Anda di halaman 1dari 3

Gangguan Autistik (Autistik Dissorder)

Gangguan Autistik (Autistik disorder) yang sering disebut sebagai autisme adalah gangguan
kronis yang gejalannya mencakup kegagalan dalam mengembangkan hubungan social yang normal
dengan orang lain. Seperti gangguan perkembangan kemampuan komunikatif, kehilangan kemampuan
berimajinasi dan gerakan yang diulang-ulang serta stereotip. Kebanyakan orang yang mengalami
gangguan autistic menampakkan kerusakan kognitif. Silvermann dkk (2010) menyatakan bahwa Kelainan
pada gangguan autistic empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Gangguan
autistik adalah salah satu dari beberapa gangguan perkembangan pervasif. Gangguan pervasif adalah
kondisi psikiatrik seseorang sehingga keterampilan sosial yang diharapkan pada perkembangan bahasa,
dan kejadian perilaku tidak berkembang secara sesuai atau hilang pada masa anak-anak. Autistik
merupakan bentuk paling ringan dari Sindrom Asperger.

Sindrom Asperger adalah gangguan pada perkembangan yang mempengaruhi kemampuan


seseorang dalam bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif. Gejala utama sindrom Asperger adalah
kurangnya interaksi social, perilaku repetitif yaitu perilaku yang diulang selama beberapa waktu dan
kurang peka.

Gangguan Rett disorder adalah sindrom Neurologis genetik yang terjadi pada perempuan yang
mengalami gangguan dalam perkembangan otak pada masa bayi. Biasanya muncul pada usia 6 hingga
18 bulan, Pertumbuhan pengidapnya menjadi lebih lambat dan mereka juga sering kali mengalami
kesulitan berjalan dan memiliki kepala yang lebih kecil. Gangguan rett disorder memiliki komplikasi
penyakit seperti kejang-kejang, kelainan pada rangka tubuh dan kesulitan dalam tidur.

Sindrom Heller adalah gangguan disintegrative. Biasanya dalam usia 2-4 tahun kondisi
perkembangan anak baik secara intelegensi maupun hubungan sosialnya. Namun beberapa bulan
setelah itu anak akan kehilangan kemampuan seperti kemampuan bahasa, kemampuan dalam bergerak
dan mental.

Menurut DSM-IC, diagnosis hangguan autistic membutuhkan 3 aspek gejala :

1. Gangguan interaksi social, kurang peka terhadap hubungan social dan tidak mampu menjalin
interaksi social
2. Gangguan Sosial, selalu menghindari interaksi dan kontak mata dengan orang sekitar, berbahasa
aneh dan sering diulang-ulang dan tidak menganggap orang disekitar mereka itu ada.
3. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginative, selalu melakukan gerakan-gerakan aneh yang
khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda

Frith, Morton dan Leslie (1991) menunjukkan bahwa beberapa gejala autism berasal dari
kelainan pada otak. Sehingga penderita autisme tidak mampu memprediksi, menjelaskan dan
menyimpulkan pikiran, perasaan dan niat orang lain dari ekspresi emosional, nada suara dan perilaku
orang lain.

Perkembangan bahasa orang yang memiliki gejala autisme tidak normal. Selalu mengulang
perkataan yang diucapkan kepada orang lain dan menyebutkan diri mereka sebagai orang lain. Misalnya
ketika mereka berkata “kamu mau susu ?” berarti orang yang memiliki gejala autism tersebut sebenarnya
mengatakan “aku mau susu”. Seorang yang memiliki gejala autism belajar bahasa namun gagal dalam
menggunakan bahasa tersebut secara produktif. Sedangkan ada yang memiliki kemampuan bahasa
cukup baik ketika berbicara dengan orang lain, namun hanya berbicara tentang apa yang dia sukai dan
apa yang menjadi perhatian dari orang yang mengalami austisme tersebut.

Penderita autis umumnya menunjukkan minat dan perilaku abnormal. Misalnya ketika seorang
yang memiliki gangguan autisme, selalu melakukan gerakan seperti joget berkali-kali atau ketika mereka
terobsesi dengan benda yang berada disekitarnya, meraka akan membawanya dan akan akan sangat
marah ketika dilarang. Penderitas autism tidak menyadari apa yang terjadi di sekitar mereka.
Kebanyakan penderita autisme mengalami retardasi mental namun tidak semua mengalami hal tersebut.
Gejala autisme dapat sangat ringan, sedang hingga parah. Para ahli mengatakan bahwa anak-anak
dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara nonverbal, memiliki
perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan
maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan
fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif
serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning
autism

Kemungkinan Penyebab Gangguan Autisme ada beberapa hal, yaitu

1. Faktor keterwarisan
Pada sebuah studi menyatakan bahwa sekitar 2-18% orang tua yang memiliki anak penderita
autisme, berisiko memiliki anak kedua dengan gangguan yang sama. Gangguan autisme dapat
disebabkan oleh beerbagai macam mutasi langka yang terjadi pada kromosom. Ada beberapa para
peneliti meyakini bahwa memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak
diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.
2. Faktor Patologi Otak
Fakta yang menunjukkan bahwa autisme sangat diwariskan merupakan bukti dugaan bahwa
gangguan tersebut adalah hasil dari kelainan structural atau biokimia di otak. Selain itu berbagai
gangguan meds terutama yang terjadi selama perkembangan prenatal dapat menghasilkan gejala
autisme. Bukti menunjukkan bahwa sekitar 10% dari semua kasus autis mmeiliki penyebab biologis
yang telah didefiniskan, seperti rubella (campak Jerman) selama kehamilan, prenatal thalidomide,
ensefalitis yang disebabkan oleh virus herpes, dan tuberous selerosis, suatu gangguan genetic yang
menyebabkan pembentukan tumor jinak di banyak organ, termasuk otak. Bukti menunjukkan bahwa
daya kelainan yang signifikan dalam perkembangan otak anak-anak autis. Courchesne dkk.,
(2005,2007) mencatat bahwa meskipun otak seorang autis, rata-rata sedikit lebih kecil saat lahir, ia
mulai tumbuh dengan cepat secara tidak normal dan sampai usia dua sampai tiga tahu sekitar 10%
lebih besar dari otak normal. Mengikuti lonjakan awal ini, pertumbuhan otak penderita autis mulai
melambat sehingga sampai saat remaja hanya sekita 1-2% lebih besar dari biasanya.
Tidak semua bagian dari otak autis menunjukkan pola pertumbuhan yang sama. Wilayah-wilayah
yang tampaknya paling terlibat dalam fungsi-fungsi yang terganggu pada autisme memperlihatkan
pertumbuhan terbesar pada awal kehidupan dan pertumbuhan paling lambat antara anak usia dini
dan remaja. Sebagai contoh, korteks frontal dan korteks temporal otak autis tumbuh dengan cepat
selama 2 tahun pertama kehidupan, tetapi kemudian menunjukkan sedikit atau tidak ada peningkatan
ukuran selama 4 tahun berikutnya, sedangkan dua wilayah ini masing-masing tumbuh sebesar 20%
dan 17% pada otak normal. Pola pertumbuhan wilayah dengan urutan yang lebih rendah dari korteks
serebral, seperti korteks visual primer dan korteks ekstrastriata, relative normal pada otak autis.
Amigdala juga menunjukkan pola normal pertumbuhan selama perkembangan. Pada usia 4 tahun,
amigdala lebih besar pada anak-anak autis. Di awal masa dewasa ukurannya sama dengan amigdala
pada orang nonautis, tetapi mengandung lebih sedikit neuron (Schuman dan Amaral, 2006).
Otak autis juga menunjukkan kelainan pada meteri putih. Herbert dkk (2004) menemukan bahwa
dalam otak penderita autis, volume materi putih yang mengandung akson jarak panjang yang
menghubungkan wilayah-wilayah yang jauh pada otak tidak menujukkan peningkatan. Para peneliti
telah menggunakan metode pencitraan struktural dan fungsional untuk menyelidiki dasar saraf dari
tiga kategori gejala autis. Misalnya Castelli et al (2002) menunjukkan kepada subjek-subjek normal
dan orang-orang berfungsi tinggi dengan autisme atau sindroma Asperger sejumlah animasi yang
menggambarkan dua segitiga berinteraksi dalam berbagai cara yang memiliki tujuan (misalnya
semata berkejar-kejaran atau bertarung) atau dalam cara yang menunjukkan bahwa tampaknya satu
segitiga mencoba menipu atau membujuk segitiga yang satu lagi. Kuarangnya inat atau pemahaman
terhadap orang lain tercermin dalam respons otak penderita autis sewaktu melihat wajah manusia.
Suatu studi pencitraan fungsional oleh Schultz (2005) menemukan sdikit atau tidak ada aktivitas
dalam area wajah fusiformis orang dewasa autis ketika melihat foto-foto wajah manusia. Kemampuan
penderita autis dalam mengenali ekspresi wajah emosi atau arah tatapan orang lain dan memiliki
tingkat kontak mata rendah dengan orang lain. Sebuah studi oleh Pelphrey dkk. (2002) menemukan
bahwa penderita autis yang diminta untuk mengidentifikasi emosi yang ditunjukkan oleh foto-foto
wajah tidak dapat melihat mata orang lain, yang informative dalam membuat penilaian emosi.
Oksitosin, peptida yang berfungsi sebagai hormon dan neuromodulator, memfasilitasi ikatan
pasangan dan meningkatkan kepercayaan dan kedekatan dengan orang lain. Modahl dkk (1998)
melaporkan bahwa anak-anak autis memiliki peptide ini dengan kadar yang lebih rendah. Studi
menunjukkan bahwa oksitosin dapat meningkatkan kemampuan sosial orang dengan ASD.
Pemberian oksitosin meningkatkan kinerja remaja laki-laki dengan ASD pada tes pegenalan emosi.
Sirkuit neuron cermin berperan dalam persepsi emosi dan niat berperilaku. Sirkuit ini diaktifkan ketika
kita melihat orang lain menghasilkan ekspresi emosi atau melakukan tindakan yang diarahkan pada
tujuan, dan umpan balik dari kegiatan ini membantu kita untuk memahami yang dirasakan seseorang
atau yang sedang diusahakan untuk dicapai. Dengan kata lain, sistem neuron cermin mungkin
terlibat dalam kemampuan kita untuk memahami sesuatu yang orang lan coba lakukan, dan
berempati terhadap emosi mereka. Lacoboni dan Dapretto (2006) menunjukkan bahwa defisit sosial
yang terlihat pada autisme mungkin adalah akibat dari perkembangan sistem neuron cermin yang
tidak normal. Bahkan studi fungsional oencitraan mengamati kekurangan aktivasi sistem neuron
motor cermin pada anak-anak autis dan studi MRI struktural menemukan bahwa korteks serebral
dalam sistem neuron cermin pada orang autis lebih tipis.
Baron-Cohen (2002) mencatat bahwa karakteristik perilaku orang dengan gangguan spektrum
autistic nampaknya melbih-lebihkan sifat yang cenderung berkaitan dengan jenis kelamin pria.
Seperti yang kta lhat, kejadian gangguan spektrum autis adalah empat kali lebih umum pada laki-laki.
Gangguan ini mungkin merupakan cermiann dari otak ekstrem laki-laki. Sebagai contoh, ia mencatat
bahwa rata-rata perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki dalam menyimpulkan pikiran atau
maksud orang lain, lebih sensitif terhadap ekspresi wajah, lebih cenderung untuk merespons dengan
empati terhadap penderitaan orang lain, dan lebih mungkin untuk berbagi dengan orang lain dan
bergiliran dengan mereka. Rata-rata laki-laki cenderung kurang menampilkan karakteristik-
karakteristik tersebut. Diferensiasi seksual otak sebagian besar dikendalikan oleh paparan androgen
prenatal. Auyeung et al (2009) menggunakan dua uji yang mengukur sifat-sifat autistik untuk menilai
perilaku anak-anak normal yang ibunya telah menjalani aminosintesis. Mereka menemukan korelasi
positif yang signifikan pada laki-laki maupun perempuan anatara kadara testosterone janin dan nilai
dalam ujian-ujian ini.
Banyak peneliti telah mencatat bahwa adanya perilaku stereotip dan keasyikan obsesif yang
berulang-ulang terhadap subjek tertentu menyerupai gejala gangguan obsesif-kompulsif. Penelitian
menunjukkan bahwa hal yang sama mungkin terjadi pada gejala perilaku autisme. Beberapa studi
telah mengalami peningkatan volume nukleus kaudata pada autisme. Bahkan Hollander dkk (2005)
menemukan bahwa volume nukleus kaudata sebelah kanan berkorelasi posiftif dengan peringkat
perilaku berulang pada pasien dengan ASD.

Anda mungkin juga menyukai