NEURODEVELOPMENTAL DISORDER
SKENARIO : AUTISM SPECTRUM DISORDER
KELOMPOK 1
1. Jalal Utomo Tampilang (150120238)
2. Syela Margareth W (150120038)
3. Nabila Aulia (150120235)
4. Nengah Intan Anggrena (150120177)
5. Jovantinus Susanto (150120024)
Koko adalah seorang anak laki-laki berusia 5 tahun. Menurut orangtuanya, Koko agak
sulit diajak berkomunikasi karena tidak ada kontak mata yang ditunjukkan Koko setiap kali
berinteraksi dengan orang lain. Ketika Koko diminta oleh orangtuanya melakukan sesuatu, ia
sama sekali tampak tidak merespon. Koko hanya terdiam saja sambal menggoyang-goyangkan
tubuhnya di kursi. Ia juga suka menunjukkan perilaku berulang-ulang, Koko suka berlari
berputar-putar dari ujung ruang tamu ke ujung ruang tamu lainnya tanpa berhenti.
Kebiasaan yang juga Koko suka lakukan sehari-hari ialah ia sangat suka bermain di
pojokan sendiri. Mainan kesukaannya adalah bermain menyusun lego atau balok-balok. Ia
bermain sambil bergumam sendiri dengan gumaman seperti nada lagu. Orangtuanya kerap
memperhatikan bahwa Koko mempunyai pola urutan warna tersendiri ketika menyusun lego:
lego merah dahulu, baru diikuti warna biru, dan kemudian kuning. Pernah suatu ketika, saat
menemani anaknya bermain lego, Ibu Koko menyusun lego dimulai dengan warna kuning
terlebih dahulu. Sontak, Koko mengamuk sambil menangis tidak berhenti. Lalu ibunya
menyusun lego sesuai kebiasaan Koko, yakni merah dahulu, biru, lalu kuning. Setelah itu,
tangisan Koko baru mau berhenti. Kemarin saat di sekolah, Koko juga “mengamuk”. Saat
diminta mengerjakan tugas gambar sampai selesai, Koko membuang krayon di atas meja dan
langsung bertepuk tangan berkali-kali sampai tidak mau berhenti. Melihat anaknya
menunjukkan perilaku yang tidak biasa, orangtua Koko memeriksakan Koko kepada psikolog
perkembangan. Hasilnya Koko terdiagnosa memiliki autism.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, psikolog perkembangan menjelaskan bahwa anak
dengan autism memiliki keterbatasan dalam menunjukkan empati, secara spesifik memiliki
keterlambatan atau gagal mengembangkan ‘theory of mind’ dan terlihat menunjukkan tanda-
tanda mengembangkan ‘a typical male brain’. Tipe otak ini dapat saja dipengaruhi oleh kadar
testosterone dan oksitosin yang ada pada diri Koko. Selain itu, konektivitas antar region otak
juga diduga mempengaruhi kondisi pada anak autism.
2. Hormon Oksitosin
Hormon oksitosin merupakan hormon yang berkaitan dengan perasaan
dan emosi manusia. oksitosin mempengaruhi perasaan manusia, baik perasaan
senang, bahagia, hingga perasaan lainnya yang berhubungan dengan emosi
manusia. Hormon oksitosin diproduksi secara alami dari dalam tubuh dan
letaknya berada di dalam area hipotalamus pada otak. Hormon tersebut
dikeluarkan oleh kelenjar pituitari yang berada di dasar otak. Autisme diketahui
merupakan gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan kesulitan
berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Oleh karenanya, uji klinis pada anak
autis akan menunjukkan hubungan antara kadar hormon oksitosin dan kesulitan
mempercayai seseorang. Para peneliti pun menemukan, kadar hormon oksitosin
pada anak autis umumnya rendah. Inilah yang memicu mereka kesulitan
berkomunikasi dan membangun kepercayaan terhadap orang lain.
3. Hormon Vasopresin
Vasopresin dikenal sebagai hormon anti diuretik (antidiuretic hormone
/ ADH). Distribusi reseptor terhadap ADH ada di seluruh sistem saraf, terutama
di korteks serebral, septum hidung, hipotalamus, dan hippocampus. Dua jenis
utama reseptor vasopresin adalah reseptor Vla (VlaR) dan reseptor VIb (V1bR).
Gen VlaR dikaitkan dengan autisme. Tikus yang tidak mempunyai VlaR dan
VIbR mengalami gangguan interaksi sosial. Vasopresin pada manusia (terutama
pada pria) dikaitkan dengan sinyal sosial dan agresivitas. Vasopresin
memfasilitasi respon agonis pada pria dan respons afiliatif pada wanita (Tareen
et al, 2012).
4. Hormon melatonin
5. Hormon Tiroid
Hormon tiroid penting dalam neurogenesis seperti proliferasi sel, otak
kecil, sinaptogenesis, dan mielinisasi. Kurangnya hormon tiroid dalam
perkembangan saraf pada periode janin dapat menyebabkan cacat perilaku pada
autisme, namun bukti ilmiah hubungan antara hormon tiroid dan autisme belum
tersedia (Tareen et al, 2012).
6. Hormon Sekretin
Sekretin memiliki fungsi utama dalam pencernaan. Hormon ini
diproduksi di otak kecil dan hippocampus. Reseptor ditemukan di otak kecil,
hippocampus, batang otak, korteks serebral, thalamus, striatum, dan amygdala.
Pemberian sekretin diduga mampu meningkatkan keterampilan bahasa,
memori, dan perilaku. Kekurangan reseptor sekretin pada tikus dapat
menyebabkan fenotip sosial yang kaku dan gangguan kemampuan mengenali
lingkungan sosial, yang menyerupai dengan kondisi autisme (Tareen et al,
2012).
5. Baby and Infant Screen for Children with aUtIsm Traits-Part 1 (BISCUIT-Part
1)
Merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur gejala dari ASD pada
anak-anak dengan rentang usia 17-37 bulan. Asesmen ini memiliki 62 item yang
dinilai berdasarkan skala likert dengan tiga poin.
Intervensi pada orang dengan gangguan ASD biasanya berupa terapi namun bisa
dalam bentuk terapi obat-obatan tetapi tidak efektif dalam penyembuhan. Menurut
Rahayu (2015) terapi yang tepat untuk anak atau orang dengan gangguan ASD dapat
dilakukan sejak balita, karena anak dengan usia di bawah 3 tahun memiliki otak yang
bersifat plastis. Sel-sel otak pada usia balita masih mengalami perkembangan yang
sangat pesat sehingga jika ada gangguan pada salah satu otak dapat tergantikan dengan
sel-sel yang baru. Sebelum dilakukannya terapi pastinya akan dilakukan penelitian
terlebih dahulu kepada subjek, sehingga terapi yang diberikan sesuai dengan kondisi
2. Terapi Biomedik
Beberapa anak dengan gangguan autisme memiliki gangguan pada
metabolismenya sehingga ini dapat mempengaruhi susunan sistem saraf pusat
dan berdampak pada fungsi otak. Gangguan tersebut jika tidak ditangani dapat
memperburuk gejala autisme (Yessy, 2017). Terapi biomedik merupakan
penanganan secara biomedis yang mencari adanya faktor gangguan terhadap
orang gangguan autisme sehingga dapat diperbaiki kerusakannya. Diharapkan
terapi ini dapat memperbaiki susunan saraf pusat menjadi lebih baik lagi
sehingga gejala autisme dapat berkurang atau menghilang. Menurut Dr.
Handojo dalam Suteja & Wulandari (2013) terapi biomedik digunakan untuk
memberikan obat pada anak autisme. Jenis obat, food suplemen dan vitamin
yang sering dipakai adalah risperidone, ritalin, haloperidol, pyridoksin, DMG,
TMG, magnesium, Omega-3, dan Omega-6 dan lain-lain.
a. Risperidone
Risperidone merupakan obat yang berfungsi untuk memperbaiki
perilaku sensorimotor, respon sensorik, dan afektif (McDougle, et al,
dalam Pinzon, Meliala & Sutarni, 2007). Pada hasil penelitian yang
dilakukan oleh Pinzon, Meliala & Sutarni (2007), pemberian obat
risperidone efektif dalam memperbaiki gangguan disruptif pada anak
atau remaja dengan gangguan autisme.
c. Haloperidol
Haloperidol merupakan suatu obat yang biasa digunakan untuk orang
dengan gangguan skizofrenia dan juga untuk mengatasi gangguan
perilaku yaitu gejala sindrom tourette (LeClerc & Easley, 2015).
Sindrom tourette adalah gangguan dengan munculnya gerakan yang
berulang-ulang dan ucapan yang dilakukan berulang kali (tics).
Haloperidol juga dapat digunakan untuk anak penyandang autisme.
Berdasarkan penelitian dari LeClerc & Easley (2015), haloperidol
efektif dalam menangani perilaku iritabilitas dan agresi pada orang
dengan gangguan autisme. Selain itu, haloperidol juga dapat
permasalahan perilaku sosial pada anak autisme, namun hal ini tidak
begitu efektif. Haloperidol sendiri memiliki efek samping yang
mengakibatkan dyskinesia dan sindrom ekstrapiramidal.
3. Terapi Makanan
Beberapa anak dengan gangguan autisme memiliki alergi atau
permasalahan dalam makanan. Terapi makanan yang dimaksud adalah dalam
bentuk terapi diet yang disesuaikan dengan permasalahan anak-anak. Beberapa
terapi diet diantaranya:
a. Diet tanpa gluten dan kasein. Diet ini digunakan untuk menghindari
makanan atau minuman yang memiliki kandungan gluten dan kasein.
Makanan atau minuman yang mengandung gluten biasanya terdapat di
roti, mie, kue, biskuit, pizza, makaroni, spaghetti, dan lain-lain,
sedangkan makanan atau minuman yang mengandung kasein adalah
susu, es krim, mentega, keju, yoghurt. Menurut Friedman (dalam
Herminiati., 2009), anak dengan penyandang tidak bisa mengkonsumsi
gluten dan kasein karena tidak mempunyai enzim utama DPP-IV
(dipeptidylpeptidase IV), yang hal ini diakibatkan dari faktor genetik
atau enzim itu sendiri yang tidak aktif karena mekanisme autoimun. Diet
anti gluten dan kasein pada anak autis dapat menghasilkan pengaruh
positif terhadap anak, mereka lebih dapat memusatkan perhatian kepada
orang disekitarnya, adanya kemampuan dalam kemajuan belajar, kontak
mata, dan bahasa (Herminiati., 2009).
b. Diet anti yeast atau jamur atau ragi. Makanan yang perlu dihindari
adalah makanan seperti roti, biskuit, pastry, kue, karena mengandung
ragi dan gula di dalamnya. Aneka ragam jenis jamur juga dihindari
seperti jamur tiram, jamur kuping, dan lain-lain. Buah yang diawetkan
dan juga alkohol tidak diperbolehkan.
4. Terapi Perilaku
Terapi ini digunakan agar anak dengan gangguan autisme menjadi
terkendali dan paham dengan norma-norma sosial. Terapi ini biasanya
dilakukan dengan memberikan reinforcement positif dan tidak menerapkan
pemberian punishment. Dasar terapi ini menggunakan teori behavioristik ABC
yaitu antecedent sebagai instruksi yang diberikan kepada subjek, behavior
sebagai bentuk perilaku yang diharapkan, dan consequence sebagai bentuk
konsekuensi dalam hal yang menyenangkan.
Berdasarkan kajian yang kami temukan mengenai autisme, rupanya gangguan autisme
ini dapat dilihat dan ditelusuri dari berbagai perspektif yang ada. Beberapa karakteristik yang
menggambarkan gangguan autisme biasanya dilihat dari perilakunya bermasalah dalam
perkembangan bahasa, permasalahan dalam keterampilan sosialnya seperti permasalahan
dalam empati dan emosi, perilaku yang berulang-ulang, dan minat yang obsesif. Orang atau
anak dengan penyandang autisme biasanya kesulitan dalam bersosialisasi, mereka biasanya
menghiraukan orang-orang disekitarnya dan hanya berpusat pada keinginan pribadinya. Jika
dilihat secara genetik, autisme sendiri bersifat keturunan sehingga jika sebelumnya memiliki
keturunan dengan penyandang autisme maka kemungkinan keturunan selanjutnya dapat
mengalami gangguan autisme. Dalam beberapa kasus, autisme bisa berkaitan dengan gangguan
genetik dari anak seperti sindrom fragile X atau sklerosis tuberous. Sindrom fragile X adalah
kondisi genetik yang dapat menyebabkan masalah perkembangan terutama gangguan kognitif.
Berdasarkan kelainan otak, perilaku yang berulang-ulang pada orang autisme itu dapat
dikaitkan adanya permasalahan dalam otak bagian lobus frontal. Hal ini terjadi karena anak
dengan penyandang autisme memiliki keabnormalan pada volume otaknya. Dalam
permasalahan pada keterampilan sosial, dipengaruhi pada bagian otak yaitu amygdala, korteks
orbitofrontal, korteks medial-frontal, dan sulkus superior temporal. Pada bagian-bagian
tersebut memiliki keabnormalan sehingga menyebabkan adanya permasalahan yang berkaitan
dengan empati (theory of mind), pemusatan emosi, dan fokus suara. Dalam hal berbahasa,
orang dengan gangguan autisme memiliki aktivitas yang lebih besar pada area wernicke dan
aktivitas yang rendah pada area brocanya yang hal ini menyebabkan beberapa anak autisme
memiliki keterlambatan dalam berbahasa.
Berdasarkan hormon, orang dengan penyandang autisme biasanya dikaitkan dengan
beberapa gangguan hormon seperti hormon testosteron, oksitosin, vasopresin, melatonin,
tiroid, dan sekretin. Beberapa hormon ini berkaitan dengan kemunculan karakteristik perilaku
pada orang dengan gangguan autisme. Seperti hormon testosteron yang berpengaruh dalam
perilaku agresif pada anak autisme, seperti saat anak marah mereka akan cenderung
menampilkan sikap yang agresif, hal ini dikarenakan oleh tingginya hormon testosteron pada
anak penyandang autisme itu sendiri. Secara neurotransmitter, orang dengan penyandang
autisme memiliki beberapa disfungsi sistem neurokimiawi yang meliputi sistem serotonin,
Baron-Cohen, S., & Belmonte, M. K. (2005). Autism: A window onto the development
of the social and the analytic brain. Annual Review of Neuroscience, 28, 109–126.
https://doi.org/10.1146/annurev.neuro.27.070203.144137
Christine Knickmeyer, R., & Baron-Cohen, S. (2006). Fetal testosterone and sex
differences. Early Human Development, 82(12), 755–760.
https://doi.org/10.1016/j.earlhumdev.2006.09.014
Deen, B., Koldewyn, K., Kanwisher, N., & Saxe, R. (2015). Functional organization of
social perception and cognition in the superior temporal sulcus. Cerebral Cortex,
25(11), 4596–4609. https://doi.org/10.1093/cercor/bhv111
Herminiati, A. (2009). Diet Makanan untuk penyandang autis. Jurnal Pangan, 18(54),
90–95.
Kern, J. K., Miller, V. S., Cauller, L., Kendall, R., Mehta, J., & Dodd, M. (2001).
Effectiveness of N, N-dimethylglycine in autism and pervasive development
disorder. Journal of Child Neurology, 16(3), 169–173.
https://doi.org/10.1177/088307380101600303
LeClerc, S., & Easley, D. (2015). Pharmacological therapies for autism spectrum disorder:
A review. P and T, 40(6), 389–397.
Maximo, J. O., Cadena, E. J., & Kana, R. K. (2014). The implications of brain connectivity
in the neuropsychology of autism. Neuropsychology Review, 24(1), 16–31.
https://doi.org/10.1007/s11065-014-9250-0
McConachie, H., Parr, J. R., Glod, M., Hanratty, J., Livingstone, N., Oono, I. P., Robalino,
S., Baird, G., Beresford, B., Charman, T., Garland, D., Green, J., Gringras, P., Jones,
G., Law, J., Le Couteur, A. S., Macdonald, G., McColl, E. M., Morris, C., …
Williams, K. (2015). Systematic review of tools to measure outcomes for young
children with autism spectrum disorder. Health Technology Assessment, 19(41), 1–
538. https://doi.org/10.3310/hta19410
Moreira, P. S., Marques, P., & Magalhaẽs, R. (2016). Identifying functional subdivisions
in the medial frontal cortex. Journal of Neuroscience, 36(44), 11168–11170.
https://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.2584-16.2016
Nye, C., & Brice, A. (2005). Combined vitamin B6-magnesium treatment in autism
spectrum disorder. Cochrane Database of Systematic Reviews.
https://doi.org/10.1002/14651858.cd003497.pub2
Obara, T., Ishikuro, M., Tamiya, G., Ueki, M., Yamanaka, C., Mizuno, S., Kikuya, M.,
Metoki, H., Matsubara, H., Nagai, M., Kobayashi, T., Kamiyama, M., Watanabe, M.,
Kakuta, K., Ouchi, M., Kurihara, A., Fukuchi, N., Yasuhara, A., Inagaki, M., …
Kuriyama, S. (2018). Potential identification of vitamin B6 responsiveness in autism
spectrum disorder utilizing phenotype variables and machine learning methods.
Scientific Reports, 8(1), 1–7. https://doi.org/10.1038/s41598-018-33110-w
Pinzon, R., & Meliala, L. (2007). Telaah kritis terapi risperidone untuk perbaikan perilaku
pada gangguan spektrum autistik. Universa Medicina, 26(1), 39–45.
Pivovarciova, A., Durdiakova, J., Babinska, K., Kubranska, A., Vokalova, L., Minarik,
G., Celec, P., Murin, M., & Ostatnikova, D. (2016). Testosterone and androgen
receptor sensitivity in relation to hyperactivity symptoms in boys with autism
spectrum disorders. PLoS ONE, 11(2), 1–15.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0149657
Ramadayanti, S., & Margawati. A. (2013). Perilaku Pemilihan Makanan dan Diet Bebas
Gluten Bebas Kasein Pada Anak Autis. Journal of Nutrition College, 2(1), 35-43.
Sayogo, W. (2020). Gambaran Kelainan Sistem Saraf dan Endokrin Pada Autisme.
Prominentia Medical Journal, 1(1), 1-7.
Suteja, J., & Wulandari, R. (2013). Bentuk dan Model Terapi Terhadap Anak-Anak
Penyandang Autisme (Keterbelakangan Mental). Scientiae Educatia, 2(1), 113–124.
Sturman, N., Deckx, L., & van Driel, M. L. (2017). Methylphenidate for children and
adolescents with autism spectrum disorder. Cochrane Database of Systematic
Reviews, 2017(11). https://doi.org/10.1002/14651858.CD011144.pub2
Swari, R. C., & Savitri, T. (2021, Januari 11). Ritalin. Diakses dari
https://hellosehat.com/obat-suplemen/ritalin-ritalinritalin/
Yanti, N., Bahri, H., & Fitriana, S. (2020). Pelaksanaan Terapi Wicara dalam
Menstimulusi Kemampuan Berkomunikasi Anak Autis Usia 5-6 tahun di SLB Autis
Center Kota Bengkulu. Journal Of Early Childhood Islamic Education, 2(3), 119–
131.
Yessy. (2017, Januari 27). Terapi Untuk Anak Penyandang Autisme. Diakses dari
http://rumahautis.org/artikel/terapi-untuk-anak-penyandang-autisme
PBLMinggu ke – 6
Tanggal PBL : 13 September 2021
Nama Mahasiswa yang Hadir :
Jalal Utomo Tampilang (150120238)
Syela Margareth W (150120038)
Nabila Aulia (150120235)
Nengah Intan Anggrena (150120177)
Jovantinus Susanto (150120024)