Interaksi dan komunikasi merupakan salah satu modal bagi seseorang untuk
memperoleh berbagai informasi melalui lingkungan. Lingkungan sampai saat ini diyakini
sebagai sumber yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan seseorang. Jika seseorang
mengalami hambatan dalam interaksi dan komunikasi, diyakini orang tersebut akan
mengalami hambatan dalam kegiatan belajarnya Anak autisme sebagai salah satu bagian dari
anak berkebutuhan khusus mengalami hambatan pada keterampilan interaksi dan komunikasi.
Keadaan ini diperburuk oleh adanya gangguan tingkah laku yang menyertai setiap anak
autisme, bahkan hambatan inilah yang paling mengganggu pada anak autisme dalam
melakukan interaksi dan komunikasi dengan lingkungannya.
Autisme adalah gangguan mental yang masih misterius dan diderita oleh 400.000
anak di Amerika Serikat. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000
anak atau 0,15-0,20%, jika angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah
penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun, dimana jumlah
penderita laki – laki empat kali lebih besar dibandingkan penderita perempuan. Anak
perempuan yang mengalami autis cenderung lebih parah dibandingkan anak laki – laki.
Gejala – gejala autism mulai tampak masa yang paling awal dalam kehidupan mereka dan
melakukan kebiasaan – kebiasaan lainnya yang terjadi dilakukan oleh bayi – bayi normal
lainnya (Maulana, 2008).
Gangguan autism baru disadari pada usia 18 bulan – 2 tahun dimana gangguan bicara
dan kelemahan interaksi social yang seharusnya sudah dikuasai tidak tampak pada anak dan
lebih nyata pada saat masa kanak –kanak awal (2 – 6 tahun). Ciri utama dari autism adalah
ketidakmampuan untuk melakukan interaksi social, masalah pada komunikasi dan adanya
perbuatan repetitive dan stereotip. Sedangkan gangguan tingkah laku merupakan bagian dari
cirri utama yang tampak pada anak autis meliputi hiperaktifvitas, tidak adanya perhatian,
kegagalan melakukan kontak mata, impulsive, mudah tersinggung.
PEMBAHASAN
1. Autistic Disorder
muncul sebelum usia 3 tahun dan di tunjukan adanya hambatan dalam interaksi sosial,
komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginative serta adanya prilaku
stereotip pada minat dan aktivitas
2. Aspergers Syndrom
Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktifitas yang terbatas
secara umum tidak menunjukan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki
tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder
merujuk pada istilah atypical autism, diagnose PDD-NOS berlaku bila seorang anak
tidak menunjukan keseluruhan kriteria pada diagnose tertentu (autisme, Asperger atau
rett syndrome)
4. Retts Syndrom
Lebih sering terjadi pada anak perempuan, sempat mengalami perkembangan yang
normal kemudian terjadi kemunduran atau kehilangan kemampuan yang di
milikinnya: kehilangan kemampuan fungsional tangan yang di gantikan dengan
gerakan-gersksn tangan yang berulang ulang pada rntang usia 1-4 tahun.
5. Chilhood disintegrative Disorder
Menunjukan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan.
kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai
sebelumnya.
Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS)
umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa
karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for
Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa
Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki
karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan
gangguan yang bersifat neurologis yang memengaruhi kemampuan berkomunikasi,
pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain.
Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar
terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
1. Diagnosis
Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti
dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan
peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum
autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to
diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan
pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya
mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan
sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-
teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari
adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh
yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika
keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi
yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan
perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan
selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan
konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin
memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup
anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap
kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila
kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan
keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak,
kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan
konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain
sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat
individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low
functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk
menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa
bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada
ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada
pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme
yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya:
Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang
sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang
mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi
seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu
mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang
pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat
menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat
dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik
mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan
kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa
manfaat apapun.
2. Gejala Kelinis
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan
berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang
lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif
terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan,
penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau
jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan.
Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah
sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal
mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang
terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para
penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang
mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan
tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka. Beberapa
atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para
penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat
sekalipun.
a. dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
b. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
c. Bermain dengan Hambatan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
d. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
e. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu.
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak
‘berbicara’ sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering
ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki
kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit
memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas
yang unik dari individu-individu penyandangnya. Autism adalah gangguan perkembangan
pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Gangguan keanehan perilaku pada
anak yang harus diamati adalah menyangkut berbagai perkembangan.
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal
a. Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat
berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim
digunakan.
b. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi
dalam waktu singkat.
c. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain (”bahasa planet”)
d. Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
e. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya.
f. Bicaranya monoton seperti robot
g. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
h. Mimik datar
Gangguan perilaku
a. Sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang
tertentu pada tempatnya
b. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama
kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak
tentu arah.
c. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang).
Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan
kepala di dinding
d. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong
dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat
menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat
menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri.
e. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.
Salah satu tanda bahwa anak mengalami autisme adalah kemampuan berkomunikasi
yang lemah. Penyebab kesulitan berkomunikasi pada anak autis baru-baru ini diungkapkan
oleh sejumlah peneliti yang mempelajari hal tersebut.Seperti yang dikutip dari webmd.com,
anak-anak penderita autisme kurang menyukai suara manusia, karenanya mereka kurang suka
berbicara dengan orang lain yang berakibat pada kesulitan berkomunikasi.
Penderita autis terlihat sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Kini peneliti
menemukan penyebab kenapa penderita autis harus berjuang keras dalam lingkungan
sosialnya. Peneliti dari University of Cambridge yang melakukan penelitian dengan scan otak
yang canggih menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang memang tidak
mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya, jangankan untuk berkomunikasi,
untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja, penderita sudah kesulitan. Scan otak
canggih yang didapatkan peneliti menunjukkan penderita autis terlihat kurang aktif bila
terlibat dalam hal pemikiran tentang kesadaran diri. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan
dalam jurnalBrain. Penelitian ini telah menunjukkan adanya masalah pada penderita autis
yaitu dalam hal kesulitan memikirkan sesuatu dan membuat rasa mengenai dirinya sendiri
dan orang lain. Para peneliti menggunakan scan resonansi magnetik fungsional untuk
mengukur aktivitas otak dari 66 relawan laki-laki yang sekitar 50 persennya telah didiagnosis
mengalami gangguan spektrum autis. Para relawan ini diminta untuk memberikan penilaian
mengenai pikiran dirinya sendiri, opini, preferensi, karakteristik fisik serta diharuskan
memberikan penilaian terhadap orang lain. Dengan melakukan scan terhadap otak para
relawan dalam menanggapi berbagai pertanyaan tersebut, maka peneliti bisa melihat adanya
perbedaan aktivitas otak antara penderita autis dengan yang tidak. Peneliti sangat tertarik
mengenai bagian dari otak yang disebut dengan ventrodial pre-frontal cortex (vMPFC) yang
dikenal aktif ketika seseorang berpikir mengenai dirinya sendiri. “Penelitian ini menunjukkan
bahwa otak autis harus bekerja keras dalam memproses informasi mengenai dirinya sendiri,
sedangkan untuk menjelajahi interaksi sosial dengan orang lain diperlukan usaha yang lebih
keras lagi,” ujar Michael Lombardo dari University of Cambridge, seperti dikutip
dari BBC, Senin (14/12/2009).
KESIMPULAN
Apabila tidak di tangani dengan tepat dan cepat kelainan ini akan menetap dan dapat
berakibat pada keterlambatan perkembangan. Meskipun demikian, tidak berarti anak autisme
tidak memiliki potensi yang di kembangakan, meskipun potensinya kecil, di perkirakan
kurang dari 20% dari populasi anak yang mengalami autisme, mereka memiliki potensi rata-
rata bahkan ada yang di atas rata-rata. Tidak jarang di antara mereka ada yang berhasil
mencapai prestasi akademik tertinggi seperti anak pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
https://jurnalpediatri.com/2011/10/23/autism-sebuah-gangguan-perilaku-pada-anak/
https://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-autisme.html
https://www.fimela.com/parenting/read/3818576/mengapa-anak-autis-sulit-berkomunikasi
https://ideguru.wordpress.com/2010/04/03/penyebab-penderita-autis-sulit-berkomunikasi/
https://richardeverttoy.blogspot.com/2014/06/meningkatkan-kemampuan-komunikasi-anak.html
https://rizkyadindabenk.blogspot.com/2015/06/makalah-anak-berkebutuhan-khusus-autisme.html
https://bsd2014diaartarina.wordpress.com/29-2/
https://hamil.co.id/anak/autisme/penyebab-anak-autis
https://amarsuteja.blogspot.com/2013/05/masalah-pada-anak-autis.html
http://digilib.uin-suka.ac.id/24472/1/Ni%20Wayan%20Primanovenda%20Wijayaptri%20-
%20HAMBATAN%20KOMUNIKASI%20PADA%20PENYANDANG%20AUTISME%20REMAJA%20SEBUAH
%20STUDI%20KASUS.pdf