakata
wajah atau tubuh, tidak mampu mendengar) : penerimaan bahasa asing, computer, dan lain-lain
menggunakan ekspresi wajah komunikasi dan intrepretasi untuk memfasilitasi komunikasi dua arah
atau tubuh, sulit menyusun pesan verbal dan/atau non verbal yang optimal
kalimat, verbalisasi tidak tepat, 4. Gerakan Terkoordinasi : mampu 8. Ajarkan bicara dari esophagus, jika
sulit mengungkapkan kata-kata, mengkoordinasi gerakan dalam diperlukan
17

disorientasi orang ruang dan menggunakan isyarat 9. Beri anjuran kepada pasien dan keluarga
waktu, deficit penglihatan, 5. Pengolahan informasi : klien tentang penggunaan alat bantu bicara
delusi. mampu untuk memperoleh, (misalnya, prostesi trakeoesofagus dan
mengatur, dan menggunakan laring buatan
informasi 10. Berikan pujian positive jika diperlukan
6. Mampu mengontrol respon 11. Anjurkan pada pertemuan kelompok
ketakutan dan kecemasan 12. Anjurkan kunjungan keluarga  secara
terhadap ketidakmampuan teratur untuk memberi stimulus
berbicara komunikasi
7. Mampu memanajemen 13. Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain
kemampuan fisik yang di miliki dalam menyampaikan informasi (bahasa
8. Mampu mengkomunikasikan isyarat)
kebutuhan dengan lingkungan
sosial
2 Gangguan interaksi sosial Setelah dilakukan tindakan Communication Enhancement : Hearing
berhubungan dengan kendala keperawatan diharapkan habatan Deficit Communication Enhancement :
komunikasi interaksi social dapat teratasi Visual Deficit Anxiety Reduction Active
kriteria hasil : Listening
1. Lingkungan yang suportif yang
bercirikan hubungan dan tujuan Socialization enhancement:
anggota keluarga 1. Buat interaksi terjadwal
2. Menggunakan aktivitas yang 2. Dorong pasien ke kelompok atau
18

menenangkan, menarik, dan program keterampilan interpersonal yang


menyenangkan untuk membantu meningkatkan pemahaman
meningkatkan kesejahteraan tentang pertukaran informasi atau
3. Interaksi social dengan orang, sosialisasi
kelompok atau organisasi 3. Identifikasi perubahan perilaku tertentu
4. Memahami dampak dari perilaku 4. Berikan umpan balik positif
diri pada interaksi social 5. Anjurkan bersikap jujur dan apa adanya
5. Mendapatkan / meningkatkan dalam berinteraksi
ketrampilan interaksi social, 6. Anjurkan menghargai orang lain
kerjasama, ketulusan dan saling 7. Bantu meningkatkan kesadaran tentang
memahami kekuatan dan keterbatasan
6. Mengungkapkan keinginan untuk 8. Gunakan teknik bermain peran untuk
berhubungan dengan orang lain meningkatkan ketrampilan dan
7. Perkembangan fisik, kognitif, dan komunikasi
psikososial anak sesuai dengan 9. Minta dan harapkan adanya komunikasi
usianya verbal

3 Risiko mutilasi diri ditandai Setelah dilakukan tindakan Suicide Behaviour


dengan memberikan kata-kata keperawatan diharapkan klien dapat 1. Dorong pasien untuk mengungkapkan
ancaman dengan rencana mengontrol diri sehingga tidak terjadi secara verbal konsekuensi dari
melukai kekerasan dengan perubahan fisik dan emosi yang
Kriteria hasil : mempengaruhi konsep
19

1. Dapat menahan diri mencederai 2. Pertahankan lingkungan dalam tingkat


diri sendiri stimulus yang rendah
2. Intervensi awal untuk mencegah 3. Ciptakan lingkungan psikososial
respon agresif diperintahkan 4. Kembangkan orientasi kenyataan
halusinasi 5. Singkirkan semua benda berbahaya
3. Pasien dapat mengartikansentuhan 6. Lindungi klien dan keluarga dari bahaya
sebagai ancaman halusinasi
4. Mencegah kemungkinan cedera 7. Tingkatkan peran keluarga pada tiap
pasien atau orang lain karena tahap perawatan dan jelaskan prinsip
adanya perintah dari halusinasi tidakan halusinasi
5. Perawat harus jujur pada pasien 8. Lakukan fiksasi bila diperlukan
sehingga pasien menyadari suara 9. Berikan obat antipsikotik sesuai dengan
itu ada yang dapat menurunkan kecemasan dan
6. Keterlibatan pasien dalam kegiatan menstabilkan mood dan menurunkan
interpersonal, akan menolong stimulasi kekerasan
pasien dalam realitas 10. Ajarkan pasien penggunaan tindakan
nafas dalam
4 Gangguan proses keluarga yang Setelah diberikan asuhan keperawatan 1. Anjurkan orangtua untuk
berhubungan dengan gangguan selama 4 x 24 jam orangtua mengekspresikan perasaan dan
autisme mendemonstrasikan ketrampilan peran kekhawatiran mereka
menjadi orangtua yang tepat 2. Rujuk orangtua ke kelompok pendukung
Autisme setempat dan ke sekolah khusus
20

jika diperlukan
3. Anjurkan orangtua untuk mengikuti
konseling
5 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 5. Gunakan pendekatan yang
terkait keluarga keperawatan diharapkan orang tua menyenangkan
klien dapat mengatasi rasa cemas 6. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
dengan dirasakan selama prosedur
Kriteria hasil: 7. Pahami perspektif klien
1. Klien mampu mengidentifikasi 8. Temani pasien untuk memberikan
diri mengungkapkan gejala keamanan dan mengurangi takut
cemas 9. Dorong keluarga untuk menemani anak
2. Mengidentifikasi, 10. Dengarkan dengan penuh perhatian
mengungkapkan dan 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan
menunjukkan teknik untuk perasaan, ketakutan, persepsi
mengontrol cemas 12. Berikan obat untuk mengurangi
3. Vital sign dalam batas normal kecemasan
4. Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjkkan
berkurangnya kecemasan
(Sumber : SDKI, 2017)
21

4. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi
memungkinkan perawat untuk memonitor “ kealpaan “ yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan. ( Nursalam,2001 )
Adapun komponen tahap evaluasi adalah pertama pencapaian kreteria
hasil, kedua keefektifan tahap-tahap keperawatn, ketiga revisi atau terminasi
keperawatn.
Evaluasi perencanaan kreteria hasil tulis pada catatan perkembangan
dalam bentuk SOAPIER
S ( Subyektif ) : Keluhan-keluhan klien
O ( Obyektif ) : Apa yang dilihat, dicium, diraba dan dapat diukur
oleh
perawat.
A ( Analisa ) : Kesimpulan tentang keadaan klien
P ( Plan of care ) : Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi
diagnosa/ masalah keperawatan klien.
I ( Intervensi ) : Tindakan yang dilakukan perawat untuk kebutuhan
klien
E ( Evaluasi ) : Respon klien terhadap tindakan perawat
R ( Ressesment ) : Mengubah rencana tindakan keperawatan yang
diperlukan.
Tujuan evaluasi ini adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan. Hal ini bias dilaksanakan dengan mengadakan hubungan
dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang
diberikan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan :
a. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan
yang ditetapkan).
b. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan
untuk mencapai tujuan)
c. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (kilen memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mencapai tujuan)
22

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang berat pada anak.
Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Perkembangan
mereka menjadi terganggu terutama dalam komunikasi, interaksi, dan perilaku.
Misalnya, pada usia 2-3 tahun, dimasa anak balita lain mulai belajar bicara, anak autis
tidak menampakan tanda-tanda perkembangan bahasa. Kadang ia mengeluarkan suara
tanpa arti. Namun anehnya, sekali-kali ia bisa menirukan kalimat atau nyanyian yang
sering didengar.tapi bagi dia, kalimat ini tidak ada maknanya.banyak kalangan yang
harus dilibatkan mulai dari orang tua, dokter, paraprofesional,perawat anakautisdan
juga faktr lingkungan. Karena itu, pemahaman dari berbagai pihak terhadap kondisi
sang anak menjadi sangat penting, juga pengetahuan tentang penyakit itu sendiri.
Terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap
melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua merasa
memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam setiap fase
terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan perbaikan anak autisme
kepada para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan tingkat perbaikan yang perlu
dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan terbentuk suatu ikatan emosional yang
lebih kuat antara orang tua dengan anak autismenya dan hal ini diharapkan akan
mendukung perkembangan emosional dan mental si anak menjadi lebih baik dari
sebelumnya.

3.2 Saran
1. Mahasiswa keperawatan
Dapat menjadi bahan acuan untuk membuat makalah dan asuhan keperawatan
anak dengan autisme.
2. Teman sejawat keperawatan
Dapat dijadikan bahan acuan untuk memberikan asuhan keperawatan anak yang
menderita penyakit autisme.

27
23

DAFTAR PUSTAKA

Suryani Eko, Atik Badi’ah. Asuhan Keperawatan Anak Sehat Dan Anak Berkebutuhan
Khusus. Yogyakarta. Pustaka Baru Press.

Depdiknas. 2002. Pengaruh Perilaku Penyandang Autis Terhadap Desain Ruang Dalam
Studi Kasus : Bangunan Pendidikan. Diakses pada tanggal 28 September 2018.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/purwarupa/article/view/2826/2235

S.A Nugraheni. 2006. Gangguan Perilaku Anak Autis Dan Penatalaksanaannya. Badan
Penertbit Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai