Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah mengenai
Gangguan Perkembangan pada anak yaitu “AUTISME beserta dengan Asuhan
Keperawatannya”. Tak lupa solawat dan salam kita curahkan kepada junjungan
besar nabi Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bimbingan dosen Keperawatan
Anak II serta dukungan dari orang tua kami dan teman-teman yang telah
meluangkan waktunya untuk menyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan. Maka dari itu
untuk pembaca saran dan kritik sangat kami harapan untuk perbaikan tugas-tugas
selanjutnya.

Bandung, 20 Juli 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. 1


DAFTAR ISI ................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Penyakit Autisme ....................................................................... 5
2.2 Etiologi Penyakit Autisme ....................................................................... 7
2.3 Manifestasi Klinik Penyakit Autisme ...................................................... 9
2.4 Patofisiologi Autisme ............................................................................. 12
2.5 Klasifikasi Autisme ................................................................................ 17
2.6 Pemeriksaan Penunjang Penyakit Autisme ............................................ 18
2.7 Penatalaksanaan Penyakit Autisme ........................................................ 18
2.8 Pencegahan Penyakit Autisme ............................................................... 23
2.9 Komplikasi Penyakit Autisme ............................................................... 27
2.10 Asuhan Keperawatan Teori Penyakit Autisme .................................... 28
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 32
3.2 Saran ....................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 33

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut data Unesco pada tahun 2011, terdapat 35 juta orang
penyandang autisme di seluruh dunia. Rata-rata, 6 dari 1000 orang di dunia
telah mengidap autisme. Di Amerika Serikat, autisme dimiliki oleh 11 dari
1000 orang. Sedangkan di Indonesia, perandingannya 8 dari setiap 1000
orang. Angka ini terhitung cukup tinggi mengingat pada tahun 1989, hanya
ada 2 orang yang diketahui mengidap gangguan autisme.
Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan.
Dalam penelitian yang dirangkum Synopsis of Psychiatry awal 1990-an,
kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1:2.000. Angka ini
meningkat di tahun 2000 dalam catatan Sutism Research Institute di Amerika
Serikat sebanyak 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita autis. Di
Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Di sana berdasarkan data
International Congress on Autism tahun 2006 tercatat 1 dari 130 anak punya
kecenderungan autis.
Di Indonesia sering kali cukup sulit mendapatkan data penderita auitis, ini
karena orangtua anak yang dicurigai mengidap autisme seringkali tidak
menyadari gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka merujuknya
ke pintu lain di RS. Misalnya ke bagian THT karena menduga anaknya
mengalami gangguan pendengaran dan ke Poli Tumbuh Kembang Anak
karena mengira anaknya mengalami masalah dengan perkembangan fisik.
Autisme adalah gangguan perkembangan yang secara menyeluruh
mengganggu fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak. Autisme masih
menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar orangtua. Beberapa orangtua
langsung merasa stress saat mendengar anaknnya telah di diagnosis Autisme.
Dikalangan masyarakat juga masih ada pemahaman bahwa anak-anak autis
bisa menularkan penyakitya. Maka, beberapa orangtua justru
menyembunyikan anaknya yang mengidap autis. Salah satu faktor yang
paling penting dalam keberhasilan penanganan autisem adalah keterlibatan
dalam komunikasi orangtua. Ibu merupakan tokoh yang lebih rentan terhadap

3
masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan ibu berperan langung dalam
kelahiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan
depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih
mudah terganggu secara emosionalnya. Ibu juga merasa stress karena
perilaku yang ditampilkan anaknya seperti tantrum, hiperaktif, kesulitan
bicara, perilaku yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan
berteman (Cohen & Volkmar, 2006).
Maka dari itu dalam makalah ini kami membahas lebih dalam mengenai
gangguan perkembangan pada anak yaitu “AUSTISME”. Kita dapat lebih
memahami bagaimana berkomunikasi ataupun menghadapi anak dengan
gangguan autisme.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Definisi Penyakit Autisme?
2. Apa Etiologi Penyakit Autisme?
3. Bagaimana Manifestasi Klinis Autisme?
4. Bagaimana Patofisiologi Autisme?
5. Apa saja Klasifikasi Autisme?
6. Apa saja Pemeriksaan Penunjang Penyakit Autisme?
7. Bagaiamana Penatalaksanaan Penyakit Autisme?
8. Bagaiamana Pencegahan Penyakit Autisme?
9. Apa saja Komplikasi Penyakit Autisme?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan Teori Penyakit Autisme?

1.3 Tujuan
1. Mahasiwa/wi dapat mengetahui Apa Definisi Penyakit Autisme
2. Mahasiwa/wi dapat mengetahui Apa Etiologi Penyakit Autisme
3. Mahasiwa/wi dapat memahami Bagaimana Manifestasi Klinis Autisme
4. Mahasiwa/wi dapat memahami Bagaimana Patofisiologi Autisme
5. Mahasiwa/wi dapat mengetahui Apa saja Klasifikasi Autisme
6. Mahasiwa/wi dapat mengetahui Apa saja Pemeriksaan Penunjang Penyakit
Autisme

4
7. Mahasiwa/wi dapat memahami Bagaiamana Penatalaksanaan Penyakit
Autisme
8. Mahasiwa/wi dapat memahami Bagaiamana Pencegahan Penyakit
Autisme
9. Mahasiwa/wi dapat mengetahui Apa saja Komplikasi Penyakit Autisme
10. Mahasiwa/wi dapat memahami Bagaimana Asuhan Keperawatan Teori
Penyakit Autisme

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Penyakit Autisme

Kata autism berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
aut yang berarti diri sendiri dan ism yang secara tidak langsung menyatakan
orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism sendiri dapat
didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang biasa asyik dengan dirinya
sendiri (Mirza Maulana, 2007).
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan
kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan
gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal
dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang
terjadi sebelum usia 30 bulan. (Behrman, 1999: 120)
Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan
kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan),
hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik
dan konvulsif. (Sacharin, R, M, 1996: 305)
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukan suatu gejala psikosis
pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner
yang dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang

6
melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik
perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi (Muhammad
Budiman, 1998).
Beragam definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan pervasif yang secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif
dan mempengaruhi kemampuan bahasa, komunikasi dan interaksi sosial.
Gangguan-gangguan dalam berkomunikasi, interaksi sosial dan imajinasi
seing saling berkaitan sehingga semuanya dapat digambarkan sebagai tiga
serangkai. Gejala lainnya yang muncul antara lain berupa kehidupan dalam
dunia sendiri tanpa menhiraukan dunia luar.

2.2 Etiologi Penyakit Autisme


Beberapa tahun yang lallu, penyebab autisme masih merupakan misteri.
Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin canggih, diperkuuat dengan
autopsy, ditumakan beberapa penyebab, antara lain:
a. Faktor Neurobiologis

Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki


kelainan hampir pada seluruh struktur otak. Tetapi kelainan yang
paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti

7
melaporkan berkurangnya sel purkinje di otak kecil pada autisme.
Berkurangya sel purkinje diduga dapat merangsang pertumbuhan
akson, glia dan myelin sehingga terjadi pertumbuhan otak yang
abnormal atau sebaiknya pertumbuhan akson yang abnormal dapat
menimbulkan purkinje Mati. Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi
dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit pengatur perhatian dan
pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan
mengganggu fungsi bagian lainnya dari sistem saraf pusat, seperti
misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku.
b. Faktor Genetik

Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autis adalah


syndrome fragile X (20-30%). Disebt fragile X karena secara
sitogenik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang
tampak seperti patahan diujung akhir lengan kromosom X.
c. Masalah Selama Kehamilan dan Kelahiran
Selama masa kehamilan sering mengalami perdarahan, hal ini juga
menjadi salah satu pemicu anak autis dikarenakan adanya gangguan
pada placenta complications yang mengakibatkan gangguan

8
transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi dan berpengaruh pada otak
janin.

Masalah pada masa kehamilan dan proses melahirkan, resiko autsme


berhubungan dengan masalah-masalah yang terjadi pada masa 8
minggu pertama kehamilan. Ibu yang mengkonsumsi alkohol, terkena
virus rubella, menderita infeksi kronis atau mengkonsumsi obat-
obatan terlarang diduga mempertinggi resiko autisme. Proses
melahirkan yang sulit sehingga bayi kekurangan juga diduga berperan
penting. Bayi yang lahir prematur atau punya berat badan dibawah
normal lebih besar kemungkinannya untuk mengalami gangguan pada
otak (Ginanjar,2008).
d. Terinfeksi Virus

9
Lahirnya anak autis diduga dapat disebabkan oleh virus seperti
rubella, toxoplasma, herpes, jamur, keracunan makanan pada saat
kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang
menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama
fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi. Efek virus dan
keracunan tersebut dapat berlangsung terus setelah anak lahir dan
terus merusak pertumbuhan sel otak, sehingga anak kelihatan tidak
memperoleh kemajuan dan gejala makin parah. Gangguan
metabolisme, pedengaran, dan penglihatan juga dipekirakan dapat
menjadi penyebab lahirnya anak dengan autisme (Maulana, 2007).
e. Vaksinasi
Vaksinasi MMR (Measles, Mumps dan Rubella) menjadi salah sat
faktor yang diduga kuat menjadi penyebab autisme walaupun sampai
sekarang hal ini masih jaddi perdebatan. Zat pengawet pada vaksinasi
inilah (Trhimerosal) yang dianggap bertanggung jawab menyebkan
autisme.
Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh:
a. Pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak,
anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya
kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang
lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan,
bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal
kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak. Pada masa anak-
anak dan remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal
terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada
suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan.
Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan
konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu
berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan
penentuan waktu. Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus
konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian
bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas

10
panca indera penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais
lingkungannya.
b. Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapt menyita
perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari
tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang
menyenangkan atau stres. Kelainann lain adalh destruktif , marah
berlebihan dan akurangnya istirahat. Pada masa remaja perilaku tidak
sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual
pada orang asing.

2.3 Manifestasi Klinik Penyakit Autisme

Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :


a. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non
verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat
menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya
sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara,
gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial

11
abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes
non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih
dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai.
Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat
orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk
bermain sendiri.
b. Tidak ada perhatian. Ketidakmampuan memusatkan perhatian/
ketidakmampuan berkonsentrasi pada beberapa hal seperti membaca,
menyimak pelajaran dan sering tidak mendengakan perkataan orang lain.
c. Destruktif. Perilakunya bersifat destruktif atau merusak. Terhadap barang-
barang yang ada dirumah kecenderungan anak untuk menghancurkannya.
d. Hiperaktif. Mempunyai terlalu banyak energi, misalnya berbicara teus-
menerus, tidak mampu duduk dan diam, selalu bergerak dan sulit tidur.
e. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat
yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
f. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada
objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa
dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
g. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk
memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak
menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat
diramalkan .
h. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
i. Kontak mata minimal atau tidak ada.
j. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda,
dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan
sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap
nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak
menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
k. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional

12
l. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara
tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang
tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol.
Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa,
kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
m. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi
secara fungsional.
n. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan
mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan
berjingkat-jingkat.
Ciri yang khas pada anak yang austik :
1) Defisit keteraturan verbal.
2) Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
3) Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau
dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
1) Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
2) Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
3) Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak
fleksibel dan tidak imajinatif.
4) Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya:
1. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi
tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat
dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak
berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak
tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak
makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik
pada kedua tangannya sendiri.
2. Pada usia 2-3 tahun dengan gejala suka mencium atau menjilati benda-
benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain
sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau

13
sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua
orang tuanya.
3. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak
merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila
anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-
ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama),
dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya
bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat
diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang,
melukai dan merangsang diri sendiri.

2.4 Patofisiologi Autisme

Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik
(dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu
(korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak
berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps. Sel saraf
terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga,
pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan
sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa
bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini

14
dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai
brain growth factors dan proses belajar anak. Makin banyak sinaps terbentuk,
anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung
pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar
menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak
yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit,
dan sinaps. Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak
adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses
tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan
abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan
neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4,
vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang
merupakan zat kimia otak untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi,
diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth
factors ini penting bagi pertumbuhan otak. Peningkatan neurokimia otak
secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu.
Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without guidance sehingga
bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan. Pertumbuhan
abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir
semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar
hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme.
Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia
(jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi
pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara
abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived
neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila
autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan
gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan. Degenerasi
sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi
gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika

15
dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti
thalidomide. Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal
mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-
motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak
kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi
atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi
lingkungan.

16
PATHWAY AUTISME

17
2.5 Klasifikasi Autisme
a. Autisme persepsi

Autisme persepsi dianggap autisme asli dan disebut juga autisme internal
(endogenous) karena kelainan sudah timbul sebelum lahir, gejala yang
diamati, antara lain:
1. Rangsangan dari luar baik yang kecil maupun yang kuat, akan
menimbulkan kecemasan.
2. Banyaknya pengaruh rangsangan dari orang tua, tidak bisa ditentukan.
3. Pada kondisi begini, baru orang tua mulai peduli atas kelainan
anaknya, sambil terus menciptakan rangsangan-rangsangan yang
memperberat kebingungan anaknya, mulai berusaha mencari
pertolongan
4. Pada saat ini si Bapak malah sering menyalahkan Si Ibu kurang
memiliki keekaan naluri keibuan.
b. Autisme reaktif
Pada autisme reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu
berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang-kejang. Gejala yang
dapat diamati, antara lain:
1. Autisme ini biasa mulai terlihat pada anak usia lebih besar (6-7 tahun)
sebelum anak memasuki tahap berpikir logis. Namun demikian, bisa
saja terjadi sejak usia minggu-minggu pertama.

18
2. Mempunyai sifat rapuh, mudah terkena pengaruh luar yang timbul
setelah lahir, baik karena trauma fisisk atau psikis. Tetapi bukan
disebabkan karena kehilangan ibu.
3. Setiap kondisi, bisa saja merupakan trauma pada anak yang berjiwa
rapuh ini, sehingga mempengaruhi perkembangan normal kemudian
harinya.
c. Autisme yang timbul kemudian
Kalau kelainan dikenal setelah anak agak besar tentu akan sulit
memberikan pelatihan dan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang
sudah melekat, ditambah beberapa pengalaman baru dan mungkin
diperberat dengan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah lahir.

2.6 Pemeriksaan Penunjang Penyakit Autisme


Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu mendiagnosis ADS:
a. Pemeriksaan EEG untuk memeriksa gelombang otak yang menunjukkan
gangguan kejang, diindikasikan pada kelainan tumor dan gangguan otak.
EEG dilakukan dengan meletakkan elektroda pada kulit kepala tanpa
memasukkan apapun ke dalam otak. Elektroda tersebut digunakan untuk
membaca aktivitas listrik syaraf pada 19 area penting pada otak.
Pemeriksaan EEG penting karena walaupun tanpa keluhan kejang atau
diagnosa epilepsi secara formal, 60-80% individu autistik memiliki
aktivitas otak yang mencerminkan kejang bernama epileptiform. Karena
kejang tersebut tak terlihat, seringkali hal ini terlewatkan oleh orang tua
anak autistik.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan CAT Scans (Computer Assited
Axial Tomography): sangat menolong untuk mendiagnosis kelainan
struktur otak, karena dapat melihat struktur otak secara lebih detail.
c. Pemeriksaan genetic dengan melalui pemeriksaan darah adalah untuk
melihat kelainan genetik, yang dapat menyebabkan gangguan
perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkkan bahwa penyandang
autism telah dapat ditemukan pola DNA dalam tubuhnya.

19
2.7 Penatalaksanaan Penyakit Autisme
a. Pendekatan Edukatif

Anak dengan autisme seharusnya mendapat pendidikan khusus.


Rencana pendidikan sebaiknya dibuat secara individual sesuai dengan
kebutuhan masing-masing anak. Yang terbaik bagi mereka adalah suatu
bentuk pelatihan yang sangat terstruktur, sehingga kecil kesempatan bagi
anak untuk melepaskan diri dari teman-temannya, dan guru akan segera
bertindak bila melihat anak melakukan aktivitas sendiri. Dalam pelajaran
bahasa, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam
berkomunikasi bila fokus pembicaraan mengenai hal-hal yang ada dalam
kehidupan sehari-hari. Pada beberapa anak bisa dicoba dengan melatih
bahasa isyarat.

b. Psikoterapi
Psikoterapi individual dapat membantu mereka mengatasi
kecemasan / depresi maupun perasaan tertekan karena merasa dirinya
berbeda dengan orang lain. Tepatnya, yang bersangkutan akan diajarkan
berperilaku sosial yang tepat.

20
Dengan demikian, depresi sosialnya yang kaku dan terbatas,
diharapkan dapat diatasi secara perlahan. Konseling kelompok ini
sebaiknya diberikan ketika diagnosis autisme pertama kali diberikan
hingga akan memberi manfaat pada orang tua untuk membantu menerima
kenyataan pahit tersebut.

c. Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi


keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan
keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku
destruktif dan agresif dapat diubah dengan menagement perilaku. Latihan
dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan operant konditioning
yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif).
Merupakan metode untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan
sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran diperlukan karena kemajuan
pada anak autis lambat. Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani
perilaku mencelakkan diri sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik
dan menarik diri dari pergaulan sosial. Antagonis opiat dapat mengatasi
perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu terapi kemampuan bicara
dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan latihan
antar perorangan terstruktur dapt digunakan. Masalah perilaku yang biasa
seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat
klorpromasin atau tioridasin. Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan

21
responsedatif seperti kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti
konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi
dengan diit bebas aditif atau pengawet. Dapat disimpulkan bahwa terapi
pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat waktu serta program terapi
yang menyeluruh dan terpadu.
d. Terapi untuk anak Autisme
Jenis-jenis terapi untuk anak autis yang dapat dilakukan antara lain:
1. Terapi musik. Musik sangat efektif untuk memancing dan
mempertahankan konsentrasi, serta sangat efektif untuk merangsang
bagian-bagian otak. Musik merupakan sarana pengingat yang efektif.
Musik memberikan sosial, membentk seting terstruktur guna
komunikasi verbal maupun nonverbal. Musik dapat membangun
idetifikasi dan ekspresi emsi yang sesuai.
2. Terapi Okupasi. Terapi okupasi berguna untuk melatih otot-otot halus
anak. Menurut penelitian, hamper semua kasus anak autistic
mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-
geriknya sangat kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
benda dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan
menyuapkan makanan ke dalam mulutnya,dsb. Dengan terapi ini anak
akan dilatih untuk membuat semua otot dalam tubuhnya berfungsi
dengan tepat.
3. Terapi Integrasi Sensoris. Terapi ini berguna meningkatkan
kematangan susunan saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk
memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini merangsang koneksi
sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian bisa meningkatkan
kapasitas untuk belajar.
4. Terapi Fisik. Beberapa penyandang autism memiliki gangguan
perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang tonus ototnya lembek
sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya juga kurang
bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot-otot dan memperbaiki keseimbangan
tubuh anak.

22
5. Terapi Wicara. Hampir semua anak dengan asutism mempunyai
kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup
berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan
bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.
6. Terapi Perkembangan. Terapi ini didasari oleh adanya keadaan bahwa
anak dengan autis melewatkan atau kurang sedikit bahkan banyak
sekali kemampuan bersosialisasi.yang termasuk terapi perkembangan
misalnya Floortime, dilakukan oleh orang tua untuk membantu
melakukan interaksi dan kemampuan bicara.
7. Terapi Visual. Individu autistic lebih mudah belajar dengan melihat.
Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode
belajar berkomunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa video games
bisa juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.
8. Terapi Diet. Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya,
orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti
menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan
kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam
keluarga “rumput” seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley.
Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan
tepung bahan sejenis. Sedangkan jenis bahan makanan sumber kasein
adalah susu sapi segar (mengandung 80% kasein), susu skim, tepung
susu, dan produk olahan susu seperti, keju, mentega, margarine, krim,
yoghurt, es krim (Hariyadi, 2009). Meskipun masih kontroversial
namun teori adanya kelainan peptida di otak yaitu ditemukannya
gliodorphin dan casomorphin, adanya zat tersebut pada penderita dapat
dideteksi dengan pemeriksaan tes peptida urin dimana ditemukan zat
sejenis opioid yang merupakan hasil pencernaan yang tidak sempurna
dari gluten dan kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal ini yang
mendasari diet bebas gluten dan kasein bagi penyandang autisme
karena gluten dan kasein dapat menjadi racun / toksik bila dikonsumsi
(Veskarisyanti, 2008). Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan
kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu

23
timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan
karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak
mengandung gluten. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet
khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1‐3 minggu.
Menghindari makanan sumber gluten dan kasein meningkatkan
perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah beberapa bulan
menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut
tidak cocok dan anak dapat diberi makanan seperti
sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil penelitian oleh Ishak (2008),
menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian diet terhadap
perkembangan anak autisme. Sedangkan menurut,tidak ada efek
khusus pada perkembangan prilaku dengan terapi diet bebas gluten dan
kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak berkaitan dengan
sifat agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka, dikarenakan
banyak faktor yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi
mana yang paling sesuai dan efektif pada masing-masing anak.
Didalam penelitan responden penelitian tidak mengalami perubahan
dalam pola aktivitas dan frekuensi tidur. Anak-anak menunjukkan
peningkatan kecil dalam sosial, bahasa dan minat setelah diberikan
terapi gluten dan kasein dan diukur gejala yang timbul dengan Ritvo
Freeman Real Life Rating Scale namun tidak mencapai signifikansi
statistik. Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna,
penambah rasa sintetis, aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida
yang mungkin ada dalam makanan dapat memperparah keadaan anak
autis. Contoh bahan makanan yang mengandung zat aditif adalah sosis,
kornet, chicken nugget dan lain-lain. Beberapa zat pewarna merusak
DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Sedangkan zat penambah
rasa seperti MSG dapat mempengaruhi saraf otak. Diet bebas fenol
dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis pengaturan
pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa salisilat
mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan makanan
yang harus dihindari adalah almond, apel, tomat, mangga muda dan

24
alpokat. Efek yang dimungkinkan dari bahan makanan yang
mengandung salisilat dapat memperberat kebocoran usus (Budhiman,
2002). Diet bebas fenol dimaksudkan untuk menghindari jenis bahan
makanan yang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme karena dapat
memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan
makanan ini berupa jus apel, jus jeruk, coklat, dan anggur merah
(Hariyadi, 2009). Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan
pola makan, disarankan juga untuk mengkonsumsi berbagai suplemen
bagi anak autisme. Suplemen-suplemen tersebut adalah vitamin C,
mineral Zn, enzim, melatonin (semacam hormone untuk memperbaiki
jam biologis tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002).

2.7 Pencegahan Penyakit Autisme


Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko
terjadinya gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan
dapat dilakukan strategi pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan
faktor resiko dapat diketahui dengan jelas. Berbeda dengan kelainan autis,
karena teori penyebab dan faktor resiko belum masih belum jelas maka
strategi pencegahan mungkin tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam
kondisi seperti ini upaya pencegahan tampaknya hanya bertujuan agar
gangguan perilaku yang terjadi tidak semakin parah bukan untuk mencegah
terjadinya autis. Upaya pencegahan tersebut berdasarkan teori penyebab
ataupun penelitian faktor resiko autis. Pencegahan ini dapat dilakukan sedini
mungkin sejak merencanakan kehamilan, saat kehamilan, persalinan dan
periode usia anak. Pencegahan dapat dilakukan diantranya sesuai faktor
penyebab:
a. Pencegahan Sejak Kehamilan
Untuk mencegah gangguan perkembangan sejak kehamilan, kita harus
melihat dan mengamati penyebab dan faktor resiko terjadinya gangguan
perkembangan sejak dalam kehamilan. Untuk mengurangi atau
menghindari resiko yang bisa timbul dalam kehamilan tersebut dapat
melalui beberapa cara. Adapun cara untuk mencegah terjadinya

25
gangguan tumbuh kembang sejak dalam kehamilan tersebut diantaranya
adalah periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan
kandungan lebih awal, kalu perlu berkonsultasi sejak merencanakan
kehamilan. Melakukan pemeriksaan skrening secara lengkap terutama
infeksi virus TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, herpes
atau hepatitis). Periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan
kandungan secara rutin dan berkala, dan selalu mengikuti nasehat dan
petunjuk dokter dengan baik. Bila terdapat peradarahan selama
kehamilan segera periksa ke dokter kandungan. Perdarahan selama
kehamilan paling sering disebabkan karena kelainan plasenta. Kondisi
tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke
bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan pada
awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi
lahir berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah juga merupakan
resiko tinggi terjadinya autism dan gangguan bahasa lainnya. Berhati-
hatilah minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke
dokter terlebih dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan
terutama trimester pertama. Peneliti di Swedia melaporkan pemberian
obat Thaliodomide pada awal kehamilan dapat mengganggu
pembentukan sistem susunan saraf pusat yang mengakibatkan autism dan
gangguan perkembangan lainnya termasuk gangguan berbicara. Bila bayi
beresiko alergi sebaiknya ibu mulai menghindari paparan alergi berupa
asap rokok, debu atau makanan penyebab alergi sejak usia di atas 3
bulan. Hindari paparan makanan atau bahan kimiawi atau toksik lainnya
selama kehamilan. Jaga higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan
lingkungan. Konsumsilah makanan yang bergizi baik dan dalam jumlah
yang cukup. Sekaligus konsumsi vitamin dan mineral tertentu sesuai
anjuran dokter secara teratur. Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi,
yaitu kondisi alergi pada janin yang diakibatkan masuknya bahan
penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, bila dilihat
adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang
berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga

26
dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya
oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik
lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan gerakan
hiccups/cegukan pada janin yang berlebihan terutama pada malam hari
serta terdapat gejala alergi atau sensitif pencernaan salah satu atau kedua
orang tua. Sebaiknya ibu menghindari atau mengurangi makanan
penyebab alergi sejak usia kehamilan di atas 3 bulan. Hindari asap rokok,
baik secara langsung atau jauhi ruangan yang dipenuhi asap rokok.
Beristirahatlah yang cukup, hindari keadaan stres dan depresi serta selalu
mendekatkan diri dengan Tuhan.
b. Pencegahan Saat Persalinan
Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi
selanjutnya. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang paling
berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ
tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif
dan peka terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat
mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam perkembangan dan
perilaku anak nantinya. Beberapa hal yang terjadi saat persalinan yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya perkembangan dan perilaku pada
anak, sehingga harus diperhatikan beberapa hal penting. Melakukan
konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan tentang
rencana persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang
resiko yang bisa terjadi selama persalinan. Bila terdapat resiko dalam
persalinan harus diantisipasi kalau terjadi sesuatu. Baik dalam hal
bantuan dokter spesialis anak saat persalinan atau sarana perawatan
NICU (Neonatologi Intensive Care Unit) bila dibutuhkan. Bila terdapat
faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu cepat,
asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR
SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, persalinan lama,
letak presentasi bayi saat lahir tidak normal, berat lahir rendah ( < 2500
gram) maka sebaiknya dilakukan pemantauan perkembangan secara
cermat sejak usia dini.

27
c. Pencegahan Sejak Usia Bayi
Setelah memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus
diwaspadai dan dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan
terapi dan intervensi secara dini bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala
atau tanda gangguan perkembangan. Adapun beberapa tindakan
pencegahan yang dapat dilakukanl. Amati gangguan saluran cerna pada
bayi sejak lahir. Gangguan teresebut meliputi : sering muntah, tidak
buang besar setiap hari, buang air besar sering (di atas usia 2 minggu
lebih 3 kali perhari), buang air besar sulit (mengejan), sering kembung,
rewel malam hari (kolik), hiccup (cegukan) berlebihan, sering buang
angin. Bila terdapat keluhan tersebut maka penyebabnya yang paling
sering adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Jalan terbaik
mengatasi ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari
dan menghindari makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran
cerna yang berkepanjangan akan dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak. Bila terdapat
kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian vitamin
nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi
harus dicari penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan
jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, maka harus
dilakukan perawatan oleh dokter ahli. Harus diamati tanda dan gejala
autism secara cermat sejak dini. Demikian pula bila terjadi gangguan
neurologi atau saraf seperti trauma kepala, kejang (bukan kejang demam
sederhana) atau gangguan kelemahan otot maka kita harus lebih cermat
mendeteksi secara dini gangguan perkembangan. Pada bayi prematur,
bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi), infeksi berat saat
usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat bayi harus
dilakukan monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat
terutama gangguan perkembangan dan perilaku pada anak. Bila
didapatkan penyimpangan gangguan perkembangan khususnya yang
mengarah pada gangguan perkembangan dan perilaku maka sebaiknya
dilakukan konsultasi sejak dini kepada ahlinya untuk menegakkan

28
diagnosis dan intervensi sejak dini. Selanjutnya kita harus mengamati
secara cermat tanda dan gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan
gejala autism pada usia dini, kalau perlu dilakukan intervensi sejak dini
dalam hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita melakukan
intervensi kejadian autism dapat kita cegah atau paling tidak kita
minimalkan keluhan yang akan timbul. Bila resiko itu sudah tampak pada
usia bayi maka kondisi tersebut harus diminimalkan bahkan kalau perlu
dihilangkan.

2.8 Komplikasi Penyakit Autisme


Penderita ASD, mungkin akan mengalami masalah sensorik, kejang,
gangguan kesehatan mental, atau komplikasi lainnya.
a. Masalah sensoris
Jika memiliki ASD, mungkin sangat sensitif terhadap masukan sensorik.
Sesuatu yang biasa seperti suara keras atau lampu terang dapat
menyebabkan ketidaknyamanan emosional yang signifikan. Sebagai
alternatif, mungkin tidak merespons sama sekali terhadap beberapa
sensasi, seperti panas yang ekstrim, dingin, atau nyeri.
b. Kejang
Kejang umum terjadi pada orang dengan ASD. Mereka sering dimulai di
masa kanak-kanak atau masa remaja.
c. Masalah kesehatan mental
Memiliki ASD membuat berisiko mengalami depresi, kegelisahan,
perilaku impulsif, dan perubahan suasana hati.
d. Gangguan mental
Banyak orang dengan ASD memiliki beberapa tingkat gangguan mental.
Anak-anak dengan sindrom X rapuh lebih mungkin untuk
mengembangkan ASD. Sindrom ini disebabkan oleh cacat pada bagian
kromosom X. Ini adalah penyebab umum kerusakan mental, terutama di
kalangan anak laki-laki.

29
e. Komplikasi lain
Masalah lain yang dapat menyertai ASD termasuk agresi, kebiasaan tidur
yang tidak biasa, kebiasaan makan yang tidak biasa, dan masalah
pencernaan

2.9 Asuhan Keperawatan Teori Penyakit Autisme


A. Pengkajian
1. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga.
2. Riwayat keluarga yang terkena autisme.
3. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan.
a. Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
b. Cedera otak
4. Status perkembangan anak.
a. Anak kurang merespon orang lain.
b. Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
c. Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
d. Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
e. Keterbatasan Kongnitif.
5. Pola Aktivitas
Pada anak-anak yang mengalami autisme mereka lebih sering untuk
melakukan aktifitas yang menjadi rutinitas yang dilakukan untuk
setiap harinya, kegiatan terbatas, tidak ada rasa semangat.
6. Pengkajian data focus pada anak dengan gangguan perkembangan
pervasive menurut Isaac, A (2005) dan Townsend, M.C (1998) antara
lain:
a. Tidak suka dipegang
b. Rutinitas yang berulang
c. Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan
d. Terpaku pada benda mati
e. Sulit berbahasa dan berbicara
f. 50% diantaranya mengalami retardasi mental

30
g. Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan
emosi diri sendiri dengan orang lain
h. Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan
dengan orang lain
i. Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri
sendiri dengan orang lain
j. Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang
lain atau gerakkan-gerakkan mimik orang lain
k. Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan
ketidakmatangan stuktur gramatis, ekolali, pembalikan
pengucapan, ketidakmampun untuk menamai benda-benda,
ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan abstrak,
tidak adanya ekspresi nonverbal seperti kontak mata, sifat
responsif pada wajah, gerak isyarat.
7. Pemeriksaan fisik
a. Tidak ada kontak mata pada anak.
b. Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh).
c. Terdapat Ekolalia.
d. Tidak ada ekspresi non verbal.
e. Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
f. Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
g. Peka terhadap bau.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk percaya pada orang lain.
2. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan
ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan
ketidakmampuan mengungkapkan perasaan.
3. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan kurang
pengawasan.
4. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak.

31
C. Intervensi Keperawatan
1. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
percaya pada orang lain.
Tujuan : Klien mau memulai interaksi dengan pengasuhnya
Intervensi: :
a. Batasi jumlah pengasuh pada anak.
b. Tunjukan rasa kehangatan/keramahan dan penerimaan pada anak.
c. Tingkatkan pemeliharaan dan hubungan kepercayaan.
d. Motivasi anak untuk berhubungan dengan orang lain.
e. Pertahankan kontak mata anak selama berhubungan dengan orang
lain.
f. Berikan sentuhan, senyuman, dan pelukan untuk menguatkan
sosialisasi.
2. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan
ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan
ketidakmampuan mengungkapkan perasaan.
Tujuan : Klien dapat berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan
kepada orang lain.
Intervensi :
a. Pelihara hubungan saling percaya untuk memahami komunikasi
anak.
b. Gunakan kalimat sederhana dan lambang/maping sebagai media.
c. Anjurkan kepada orang tua/pengasuh untuk melakukan tugas
secara konsisten.
d. Pantau pemenuhan kebutuhan komunikasi anaksampai anak
menguasai.
e. Kurangi kecemasan anak saat belajar komunikasi.
f. Validasi tingkat pemahaman anak tentang pelajaran yang telah
diberikan.
g. Pertahankan kontak mata dalam menyampaikan ungkapan non
verbal.

32
h. Berikan reward pada keberhasilan anak.
i. Bicara secara jelas dan dengan kalimat sederhana.
j. Hindari kebisingan saat berkomunikasi.
3. Risiko tinggi cidera: menyakiti diri berhubungan dengan kurang
pengawasan.
Tujuan : Klien tidak menyakiti diriya.
Intervensi :
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Alihkan prilaku menyakiti diri yang terjadi akibat respon dari
peningkatan kecemasan.
c. Alihkan/kurangi penyebab yang menimbulkan kecemasan.
d. Alihkan perhatian dengan hiburan/aktivitas lain untuk
menurunkan tingkat kecemasan.
e. Lindungi anak ketika prilaku menyakiti diri terjadi.
f. Siapkan alat pelindung/proteksi.
g. Pertahankan lingkungan yang aman.
4. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak.
Tujuan : Kecemasan berkurang/tidak berlanjut.
Intervensi :
a. Tanamkan pada orang tua bahwa autis bukan aib/penyakit.
b. Anjurkan orang tua untuk membawa anak ke tempat terapi yang
berkwalitas baik serta melakukan secara konsisten.
c. Berikan motivasi kepada orang tua agar dapat menerima kondisi
anaknya yang spesial.
d. Anjurkan orang tua untuk mengikuti perkumpulan orang tua
dengan anak autis, seperti kegiatan Autis Awareness Festifal.
e. Berikan informasi mengenai penanganan anak autis.
f. Beritahukan kepada orang tua tentang pentingnya menjalankan
terapi secara konsisten dan kontinue.

33
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara
klinis ditandai oleh gejala-gejala diantaranya kualitas yang kurang dalam
kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam
kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak
wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu
tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang
terlihat sebelum usia 3 tahun. Sampai saat ini penyebab pasti autis belum
diketahui, tetapi beberapa hal yang dapat memicu adanya perubahan genetika
dan kromosom, dianggap sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian
autis pada anak, perkembangan otak yang tidak normal atau tidak seperti
biasanya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada neurotransmitter,
dan akhirnya dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku pada penderita.
Dalam kemampuan intelektual anak autis tidak mengalami keterbelakangan,
tetapi pada hubungan sosial dan respon anak terhadap dunia luar, anak sangat
kurang. Anak cenderung asik dengan dunianya sendiri. Dan cenderung suka
mengamati hal – hal kecil yang bagi orang lain tidak menarik, tapi bagi anak
autis menjadi sesuatu yang menarik.
Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan
normal seperti anak pada umumnya, dan melatih anak untuk bisa
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

3.2 Saran
Hendaknya saat hamil ibu harus memperhatikan asupan gizi yang baik
untuk anaknya serta bagi orang tua yang memiliki anak autisme harus
memperbanyak pengetahuan tentang autisme agar mengetahui bagaimana
cara menangani anak autis dengan baik.

34
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vo. 1,
Alih Bahasa Prof. DR. Dr. A. Samik Wahab, Sp. A (K). Jakarta: EGC
Budhiman,M.P.2002.Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan
Memperbaiki Metabolisme Tubuh. Jakarta: Penerbit Majalah Nirmala.
Mirza Maulana.2007. Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Menuju Anak
Cerdas dan Sehat.Yogyakarta:Kata Hati
Muhammad Budiman.1998.Pentingnya Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan
Terpadu Pada Autisme.Surabaya.
Sacharin, R.M. 1996.Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. Jakarta: ECG
Wardhani, Y. F. 2008. Apa dan Bagaimana Autisme; Terapi Medis Alternatif (pp.
1-37). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

35

Anda mungkin juga menyukai