Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata stres telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, stress
merupakan salah satu gejala psikologis yang dapat menyerang setiap orang.
Stres dapat timbul karena adanya konflik dan frustrasi. Sebagian besar orang
beranggapan bahwa yang dimaksud stres adalah sesuatu yang tidak
menyenangkan dan membuat orang tersebut merasa tidak nyaman,
bingung,mudah marah, tekanan darah meningkat, detak jantung lebih cepat,
gangguan pencernaan, dsb.
Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan
karena stress, disebut strain. Sedangkan Stresor adalah pengalaman seseorang
yang bisa menghasilkan dan menyebabkan stres, ataupun situasi/pengalaman
seseorang yang dapat menyebabkan tekanan yang dapat kita lihat dalam
ketidaknyamanan kehidupan sehari-hari, misalnya : penyakit flu yang diderita
seseorang dalam jangka waktu lama bahkan tahunan, adanya tugas yang yang
berlebihan sehingga bisa menyebabkan seseorang cemas dan takut untuk
menghadapinya, dll. Sebagian besar stres dapat dipicu karena pengaruh eksternal
dan ada pula yang dipengaruhi oleh faktor internal individu tersebut.Stres
internal, hal ini bisa berasal dari kondisi fisik seperti infeksi, radang dan
penyakit lain atau kondisi psikologis seperti rasa khawatir tentang kecelakaan,
phobia terhadap sesuatu dan penyebab lainnya stres eksternal, ini muncul dari
kondisi lingkungan yang kurang baik seperti suhu panas dan dingin atau stres
akibat kondisi lingkungan hidup seperti kondisi kerja yang buruk atau kehidupan
yang berantakan.
Jika stress terjadi secara berkelanjutan akan mempengaruhi kesehatan
jiwa. Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016) dalam
data KemenKes RI, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang
terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Di
Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan

1
keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah
yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas
manusia untuk jangka panjang.
Dalam hal ini, perawat harus mampu mengetahui stress secara umum
agar dapat diaplikasikan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan manajemen stress pada pasien dengan
gangguan psikososial .

C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan manajemen stress
pada pasien dengan gangguan psikososial.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam makalah ini, adalah mahasiswa mengetahui :
1. Definisi Stres
2. Model-Model Stress
3. Penyebab Stres
4. Faktor Yang Mempengaruhi Stres
5. Jenis Stress
6. Dampak Stress
7. Respon Stress
8. Tahapan Stres
9. Mekanisme Koping
10. Prinsip Dasar Mengelola Stres
11. Asuhan Keperawatan Pada Penderita Stres

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi Stress
Mc Nemey dalam Grenberg (1984, dalam Yosep, 2013) menyebutkan
stress sebagai reaksi fisik, mental, dan kimiawi dari tubuh sebagai situasi yang
menakutkan, mengejutkan membingungkan, membahayakan dan merisaukan
seseorang.Menurut Hardjana (1994, dalam Yosep, 2013) stress sebagai keadaan
atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang mengalami stress dan
hal yang dianggap mendatangkan stress membuat orang yang bersangkutan
melihat ketidaksepadanan antara keadaan atau kondisi dan system sumber daya
niologis, psikologis, dan social yang apa adanya.
Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa pada diri seseorang
(stressor psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi/faal organ tubuh.
Reaksi tubuh (fisik) ini dinamakan stress; dan manakala fungsi organ-organ
tubuh itu sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi dalam reaksi
kejiwaan seseorang terhadap stress yang dialaminya. Oleh Karena dalam diri
manusia itu antara fisik dan psikis (kejiwaan) itu tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya (saling mempengaruhi), maka istilah stress dan depresi
dianggap sebagai kesatuan reaksi kejiwaan yang lainnnya yang erat
hubungannya dengan stress adalah kecemasan (anciety).

B. Model-Model Stress
1. Model Stress Berdasarkan Stimulus
Model stimulus berdasarkananalogidengan hokum elastisitas. Hooke
menjelaskan hokum
elastisitasuntukmenguraikanbagaimanabebandapatmenimbulkankerusakan.
Jika strain yang dihasilkanoleh stress yang
diberikanberadapadabataselastisitasdarimaterialtersebutakankembalikekondi
si semula., tetapijika strain yang
dihasilkanmelampauibataselastisitasnyamakakerusakanakanterjadi.

3
Pendekatan model stimulus inimenganggap stress sebagaiciri-ciridari
stimulus lingkungan yang
dalambeberapahaldianggapmenggangguataumerusak, model yang
digunakan, padadasarnyaadalah stressor eksternalakanmenimbulkanreaksi
stress atau strain dalamdiriindividu. Pendekataninimenepatkan stress
sebagaisesuatu yang dipelajaridanmenekankanpada stimulus apa yang
merupakandiagnosa stress.
2. Model Stress BerdasarkanRespon
Model inimengidentifikasi stress sebagairesponindividuterhadap stressor
yang diterima. Selye (1982) menjelaskan stress sebagairespon non spesifik
yang timbulterhadaptuntutanlingkungan, responumuminidisebutsebagai
General Adaptation Syndrome (GAS) dandibagidalamtigafaseyaitu:
fasesinyal, faseperlawanan, danfasekeletihan. Reaksi alarm
merupakanresponsiaga (fight or flight).
3. Model Stress BerdasarkanTransaksional
Pendekataninimengacupadainteraksi yang
timbulantaramanusiadanlingkungannya.
Antarvariablelingkungandanindividuterhadap proses penilaiankognitif
(cognitive appraisal yang menjadimediatornya. Studi yang
berlandaskanpadapendekataninimenyimpulkanbahwakitatidakakandapatmem
prediksikanpenampilanseseoranghanyadenganmengenali stimulus,
individubervariasidalammenyesuaikandiridenganlingkungannyayaitudengan
melakukankopingterhadapberbagaituntutan.

C. Penyebab Stres
Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang
mengakibatkan terjadinya respon stress. Stresor dapat berasal dari berbagai
sumber baik dari kondisi fisik, pikologis, maupun sosial dan juga muncul pada
situasi kerja, dirumah dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainya
(Patel,1996 dalam Nasir). Secara garis besar, stresor bisa dikelompokan menjadi
dua.

4
1. Stresor mayor, yang berupa major live events yang meliputi peristiwa
kematian orang yang disayangi, masuk sekolah untuk pertama kali, dan
perpisahan.
2. Stresor Minor, yang biasanya berawal dari stimulus tentang masalah hidup
sehari-hari, masalnya ketidaksenangan emosional terhadap hal-hal tertentu
sehingga menyebabkan munculnya stres (brantley,dkk., 1998, dalam
Isnawarti, 1996).

D. Faktor Yang Mempengaruhi Stress


1. Faktor Presipitasi Stress
Beberapa faktor yang dianggap sebagai pemicu timbulnya stress (stresor)
yang disebut sebagai faktor preipitasi antara lain sebagai berikut.
a. Faktor Fisik dan Biologis
Berikut ini adalah beberapa faktor fisik dan biologis yang dapat menyebabkan
stress,
● Genetika
Banyak ahli beranggapan bahwa masa kehamilan
mempunyai keakraban dengan kemungkinan kerentangan stres
pada anak yang dilahirkan kondisi kondisi tersebut beberapa ibu
hamil yang perokok, alkoholik, dan penggunaan obat obatan yang
dilarang pada masa kehamilan, seperti : aspirin dan jenis obat
obatan analgetik.
● Case history.
Beberapa riwayat penyakit dimasa lalu yang mempunyai
efek psikologis dimasa depan dapat berupa penyakit dimasa kecil
seperti demam tinggi yang mempengaruhi kerusakan gendang
telinga, kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan oragan atau
bagian tubuh ( cacat) , patah tulang dan sebagainya.
● Pengalaman hidup
Mencakup case history dan pengalaman – pengalaman
hidup yang mempengaruhi prasaan independen yang menyangkut

5
kematangan organ – organ seksual pada masa remaja. Contoh ;
pada anak remaja yang mengalami keterlambatan pertumbuhan
payudara dibandingkan dengan kelompok bermainya akan
mempengaruhi perilakunya, atau pada anak laik laki yang mersa
minder karena pertumbuhan phalus yang terlambat dibandingkan
kelompik bermainya akan mendapat ejekan dari teman temannya
yang mempengaruhi rasa percaya diri ketika akan menikah.
● Tidur
Istirahat yang cukup akan memberikan energi pada
kegiatan yang sedang dilakukanya. Kebutuhan tidur akan
mempengaruhi konsentrasi, semangat, dan gairah terhadap
pekerjaan yang dilakuinnya. Penderita insomnia mempunyai
kerentangan terhadap stres yang lebih berat.
● Diet
Diet yang berlebihan dapat mengakibatkan stres berat.
Perilaku diet penderita obesitas yang melakukan diet ketat
berlebihan mempunyai resiko kematian yang tinggi, di Amerika
Serikat diperkirakan 6 diantara 10 orang yang melakukan diet
ketat ini menyebabkan kematia. Diet secara berlebihan
memungkinkan munculnya sindrom anoreksia.
● Postur tubuh
Dalam beberapa kasus, postur tubuh dapat beberapa
sebagai stresor, misalnya individu yang berkeinginan untuk
menjadi polisi atau tentara, batasan tinggi badan dapat menjadi
kendala bila yang bersangkutan tidak mencapai taraf yang telah
ditentukan. Individu yang memiliki kelainan bentuk tubuh, cacat
bawan, dan penggunaan steroid juga dapat memicu munculnya
stres pada individu.

● Penyakit
Bebrapa penyakit dapat menjadi stresor pada individu
berupa : tuberkulosis (TBC), kanker, impotensi yang disebabkan

6
oleh penyakit diabetes militus, dan berbgai penyakit lainnya.
Penyakit anemia dapat menimbulkan individu cepet merasa lelah
sehingga dapat menimbulkan rasa stres karena individu kurang
dapat bekerja secara maksimal.
b. Faktor Psikologis
Berikut iniadalah beberapa faktor psikologis yang dapat memicu
terjadinya stress.
● Persepsi
Kadar stres dalam suatu peristiwa sangat bergantung pada
bagaimana individu breaksi terhadap stres tersebut. Hal ini juga
dipengaruhi oleh bagaiman individu bersepsi terhapa stresor yang
muncul. Kadar stres tersebut sangat bergantung pada hal hal
berikut ini.
- Kontrol terhap stress. Individu dapat mengontrol stress yang
muncul, misalnya individu tersebut keluar dari lingkungan
dan pemikiran – pemikiran yang dapat merusak pemikiran
positif.
- Stress yang dapat diprediksi. Individu yang mempunyai
kesiapan terhadap pekerjaan yang mengandung risiko stress
akan lebih baik dibandingkan individu yang tidak siap sama
sekali.
- Kemampuan melawan batas. Individu yang beranggapan
bahwa stress sebagai tantangan yang mengasyikan akan
mempengaruhi kadar stress menjadi lebih rendah.
● Emosi
Emosi merupakan hal sangat penting dan kompleks dalam
diri individu. Perbedaan kemampuan untuk mengenal dan
membedakan setiap perasaan emosi sangat berpengaruh terhadap
stress yang sedang dialaminya. Stress dan emosi mempunyai
keterikatan yang saling mempengaruhi keduanya, seperti
kecemasan rasa bersalah, khawatir, ekspresi marah, rasa takut,
sedih, dan cemburu.

7
● Situasi Psikologis.
Hal – hal yang memengaruhi konsep berpikir (kognitif)
dan penilaian terhadap situasi – situasi yang memengaruhinya.
Situasi tersebut berupa konflik, frutasi, serta situasi atau kondisi
tertentu yang dapat memengaruhi penilian yang memberikan
ancaman bagi individu, misalnya tingkat kejahatan yang semakin
meningkat akan memberikan rasa kecemasan (stress).
● Pengalam hidup
Pengalaman hidup merupakan keseluruhan kejadian yang
memberikan pengaruh psikologis bagi individu. Kejadian tersebut
memberikan dampak psikologis dan memungkinkan munculnya
stres pada individu. Beberapa kejadian tersebut adalah sebagai
berikut.
- Perubahan hidup. Termasuk didalamnya berbagai kejadian
yang memberikan perubahan hidup secara mendadak, seperti
: perkawinan, perceraian, pindah tempat kerja, jadwal kerja
yang padat dan sebagainya.
- Masa transisi (life passages). Perubahan waktu yang
signifikan terhadap perubahan perilaku. Hal – ahal tersebut
termasuk masa pubertas atau masa pra – pensiun.
- Krisis kehidupan. Perubahan status radikal dalam kehidupan
seseorang kejadian – kejadian yang menyangkut krisis
kehidupan adalah pemecatan (PHK), bangkrut, hutang akibat
gagal panen, dan sebagainya.
c. Faktor Lingkungan
1. Lingkungan fisik. Kondisi atau kejadian yang berhungan dengan
keadaan sekeliling individu dapat memicu terjadi stres. Hal
tersebut dapat berupa bencana alam (disaster syndrome), seperti
gempa bumi, topan, badai, dan sebagainya. Hal hal lain yang
dapat menjadi stresor adalah kondisi cuaca (terlalu panas/dingin),
kondisi lingkungan yang dapat (over crowded), kemacetan,
lingkungan kerja yang kotor, dan sebagainya.

8
2. Lingkubgan biotik. Gangguan yang berasal dari makhluk
mikroskopik berupa virus atau bakteri. Misalnya penderita alergi
dapat menjadi stres bila lingkungan tempat tinggalnya bila
berada didalamnya.
3. Lingkungan sosial. Hubungan yang buruk dengan orang tua , bos,
atau rekan kerja adalah hal hal yang berhubungan dengan orang
lain, yang apabila tidak berjalan dengan baik akan menjadi
stresor bagi individu jika tidak dapat memperbaiki hubunganya.

E. Jenis Stress
Ada 2 jenis stress, yaitu baik dan buruk. Stress melibatkan perubahan
fisiologis yang kemungkinan dapat dalam sebagai perasaan yang baik
anxiousness.
1. Stress yang baik atau eustres adalah sesuatu yang positif. Stress
dikatakanberdampak baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi
tuntutan untuk menjadikan orang lain maupun dirinya sendiri mendapatkan
sesuatu yang baik dan berharga. Dengan stress yang baik, semua pihak
merasa diuntungkan.
2. Stress yang buruk atau distres adalah stres yang bersifat negatif. Distres
dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, dimana
respons yang digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu
integritas diri sehingga bisa diartikan sebagai sebuah ancaman. Distres akan
menempatkan pikiran dan perasaan kita pada tempat dan suasana yang serba
sulit. Hal tersebut dikarenakan cara memandang suatu masalah hanya dilihat
dari sisi yang sempit dan merugikan saja. Belum pernah dieksplorasi betapa
sebuah kejadian ini membawa makna yang luas sebagai suatu pelajaran yang
berharga dan bermakna untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain.
a. Frustasi, kondisi dimana seseorang merasa jalan yang akan di tempuh
untuk meraihtujuan dihampat.
b. Konflik, kondisi ini muncul ketika dua atau lebih perilaku saling
berbenturan, dimana masing- masing perilaku tersebut butuh untuk
diekspresikan atau saling memberatkan.

9
c. Perubahan, kondisi yang dijumpai ternyata merupakan kondisi yang
tidak semestinya serta membutuhkan adanya suatu penyesuaian
d. Tekanan,kondisi dimana terdapat suatu harapan atau tuntutan yang
sangat besar terhadap seseorang untuk melakukan perilaku tertentu.

F. Dampak Stress
Sebenarnya stress tidak selalu memberikan dampak negatif karena stress
juga bisa berdampak positif kepada manusia. Stress ibarat dua sisi mata uang
logam, yaitu memiliki sisi baik dan sisi buruk. Stress yang memberikan dampak
positif diistilahkan dengan Eustress, dan stres yang memberikan dampak negatif
distilahkan dengan distress (Gadzella, Baloglu, Masten & Wang,2012).
Kupriyanov dan Zhdanov (2014) menyimpulkan bahwa hasil reaksi tubuh
terhadap sumber – sumber stres merupakan eustress. Ketika eustress (stres yang
berdampak baik) dialami seseorang, maka terjadilah peningkatan kinerja dan
kesehatan (Greenberg, 2008). Sebaliknya ketika seseorang mengalami distress
(stres yang berdampak buruk), maka mengkibatkan semakin buruknya kinerja,
kesehatan dan timbul gangguan hubungan dengan orang lain.
Sejumlah peneliti telah melakukan penginvesitigasian tentang dampak
yang bisa ditimbulkan oleh stress terhadap manusia. Misalnya, Jarinto (2010)
meneliti para karyawan yang ada di Thailand. Penelitian tersebut melibatkan 160
karyawan yang sudah bekerja minimal selama satu tahun di perusahaan. Jarinto
(2010) menemukan bahwa eustress merupakan faktor penentu yang mendorong
karayawan untuk mencapai kinerja maksimal dan adanya peningkatan kepuasan
kerja. Selain itu, jumlah distress yang begitu banyak secara signifikan
berkontribusi mendorong terjadinya penyakit baik secara fisik maupun
psikologis terhadap karyawan tersebut. Jovanovic, Lazaridis, dan Stefanovic
(2006) mengklasifikasikan gejala atau tanda yang di alami karyawan apabila
mereka mengalami stres. Pertama adalah gejala stress berkaitan dengan fisik,
yaitu: sakit kepala, masalah pencernaan, kurang tidur, gatal – gatal, nyeri ulu
hati, keringat malam, keinginan seksual yang berkurang, ketidakteraturan
menstruasi, nyeri punggung kronis, otot tegang, kehilangan nafsu makan, berat
badan. Kedua adalah gejala stres yang berkaitan dengan emosional atau mental,

10
yaitu: peningkatan kemarahan, frustrasi, depresi, kemurungan, kecemasan,
masalah dengan memori, kelelahan, dan peningkatan penggunaan nikotin,
alkohol dan obat-obatan. Ketiga adalah gejala stres berkaitan dengan kerja,
yaitu: peningkatan absensi, kecelakaan pada pekerjaan, keluhan dari rekan kerja,
penurunan kerja produktivitas, kesulitan dalam memahami peraturan kantor,
absensi dari pekerjaan, mengambil waktu rehat terlalu lama, waktu pribadi yang
berlebihan pada telepon atau internet.
Dalam lingkungan akademik telah ditemukan bahwa stres dapat
berdampak positif kepada siswa. Stress bisa berkontribusi positif kalau jumlah
stress tersebut adalah normal. Rafidah, et al. (2009) menyatakan bahwa
sebenarnya stress itu bisa memengaruhi aktifitas belajar dan memori seseorang.
Dalam proses belajar, dampak positif stress bisa dirasakan oleh siswa apabila
jumlah stress tersebut tidak melebihi kemampuan mereka. Jumlah stress yang
cukup atau normal itu sangatlah perlu karena bisa mengaktifkan kinerja otak.
Schwabe and Wolf (2012) menemukan bahwa stress bisa menyebabkan
berfungsinya beberapa sistem memori pada otak manusia. Penelitian tersebut
membuktikan bahwa setelah seseorang menerima stress, sistem berbasis corpus
striatum (pusat saraf yang berada di dalam otak hemisphere dekat thalamus)
dapat menggeser sistem berbasis hippocampus (bagian sistem limbik yang
bertugas penyimpan memori) untuk membantu kinerja tugas-tugas yang ada di
dalam otak. Atau dengan kata lain, dengan adanya stress yang diterima,
kemampuan sistem-sistem yang ada di otak pun bisa bekerja dengan optimal.
Dampak negatif stress (distress) bisa dirasakan oleh siswa ketika stres
tersebut melebihi kemampuan mereka untuk berurusan dengannya. Secara
khusus, stress bisa berdampak negatif terhadap kondisi belajar dan kemampuan
kognitif siswa. Penelitian Stallman (2010) yang melibatkan 6.479 siswa di
Australia mengungkapkan bahwa distress berkaitan dengan ketidakmampuan
dan penurunan prestasi akademik. Selain itu, Palmer (2013) juga melakukan
penelitian kepada sejumlah siswa di wilayah New York, Amerika Serikat. Hasil
penelitian Palmer mengungkapkan bahwa ada hubungan negatif antara fatique
(kelelahan) dan stress siswa. Dengan adanya hubungan kelelahan dan stress

11
siswa, maka terdapat juga pengaruh yang negatif terhadap proses belajar dan
kemampuan kognitif para siswa.
Lebih lanjut, beberapa peneliti lain telah menemukan bahwa stress bisa
meng-akibatkan siswa merasa depresi (Jayanthi, Thirunavukarasu & Rajkumar,
2015), kemampuan yang memburuk (Talib & Zia-ur-Rehman, 2012; Tan &
Winkelman, 2010), penurunan prestasi akademik (Stallman, 2010), dan kondisi
kesehatan yang memburuk (Marshall, Allison, Nyakap & Lanke, 2008). Ketika
siswa merasakan stress, maka gejala yang timbul adalah seperti perasaan cemas,
kegelisahan, keram di leher atau bahu, sakit kepala, kesulitan dalam bernafas,
selalu berpikir, kesulitan dalam berkonsentrasi, terlalu mencemaskan banyak
hal, dan mengkomsumsi obat-obatan secara berlebihan (Anggolla & Ongori,
2009). Penelitian yang dilakukan Carton dan Goodboy (2015) menemukan
bahwa siswa yang mengalami depresi, cemas, dan stres secara berlebih akan
cenderung kurang terlibat dalam berinteraksi di dalam kelas.

G. Tahapan Stres
Tahapan Stress Menurut Robert J. Van Amberg(psikiater) sebagai berikut.
a. Stress tingkat 1
Tahapan ini merupakan tingkat stress yang paling ringan, dan biasanya
disertai dengan perasaan-perasaan sebegai berikut:
● Semangat besar
● Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya
● Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan
lebih dari biasanya
Tahapan ini biasanya menyenangkan dan orang lalu bertambah
semangat, tapi tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan energi sedang
menipis.

b. Stress tingkat II
Dalam tahapan ini dampak stress yang menyenangkan mulai menghilang
dan timbul keluhan-krluhan dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup
sepanjang hari. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan sebagai berikut:
● Merasa letih sewaktu bangun pagi

12
● Merasa lelah sesudah makan siang
● Merasa lelah menjelang sore hari
● Terkadang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut
kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar-debar

c. Stress tingkat III


Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai dengan
gejala-gejala:
● Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang)
● Otot-otot terasa lebih tegang
● Perasaan tegang yang semakin meningkat
● Gangguan tidur (suka tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur
kembali, atau bangun terlalu pagi)
● Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan)
Pada tahap ini penderita sudah harus konsultasi pada dokter, kecuali
kalau beban stress atau tuntutan-tuntutan dikurangi dan tubuh mendapat
kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi, guna memulihkan suplai
energi.
d. Stress tingkat IV
Tahap ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut:

● Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit


● Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit
● Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial dan
kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat
● Tidur semakin sukar, mimpi;mimpi menegangkan,dan seringkali
terbangun dini hari
e. Stress tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendsalam dari tahap IV
diatas, yaitu:

● Keletihan yang mendalam (physical and psychologic exhaustion

13
● Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana
● Gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar
buang air besar atau sebaliknya feses cair dan sering ke belakang
● Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panic
f. Stress tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan
gawat darurat. Tidak jarang penderita dalam tahapan ini dibawa ke ICCU.
Gejala-gejala pada tahapan ini cukup mengerikan
● Debar jantung terasa amat keras, hal ini disebabkn zat asrenalin yang
dikeluarkan, karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah
.
● Nafas sesak, megap-megap
● Badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran
● Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan
atau collaps
Bilamana diperhatikan, maka dalam tahapan stress di atas,
menunjukkan manifestasi dibidang fisik dan psikis. Di bidang fisik berupa
kelelahan, sedangkan di bidang psikis berupa kecemasan dan depresi. Hal
ini dikarenakan penyediaan energi fisik maupun mental yang mengalami
defisit terus-menerus. Sering buang air kecil dan sukar tidur merupakan
pertanda dari depresi.

H. Respon Stress
1. Stres Reactivity
‘The fight-or-flight response’ disebut sebagai ‘stress reactivity’. Reaksi ini secara
garis besar mencakup meningkatnya ketegangan otot; meningkatnya detak jantung,
volume dan output stroke; meningkatnya tekanan darah; meningkatnya rangsangan
syaraf; kurangnya saliva (air liur) di mulut; meningkatnya penyimpanan sodium;
meningkatnya produksi peluh/keringat; perubahan kecepatan respirasi/pernafasan;
meningkatnya serum glukosa; meningkatnya pelepasan asam hidrokolik dalam perut;
perubahan gelombang otak; dan meningkatnya urinase. Reaksi ini mempersiapkan kita
untuk segera bertindak saat respon seperti itu dibenarkan/dapat dilakukan. Saat kita
membangun produk-produk stres yang tidak kita digunakan, reaksi stres ini menjadi
tidak sehat. Semakin lama (durasi) fisiologi kita bervariasi dari ukuran dasarnya dan

14
semakin besar (tingkat) varian dari ukuran dasar tersebut, maka semakin cenderung kita
mengalami efek illness yang diakibatkan dari stress reactivity ini (Greenberg, 2009).
Menurut Doughlas (1991), ;fight or flight’ yaitu reaksi sosiologis ataupun fisiologis
yang timbul apabila individu mengalami bahaya yang mengancam dirinya. Stres dapat
terjadi apabila seseorang tidak dapat mengatasi problemnya dikarenakan tekanan yang
dialami dan tidak dapat mengatasi problem dikarenakan tidak dapat mengambil
tindakan, ‘fight or flight’ (bertempur atau lari).
Dalam hal reactivity ini, Greenberg (2009) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
perbedaan antara cara pria dan wanita mengatasinya, dimana Shelly Taylor dan para
koleganya menemukan bahwa wanita cenderung memperlihatkan
aktivitas nurturing yang didesain untuk melindungi diri mereka dan orang lain dalam
upayanya mengatasi stres. Aktivitas ini disebut ’tend-and-befriend’. Para penulis
berargumen bahwa wanita lebih menggunakan kelompok sosial dalam merespon stres
ketimbang pria dan sebaliknya, pria lebih cenderung memperlihatkan ’flight-or-fight’
dalam merespon stres ketimbang wanita.

2. Adaptasi Fisiologis
Indikator fisiologis dari setres adalah objektif, lebih mudah diidentifikasi dan
secara umum dapat diamati atau diukur. Namun demikian, indikator ini tidak
selalu teramati sepanjang waktu pada semua klien yang mengalami setres, dan
indikator tersebut bervariasi menurut individunya. Tanda vital biasanya
meningkat, klien mungkin tampak gelisah, dan tidak mampu untuk beristirahat
dan berkonsentrasi. Indikator ini dapat timbul sepanjang tahap setres.
Durasi dan intensitas dari gejala secara langsung berkaitan dengan durasi dan
intensitas stresor yang diterima. Indikator fisiologis timbul dari berbagai sistem.
Oleh karena itu, pengkajian tentang setres mencakup pengumpulan data dari
semua sistem. Hubungan antara setres psikologis dan penyakit sering disebut
interaksi pikiran tubuh. Riset telah menunjukkan bahwa setres dapat
memengaruhi penyakit dan pola penyakit. Pada masa lalu, penyakit infeksi
adalah penyebab kematian paling utama, akan tetapi, sejak ditemukannya
antibiotik, kondisi kehidupan dan pengetahuan tentang nutrisi yang meningkat,
serta metode sanitasi yang lebih baik telah menurunkan angka kematian. Saat ini,
penyebab utama kematian adalah penyakit yang mencakup stresor gaya hidup.

15
3. Adaptasi Psikologis
Emosi kadang dikaji secara langsung atau tidak langsung dengan
mengamatiperilaku klien. Stress memengaruhi kesejahteraan emosional dalam
berbagai cara. Oleh karena kepribadian individual mencakup hubungan yang
kompleks diantara banyak faktor, maka reaksi terhadap stres yang berkepanjangan
ditetapkan dengan memeriksa gaya hidup dan stresor klien yang terakhir,
pengalaman terdahulu dengan stresor, mekanisme koping yang berhasil di masa
lalu, fungsi peran, konsep diri, dan ketabahan yang merupakan kombinasi dari tiga
karakteristik kepribadian yang diduga menjadi media terhadap stress. Ketiga
karakteristik ini adalah rasa kontrol terhadap peristiwa kehidupan, komitmen
terhadap aktivitas yang berhasil, dan antisipasi dari tantangan sebagai suatu
kesempatan untuk pertumbuhan (Wiebe dan Williams, 1992).

4. Adaptasi Perkembangan
Stres yang berkepanjangan dapat memengaruhi kemampuan untuk
menyelesaikan tugas perkembangan. Pada setiap tahap, seseorang biasanya
menghadapi tugas perkembangan dengan menunjukkan karakteristik perilaku dari
tahap perkembangan tersebut. Stres yang berkepanjangan dapat mengganggu atau
menghambat kelancaran menyelesaikan tahap perkembangan tersebut. Dalam
bentuk yang ekstrem, stres yang berkepanjangan dapat mengarah pada krisis
pendewasaan. Bayi atau anak kecil umumnya menghadapi stresor di rumah. Jika
diasuh dalam lingkungan yang responsif dan empati, merek mampu
mengembangkan harga diri yang sehat dan pada akhirnya belajar respons koping
adaptif yang sehat. Anak – anak usia sekolah biasanya mengembangkan rasa
kecukupan. Mereka mulai menyadari bahwa akumulasi pengetahuan dan
penguasaan ketrampilan dapat membantu mereka mencapai tujuan, dan harga diri
berkembang melalui hubungan berteman dan saling berbagi di antara teman. Pada
tahap ini, stres ditunjukkan oleh ketidaknmanpuan atau ketidak inginan untuk
mengembangkan hubungan berteman.

Remaja biasanya mengembangkan rasa identitas yang kuat, tetapi pada waktu
yang bersamaan perlu diterima oleh teman sebaya. Remaja dengan sistem
pendukung sosial yang kuat menunjukkan suatu peningkatan kemampuan untuk

16
menyesuaikan diri terhadap stresor , tetapi remaja tanpa sistem pendukung sosial
sering menunjukkan peningkatan masalah psikososial (Dubos, 1992). Dewasa
muda berada dalam transisi dari pengalaman masa remaja ke tanggung jawab
orang dewasa. Konflik dapat berkembang antara tanggung jawab pekerjaan dan
keluarga. Stresor mencakup antara harapan dan realitas.

5. Adaptasi (Mekanisme Penyesuaian Diri)


Ada beberapa pengertian tentang mekaisme penyesuaian diri, dantara lain :

a. W.A. Gerungan (1996) dalam Yosep (2014) menyebutkan bahwa


“penyesuaian diri adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan,
tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri)”.
Sebaliknya, apabila individu berusaha untuk mengubah lingkungan sesuai
dengan keinginan diri, sifatnya adalah aktif (alloplastis), misalnya seorang
bidan desa ingin mengubah perilaku ibu – ibu di desa untuk meneteki bayi
sesuai dengan manajgemen laktasi.

b. Menurut Soeharto Heerdjan (1987), “Penyesuaian diri adalah usaha atau


perilaku yang tujuannya mengatasi kesulitan dan hambatan”.Adaptasi
merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena belajar
dari pengalaman untuk mengatasi stres. Cara mengatasi stres dapat berupa
membatasi tempat terjadinya setres, mengurangi, atau menetralisasi
pengaruhnya.

Cara yang ditempuh dapat bersifat terbuka maupun tertutup, antara lain:

● Menghadapi tuntutan secara frontal (terang – terangan)


● Regresi (menarik diri) atau tidak tahu sama sekali
● Kompromi (kesepakatan).
Contoh:Seorang mahasiswa gagal dalam ujian akhir program, mungkin ia akan
bekerja keras (terang – terangan), regresi dengan keluar dari pendidikan, serta
mungkin mau mengulang lagi dengan berusaha semampunya (kompromi).

● Jenis Adaptasi
a. Adaptasi fisiologik–bisa terjadi secara lokal atau umum.

17
Contoh:
o Seorang yang mampu mengatasi stress tangan nya tidak berkeringat dan
tidak gemetar, serta wajahnya tidak pucat.
o Seorang yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berat da
merasa mengalami gangguan apa – apa pada organ tubuh.
● Adaptasi psikologi – bisa terjadi secara:
o Sadar: Individu mencoba memecahkan/menyesuaikan diri dengan
masalah

I. Mekanisme Koping pada Stress


Individu dari semua usia mengalami stress dan mencoba untuk mengatasinya.
Ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stress menimbulkan
ketidaknyamanan. Hal ini membuat seseorang menjadi termotivasi untuk
melakukan sesuatu demi mengurangi stress. Hal-hal yang dilakukan tersebut
merupakan bagian dari koping. Koping adalah proses di mana seseorang mencoba
untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan
pendapatan (resources) yang dinilai dalam suatu keadaan yang penuh tekanan.
Walaupun usaha koping dapat diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai suatu
masalah, hal ini juga dapat membantu sesorang untuk mengubah persepsinya atau
ketidaksesuaian, menolerir atau menerima bahaya, juga melepaskan diri atau
menghindari situasi stress. Stress diatasi dengan kognitif dan behavioral
transactions melalui lingkungan.
Proses mekanisme kopingbbukan hanya satu kejadian karena koping
melibatkan ungoing transactions dengan lingkungan, dan proses tersebut
sebaiknyandilihat sebagai suatu dynamic series. Stres yang muncul pada anak akan
membuat dirinya melakukan suatu koping. Koping merupakan suatu tindakan
mengubah kognitif secara konstan dan usaah tingkah laku untuk mengatasi tuntutan
internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang
dimiliki individu. Koping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif
otomatis karena koping membutuhkan suatu usaha, yang apabila usaha tersebut
berhasil dilakukan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Koping
dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa

18
memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun, koping bukan merupakan
suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi
tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, koping yang efektif untuk dilakukan
adalah koping yang membantu seseorang untuk menoleransi dan menerima situasi
menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus dan
Folkman, 1984).

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), dalam melakukan koping, ada dua
strategi yang bisa dilakukan,
1. Koping yang berfokus pada masalah (Problem Focused Coping).
● Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stress dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan
sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping
ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan
stress atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Sesorang cenderung
menggunakan metode problem focusd coping apabila mereka percaya
bahwa sumber atau demands dari situasinya dapat diubah. Strategi yang
dipakai dalam problem focused coping antara lain sebagai berikut.
● Confrontative coping: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif, tingkah kemarahan yang cukup tinggi,
dan pengambilan resiko.
● Seeking social support: usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional
dan bantuan informasi dari orang lain.
● Planful problem solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitia.
● Emotion Focused Coping: yaitu usaha mengatasi stress dengan cara
mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang
dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping ditujukan untuk
mengontrol respons emosional terhadap situasi stress. Seseorang dapat
mengatur respons emosinalnya melalui pendekatan perilaku dan kognitif.

19
Srategi yang digunakan dalam emotional focused coping antara lain
sebagai berikut.
● Self-control: usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi
yang menekan.
● Distancing: usaha untukmtidak terlibat dalam permasalahan, seperti
menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau
meciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap
masalah sebagai lelucon.
● Positive reappraisal: usaha mencari makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-
hal yang bersifat religius.
● Accepting responsibility: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri
sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mecoba menerimannya
untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih
bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun,
strategi ini mejadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung
jawab atas masalah tersebut.
● Escape/avoidance: usaha untuk mengatasi situasi menekna dengan lari
dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain
seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam
meghadapi masalah-masalah yang menurut mereka dapat dikontrolnya. Sebaliknya,
individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi
masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus dan Folkaman,
1984). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara
bersamaan, namun tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh individu
(Taylor, 1991). Para penilit menemukan bahwa penggunaan strategi emotion
focused coping oleh anak-anak secara umum meningkat seiring bertambahnya usia
mereka (Bnad dan Weisz et al., dalam Wolchik dan Sandler, 1997).

Jenis-Jenis Koping :

1. Koping Adaptif

20
Adalah suatu kondisi dimana individu dapat mengatur berbagai tugas dapat
mempertahankan konsep diri, hubungan dengan orang lain, mempertahankan
emosi serta mengatur stress (Carpenito, 2000)
● Masih mengontrol emosi pada dirinya dengan cara berbicara pada orang
lain
● Melakukan aktifitas yang kontruktif
● Memiliki persepsi yang luas
● Dapat menerima dukungan dari orang lain
● Dapat memecahkan masalah secara efektif

2. Koping Maladaptif
Adalah suatu kondisi dimana individu mengalami keadaan yang beresiko tinggi
suatu ketdakmampuan untuk mengatasi stressor. Koping maladaptive
menggambarkan individu yang mengalami kesulitan dalam beradaptasi
terhadap kejadian-kejadian yang sangat menekan (Carpenito, 2000)
● Perilaku cenderung merusak
● Melakukan aktifitas yang kurang sehat seperti obat-obatan dan alkohol.
● Tidak mampu berfikir apa-apa atudisorientasi
● Perilaku cenderung menghindar atau menarik diri
● Tidak mampu menyelesaikan masalah

J. Prinsip-Prinsip Dasar Mengatasi Stres


Ada begitu banyak hal yang membuat kita stress, seperti yang telah di bahas di
bagian sebelumnya. Untuk menangani stress tentu saja lebih dulu kita mencari
sumber masalah yang membuat kita akhirnya mengalami stress. Arnold Lazarus
menemukan tujuh bidang stress yang perlu kita waspadai antara lain sebagai
berikut:

● Perilaku (behavior).
Perilaku yang buruk di percaya berandil besar pada terjadinya stress.
Anggap saja kita berperilaku buruk terhadap suatu keadaan, maka logikanya
keadaanpun menjadi buruk akibat reaksi yang kurang baik sehingga keadaan
menjadi lebih buruk. Pada akhirnya, semua itu kembali kepada kita yang

21
akhirnya pilihan lain kecuali kita mengubah sikap dan perilaku kita menjadi
positif. Hal ini akan mengurangi tingkat stress dalam hidup.
● Perasaan(affect)
Sikap yang termasuk dalam affect di antaranya: emosi, mood, dan berbagai
perasaan lain. Misalnya sifat mudah marah atau emosional perlu di atasi, sebab
bisa memicu stress. Jangan berpikir bahwa sifat mudah marah, cepat emsional
dan mood yang buruk adalah sifat pembawaan yang tidak mungkin di ubah
untuk mengubah sifat yang mengakar kuat karena kebiasaan dan bentukan
lingkungn, membutuhkan proses yang panjang dan kemauan diri yang kuat tapi
jika kita berani dan mau mengubah sifat-sifat buruk tersebut, kita akan lebih
rileks dan tidak gampang menjadi stress.
● Sensasi tubuh (sensation)
Misalnya tubuh kita sakit atau merasa nyeri atau kita mengalami kelelahan
tubuh yang luar biasa karena aktivitas pekerjaan, maka hal ini bisa juga
mengakibatkan stress. Kelelahan juga bisa menyebabkan kita mengalami stress,
ada baiknya kita memiliki waktu yangcukup untuk istirahat. Ingatlah bahwa
kehidpan harus berjalan dengan seimbang. Ada waktunya untuk bekerja, tapi
ada waktunya juga untuk beristirahat, demikianlah salomo berkata dengan
bijak. Itulah mengapa tuhan memerintahkan kita untuk memelihara hari sabat
yaitu kita memilihi waktu istirahat secara cukup.
● Pengahyatan mentalitas(imagery)
Mentalitas yang buruk seperti perasaan gagal, tidak bisa melakukan segala
sesuatu, perasaan tidak berguna, atau berpikir bahwa dirinya di takdirkan untuk
miskin dan gagal bisa mengakibatkan stress. Kita harus belajar untuk memiliki
cara pandang yang posititif yethadap diri kita sendiri. Ingatlah bahwa ada
potensi luar biasa yang tuhan percayakan di dalam diri kita. Jika kita memiliki
masalah dengan hal ini, saya sarankan untuk sering membaca ayat-ayat dalam
kitab suci masing-masing agama tentang citra diri positif.
● Proses berpikir merangkai pengertian(cognition)
Filosofi yang terlalu “harus,mesti,tidak bisa tidak,mutlak” bisa berujung
pada stress. Contohnya, saya harus jadi nomor satu, kalau tidak hidupku tidak
berarti apa-apa. Saya harus bisa menngani semua pekerjaan yang di bebankan

22
kepada saya. Saya harus sempurna dan tidak boleh gagal. Sikap-sikap tersebut
memnang bisa memacu kita untuk menjadi kita lebih baik , namun bukan
berarti menjadi pencapaian kesuksesan.
● Hubungan antar manusia (interpersonal relationship)
Hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita perlu kita cermati, jika
hubungan kita sedang bermasalah, tak perlu kalau akhirnya itu membuat kita
menjadi stress misalnya kita memiliki masalah serius dengan pasangan hidup
yang sudah di ambang perceraian, memiliki masalah dengan anak-anak
menghadapi atasan yang otoriter dan terlalu menekan kita, atau memiliki
masalah dengan rekan kerja atau di khianati teman. Jika tidak segera di atasi hal
ini bisa berunjung pada stress cara terbaik untuk mengatasi masalah dengan
orang-orang yang berada di sekitar kita adalah dengan saling menghargai.
● Obat–obatan(drugs)
Menurut penelitian medis, obat-obatan memang di perlukan untuk
mengatasi rasa sakit, tetapi ketergantunganya akan obat bisa memicu terjadi
stress. Hal ini di buktikan dengan banyaknya orang stress yang berakibat
kecanduan obat-obatan tertentu. Segala sesuatu dapat menjadi berbahaya jika
sudah mengikat dan menjadi candu. Keadaan ini perlu di tangani secara serius,
baik dengan berkonsultasi kepada dokter maupun melalui bimbingan konseling.

K. Asuhan Keperawatan Stress Dan Adaptasi


Kasus

Seorang ibu rumah tangga 38 tahun,bernama Ny.M berusaha ditinggal


pergi suaminya karena meninggal secara tiba-tiba. Setelah ditinggalkan,
keluarga mengatakan klien mengalami gangguan dalam menjalankan perannya
sebagai ibu semenjak suaminya meninggal karena jatuh dari lantai 5 bangunan
tempat dia bekerja. Menurut kesaksian ada seseorang yang melihat sosok Tn. A
yang melompat dari gedung. Keluarga mengatakan bahwa 1 minggu yang lalu
Ny.M minta cerai pada Tn.A. klien mengungkapkan bahwa dirinya merasa
hampa dalam hidupnya dan mengatakan bahwa dirinya yang berdosa atas
meninggalnya suami. Ketika diamati, pasien terlihat berbicara dengan nada

23
marah dan membentak, kadang-kadang terlihat melamun dan murung walaupun
bersama orang lain.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik menghasilkan data TD : 140/90 mmHg, N :


100x/menit, RR : 22x/menit, S : 37,5oC.

1. PENGKAJIAN
A. Identitas Klien
Nama : Ny. M
Umur : 38 Tahun
Agama : Islam

B. ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI PROBLEM
DS:
▪ keluarga mengatakan klien Perubahan status sosial Koping individu
mengalami gangguan dan psikologi tidak efektif
dalam menjalankan
perannya sebagai ibu.
▪ Klien mengungkapkan
bahwa dirinya merasa
hampa dalam hidupnya dan
bahwa dirinya yang
berdosa atas meninggalnya
suaminya.
DO:
▪ pasien terlihat berbicara
dengan nada marah dan
membentak, kadang
kadang terlihat melamun
walaupun bersama orang
lain.
DO :

24
TD : 140/90 mmHg
N : 100 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 37,5oC

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Koping individu yang tidak efektif berhubungan dengan stress yang
berkepanjangan, ditandai dengan:

DS:

o keluarga mengatakan klien mengalami gangguan dalam menjalankan


perannya sebagai ibu.
o Klien mengungkapkan bahwa dirinya merasa hampa dalam hidupnya
dan bahwa dirinya yang berdosa atas meninggalnya suaminya.

DO:

o pasien terlihat berbicara dengan nada marah dan membentak, kadang


kadang terlihat melamun walaupun bersama orang lain.
DO :

▪TD : 140/90 mmHg


▪ N : 100 x/menit
▪RR : 22 x/menit
▪S : 37,5oC

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
TUJUAN:
a. Klien dapat menangani berbagai dalam kehidupan
b. Klien dapat mengembangkan kemampuan nya menyelesaian masalah
c. Klien menerima beberapa dukungan yang adekuat

25
KRITERIA HASIL :
a. Pasien mengungkapkan perasaan tentang perubahan status kesehatan
b. Pasien mencari bantuan dalam mengatasi emosi akibat kehilangan
c. Pasien mulai mengembangkan mekanisme koping yang sehat seperti mengungkapkan
secara terbuka tentang perasaannya
NO D INTERVENSI RASIONAL
X
1 1 a. Luangkan waktu bersama pasien minimal 15 Untuk
menit setiap pergantian tugas jaga dan dorong memfokuskan
pasien untuk mengungkapkan pikiran dan pengungkapan
perasaannya secara terbuka. perasaan

b. Sampaikan kepada pasien bahwa perasaan


marah dapat di terima, asalkan tidak merusak Ketidakmampua
n
mengidentifikasi
marah sebagai
suatu respon
normal terhadap
kehilangan dapat
mengakibatkan
pasien
mengungkapkan
c. Bantu pasien berfokus secara realistis terhadap agresi secara
perubahan status kesehatan karena kehilangan tidak tepat

Untuk membantu
d. Dorong pasien untuk menghubungi orang yang pasien
dapat memberikan dukungan, seperti keluarga, merencanakan
teman, dan rohaniawan masa depannya

e. Berikan informasi kepada pasien dan anggota Untuk

26
keluarga tentang sumber dukungan tambahan meningkatkan
di klinik kekuatan
emosional
f. Dukung pasien untuk semandiri mungkin
melakukan aktifitas perawatan diri
Untuk
memfasilitasi
respon adaptif
g. Rujuk pasien ke psikolog, psikiater, atau terhadap
pekerja social kehilangan

Untuk
meningkatkan
harga diri dan
meningkatkan
fungsi yang
optimal

Untuk
memulihkan
kesehatan emosi,
mungkin perlu
bantuan dari ahli
kesehatan jiwa

4. IMPLEMENTASI
Hari/
dx Implementasi Paraf
Tgl
Rabu 1 a. Meluawangkan waktu bersama pasien minimal 15
18-10- menit setiap pergantian tugas jaga dan dorong pasien
17 untuk mengungkapkan pikirannya dan perasaannya

27
secara terbuka
b. Menyampaikan kepada pasien bahwa perasaan marah
dapat diterima, asalkan tidak merusak
c. Membantu pasien berfokus secara realistis terhadap
perubahan status kesehatan karena kehilangan
d. Mendorong pasien untuk menghubungi orang yang
dapat memberikan dukungan, seperti keluarga,
teman, dan rohanian
e. Memberikan informasi kepada pasien dan anggota
keluarga tentang sumber dukungan di klinik
f. Mendukung pasien untuk semandiri mungkin
melakukan aktifitas perawatan diri
g. Merujuk pasien ke psikolog, psikiater, atau pekerja
sosial

5. EVALUASI
S:
o keluarga mengatakan klien sudah menyadari bahwa ia tidak bersalah
atas kematian suaminya
o Klien mengungkapkan bahwa dirinya merasa menerima atas
kepergian suaminya

O:

o pasien sudah berkomunikasi dengan orang lain dan terlihat lebih


tenang
o TD : 120/90 mmHg
o N : 80 x/menit
o RR : 19 x/menit
o S : 36,5oC
A : masalah teratasi

28
P : Intervensi dihentikan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

29
Bahwasannya stress itu ada dan berasal dari lingkungan, kondisi dirinya,
serta pikiran. Penyebab stress dianggap suatu hal yang biasa dimana didalamnya
dapat merespon apa yang terjadi pada hubungan stresor, dianggap positif karena
adanya interaksi individu dan lingkungan. Stress dapat mempengaruhi sifat dari
stresor seperti lingkungan baik secara fisik, psikososial maupun spiritual
serta dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang.
Stress yang dialami seseorang tidak mungkin secara langsung beberapa tahap
akan muncul dalam diri seesorang tersebut, apabila stress tidak dapat
ditanggulangi maka akan berdampak lebih lanjut. Oleh, sebab itu terapkanlah
sebuah manajemen agar keadaan seesorang tersebut masih bisa terkontrol.

B. Saran
Dalam setiap mengerjakan suatu tugas makalah diperlukan
banyak referensi agar materi yang disajikan lengkap.pada saat akan
mempresentasikan materi perlu banyak belajar agar dapat menguasai materi
yang dibawakan.

30

Anda mungkin juga menyukai