ANALISIS JURNAL
PENERAPAN PRINSIP ATRAUMATIC CARE DALAM SEBUAH ASUHAN
KEPERAWATAN
Dosen Pembimbing :
Ns. WIWIEK RETTI ANDRIANI, M.Kep.
Disusun Oleh:
A.HEUNA EGA WIJAYA (201701001)
DIAN CITRA PRIHTINI (201701012)
IKA NOVIANTI (201701024)
ILA ‘IZZATIL KARIMAH (201701025)
JUNAIDI MAHENDRA (201701026)
NINDIYA ERLYAGUSTINA (201701028)
TRIA NURFITASARI (201701034)
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D-III KEPERAWATAN PONOROGO
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan
Anak yang berjudul “Penerapan Prinsip Atraumatic Care Dalam Asuhan Keperawatan“
dengan baik. Shalawat serta salam kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang mukmin yang tetap
istiqamah di jalan-Nya.
Makalah ini kami rancang untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Keperawatan Anak dan agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Penerapan
Prinsip Atraumatic Care Dalam Asuhan Keperawatan, yang disajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber.
Kami sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidaklah
sempurna. Kami mengharapkan adanya sumbangan pikiran serta masukan yang sifatnya
membangun dari pembaca, sehingga dalam penyusunan makalah yang akan datang
menjadi lebih baik.
Terima kasih
Penyusun
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
Anak merupakan anugerah, karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya (Ramdani,2011). Sehat dan sakit merupakan sebuah rentang yang
dapat dialami oleh semua manusia, tidak terkecuali oleh anak. Suatu keadaan
dimana anak mengalami sakit dan mengharuskan anak tinggal di rumah sakit
untuk mendapatkan terapi dan perawatan hingga pemulangannya kembali ke
rumah, merupakan suatu alasan proses hospitalisasi yang harus dijalani
(Supartini, 2004).
Anak-anak yang dirawat di rumah sakit dalam dua dekade terakhir
mengalami peningkatan pesat. Prosentase anak-anak yang dirawat di rumah
sakit ini mengalami masalah yang lebih serius dan kompleks dibandingkan
dengan hospitalisasi tahun-tahun sebelumnya (Wong, 2009). Anak-anak yang
menjalani hospitalisasi di Indonesia diperkirakan 35 per 1000 anak(Sunarko,
2008 dalam Purwandari, 2009). Anak juga sering kali berhadapan dengan
prosedur yang menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian dan berbagai hal
yang tidak diketahui (Wong, 2009).
Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara
subyektif dialami dn dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan timbul
karena adanya reseptor di otak yang menerima neurotransmitter yaitu Gama-
aminobutirik Acid (GABA). Peningkatan GABA akibat stressor tertentu
mengakibatkan neuron tidak mampu untuk menerima pesan yang cukup untuk
berhenti. Hal ini membuat seseorang terus merasa tegang, terlalu cemas dan
gelisah, dan selanjutnya akan memicu peningkatan respon saraf simpatis
(Stuart&Sundeen, 1998).
Atraumatic Care adalah bentuk perawatan teraupetik yang diberikan oleh
tenaga kesehatan yaitu perawat, dalam tatanan pelayanan kesehatan anak
melalui penggunaan tindakan yang mengurangi distres fisik maupun distres
psikologis yang dialami anak maupun orang tua (Supartini, 2004). Atraumatic
Care difokuskan dalam pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian
dalam keperawatan anak (Hidayat, AA, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh kembang perlu
perhatian lebih, karena masa anak merupakan proses menuju kematangan.
Berbagai peristiwa yang dialami anak, seperti sakit atau hospitalisasi akan
menimbulkan trauma pada anak seperti cemas, marah, nyeri, dan lain-lain.
Kondisi tersebut jika tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan masalah
psikologis pada anak yang akan mengganggu perkembangan anak. Oleh karena
itu, manfaat atraumatic care adalah mencegah masalah psikologis (kecemasan)
pada anak, serta mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak
(Hidayat, 2012). Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa penerapan
atraumatic care memiliki pengaruh atau hubungan terhadap penurunan respon
kecemasan pada anak yang di hospitalisasi (Bolin, 2011 & Breving, et al., 2015).
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan, memegang posisi kunci
untuk membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan
perawatan anaknya di rumah sakit karena perawat berada di samping pasien
selama 24 jam dan fokus asuhan adalah peningkatan kesehatan anak. Asuhan
yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care merupakan falsafah utama
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan anak. Oleh karena itu, upaya dalam
mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang tuanya selama
dalam masa perawatan berfokus pada intervensi atraumatic care yang
berlandaskan pada prinsip atraumatic care (Supartini, 2014).
1. Intervensi menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari
keluarga.
a. Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan pada anak
dapat dilakukan dengan cara melibatkan orang tua berperan aktif
dalam perawatan anak (Supartini, 2014), yaitu:
b. Memperbolehkan orang tua untuk tinggal bersama anak selama
24 jam (rooming in) atau jika tidak memungkinkan untuk rooming
in maka berikan kesempatan orang tua untuk melihat anak
setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak
antara mereka.
c. Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang
rawat seperti di rumah.
d. Pempertahankan kontak dengan memfasilitasi pertemuan
dengan guru, teman sekolah dan berhubungan dengan siapa
saja yang anak inginkan.
e. Libatkan orang tua untuk berpartisipasi dalam merawat anak
yang sakit (Susilaningrum, et al., 2013).
2. Intervensi meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol
perawatan anak
Perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tentang kebutuhan
anak untuk membantu orang tua dengan cara memberikan informasi
sehubungan dengan penyakit, prosedur pengobatan, prognosis serta
perawatan yang dapat dilakukan orang tua, dan reaksi emosional anak
terhadap sakit dan hospitalisasi (Wong, et al., 2009).
Perawat dapat juga menginformasikan kepada orang tua
mainan yang boleh dibawa ke rumah sakit, membuatkan keluarga jadwal
untuk anak, serta penting untuk perawat mempersiapkan anak dan orang
tuanya sebelum dirawat di rumah sakit melalui kegiatan pendidikan
kesehatan pada orang tua. Sehingga selama perawatan di rumah sakit
orang tua diharapkan dapat belajar dalam hal peningkatan pengetahuan
maupun keterampilan yang berhubungan dengan keadaan sakit anaknya
(Supartini, 2014).
3. Intervensi mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis
(nyeri)
Pengkajian nyeri merupakan komponen penting dalam proses
keperawatan terkait mengurangi atau mencegah dampak nyeri. Dalam
pengkajian nyeri penting bagi perawat menggunakan definisi operasional
nyeri yang diungkapkan oleh McCaffery dan Pasero (1999) dalam Wong
dan koleganya (2009) yaitu nyeri adalah apapun yang dikatakan oleh
orang yang mengalaminya, ada pada saat orang tersebut mengatakan
itu terjadi.
Wong dan koleganya (2009) juga menyatakan bahwa prinsip
pengkajian nyeri pada anak-anak adalah QUESTT yaitu question the
child (tanyakan pada anak), use a pain rating scale (gunakan skala
nyeri), evaluate behavioral and physiologic changes (evaluasi
perubahanperubahan sikap dan fisiologis), secure parent’s involvement
(pastikan keterlibatan orang tua), take the cause of pain into account
(pertimbangkan penyebab nyeri), dan take action and evaluate results
(lakukan tindakan dan evaluasi hasilnya).
Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan dua teknik.
Pertama, teknik nonfarmakologi dapat dilaksanakan melalui distraksi,
relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi kutaneus, memberikan strategi
koping yang dapat mengurangi persepsi nyeri dengan cara bicara hal
yang positif pada diri, berhenti berfikir tentang hal menyakitkan, dan
kontrak perilaku (Wong, et al., 2009). Kedua, teknik farmakologis
dilakukan dengan cara meningkatkan efektivitas dari pemberian obat
melalui penggunaan prinsip enam benar, meliputi: benar klien, benar
obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, benar dokumentasi (Rusy
dan Weisman, 2000 dalam Utami, 2012).
Untuk prosedur yang menimbulkan nyeri, anak harus menerima
analgesik dan sedasi yang cukup untuk meminimalkan nyeri dan
kebutuhan restrein yang berlebihan. Untuk anestesi lokal gunakan
lidokain yang dibufer untuk mengurangi sensasi sakit atau berikan EMLA
(Extectic Mixture of Local Anesthetics) secara topikal sebelum dilakukan
injeksi parenteral (Wong, 2013). Apabila tindakan pencegahan tidak
dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung lama pada anak
sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan (Hidayat,
2012).
Supartini (2014) menyatakan bahwa meminimalkan rasa takut
terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:
a. Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
Persiapan ini dilakukan perawat dengan cara
menjelaskan apa yang akan dilakukan dan memberikan
dukungan psikologis pada orang tua (Supartini, 2014). Persiapan
anak-anak untuk menghadapi prosedur yang menakutkan dapat
menurunkan ketakutan mereka, serta memanipulasi teknik
prosedural untuk anak-anak di setiap kelompok umur juga
meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh (Wong, et al.,
2009).
b. Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan
persiapan fisik anak
Permainan yang bisa dilakukan diantaranya bercerita,
menggambar, menonton video kaset dengan cerita yang
berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan
pada anak (Supartini, 2014). Bermain adalah salah satu aspek
penting dari kehidupan anak dan salah satu alat paling efektif
untuk penatalaksanaan stres, serta bermain juga sangat penting
bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak (Wong, et
al., 2009).
Kebutuhan bermain bagi anak sama halnya dengan
kebutuhan perkembangan anak, tidak berhenti saat anak sakit
atau di hospitalisasi. Bermain di rumah sakit memberikan banyak
manfaat pada anak yaitu memberikan pengalihan dan
menyebabkan relaksasi, membantu anak merasa lebih nyaman
di lingkungan yang asing, membantu mengurangi stres akibat
perpisahan dan perasaan rindu rumah, sebagai alat untuk
melepas ketegangan dan ungkapan perasaan, meningkatkan
interaksi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang
lain, sebagai alat ekspresi ide-ide dan minat, sebagai alat untuk
mencapai tujuan terapeutik, dan menempatkan anak pada peran
aktif dan memberi kesempatan pada anak untuk menentukan
pilihan dan merasa mengendalikannya (Wong, et al., 2009).
Supartini (2014) mengemukakan bahwa dalam melakukan
aktivitas bermain perawat hendaknya memperhatikan prinsip
permainan pada anak di rumah sakit, yaitu:
a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang
sedang dijalankan pada anak
Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan
yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak
bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang
ada di ruang rawat. Misalnya, sambil tiduran di tempat tidurnya
anak dapat dibacakan buku cerita atau diberi buku komik anak-
anak, mobilmobilan yang tidak menggunakan remote control,
robot-robotan, dan permainan lain yang dapat dimainkan anak
sambil tiduran.
b. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat, dan
sederhana
Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak,
menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau yang
tersedia di ruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat
permainan, pilih yang sederhana agar tidak melelahkan anak.
Misalnya, menggambar atau mewarnai, bermain boneka, dan
membaca buku cerita.
c. Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan anak
Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak
merangsang anak untuk berlari-lari, dan bergerak secara
berlebihan. d)Permainan harus melibatkan kelompok umur yang
sama.
Apabila permainan dilakukan khusus di kamar bermain
secara berkelompok, permainan harus dilakukan pada kelompok
umur yang sama. Misalnya, permainan mewarnai pada
kelompok usia prasekolah. e)Melibatkan orang tua
Satu hal yang harus diingat bahwa orang tua mempunyai
kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh-
kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit,
termasuk dalam aktivitas bermain anaknya. Perawat hanya
bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan
diinisiasi oleh perawat, orang tua harus terlibat secara aktif dan
mendampingi anak mulai dari awal permainan sampai
mengevaluasi hasil permainan anak bersama dengan perawat
dan orang tua anak lainnya. Misalnya:
a. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua
Pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri apabila orang tua tidak dapat menahan
diri, bahkan menangis bila melihatnya. Maka, perlu
dipertimbangkan untuk menghadirkan orang tua. Sebaiknya
dalam kondisi ini tawarkan pada anak dan orang tua untuk
mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak
selama prosedur tindakan (Supartini, 2014).
b. Tunjukkan sikap empati
Menunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama
dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan.
Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan menerima
realita seseorang, merasakan perasaan dengan tepat, dan
mengkomunikasikan pengertian kepada pihak lain. Untuk
mengekspresikan empati, perawat memperlihatkan pengertian
atas kepentingan pesan berdasarkan tingkat perasaan. Teknik
ini mengharuskan perawat untuk sensitif dan imajinatif, terutama
jika perawat tidak memiliki pengalaman terdahulu. Empati
merupakan tujuan yang penting, kunci untuk menyelesaikan
masalah, dan mendukung komunikasi. Pernyataan yang
menunjukkan empati sangat efektif karena memperlihatkan
perhatian perawat atas kandungan perasaan dan fakta dari
komunikasi. Pernyataan empati bersifat netral, tidak menuduh,
dan membantu pembentukan kepercayaan dalam situasi yang
sulit (Potter & Perry, 2009).
c. Lakukan persiapan khusus jauh hari sebelumnya pada tindakan
pembedahan elektif (apabila memungkinkan)
Persiapan khusus yang dapat dilakukan misalnya,
dengan mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan
dilakukan, dan petugas yang akan menangani anak melalui
cerita, gambar, atau menonton film video yang menggambarkan
kegiatan operasi tersebut. Terlebih dahulu lakukan pengkajian
yang akurat tentang kemampuan psikologis anak dan orang tua
untuk menerima informasi ini dengan terbuka. Lakukan pula
relaksasi pada fase sebelum operasi sebagai persiapan untuk
perawatan pasca operasi (Supartini, 2014).
2. Bibliography
3.