Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ANALISIS JURNAL
PENERAPAN PRINSIP ATRAUMATIC CARE DALAM SEBUAH ASUHAN
KEPERAWATAN

Dosen Pembimbing :
Ns. WIWIEK RETTI ANDRIANI, M.Kep.

Disusun Oleh:
A.HEUNA EGA WIJAYA (201701001)
DIAN CITRA PRIHTINI (201701012)
IKA NOVIANTI (201701024)
ILA ‘IZZATIL KARIMAH (201701025)
JUNAIDI MAHENDRA (201701026)
NINDIYA ERLYAGUSTINA (201701028)
TRIA NURFITASARI (201701034)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D-III KEPERAWATAN PONOROGO
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan
Anak yang berjudul “Penerapan Prinsip Atraumatic Care Dalam Asuhan Keperawatan“
dengan baik. Shalawat serta salam kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang mukmin yang tetap
istiqamah di jalan-Nya.
Makalah ini kami rancang untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Keperawatan Anak dan agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Penerapan
Prinsip Atraumatic Care Dalam Asuhan Keperawatan, yang disajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber.
Kami sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidaklah
sempurna. Kami mengharapkan adanya sumbangan pikiran serta masukan yang sifatnya
membangun dari pembaca, sehingga dalam penyusunan makalah yang akan datang
menjadi lebih baik.
Terima kasih

Ponorogo, 25 Juli 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul .......................................................................................................... i


Kata Pengantar ......................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................
B. Tujuan Penulisan .............................................................................
BAB II ISI
A. Tinjauan Pustaka ..............................................................................
B. Pengertian Ataumatic Care ...............................................................
C. Prinsip Perawatan Atraumatic Care Pada Anak ...............................
D. Pembahasan Kasus .........................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak merupakan anugerah, karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya (Ramdani,2011). Sehat dan sakit merupakan sebuah rentang yang
dapat dialami oleh semua manusia, tidak terkecuali oleh anak. Suatu keadaan
dimana anak mengalami sakit dan mengharuskan anak tinggal di rumah sakit
untuk mendapatkan terapi dan perawatan hingga pemulangannya kembali ke
rumah, merupakan suatu alasan proses hospitalisasi yang harus dijalani
(Supartini, 2004).
Anak-anak yang dirawat di rumah sakit dalam dua dekade terakhir
mengalami peningkatan pesat. Prosentase anak-anak yang dirawat di rumah
sakit ini mengalami masalah yang lebih serius dan kompleks dibandingkan
dengan hospitalisasi tahun-tahun sebelumnya (Wong, 2009). Anak-anak yang
menjalani hospitalisasi di Indonesia diperkirakan 35 per 1000 anak(Sunarko,
2008 dalam Purwandari, 2009). Anak juga sering kali berhadapan dengan
prosedur yang menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian dan berbagai hal
yang tidak diketahui (Wong, 2009).
Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara
subyektif dialami dn dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan timbul
karena adanya reseptor di otak yang menerima neurotransmitter yaitu Gama-
aminobutirik Acid (GABA). Peningkatan GABA akibat stressor tertentu
mengakibatkan neuron tidak mampu untuk menerima pesan yang cukup untuk
berhenti. Hal ini membuat seseorang terus merasa tegang, terlalu cemas dan
gelisah, dan selanjutnya akan memicu peningkatan respon saraf simpatis
(Stuart&Sundeen, 1998).
Atraumatic Care adalah bentuk perawatan teraupetik yang diberikan oleh
tenaga kesehatan yaitu perawat, dalam tatanan pelayanan kesehatan anak
melalui penggunaan tindakan yang mengurangi distres fisik maupun distres
psikologis yang dialami anak maupun orang tua (Supartini, 2004). Atraumatic
Care difokuskan dalam pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian
dalam keperawatan anak (Hidayat, AA, 2009).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Atraumatic Care


Atraumatic care adalah penyediaan asuhan terapeutik dalam lingkungan,
oleh personel, dan melalui penggunaan intervensi yang menghapuskan atau
memperkecil distres psikologis dan fisik yang diderita oleh anak-anak dan
keluarganya dalam sistem pelayanan kesehatan (Wong, et al., 2009). Atraumatic
care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga kesehatan
dalam tatanan pelayanan kesehatan anak, melalui penggunaan tindakan yang
dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang dialami anak
maupun orang tua (Supartini, 2014).
Asuhan terapeutik tersebut mencakup pencegahan, diagnosis, atau
penyembuhan kondisi akut atau kronis. Intervensi berkisar dari pendekatan
psikologis berupa menyiapkan anak-anak untuk prosedur pemeriksaaan, sampai
pada intervensi fisik seperti menyediakan ruangan untuk orang tua tinggal
bersama anak dalam satu kamar (rooming in). Distres psikologis meliputi
kecemasan, ketakutan, kemarahan, kekecewaaan, kesedihan, malu, atau rasa
bersalah. Sedangkan distres fisik dapat berkisar dari kesulitan tidur dan
immobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang mengganggu seperti
rasa sakit (nyeri), temperatur ekstrem, bunyi keras, cahaya yang dapat
menyilaukan atau kegelapan (Wong, et al., 2009).
Atraumatic care berkaitan dengan siapa, apa, kapan, dimana, mengapa,
dan bagaimana setiap prosedur dilakukan pada anak untuk mencegah atau
meminimalkan stress fisik dan psikologis (Wong, 1989, dalam Wong, et al.,
2009). Maka dapat disimpulkan, atraumatic care adalah pelaksanaan perawatan
terapeutik pada anak dan keluarga oleh perawat atau tenaga kesehatan lain
dengan intervensi meminimalkan atau mencegah timbulnya distres fisik maupun
psikologis dalam sistem pelayanan kesehatan.

B. Manfaat atraumatic care

Anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh kembang perlu
perhatian lebih, karena masa anak merupakan proses menuju kematangan.
Berbagai peristiwa yang dialami anak, seperti sakit atau hospitalisasi akan
menimbulkan trauma pada anak seperti cemas, marah, nyeri, dan lain-lain.
Kondisi tersebut jika tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan masalah
psikologis pada anak yang akan mengganggu perkembangan anak. Oleh karena
itu, manfaat atraumatic care adalah mencegah masalah psikologis (kecemasan)
pada anak, serta mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak
(Hidayat, 2012). Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa penerapan
atraumatic care memiliki pengaruh atau hubungan terhadap penurunan respon
kecemasan pada anak yang di hospitalisasi (Bolin, 2011 & Breving, et al., 2015).

C. Tujuan atraumatic care

Atraumatic care sebagai asuhan terapeutik memiliki beberapa tujuan, yaitu:


1. Jangan melukai, hal tersebut dinyatakan Wong dan koleganya (2009)
sebagai tujuan utama dari atraumatic care.
2. Mencegah dan mengurangi stres fisik (Supartini, 2014).
3. Mencegah dan mengurangi stres psikologis (Supartini, 2014). Untuk
mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa prinsip atraumatic care
sebagai kerangka kerjanya (Wong, et al., 2009).

D. Prinsip atraumatic care

Supartini (2014) menyatakan bahwa prinsip atraumaticcare dibedakan


menjadi empat, yaitu: mencegah atau menurunkan dampak perpisahan antara
orang tua dan anak dengan menggunakan pendekatan family centered,
meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anaknya,
mencegah atau meminimalkan cedera fisik maupun psikologis (nyeri) serta
memodifikasi lingkungan fisik ruang perawatan anak.
1. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak perpisahan bagi keluarga, anak mengalami gangguan
psikologis seperti kecemasan, ketakutan, dan kurangnya kasih sayang.
Gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat, 2012).
2. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak
Perawat berperan penting dalam meningkatkan kemampuan
orang tua dalam merawat anaknya. Beberapa bukti ilmiah menunjukkan
pentingnya keterlibatan orang tua dalam perawatan anaknya di rumah
sakit. Orang tua dipandang sebagai subjek yang mempunyai potensi
untuk melaksanakan perawatan pada anaknya (Darbyshire, 1992 dan
Carter & Dearmun, 1995, dalam Wong, et al., 2009).
3. Mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis (nyeri)
Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stres.
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam
keperawatan anak. Proses pengurangan nyeri sering tidak dapat
dihilangkan tetapi dapat dikurangi melalui teknik farmakologi dan teknik
nonfarmakologi (Wong, et al., 2009). d.Modifikasi lingkungan fisik
Modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat
meningkatkan keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan
anak sehingga anak selalu berkembang dan merasa nyaman di
lingkungannya (Hidayat, 2012).

E. Intervensi atraumatic care

Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan, memegang posisi kunci
untuk membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan
perawatan anaknya di rumah sakit karena perawat berada di samping pasien
selama 24 jam dan fokus asuhan adalah peningkatan kesehatan anak. Asuhan
yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care merupakan falsafah utama
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan anak. Oleh karena itu, upaya dalam
mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang tuanya selama
dalam masa perawatan berfokus pada intervensi atraumatic care yang
berlandaskan pada prinsip atraumatic care (Supartini, 2014).
1. Intervensi menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari
keluarga.
a. Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan pada anak
dapat dilakukan dengan cara melibatkan orang tua berperan aktif
dalam perawatan anak (Supartini, 2014), yaitu:
b. Memperbolehkan orang tua untuk tinggal bersama anak selama
24 jam (rooming in) atau jika tidak memungkinkan untuk rooming
in maka berikan kesempatan orang tua untuk melihat anak
setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak
antara mereka.
c. Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang
rawat seperti di rumah.
d. Pempertahankan kontak dengan memfasilitasi pertemuan
dengan guru, teman sekolah dan berhubungan dengan siapa
saja yang anak inginkan.
e. Libatkan orang tua untuk berpartisipasi dalam merawat anak
yang sakit (Susilaningrum, et al., 2013).
2. Intervensi meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol
perawatan anak
Perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tentang kebutuhan
anak untuk membantu orang tua dengan cara memberikan informasi
sehubungan dengan penyakit, prosedur pengobatan, prognosis serta
perawatan yang dapat dilakukan orang tua, dan reaksi emosional anak
terhadap sakit dan hospitalisasi (Wong, et al., 2009).
Perawat dapat juga menginformasikan kepada orang tua
mainan yang boleh dibawa ke rumah sakit, membuatkan keluarga jadwal
untuk anak, serta penting untuk perawat mempersiapkan anak dan orang
tuanya sebelum dirawat di rumah sakit melalui kegiatan pendidikan
kesehatan pada orang tua. Sehingga selama perawatan di rumah sakit
orang tua diharapkan dapat belajar dalam hal peningkatan pengetahuan
maupun keterampilan yang berhubungan dengan keadaan sakit anaknya
(Supartini, 2014).
3. Intervensi mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis
(nyeri)
Pengkajian nyeri merupakan komponen penting dalam proses
keperawatan terkait mengurangi atau mencegah dampak nyeri. Dalam
pengkajian nyeri penting bagi perawat menggunakan definisi operasional
nyeri yang diungkapkan oleh McCaffery dan Pasero (1999) dalam Wong
dan koleganya (2009) yaitu nyeri adalah apapun yang dikatakan oleh
orang yang mengalaminya, ada pada saat orang tersebut mengatakan
itu terjadi.
Wong dan koleganya (2009) juga menyatakan bahwa prinsip
pengkajian nyeri pada anak-anak adalah QUESTT yaitu question the
child (tanyakan pada anak), use a pain rating scale (gunakan skala
nyeri), evaluate behavioral and physiologic changes (evaluasi
perubahanperubahan sikap dan fisiologis), secure parent’s involvement
(pastikan keterlibatan orang tua), take the cause of pain into account
(pertimbangkan penyebab nyeri), dan take action and evaluate results
(lakukan tindakan dan evaluasi hasilnya).
Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan dua teknik.
Pertama, teknik nonfarmakologi dapat dilaksanakan melalui distraksi,
relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi kutaneus, memberikan strategi
koping yang dapat mengurangi persepsi nyeri dengan cara bicara hal
yang positif pada diri, berhenti berfikir tentang hal menyakitkan, dan
kontrak perilaku (Wong, et al., 2009). Kedua, teknik farmakologis
dilakukan dengan cara meningkatkan efektivitas dari pemberian obat
melalui penggunaan prinsip enam benar, meliputi: benar klien, benar
obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, benar dokumentasi (Rusy
dan Weisman, 2000 dalam Utami, 2012).
Untuk prosedur yang menimbulkan nyeri, anak harus menerima
analgesik dan sedasi yang cukup untuk meminimalkan nyeri dan
kebutuhan restrein yang berlebihan. Untuk anestesi lokal gunakan
lidokain yang dibufer untuk mengurangi sensasi sakit atau berikan EMLA
(Extectic Mixture of Local Anesthetics) secara topikal sebelum dilakukan
injeksi parenteral (Wong, 2013). Apabila tindakan pencegahan tidak
dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung lama pada anak
sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan (Hidayat,
2012).
Supartini (2014) menyatakan bahwa meminimalkan rasa takut
terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:
a. Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
Persiapan ini dilakukan perawat dengan cara
menjelaskan apa yang akan dilakukan dan memberikan
dukungan psikologis pada orang tua (Supartini, 2014). Persiapan
anak-anak untuk menghadapi prosedur yang menakutkan dapat
menurunkan ketakutan mereka, serta memanipulasi teknik
prosedural untuk anak-anak di setiap kelompok umur juga
meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh (Wong, et al.,
2009).
b. Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan
persiapan fisik anak
Permainan yang bisa dilakukan diantaranya bercerita,
menggambar, menonton video kaset dengan cerita yang
berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan
pada anak (Supartini, 2014). Bermain adalah salah satu aspek
penting dari kehidupan anak dan salah satu alat paling efektif
untuk penatalaksanaan stres, serta bermain juga sangat penting
bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak (Wong, et
al., 2009).
Kebutuhan bermain bagi anak sama halnya dengan
kebutuhan perkembangan anak, tidak berhenti saat anak sakit
atau di hospitalisasi. Bermain di rumah sakit memberikan banyak
manfaat pada anak yaitu memberikan pengalihan dan
menyebabkan relaksasi, membantu anak merasa lebih nyaman
di lingkungan yang asing, membantu mengurangi stres akibat
perpisahan dan perasaan rindu rumah, sebagai alat untuk
melepas ketegangan dan ungkapan perasaan, meningkatkan
interaksi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang
lain, sebagai alat ekspresi ide-ide dan minat, sebagai alat untuk
mencapai tujuan terapeutik, dan menempatkan anak pada peran
aktif dan memberi kesempatan pada anak untuk menentukan
pilihan dan merasa mengendalikannya (Wong, et al., 2009).
Supartini (2014) mengemukakan bahwa dalam melakukan
aktivitas bermain perawat hendaknya memperhatikan prinsip
permainan pada anak di rumah sakit, yaitu:
a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang
sedang dijalankan pada anak
Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan
yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak
bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang
ada di ruang rawat. Misalnya, sambil tiduran di tempat tidurnya
anak dapat dibacakan buku cerita atau diberi buku komik anak-
anak, mobilmobilan yang tidak menggunakan remote control,
robot-robotan, dan permainan lain yang dapat dimainkan anak
sambil tiduran.
b. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat, dan
sederhana
Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak,
menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau yang
tersedia di ruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat
permainan, pilih yang sederhana agar tidak melelahkan anak.
Misalnya, menggambar atau mewarnai, bermain boneka, dan
membaca buku cerita.
c. Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan anak
Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak
merangsang anak untuk berlari-lari, dan bergerak secara
berlebihan. d)Permainan harus melibatkan kelompok umur yang
sama.
Apabila permainan dilakukan khusus di kamar bermain
secara berkelompok, permainan harus dilakukan pada kelompok
umur yang sama. Misalnya, permainan mewarnai pada
kelompok usia prasekolah. e)Melibatkan orang tua
Satu hal yang harus diingat bahwa orang tua mempunyai
kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh-
kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit,
termasuk dalam aktivitas bermain anaknya. Perawat hanya
bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan
diinisiasi oleh perawat, orang tua harus terlibat secara aktif dan
mendampingi anak mulai dari awal permainan sampai
mengevaluasi hasil permainan anak bersama dengan perawat
dan orang tua anak lainnya. Misalnya:
a. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua
Pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri apabila orang tua tidak dapat menahan
diri, bahkan menangis bila melihatnya. Maka, perlu
dipertimbangkan untuk menghadirkan orang tua. Sebaiknya
dalam kondisi ini tawarkan pada anak dan orang tua untuk
mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak
selama prosedur tindakan (Supartini, 2014).
b. Tunjukkan sikap empati
Menunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama
dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan.
Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan menerima
realita seseorang, merasakan perasaan dengan tepat, dan
mengkomunikasikan pengertian kepada pihak lain. Untuk
mengekspresikan empati, perawat memperlihatkan pengertian
atas kepentingan pesan berdasarkan tingkat perasaan. Teknik
ini mengharuskan perawat untuk sensitif dan imajinatif, terutama
jika perawat tidak memiliki pengalaman terdahulu. Empati
merupakan tujuan yang penting, kunci untuk menyelesaikan
masalah, dan mendukung komunikasi. Pernyataan yang
menunjukkan empati sangat efektif karena memperlihatkan
perhatian perawat atas kandungan perasaan dan fakta dari
komunikasi. Pernyataan empati bersifat netral, tidak menuduh,
dan membantu pembentukan kepercayaan dalam situasi yang
sulit (Potter & Perry, 2009).
c. Lakukan persiapan khusus jauh hari sebelumnya pada tindakan
pembedahan elektif (apabila memungkinkan)
Persiapan khusus yang dapat dilakukan misalnya,
dengan mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan
dilakukan, dan petugas yang akan menangani anak melalui
cerita, gambar, atau menonton film video yang menggambarkan
kegiatan operasi tersebut. Terlebih dahulu lakukan pengkajian
yang akurat tentang kemampuan psikologis anak dan orang tua
untuk menerima informasi ini dengan terbuka. Lakukan pula
relaksasi pada fase sebelum operasi sebagai persiapan untuk
perawatan pasca operasi (Supartini, 2014).

4. Intervensi modifikasi lingkungan fisik

Modifikasi lingkungan bernuansa anak dapat dilakukan dengan


penataan atau dekorasi menggunakan alat tenun dan tirai bergambar
bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bergambar dunia binatang atau
fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dinding berwarna dan
penggunaan warna yang cerah di ruangan, serta tangga dicat warna-
warni (Supartini, 2014).
Penggunaan Pakaian seragam tim kesehatan yang berwarna
putih pun bisa menjadi stresor bagi anak, layaknya lingkungan rumah
sakit yang asing bagi anak dan orang tua (Supartini, 2014). Sehingga
penggunaan pakaian multi warna nonkonvensional pada perawat lebih
disukai oleh anak-anak dan orang tua yang anaknya dirawat di rumah
sakit. Selain itu, seragam perawat yang berwarna mampu meningkatkan
persepsi orang tua tentang keandalan perawat dimana penggunaan
pakaian perawat nonkonvensional dapat berkontribusi untuk
meningkatkan hubungan anak dan perawat (Festini, et al., 2008 dalam
Utami, 2012).

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di rumah


sakit
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perawat dalam
melaksanakan atraumatic care di rumah sakit. Notoadmodjo (2010) menyatakan
bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di
rumah sakit, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal

Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri


seseorang yang menjadi rasional untuk seseorang berperilaku terdiri dari
persepsi, pengetahuan, keyakinan, keinginan, motivasi, niat, dan sikap.
a. Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu, dan ini


terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia,
yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(overt behavior). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia
harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku
tersebut. Perawat akan melaksanakan atraumatic care apabila ia
tahu apa definisi, tujuan, manfaat,prinsip dan intervensi
atraumatic care tersebut.
b. Sikap
Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek (Notoatmodjo, 2012). Sikap seseorang terhadap objek
adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowits, 1972
dalam Azwar, 2007). Notoatmodjo (2012) juga menyatakan
bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap
objek.
Secara lebih sederhana sikap dapat dianggap sebagai
suatu predisposisi umum untuk berespon atau bertindak secara
positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai
emosi positif atau negatif. Sikap membutuhkan penilaian, ada
penilaian positif, negatif atau netral tanpa reaksi afektif apapun
(Maramis, 2006). Sikap positif merupakan sikap yang
menunjukkan atau mempertahankan, menerima, mengakui,
menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku
dimana individu itu berada. Sikap negatif merupakan sikap yang
menunjukkan, memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui
terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada
(Niven, 2002).
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri
seseorang yang mendukung seseorang untuk bertindak (berperilaku)
atau mencapai tujuan yang diinginkan, seperti pengalaman, fasilitas, dan
sosiobudaya (Notoadmodjo, 2010). Fasilitas atau sarana di rumah sakit
sangat diperlukan untuk mewujudkan sikap perawat agar menjadi
tindakan, seperti tersedianya ruang bermain atau alat-alat permainan
untuk melakukan intervensi bermain pada anak, tersedianya tirai
bergambar bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bergambar dunia
binatang atau fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dan
tersedianya pakaian berwarna warni untuk perawat di ruang anak
(Supartini, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

1. (Ulfa, Oktavianto, & Zuleha, 2015) (Apriza, 2017) (Andayani, 2019)


(Sureskiarti, Maawiyah, & Brutu, 2017) (Nurmashitah & Purnama, Desember 2018)
(Rahmah & Agustina, pebruari 2016)

2. Bibliography

Andayani, R. P. (2019). Pengaruh Atraumatic Care: Audiovisual Dengan Portable


DVD Terhadap Hospitalisasi Pada Anak. Menara Ilmu , 114-121.
Apriza. (2017). Pengaruh Biblioterapi Dengan Buku Cerita Bergambar Terhadap
Tingkat Kecemasan Efek Hospitalisasi Pada Anak Prasekolah. Jurnal Obsesi : Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini , 106-110.
Ismantoro, A. Y., de Breving, R. M., & Onibala, F. (2 Mei 2015). Pengaruh
Penerapan Atraumatic Care Terhadap Respon Kecemasan Anak Yang Mengalami
Hospitalisi Di RSU Pancaran Kasih GMIM Manado Dan RSUP PROF. D. Kandou
Manado. e-Journal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2 Mei 2015 , 1-9.
Maghfuroh, L. (2016). Atraumatic Care Menurunkan Kecemasan Hospitalisasi
Pada Anak Prasekolah Di Ruang Anggrek RSU dr. Soegiri Lamongan. Surya , 40-45.
Nurmashitah, & Purnama, A. (Desember 2018). Medical Play alam Menurunkan
Respon Kecemasan Anak Usia Prasekolah Yang Mengalami Hospitalisasi Di Ruang
Rawat Inap Anak. Atikel Penelitian , 516-521.
Rahmah, S., & Agustina, F. (pebruari 2016). Hubungan Penerapan Atraumatic
Care Dengan Stres Hospitalisasi Pada Anak Di Ruang Anak Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015 . Jurnal Kesehatan Almuslim , 11-17.
Sureskiarti, E., Maawiyah, M., & Brutu, N. K. (2017). Perbedaan Kecemasan
Anak Usia Prasekolah Pada Tindakan Injeksi Dengan Diterapkan Dan Tanpa Diterapkan
Pemakaian Rompi Bergambar Di Ruang Melati RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Jurnal Ilmiah Manuntung , 106-115.
Ulfa, F. M., Oktavianto, E., & Zuleha, R. (2015). Hubungan Penerapan
Atraumatic Care Oleh Perawat Dengan Stres Orangtua Selama Hospitalisasi Bayi. Health
Sciences and Pharmacy Journal , 82-88.

3.

Anda mungkin juga menyukai