Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

NEURODEVELOPMENTAL DISORDER
SKENARIO : AUTISM SPECTRUM DISORDER

KELOMPOK 1
1. Jalal Utomo Tampilang (150120238)
2. Syela Margareth W (150120038)
3. Nabila Aulia (150120235)
4. Nengah Intan Anggrena (150120177)
5. Jovantinus Susanto (150120024)

TUTOR: Pak Andrian


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SARJANA PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SURABAYA
2021
SKENARIO : AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)

Koko adalah seorang anak laki-laki berusia 5 tahun. Menurut orangtuanya, Koko agak
sulit diajak berkomunikasi karena tidak ada kontak mata yang ditunjukkan Koko setiap kali
berinteraksi dengan orang lain. Ketika Koko diminta oleh orangtuanya melakukan sesuatu, ia
sama sekali tampak tidak merespon. Koko hanya terdiam saja sambal menggoyang-goyangkan
tubuhnya di kursi. Ia juga suka menunjukkan perilaku berulang-ulang, Koko suka berlari
berputar-putar dari ujung ruang tamu ke ujung ruang tamu lainnya tanpa berhenti.
Kebiasaan yang juga Koko suka lakukan sehari-hari ialah ia sangat suka bermain di
pojokan sendiri. Mainan kesukaannya adalah bermain menyusun lego atau balok-balok. Ia
bermain sambil bergumam sendiri dengan gumaman seperti nada lagu. Orangtuanya kerap
memperhatikan bahwa Koko mempunyai pola urutan warna tersendiri ketika menyusun lego:
lego merah dahulu, baru diikuti warna biru, dan kemudian kuning. Pernah suatu ketika, saat
menemani anaknya bermain lego, Ibu Koko menyusun lego dimulai dengan warna kuning
terlebih dahulu. Sontak, Koko mengamuk sambil menangis tidak berhenti. Lalu ibunya
menyusun lego sesuai kebiasaan Koko, yakni merah dahulu, biru, lalu kuning. Setelah itu,
tangisan Koko baru mau berhenti. Kemarin saat di sekolah, Koko juga “mengamuk”. Saat
diminta mengerjakan tugas gambar sampai selesai, Koko membuang krayon di atas meja dan
langsung bertepuk tangan berkali-kali sampai tidak mau berhenti. Melihat anaknya
menunjukkan perilaku yang tidak biasa, orangtua Koko memeriksakan Koko kepada psikolog
perkembangan. Hasilnya Koko terdiagnosa memiliki autism.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, psikolog perkembangan menjelaskan bahwa anak
dengan autism memiliki keterbatasan dalam menunjukkan empati, secara spesifik memiliki
keterlambatan atau gagal mengembangkan ‘theory of mind’ dan terlihat menunjukkan tanda-
tanda mengembangkan ‘a typical male brain’. Tipe otak ini dapat saja dipengaruhi oleh kadar
testosterone dan oksitosin yang ada pada diri Koko. Selain itu, konektivitas antar region otak
juga diduga mempengaruhi kondisi pada anak autism.

2 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN I
PRIOR KNOWLEDGE : TERMINOLOGI

AUTISM SPECTRUM DISORDER


Autisme adalah saat seorang didiagnosis mengalami kelainan pada saraf yang ditandai
dengan, gangguan perkembangan sosial, komunikasi, dan perilaku (Am. Psychol. Assoc. 1994,
World Health Organ. 1994). Perilaku yang dapat dilihat pada orang ASD antara lain sulit
berkomunikasi, memiliki keterbatasan terhadap empati, dan sering bergumam sendiri. Menurut
Kanner sifat utama pada individu dengan gangguan autisme yaitu kelainan pada bahasa,
gangguan interaksi sosial dan perilaku berulang (stimming) serta kisaran minat yang sempit.
(Gadad, 2013).
Dalam permasalahan genetik, orang dengan penyandang autisme biasanya terjadi
karena faktor keturunan. Permasalahan dalam orang yang memiliki autisme biasanya berkaitan
dengan gangguan genetik dari anak seperti sindrom fragile X atau sklerosis tuberous. Sindrom
fragile X adalah kondisi genetik yang dapat menyebabkan masalah perkembangan terutama
gangguan kognitif.
Perkembangan sosial orang autisme menurut studi neurologi dari Brothers (dalam
Baron-Cohen & Belmonte. 2005) yang menyatakan adanya permasalahan dalam hal
keterampilan sosial pada gangguan autisme disebabkan gangguan abnormalitas pada
amygdala, korteks orbitofrontal, korteks medial-frontal, dan sulkus superior temporal.
Menyebabkan adanya keterbatasan terhadap empati yang berkaitan dengan emosi pada orang
ASD. Perilaku yang berulang-ulang pada anak autisme ini disebabkan pada permasalahannya
di lobus frontal yang dikarenakan adanya abnormalitas pada volume otak pada anak
penyandang autisme. Permasalahan pada anak autisme yang memiliki permasalahan dalam
berbahasa rupanya ini disebabkan oleh permasalahan dalam area broca dan wernicke. Anak
dengan gangguan autisme tidak hanya dipandang secara negatif saja, anak dengan penyandang
autisme sendiri ternyata memiliki keunggulan di bidang kognitifnya salah satunya dapat dilihat
melalui asesmen embedded figure test.
Terjadinya autism juga dipengaruhi oleh adanya beberapa hormon. Jika dilihat pada
kasus Koko, hormon testosteron dapat mempengaruhi karena, pada anak autisme atau ASD
memiliki kadar yang lebih tinggi dari normal, sehingga hal ini dikaitkan oleh timbulnya
perilaku agresif dari orang yang memiliki penyandang autisme. Kemudian, terdapat pengaruh
dari hormon oksitosin, hal ini disebabkan karena orang dengan penyandang autisme memiliki

3 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


kadar yang rendah dalam hormon oksitosin sehingga dapat mempengaruhi perasaan emosi dan
empati pada orang autisme. Selain hormon-hormon tersebut terdapat hormon lain yang
berperan juga diantaranya; hormon vasopresin, melatonin, tiroid, dan sekretin.
Berdasarkan neurotransmitternya, orang dengan penyandang autisme memiliki
beberapa disfungsi sistem neurokimiawi yang meliputi sistem serotonin, norepinefrin, GABA,
dan dopamin. Gangguan sistem neurokimiawi tersebut berhubungan dengan perilaku agresif,
obsesif kompulsif dan stimulasi diri sendiri.
Dalam kondisi kehamilan, biasanya apakah janin tersebut akan mengalami gangguan
autisme tidak bisa ditebak dikarenakan faktor gangguan autisme biasanya dikarenakan oleh
genetik. Hanya saja beberapa yang bisa dilakukan untuk menghindari autisme ini pada anak
nantinya adalah mengkonsumsi zat besi yang cukup, jangan sampai kekurangan zat besi dan
memastikan mengkonsumsi dosis asam folat yang seimbang, tidak boleh berlebihan atau
kekurangan.
Asesmen yang dapat digunakan untuk mendeteksi anak atau orang dengan gangguan
autisme beberapa diantaranya adalah Autism Behavior Checklist (AuBC), Autism Diagnostic
Interview-Revised (ADI-R), Autism Diagnostic Observation Schedule-Generic (ADOS-G),
Autism Observation Scale for Infants (AOSI), Childhood Autism Rating Scale (CARS), Gilliam
Autism Rating Scale (GARS), dan lain-lain. Untuk intervensi sendiri pada orang penyandang
autisme biasanya dilakukan terapi-terapi khusus dan dilakukannya pemberian obat yang
digunakan untuk meminimalisir gejala autisme itu sendiri. Beberapa terapi yang digunakan
diantaranya ada terapi wicara, terapi biomedik, terapi makanan, dan terapi perilaku.

4 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN II
PENENTUAN MASALAH BELAJAR

LEARNING PROBLEM KELOMPOK

AUTISM SPECTRUM DISORDER


1. Apa saja karakteristik gangguan dari autism?
2. Apakah penyebab dari gangguan autism dari sisi biologis?
3. Apa penyebab anak autism emosi ketika sesuatu tidak sesuai dengan urutannya?
4. Apa fungsi dari hormon testoteron dan oksitosin yang dapat mempengaruhi autism?
5. Apakah autism perlu minum obat- obatan tertentu ?

LEARNING PROBLEM KELAS BESAR

AUTISM SPECTRUM DISORDER


1. Apa saja karakteristik pada ASD pada anak?
2. Apa penyebab ASD dari segi biologis beserta dampaknya?
A. Genetik
B. Kelainan Otak
C. Hormon
D. Neurotransmitter
E. Kondisi kehamilan
3. Assessment dan intervensi (Neuropsikologis)

5 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Autism Spectrum Disorder (ASD)


Autisme adalah saat seorang didiagnosis mengalami kelainan pada saraf utama,
yang menyebabkan gangguan pada perkembangan sosial dan komunikasi, serta
perilaku berulang-ulang dan minat obsesif (Am. Psychol. Assoc. 1994, World Health
Organ. 1994). Memang seringkali ditemukan orang ASD yang mengalami gangguan
dalam bersosial atau berkomunikasi juga perilaku berulang-ulang dan ketertarikan yang
berlebihan. Terkadang ada juga orang autisme yang memiliki IQ dibawah rata-rata.
Menurut Kanner sifat utama pada individu dengan gangguan autisme yaitu, kelainan
pada bahasa, gangguan interaksi sosial dan perilaku berulang (stimming) serta kisaran
minat yang sempit. (Gadad, 2013) Setelah berkembangnya banyak penelitian tentang
ASD disadari bahwa ASD merupakan gangguan spektrum yang luas berarti ada ciri
khas tertentu pada setiap individu ASD. Mulai dari tingkat keparahannya yang ringan
di mana orang ASD masih mampu bersosialisasi di masyarakat dengan atau tanpa
bantuan sampai tingkat yang parah di mana mereka sangat membutuhkan bantuan.
Gangguan pada proses perkembangan empati orang ASD, disinyalir menjadi
penyebab orang ASD sulit dalam perkembangan sosial dan komunikasi. Baron-Cohen
mengusulkan salah satu kondisi spektrum autisme yaitu adanya kekurangan pada proses
perkembangan empati, yang terjadi secara bertahap atau sesuai usia mental orang ASD
(Baron-Cohen 2002). Artinya orang ASD ada yang kesulitan dalam memahami
pemikiran orang lain serta bingung dalam bersikap. Akibat yang ditimbulkan dari hal
ini memang tidak terlalu terlihat namun tetap signifikan yaitu, orang ASD yang
kesulitan dalam menyimpulkan emosi orang lain yang bersifat kompleks (Baron-Cohen
et al. 2001). Yang mempengaruhi dalam berkomunikasi.
Perilaku stimming atau perilaku yang berulang ulang pada orang ASD,
diperkirakan karena kebutuhan akan stimulus dari orang sekitarnya atau mendapat
perasaan tenang saat melakukannya. gejala ini terkadang menyebabkan perilaku
berbahaya seperti menggaruk-garuk kulit secara terus-menerus. Yang mempengaruhi
gejala spektrum ini pada orang autisme yaitu adanya disfungsi eksekutif yaitu
abnormalitas pada volume otak . Disfungsi eksekutif diartikan sebagai adanya bentuk
penyakit pada lobus frontal yang berfungsi mengatur gerakan dan perilaku yang

6 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


mengarah pada ketekunan atau ketidakmampuan dalam mengalihkan fokus (Ozonoff et
al. 1991). Selain perilaku stimming disfungsi eksekutif juga mengakibatkan perilaku
suka melakukan rutinitas dan kebutuhan akan kesamaan.
Karakteristik yang paling sering ditemukan pada orang ASD adalah memiliki
keterlambatan dalam berbahasa atau kesulitan menggunakan bahasa. Permasalahan
pada anak autisme yang memiliki permasalahan dalam berbahasa rupanya ini
disebabkan oleh permasalahan dalam area broca dan wernicke. Akibatnya spectrum ini
menunjukkan bahwa adanya peningkatan pemrosesan pada tingkat kata tunggal dan
penurunan pada tingkat konteks kalimat.
Namun pada orang autisme yang juga mengalami gejala sindrom asperger,
sindrom asperger adalah gangguan spectrum ringan dengan gejala gangguan sosial juga
suka melakukan rutinitas, namun memiliki sedikit perbedaan yaitu tanpa adanya
kesulitan berbahasa dan IQ verbal dan nonverbal yang normal atau diatas rata-rata.

B. Penyebab Autism Spectrum Disorder (ASD) Berdasarkan Genetik


Pada faktor genetik, autisme dapat terjadi karena adanya keturunan dari bawaan
orang tua dari anak tersebut. Bisa seorang anak didiagnosis dengan autisme, ada
kemungkinan adiknya juga memiliki autisme. Jadi, ada kemungkinan jika anak kembar
yang lahir maka akan mengidap autisme. Dalam beberapa kasus, autisme bisa berkaitan
dengan gangguan genetik dari anak seperti sindrom fragile X atau sklerosis tuberous.
Sindrom fragile X adalah kondisi genetik yang dapat menyebabkan masalah
perkembangan terutama gangguan kognitif. Anak yang memiliki atau mewariskan gen
ini umumnya mengalami keterlambatan perkembangan bicara, kecemasan, perilaku
hiperaktif dan impulsif.

C. Penyebab Autism Spectrum Disorder (ASD) Berdasarkan Kelainan Otak


Orang dengan gangguan autisme, memiliki abnormalitas atau kelainan pada
perilakunya. Mereka biasanya memiliki kekurangan dalam hal keterampilan sosial,
komunikasi, perilaku yang berulang-ulang, dan ketertarikan yang berlebihan (Baron-
Cohen & Belmonte. 2005). Perilaku berulang-ulang yang dimiliki oleh orang dengan
gangguan autisme memiliki aspek kognitif yang dapat mempengaruhi perilaku tersebut.
Ozonoff (dalam Baron-Cohen & Belmonte. 2005) mengemukakan teori tentang
executive dysfunction yang mengatakan bahwa autisme memiliki permasalahan dalam
lobus frontal yang menyebabkan autisme memiliki ketekunan atau ketidakmampuan
dalam pengalihan fokus. Pada orang dengan gangguan autisme memiliki peningkatan

7 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


volume otak salah satunya pada lobus frontal ini. Hal ini yang menyebabkan terjadinya
ketidaknormalan dalam perilaku orang autisme. Lobus frontal terletak pada korteks
cerebral yang berfungsi sebagai pengendalian gerakan pada tubuh, memori, dan
pengendalian perilaku (Kalat, 2017), sehingga dapat disimpulkan perilaku yang
berulang-ulang pada orang gangguan autisme disebabkan oleh permasalahan dalam
lobus frontal.
Dalam hal keterampilan sosial, terdapat studi neurologi dari Brothers (dalam
Baron-Cohen & Belmonte. 2005) yang mengatakan kalau permasalahan dalam hal
perkembangan sosial pada gangguan autisme memiliki gangguan abnormalitas pada
amygdala, korteks orbitofrontal, korteks medial-frontal, dan sulkus superior temporal.
Orang dengan gangguan autisme memiliki kekurangan dalam amygdala-nya.
Amygdala sendiri berperan sebagai pengatur emosi. Berdasarkan Bauman & Kamper
(dalam Baron-Cohen & Belmonte. 2005), orang dengan gangguan autisme memiliki
peningkatan dalam kepadatan kemasan sel amygdala-nya. Abnormalitas pada
amygdala ini membuat orang dengan gangguan autisme memiliki permasalahan dalam
menyimpulkan emosi seperti pemrosesan ekspresi wajah. Pada korteks orbitofrontal
memiliki fungsi sebagai respon kita terhadap suatu hal yang dimana hal ini juga
berkaitan dengan empati seperti memahami ekspresi emosi seseorang (Kalat, 2017).
Pada korteks medial-frontal sendiri memiliki beberapa sub bagian di dalamnya,
termasuk korteks orbitofrontal. Korteks medial-frontal berperan sebagai pemantauan
dalam bertindak, respon seseorang dalam suatu konflik, dan pengambilan keputusan
(Bonni et al. 2014; Gehring and Fencsik. 2001; Kahnt et al. 2011, dalam Moreira et al.
2016). Berdasarkan Deen et al (2015), sulkus temporal superior memiliki peranan
sebagai dalam respon bahasa dan theory of mind, respon wajah dan suara, respon wajah
dan gerakan tubuh. Itulah sebabnya abnormalitas dari bagian otak amygdala, korteks
orbitofrontal, korteks medial-frontal, dan sulkus superior temporal. dapat menyebabkan
orang dengan gangguan autisme memiliki permasalahan dalam empati atau theory of
mind mereka. Akibat dari abnormalitas sulkus temporal superior juga berdampak pada
pendengaran yang dialami oleh orang dengan gangguan autisme, seperti dalam hal
pemrosesan suara dari dua sumber suara yang berbeda (Grevais et al. 2004, dalam
Baron-Cohen & Belmonte. 2005).
Orang dengan gangguan autisme tidak hanya memiliki kekurangan saja tetapi
memiliki keunggulan yang salah satunya adalah dalam hal kognitifnya. Misalnya,
dalam embedded figure test, orang dengan gangguan autisme biasanya dapat

8 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


menampilkan perilaku yang bahkan lebih superior dari pada orang normal lainnya.
Embedded figure test merupakan tes untuk menilai gaya kognitif dan kemampuan
analisa dalam bentuk tes gambar. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas yang tinggi
pada area ventral occipital dan aktivitas yang rendah pada prefrontal dan area parietal
(Baron-Cohen & Belmonte. 2005). Area ventral occipital terletak pada lobus occipital
yang berperan dalam penglihatan sedangkan area prefrontal dan area parietal termasuk
dalam lobus frontal yang berperan salah satunya dalam pengaturan pergerakan tubuh
(Kalat, 2017). Dalam hal pemrosesan terhadap kalimat, Just (dalam Baron-Cohen &
Belmonte. 2005) mengatakan, orang dengan gangguan autisme memiliki aktivitas yang
lebih besar pada area wernicke dan aktivitas yang rendah pada area brocanya. Area
wernicke berperan sebagai pemahaman dalam sebuah kata-kata, sedangkan area broca
berperan dalam produksi kata-kata. Itulah kenapa beberapa anak autisme memiliki
keterlambatan dalam berbahasa.

D. Penyebab Autism Spectrum Disorder (ASD) Berdasarkan Hormon


Hormon yang diduga terlibat dalam terjadinya autisme, antara lain hormon
testosteron, dan hormon oksitosin. hormon lainnya seperti hormon vasopresin, hormon
melatonin, hormon tiroid, dan hormon estrogen juga diduga memiliki peran dalam
risiko terjadinya autisme (Tareen et al, 2012).
1. Hormon testosteron
Kadar testosteron abnormal pada anak anak autis telah diteliti dan diduga
menjadi penyebab perilaku yang mengacu kepada kekerasan, agresi baik
eksplosif maupun non eksplosif dan juga Testosteron janin telah terbukti
mempengaruhi anatomi otak, termasuk hipotalamus, limbik,sistem, dan
neokorteks, perilaku dimorfik seksual seperti agresi dan tingkat aktivitas dan
dimorfik seksual keterampilan kognitif seperti navigasi spasial. Majewska dan
kawan-kawan (2014) menemukan bahwa kadar androgen lebih tinggi pada anak
anak prapubertas dengan autism dibandingkan dengan pasien dengan neurotipe.
Kondisi ini lebih terlihat pada anak autisme berusia 7-9 tahun, dimana mereka
mengalami pubertas awal. Davies menemukan bahwa peningkatan kadar
androgen sebelum lahir dapat meningkatkan risiko autisme. kadar testosteron
intrauterine yang tinggi berperan dalam etiopatogenesis autisme. Anak laki- laki
cenderung memiliki perilaku agresif dan eksternalisasi daripada anak hormone
perempuan. Oleh karena itu, testosteron diasumsikan memiliki peran penting

9 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


dalam agresif. Terapi antiandrogen diperkirakan mungkin memiliki nilai
potensial dalam kasus autisme (Davies, 2014). Meskipun tidak ada hubungan
yang bermakna antara kadar testosteron dalam plasma dengan gejala hiperaktif,
tetapi beberapa penelitian menunjukkan sensitivitas dari reseptor androgen
memicu gejala hiperaktif. Efek testosterone dapat dipacu melalui peningkatan
sensitivitas reseptor androgen. Gejala hiperaktif pada autisme dipicu oleh efek
testosterone yang meningkatkan peningkatan sensitivitas reseptor androgen
prenatal (Pivovarciova et al, 2016).

2. Hormon Oksitosin
Hormon oksitosin merupakan hormon yang berkaitan dengan perasaan
dan emosi manusia. oksitosin mempengaruhi perasaan manusia, baik perasaan
senang, bahagia, hingga perasaan lainnya yang berhubungan dengan emosi
manusia. Hormon oksitosin diproduksi secara alami dari dalam tubuh dan
letaknya berada di dalam area hipotalamus pada otak. Hormon tersebut
dikeluarkan oleh kelenjar pituitari yang berada di dasar otak. Autisme diketahui
merupakan gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan kesulitan
berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Oleh karenanya, uji klinis pada anak
autis akan menunjukkan hubungan antara kadar hormon oksitosin dan kesulitan
mempercayai seseorang. Para peneliti pun menemukan, kadar hormon oksitosin
pada anak autis umumnya rendah. Inilah yang memicu mereka kesulitan
berkomunikasi dan membangun kepercayaan terhadap orang lain.

3. Hormon Vasopresin
Vasopresin dikenal sebagai hormon anti diuretik (antidiuretic hormone
/ ADH). Distribusi reseptor terhadap ADH ada di seluruh sistem saraf, terutama
di korteks serebral, septum hidung, hipotalamus, dan hippocampus. Dua jenis
utama reseptor vasopresin adalah reseptor Vla (VlaR) dan reseptor VIb (V1bR).
Gen VlaR dikaitkan dengan autisme. Tikus yang tidak mempunyai VlaR dan
VIbR mengalami gangguan interaksi sosial. Vasopresin pada manusia (terutama
pada pria) dikaitkan dengan sinyal sosial dan agresivitas. Vasopresin
memfasilitasi respon agonis pada pria dan respons afiliatif pada wanita (Tareen
et al, 2012).

4. Hormon melatonin

10 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


Melatonin disekresi oleh kelenjar pineal (pineal gland), yang
mempunyai peran penting untuk pengenalan periode cahaya, penyesuaian ritme
sirkadian dan induksi tidur, dan memfasilitasi respons imun. Sekitar 44%
hingga 83% anak autism memiliki beberapa tingkatan gangguan tidur. Mereka
mengalami latensi tidur yang lebih lama, sering terbangun, dan penurunan
gerakan mata non-cepat (non rapid eye autisme, movement / NREM). Kadar
hormon rendah pada autism kemungkinan dikarenakan defisiensi asetil
serotonin O-metiltransferase (ASMT) pada jalur melatonin. Kekurangan
melatonin dapat menyebabkan abnormalitas sinaptogenesis (Tareen et al, 2012).

5. Hormon Tiroid
Hormon tiroid penting dalam neurogenesis seperti proliferasi sel, otak
kecil, sinaptogenesis, dan mielinisasi. Kurangnya hormon tiroid dalam
perkembangan saraf pada periode janin dapat menyebabkan cacat perilaku pada
autisme, namun bukti ilmiah hubungan antara hormon tiroid dan autisme belum
tersedia (Tareen et al, 2012).

6. Hormon Sekretin
Sekretin memiliki fungsi utama dalam pencernaan. Hormon ini
diproduksi di otak kecil dan hippocampus. Reseptor ditemukan di otak kecil,
hippocampus, batang otak, korteks serebral, thalamus, striatum, dan amygdala.
Pemberian sekretin diduga mampu meningkatkan keterampilan bahasa,
memori, dan perilaku. Kekurangan reseptor sekretin pada tikus dapat
menyebabkan fenotip sosial yang kaku dan gangguan kemampuan mengenali
lingkungan sosial, yang menyerupai dengan kondisi autisme (Tareen et al,
2012).

E. Penyebab Autism Spectrum Disorder (ASD) Berdasarkan Neurotransmitter


Gangguan sistem neurotransmitter sering dijumpai pada penderita autisme, dan
berhubung dengan munculnya gejala gangguan perilaku. Berbagai penelitian terdahulu
memperlihatkan adanya disfungsi sistem neurokimiawi pada penderita autisme yang
meliputi sistem serotonin, norepinefrin, GABA, dan dopamin. Gangguan sistem
neurokimiawi tersebut berhubungan dengan perilaku agresif, obsesif kompulsif dan
stimulasi diri sendiri.

F. Penyebab Autism Spectrum Disorder (ASD) Berdasarkan Kondisi Kehamilan

11 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


Pada dalam kondisi kehamilan, kita tidak tahu apakah anak yang akan lahir akan
terkena ASD atau tidak. Dokter tidak dapat mengetahui apakah anak yang akan lahir
mengidap autisme atau tidak, karena faktor terbesar autisme adalah faktor genetik yang
tidak bisa diubah. Pada waktu masa kehamilan sebaiknya jangan mengkonsumsi obat
obatan karena dapat mengakibatkan autisme pada anak. perlunya memenuhi kebutuhan
zat besi pada saat kehamilan karena menurut sebuah studi amerika mengatakan bahwa
ibu hamil yang kekurangan zat besi kemungkinan lebih besar melahirkan anak dengan
autisme dibanding ibu hamil yang zat besinya tercukupi.
Asam folat merupakan salah satu gizi yang diperlukan ibu hamil untuk
perkembangan janin dan perkembangan otak. Jika kekurangan atau kelebihan dosis
dapat menjadi faktor penyebab autisme pada anak. Penelitian dari Johns Hopkins
Bloomberg School of Public Health menunjukkan bahwa kelebihan kadar folat (4 kali
dari jumlah yang direkomendasikan), akan meningkatkan risiko 2 kali lipat anak
mengalami ASD. Untuk pengobatan terhadap autisme ada beberapa obat obatan yang
dapat digunakan meski hasilnya tidak 100% menyembuhkan dari gejala autisme seperti
obat trisiklik yang berguna untuk mengurangi gangguan obsesif-kompulsif.

G. Asesmen dan Intervensi


Asesmen atau alat ukur yang digunakan untuk mengukur autisme pada
seseorang sangatlah beragam. Berikut adalah beberapa assessment atau alat ukur yang
digunakan untuk mengukur autisme seseorang (McConachie et al, 2015):
1. Autism Behavior Checklist (AuBC)
Merupakan alat ukur yang berbentuk kuesioner yang diisi oleh orang tua atau
perawat orang penyandang autisme. Alat ukur ini memiliki 57 item dengan 5
aspek yaitu: sensoris; hubungan; tubuh dan penggunaan objek; bahasa dan sosial
dan self-help skills. Alat ukur ini dapat digunakan oleh rentang usia dari 18 bulan
hingga 35 tahun.

2. Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R)


Merupakan alat ukur dengan standarisasi semi-struktur yang berbasis
wawancara yang dikelola oleh dokter atau spesialis klinis yang biasanya
dilakukan kepada orang tua atau perawat orang penyandang autisme. Asesmen
ini pada tahun 1994 telah direvisi menjadi 11 item dan pada tahun 2003
dikeluarkannya versi 93 item.

12 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


3. Autism Diagnostic Observation Schedule-Generic (ADOS-G)
Merupakan alat ukur semi-struktur jadwal interaktif yang mengukur aspek:
komunikasi; interaksi timbal balik sosial; bermain; dan stereotip perilaku dan
minat terbatas. ADOS-G memiliki 4 modul, disesuaikan untuk anak-anak dan
orang dewasa dengan tingkat bahasa yang berbeda mulai dari non-verbal hingga
lancar dalam verbal.

4. Autism Observation Scale for Infants (AOSI)


Merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendeteksi dan memonitor gejala
awal autisme yang muncul pada bayi. Asesmen ini memiliki 18 item dan dapat
digunakan untuk usia bayi dari 6-18 bulan.

5. Baby and Infant Screen for Children with aUtIsm Traits-Part 1 (BISCUIT-Part
1)
Merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur gejala dari ASD pada
anak-anak dengan rentang usia 17-37 bulan. Asesmen ini memiliki 62 item yang
dinilai berdasarkan skala likert dengan tiga poin.

6. Behavioral Summarized Evaluation dan Behavioral Summarized Evaluation-


Revised (BSE)
Merupakan alat ukur yang memiliki 20 item yang digunakan untuk memeriksa
ruang lingkup dan tingkat keparahan pada anak autisme. Alat ukur ini kemudian
direvisi itemnya dengan menambah 9 item.

7. Childhood Autism Rating Scale (CARS)


Merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendiagnosis anak-anak dengan
gangguan autisme dan gangguan perkembangan pervasif. Asesmen ini memiliki
15 item observasi dan wawancara pada orang tua yang mengukur tingkat
keparahan perilaku yang terkait dengan autisme.

8. Gilliam Autism Rating Scale (GARS)


Merupakan alat ukur yang mengukur perilaku secara checklist yang biasanya
digunakan pada orang tua, guru, dan profesional untuk membedakan individu
yang autisme dengan perkembangan disabilitas lainnya. Asesmen ini dapat
digunakan pada usia 3 sampai 22 tahun. GARS memiliki 56 item dengan 4 aspek

13 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


yaitu: Interaksi sosial; Komunikasi; Perilaku stereotip yang dinilai berdasarkan
skala frekuensi empat poin; dan Gangguan perkembangan pada skala dikotomis.

9. Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT)


Merupakan alat ukur dengan 23 item yang dapat dijawab berdasarkan yes/no.
Asesmen ini biasanya diberikan pada orang tua dari spesialis klinis untuk
mengukur anak autisme dengan rentang usia 18-24 bulan.

10. Parent Observation of Early Markers Scale (POEMS)


Merupakan suatu report instrumen yang digunakan pada orang tua untuk
memantau prospektif perkembangan perilaku bayi dengan gejala ASD. Rentang
usia yang digunakan pada asesmen ini adalah 1-24 bulan. POEMS memiliki 61
item yang dinilai dengan skala empat poin.

11. Pervasive Developmental Disorders Rating Scale (PDDRS)


Merupakan alat ukur dengan rating scale yang digunakan untuk skrining dan
proses diagnosis pada gangguan autisme. PDDRS memiliki 51 item dengan 3
aspek yaitu: arousal, affect, dan cognition.

12. Real Life Rating Scale (RLRS)


Merupakan alat ukur perilaku dengan rating scale (47 item) yang digunakan
untuk mendiagnosis ASD. Alat ukur ini berfokus pada gangguan dalam
menanggapi sensorik.

13. Autism Treatment and Evaluation Checklist (ATEC)


Merupakan alat ukur untuk mengukur respon untuk pengobatan yang memiliki
77 item dengan teknik checklist yang biasanya diisi oleh orang tua, guru, atau
perawat yang merawat anak-anak dengan penyandang ASD.

Intervensi pada orang dengan gangguan ASD biasanya berupa terapi namun bisa
dalam bentuk terapi obat-obatan tetapi tidak efektif dalam penyembuhan. Menurut
Rahayu (2015) terapi yang tepat untuk anak atau orang dengan gangguan ASD dapat
dilakukan sejak balita, karena anak dengan usia di bawah 3 tahun memiliki otak yang
bersifat plastis. Sel-sel otak pada usia balita masih mengalami perkembangan yang
sangat pesat sehingga jika ada gangguan pada salah satu otak dapat tergantikan dengan
sel-sel yang baru. Sebelum dilakukannya terapi pastinya akan dilakukan penelitian
terlebih dahulu kepada subjek, sehingga terapi yang diberikan sesuai dengan kondisi

14 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


subjek. Rahayu (2015) menjelaskan adanya beberapa jenis terapi yang dapat digunakan
untuk anak atau orang dengan gangguan ASD, diantaranya:
1. Terapi Wicara
Terapi wicara digunakan untuk anak autisme yang berguna untuk
mengurangi masalah dan meningkatkan kemampuan perkembangan dalam
bahasa, karena semua anak autisme memiliki keterlambatan dalam berbahasa.
Terapi wicara digunakan untuk melancarkan otot-otot mulut pada anak-anak
autisme sehingga dapat membantu untuk berbicara lebih baik. Untuk mengatasi
gangguan berbicara dalam anak autisme tidak hanya dilakukan dengan terapi
wicara saja, orang tua dan keluarga juga memiliki peran yang penting dalam
mengembangkan keterlambatan berbicara pada anak autisme. Anggota keluarga
harus bisa memberikan support dan mengajari anak autisme agar kemampuan
berbicaranya berkembang (Yanti, Bahri, & Fitriana, 2020).

2. Terapi Biomedik
Beberapa anak dengan gangguan autisme memiliki gangguan pada
metabolismenya sehingga ini dapat mempengaruhi susunan sistem saraf pusat
dan berdampak pada fungsi otak. Gangguan tersebut jika tidak ditangani dapat
memperburuk gejala autisme (Yessy, 2017). Terapi biomedik merupakan
penanganan secara biomedis yang mencari adanya faktor gangguan terhadap
orang gangguan autisme sehingga dapat diperbaiki kerusakannya. Diharapkan
terapi ini dapat memperbaiki susunan saraf pusat menjadi lebih baik lagi
sehingga gejala autisme dapat berkurang atau menghilang. Menurut Dr.
Handojo dalam Suteja & Wulandari (2013) terapi biomedik digunakan untuk
memberikan obat pada anak autisme. Jenis obat, food suplemen dan vitamin
yang sering dipakai adalah risperidone, ritalin, haloperidol, pyridoksin, DMG,
TMG, magnesium, Omega-3, dan Omega-6 dan lain-lain.

a. Risperidone
Risperidone merupakan obat yang berfungsi untuk memperbaiki
perilaku sensorimotor, respon sensorik, dan afektif (McDougle, et al,
dalam Pinzon, Meliala & Sutarni, 2007). Pada hasil penelitian yang
dilakukan oleh Pinzon, Meliala & Sutarni (2007), pemberian obat
risperidone efektif dalam memperbaiki gangguan disruptif pada anak
atau remaja dengan gangguan autisme.

15 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


b. Ritalin atau methylphenidate
Berdasarkan artikel dari hello sehat, ritalin merupakan obat stimulan
yang mengandung bahan aktif methylphenidate yang bekerja dengan
mempengaruhi sistem saraf pusat untuk meningkatkan kadar dopamin
dalam otak. Biasanya obat ini digunakan untuk terapi anak ADHD
namun juga dapat digunakan untuk anak ASD atau autisme.
Berdasarkan riset dari Sturman, Deckx, & van Driel (2017),
menjelaskan bahwa hasil meta analisis dari penggunaan jangka pendek
methylphenidate pada anak 13 tahun dengan gangguan autisme yang
memiliki indikasi kurang perhatian, impulsif, dan hiperaktif, memiliki
dampak positif yaitu mengurangi gejala hiperaktif dan dapat
meningkatkan perhatian pada anak autisme.

c. Haloperidol
Haloperidol merupakan suatu obat yang biasa digunakan untuk orang
dengan gangguan skizofrenia dan juga untuk mengatasi gangguan
perilaku yaitu gejala sindrom tourette (LeClerc & Easley, 2015).
Sindrom tourette adalah gangguan dengan munculnya gerakan yang
berulang-ulang dan ucapan yang dilakukan berulang kali (tics).
Haloperidol juga dapat digunakan untuk anak penyandang autisme.
Berdasarkan penelitian dari LeClerc & Easley (2015), haloperidol
efektif dalam menangani perilaku iritabilitas dan agresi pada orang
dengan gangguan autisme. Selain itu, haloperidol juga dapat
permasalahan perilaku sosial pada anak autisme, namun hal ini tidak
begitu efektif. Haloperidol sendiri memiliki efek samping yang
mengakibatkan dyskinesia dan sindrom ekstrapiramidal.

d. Pyridoksin (Vitamin-B6) dan Magnesium


Pyridoksin merupakan suatu bentuk suplemen atau yang bisa disebut
dengan vitamin-B6. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kuriyama
(dalam Obara et al, 2018), terdapat kemiripan gejala antara ASD atau
gangguan autisme dan pyridoxine-dependent epilepsy (PDE).
Kemiripan dengan gejala PDE seperti epilepsi, kecenderungan autis,
sensitif terhadap suara, gangguan verbal, dan clumsiness ini membuat
adanya keterkaitan dalam penggunaan vitamin-B6 pada penyandang

16 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


autisme. Penggunaan vitamin-B6 ternyata memberikan efektivitas pada
penyandang autisme yang dapat meningkatkan IQ verbal (Kuriyama et
al; Kamiyama et al, dalam Obara et al. 2018). Biasanya penggunaan
dosis vitamin-B6 yang tinggi dapat gabungkan dengan penggunaan
magnesium agar menghindari adanya efek samping.

e. Dimethylglycine (DMG) dan Trimethylglycine (TMG)


Beberapa riset mengatakan bahwa efektivitas dari pemberian suplemen
dimethylglycine (DMG) pada anak dengan gangguan autisme dapat
meningkatkan komunikasi secara verbal. Berdasarkan riset dari Kern, et
al (2001), 19 anak dengan penyandang autisme terdapat 10 anak yang
memiliki efek positif terhadap DMG. Diantaranya dapat membuat anak
lebih aktif berbicara, memberikan peningkatan dalam berbahasa,
memunculkan ketertarikan dengan orang lain, anak menjadi lebih
responsif, peningkatan frekuensi tidur, peningkatan frekuensi makan,
dan penurunan dalam self-injury. Trimethylglycine (TMG) juga
memiliki peran yang sama pada DMG dalam peningkatan komunikasi
secara verbal pada penyandang autisme (Rimland, dalam Nye & Brice,
2005).

f. Omega-3 dan Omega-6


Omega-3 dan omega-6 asam lemak adalah unsur penting dalam
metabolisme dan perkembangan otak. Beberapa anak dengan
penyandang autisme banyak mengkonsumsi omega-3 dan omega-6.
Penelitian dari McNamara & Carlson; Haubner et al (dalam Mazahery
et al., 2016), mengatakan bahwa omega-3 sendiri memiliki pengaruh
positif terhadap perkembangan fungsi otak, suara, dan sistem
pemrosesan visual. Omega-6 juga berdampak pada hal yang sama yaitu
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan bahasa pada anak
autisme (Hardison, 2017). Terdapat juga riset yang mengatakan bahwa
omega-3 dapat berperan dalam membantu mengurangi gejala hiperaktif
dan stereotip pada anak autisme, namun hasil riset ini masih belum
meyakinkan (Bent et al; Amminger et al, Mazahery et al, 2016). Studi
mengatakan bahwa omega-3 sendiri tidak dapat bekerja sendiri secara
signifikan. Hal ini karena omega-3 dan omega-6 dimetabolisme secara

17 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


bersama, sehingga pengkonsumsian omega-3 dan omega-6 harus
dilakukan bersama agar menimbulkan manfaat positifnya (Sheppard et
al, dalam Hardison, 2017).

3. Terapi Makanan
Beberapa anak dengan gangguan autisme memiliki alergi atau
permasalahan dalam makanan. Terapi makanan yang dimaksud adalah dalam
bentuk terapi diet yang disesuaikan dengan permasalahan anak-anak. Beberapa
terapi diet diantaranya:
a. Diet tanpa gluten dan kasein. Diet ini digunakan untuk menghindari
makanan atau minuman yang memiliki kandungan gluten dan kasein.
Makanan atau minuman yang mengandung gluten biasanya terdapat di
roti, mie, kue, biskuit, pizza, makaroni, spaghetti, dan lain-lain,
sedangkan makanan atau minuman yang mengandung kasein adalah
susu, es krim, mentega, keju, yoghurt. Menurut Friedman (dalam
Herminiati., 2009), anak dengan penyandang tidak bisa mengkonsumsi
gluten dan kasein karena tidak mempunyai enzim utama DPP-IV
(dipeptidylpeptidase IV), yang hal ini diakibatkan dari faktor genetik
atau enzim itu sendiri yang tidak aktif karena mekanisme autoimun. Diet
anti gluten dan kasein pada anak autis dapat menghasilkan pengaruh
positif terhadap anak, mereka lebih dapat memusatkan perhatian kepada
orang disekitarnya, adanya kemampuan dalam kemajuan belajar, kontak
mata, dan bahasa (Herminiati., 2009).

b. Diet anti yeast atau jamur atau ragi. Makanan yang perlu dihindari
adalah makanan seperti roti, biskuit, pastry, kue, karena mengandung
ragi dan gula di dalamnya. Aneka ragam jenis jamur juga dihindari
seperti jamur tiram, jamur kuping, dan lain-lain. Buah yang diawetkan
dan juga alkohol tidak diperbolehkan.

c. Diet untuk alergi dan intoleransi pada makanan. Umumnya orang


dengan gangguan autisme memiliki kondisi alergi yang berat. Beberapa
makanan yang biasanya mengandung alergen: ikan; udang; telur; susu;
coklat; gandum. Anak dengan penyandang autisme juga harus
menghindari makan-makanan yang mengandung zat pewarna dan zat

18 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


pengawet. Hal ini dikarenakan zat pewarna dapat merusak DNA yang
menyebabkan mutasi genetik yang dapat mempengaruhi saraf otak
(Sjambali, dalam Herminiati., 2009)

Anak autis biasanya memiliki permasalahan makan yang monoton dan


selektif atau memilih-milih makanan. Dalam pemberian makanan, khususnya
untuk menghindari alergi harus diberikan makan-makanan yang menghindari
alergi. Pemberian diet yang bervariasi perlu dilakukan sejak awal agar anak
dapat cepat menerima makanan-makanan tersebut (Ramadayanti & Margawati.,
2013)

4. Terapi Perilaku
Terapi ini digunakan agar anak dengan gangguan autisme menjadi
terkendali dan paham dengan norma-norma sosial. Terapi ini biasanya
dilakukan dengan memberikan reinforcement positif dan tidak menerapkan
pemberian punishment. Dasar terapi ini menggunakan teori behavioristik ABC
yaitu antecedent sebagai instruksi yang diberikan kepada subjek, behavior
sebagai bentuk perilaku yang diharapkan, dan consequence sebagai bentuk
konsekuensi dalam hal yang menyenangkan.

19 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN IV
KESIMPULAN

Berdasarkan kajian yang kami temukan mengenai autisme, rupanya gangguan autisme
ini dapat dilihat dan ditelusuri dari berbagai perspektif yang ada. Beberapa karakteristik yang
menggambarkan gangguan autisme biasanya dilihat dari perilakunya bermasalah dalam
perkembangan bahasa, permasalahan dalam keterampilan sosialnya seperti permasalahan
dalam empati dan emosi, perilaku yang berulang-ulang, dan minat yang obsesif. Orang atau
anak dengan penyandang autisme biasanya kesulitan dalam bersosialisasi, mereka biasanya
menghiraukan orang-orang disekitarnya dan hanya berpusat pada keinginan pribadinya. Jika
dilihat secara genetik, autisme sendiri bersifat keturunan sehingga jika sebelumnya memiliki
keturunan dengan penyandang autisme maka kemungkinan keturunan selanjutnya dapat
mengalami gangguan autisme. Dalam beberapa kasus, autisme bisa berkaitan dengan gangguan
genetik dari anak seperti sindrom fragile X atau sklerosis tuberous. Sindrom fragile X adalah
kondisi genetik yang dapat menyebabkan masalah perkembangan terutama gangguan kognitif.
Berdasarkan kelainan otak, perilaku yang berulang-ulang pada orang autisme itu dapat
dikaitkan adanya permasalahan dalam otak bagian lobus frontal. Hal ini terjadi karena anak
dengan penyandang autisme memiliki keabnormalan pada volume otaknya. Dalam
permasalahan pada keterampilan sosial, dipengaruhi pada bagian otak yaitu amygdala, korteks
orbitofrontal, korteks medial-frontal, dan sulkus superior temporal. Pada bagian-bagian
tersebut memiliki keabnormalan sehingga menyebabkan adanya permasalahan yang berkaitan
dengan empati (theory of mind), pemusatan emosi, dan fokus suara. Dalam hal berbahasa,
orang dengan gangguan autisme memiliki aktivitas yang lebih besar pada area wernicke dan
aktivitas yang rendah pada area brocanya yang hal ini menyebabkan beberapa anak autisme
memiliki keterlambatan dalam berbahasa.
Berdasarkan hormon, orang dengan penyandang autisme biasanya dikaitkan dengan
beberapa gangguan hormon seperti hormon testosteron, oksitosin, vasopresin, melatonin,
tiroid, dan sekretin. Beberapa hormon ini berkaitan dengan kemunculan karakteristik perilaku
pada orang dengan gangguan autisme. Seperti hormon testosteron yang berpengaruh dalam
perilaku agresif pada anak autisme, seperti saat anak marah mereka akan cenderung
menampilkan sikap yang agresif, hal ini dikarenakan oleh tingginya hormon testosteron pada
anak penyandang autisme itu sendiri. Secara neurotransmitter, orang dengan penyandang
autisme memiliki beberapa disfungsi sistem neurokimiawi yang meliputi sistem serotonin,

20 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


norepinefrin, GABA, dan dopamin. Gangguan sistem neurokimiawi tersebut berhubungan
dengan perilaku agresif, obsesif kompulsif dan stimulasi diri sendiri.
Dalam kondisi kehamilan, biasanya apakah janin tersebut akan mengalami gangguan
autisme tidak bisa ditebak dikarenakan faktor gangguan autisme biasanya dikarenakan oleh
genetik. Hanya saja beberapa yang bisa dilakukan untuk menghindari autisme ini pada anak
nantinya adalah mengkonsumsi zat besi yang cukup, jangan sampai ibu yang sedang
mengandung mengalami kekurangan zat besi karena hal ini dapat menimbulkan sang anak
nantinya memiliki gangguan autisme. Kemudian juga memastikan mengkonsumsi dosis asam
folat yang seimbang, tidak boleh berlebihan atau kekurangan.
Asesmen yang dapat digunakan untuk mendeteksi anak atau orang dengan gangguan
autisme beberapa diantaranya adalah Autism Behavior Checklist (AuBC), Autism Diagnostic
Interview-Revised (ADI-R), Autism Diagnostic Observation Schedule-Generic (ADOS-G),
Autism Observation Scale for Infants (AOSI), Childhood Autism Rating Scale (CARS), Gilliam
Autism Rating Scale (GARS), dan lain-lain. Untuk intervensi sendiri pada orang penyandang
autisme biasanya dilakukan terapi-terapi khusus dan dilakukannya pemberian obat yang
digunakan untuk meminimalisir gejala autisme itu sendiri. Tidak ada obat khusus yang dapat
menyembuhkan atau menghilangkan gangguan autisme itu sendiri. Beberapa terapi yang
digunakan diantaranya ada terapi wicara, terapi biomedik, terapi makanan, dan terapi perilaku.
Terapi wicara dapat digunakan untuk membantu anak dengan penyandang autisme agar bisa
memiliki kemajuan dalam hal berbicara. Terapi biomedik digunakan dengan pemberian obat,
suplemen, dan vitamin tertentu yang digunakan untuk memperbaiki susunan saraf pusat
menjadi lebih baik lagi. Terapi makanan digunakan untuk menghindari alergi pada anak
autisme dilakukan dengan cara beberapa metode diet, seperti diet tanpa gluten dan kasein.
Terapi perilaku digunakan supaya anak dengan penyandang autisme dapat berinteraksi sesuai
dengan norma-norma sosial.

21 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


DAFTAR PUSTAKA

Baron-Cohen, S., & Belmonte, M. K. (2005). Autism: A window onto the development
of the social and the analytic brain. Annual Review of Neuroscience, 28, 109–126.
https://doi.org/10.1146/annurev.neuro.27.070203.144137

Christine Knickmeyer, R., & Baron-Cohen, S. (2006). Fetal testosterone and sex
differences. Early Human Development, 82(12), 755–760.
https://doi.org/10.1016/j.earlhumdev.2006.09.014

Deen, B., Koldewyn, K., Kanwisher, N., & Saxe, R. (2015). Functional organization of
social perception and cognition in the superior temporal sulcus. Cerebral Cortex,
25(11), 4596–4609. https://doi.org/10.1093/cercor/bhv111

Hardison, R. (2017, September 12). Could Nutritional Supplements Impact Autism


Symptoms in Toddlers Born Preterm? Diakses dari
https://pediatricsnationwide.org/2017/09/12/could-nutritional-supplements-impact-
autism-symptoms-in-toddlers-born-preterm/

Herminiati, A. (2009). Diet Makanan untuk penyandang autis. Jurnal Pangan, 18(54),
90–95.

Kalat, J. W. (2017). Biological Psychology, Thirteenth Edition. United States of America:


Cengage

Kern, J. K., Miller, V. S., Cauller, L., Kendall, R., Mehta, J., & Dodd, M. (2001).
Effectiveness of N, N-dimethylglycine in autism and pervasive development
disorder. Journal of Child Neurology, 16(3), 169–173.
https://doi.org/10.1177/088307380101600303

LeClerc, S., & Easley, D. (2015). Pharmacological therapies for autism spectrum disorder:
A review. P and T, 40(6), 389–397.

Maximo, J. O., Cadena, E. J., & Kana, R. K. (2014). The implications of brain connectivity
in the neuropsychology of autism. Neuropsychology Review, 24(1), 16–31.
https://doi.org/10.1007/s11065-014-9250-0

22 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


Mazahery, H., Conlon, C., Beck, K. L., Kruger, M. C., Stonehouse, W., Camargo, C. A.,
Meyer, B. J., Tsang, B., Mugridge, O., & von Hurst, P. R. (2016). Vitamin D and
omega-3 fatty acid supplements in children with autism spectrum disorder: A study
protocol for a factorial randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Trials,
17(1), 1–13. https://doi.org/10.1186/s13063-016-1428-8

McConachie, H., Parr, J. R., Glod, M., Hanratty, J., Livingstone, N., Oono, I. P., Robalino,
S., Baird, G., Beresford, B., Charman, T., Garland, D., Green, J., Gringras, P., Jones,
G., Law, J., Le Couteur, A. S., Macdonald, G., McColl, E. M., Morris, C., …
Williams, K. (2015). Systematic review of tools to measure outcomes for young
children with autism spectrum disorder. Health Technology Assessment, 19(41), 1–
538. https://doi.org/10.3310/hta19410

Moreira, P. S., Marques, P., & Magalhaẽs, R. (2016). Identifying functional subdivisions
in the medial frontal cortex. Journal of Neuroscience, 36(44), 11168–11170.
https://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.2584-16.2016

Nye, C., & Brice, A. (2005). Combined vitamin B6-magnesium treatment in autism
spectrum disorder. Cochrane Database of Systematic Reviews.
https://doi.org/10.1002/14651858.cd003497.pub2

Obara, T., Ishikuro, M., Tamiya, G., Ueki, M., Yamanaka, C., Mizuno, S., Kikuya, M.,
Metoki, H., Matsubara, H., Nagai, M., Kobayashi, T., Kamiyama, M., Watanabe, M.,
Kakuta, K., Ouchi, M., Kurihara, A., Fukuchi, N., Yasuhara, A., Inagaki, M., …
Kuriyama, S. (2018). Potential identification of vitamin B6 responsiveness in autism
spectrum disorder utilizing phenotype variables and machine learning methods.
Scientific Reports, 8(1), 1–7. https://doi.org/10.1038/s41598-018-33110-w

Pinzon, R., & Meliala, L. (2007). Telaah kritis terapi risperidone untuk perbaikan perilaku
pada gangguan spektrum autistik. Universa Medicina, 26(1), 39–45.

Pivovarciova, A., Durdiakova, J., Babinska, K., Kubranska, A., Vokalova, L., Minarik,
G., Celec, P., Murin, M., & Ostatnikova, D. (2016). Testosterone and androgen
receptor sensitivity in relation to hyperactivity symptoms in boys with autism
spectrum disorders. PLoS ONE, 11(2), 1–15.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0149657

23 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


Rahayu, S. M. (2015). Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis. In Jurnal Pendidikan
Anak (Vol. 3, Issue 1). https://doi.org/10.21831/jpa.v3i1.2900

Ramadayanti, S., & Margawati. A. (2013). Perilaku Pemilihan Makanan dan Diet Bebas
Gluten Bebas Kasein Pada Anak Autis. Journal of Nutrition College, 2(1), 35-43.

Sayogo, W. (2020). Gambaran Kelainan Sistem Saraf dan Endokrin Pada Autisme.
Prominentia Medical Journal, 1(1), 1-7.

Suteja, J., & Wulandari, R. (2013). Bentuk dan Model Terapi Terhadap Anak-Anak
Penyandang Autisme (Keterbelakangan Mental). Scientiae Educatia, 2(1), 113–124.

Sturman, N., Deckx, L., & van Driel, M. L. (2017). Methylphenidate for children and
adolescents with autism spectrum disorder. Cochrane Database of Systematic
Reviews, 2017(11). https://doi.org/10.1002/14651858.CD011144.pub2

Swari, R. C., & Savitri, T. (2021, Januari 11). Ritalin. Diakses dari
https://hellosehat.com/obat-suplemen/ritalin-ritalinritalin/

Yanti, N., Bahri, H., & Fitriana, S. (2020). Pelaksanaan Terapi Wicara dalam
Menstimulusi Kemampuan Berkomunikasi Anak Autis Usia 5-6 tahun di SLB Autis
Center Kota Bengkulu. Journal Of Early Childhood Islamic Education, 2(3), 119–
131.

Yessy. (2017, Januari 27). Terapi Untuk Anak Penyandang Autisme. Diakses dari
http://rumahautis.org/artikel/terapi-untuk-anak-penyandang-autisme

24 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


LAMPIRAN 1. Hasil Self Study
Syela Margareth W / 150120038
Berdasarkan dari hasil self study yang di dapat, orang dengan gejala ASD biasanya
memiliki karakteristik perilaku yang berulang-ulang, perilaku yang cenderung obsesif,
kurangnya perkembangan sosial dalam komunikasi dan empati. ASD bisa terjadi karena
keturunan sehingga jika memiliki keturunan yang ASD kemungkinan akan berakar ke
keturunan selanjutnya. Dalam permasalahan otak pada orang ASD, permasalahan dalam
perkembangan sosial biasanya memiliki abnormalitas pada amygdala, korteks orbitofrontal,
korteks medial-frontal, dan sulkus temporal. Perilaku yang berulang-ulang pada anak ASD
disebabkan oleh abnormalitas volume dalam otak, khususnya pada bagian lobus frontal. Dalam
hal kognitif ternyata anak ASD juga memiliki keunggulan dalam embedded figure test, yang
biasanya dapat menampilkan perilaku yang bahkan lebih superior dari pada orang normal
lainnya. Orang dengan ASD biasanya memiliki permasalahan dalam area otak yaitu area broca
lebih kecil dan area wernicke lebih besar sehingga orang autisme biasanya memiliki
keterlambatan bahasa. Dalam hal hormon, ternyata anak ASD tidak hanya memiliki
permasalahan pada hormon testosteron, kortisol, oksitosin, vasopresin, melatonin, tiroid, dan
sekretin. Hal ini berperan dalam kemunculan perilaku pada gangguan ASD. Secara
neurotransmitter, orang dengan penyandang ASD memiliki beberapa permasalahan dalam
neurotransmitternya yaitu, sistem serotonin, norepinefrin, GABA, dan dopamin. Gangguan
dalam neurotransmitter tersebut berhubungan dengan perilaku agresif, obsesif kompulsif dan
stimulasi pada orang dengan penyandang autisme.
Dalam hal kehamilan, dokter tidak akan bisa memprediksi apakah anak yang lahir itu
akan mengalami gangguan autisme atau ASD. Autisme terjadi karena faktor genetik dan
keturunan. Hanya saja untuk mencegah terjadinya ASD pada anak nantinya, dianjurkan pada
saat dalam kandungan sang ibu harus memenuhi konsumsi zat besi yang cukup karena jika
kekurangan zat besi akan memungkinkan anak nantinya terkena autisme. Konsumsi asam folat
juga dianjurkan, namun pengkonsumsian asam folat haruslah seimbang tidak boleh berlebihan
ataupun kekurangan. Untuk alat ukur atau asesmen sendiri pada gangguan ASD sudah sangat
banyak diluar sana. Alat ukur tersebut bervariasi baik secara metode pengukurannya dan
subjeknya. Untuk intervensi sendiri biasanya pada orang penyandang ASD dilakukan berupa
terapi-terapi khusus seperti, terapi wicara, biomedik, makanan, dan perilaku. Tidak ada obat
yang dapat menyembuhkan gangguan ASD ini, tetapi terdapat terapi-terapi khusus seperti

25 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


terapi biomedik yang memberikan berupa obat, suplemen, dan vitamin namun hanya untuk
meringankan gejala ASD tersebut.

Jalal Utomo T / 150120238


Setelah melakukan self study saya mepahami bahwa orang ASD ini terjadi jika
seseorang didagnosis memiliki kelainan pada saraf, dan ditandai pada perkembangan sosial dan
komunikasi dikarenakan kelainan pada empati nya, dimana orang dengan ASD sulit untuk
memahami emosi yang kompleks, dan gejala lainnya adalah perilaku berulang-ulang dan
kecenderungan obsesif, ini ditandai dengan saat dia merasakan emosi yang dalam mereka akan
melakukan hal-hal yang berulang-ulang atau pun menyusun sesuatu dengan pola tertentu.
Namun karean ASD adalah gangguan spectrum maka setiap gejala orang ASD tidak semuanya
sama.
ASD ini disebabkan oleh banyak faktor, yang masih diteliti secara berkelanjutan.
Namun sudah ada beberapa yang menemukan penyebabnya antara lain genetik, kehamilan,
kelainan otak dll. Walaupun masih diteliti terus karena tidak sepenuhnya cocok.

Nabila aulia / 150120235


Berdasarkan hasil self study yang di dapat, kelainan ASD memiliki faktor resikonya.
yang pertama, jenis kelamin.anak laki-laki memiliki risiko hingga 4 kali lebih tinggi
mengalami autisme dibandingkan dengan anak perempuan.yang kedua, faktor keturunan.
orang tua yang mengidap autisme berisiko memiliki anak dengan kelainan yang sama. dan
gejala pada kelainan ASD bisa digolongkan dalam dua kategori: yang pertama,kategori ini
merujuk pada penyandang autisme dengan gangguan dalam melakukan interaksi sosial dan
berkomunikasi. yang kedua, penyandang autisme dengan gangguan yang meliputi pola
pikir,minat dan perilaku berulang yang kaku.apakah kelainan ASD tidak memerlukan
pengobatan? perlu, anak yang autis perlu menjalani perawatan untuk mengurangi gejala serta
meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi, bersosialisasi, berperilaku dan belajar.

Jovantinus Susanto / 150120024


Setelah melakukan self study, Hal yang didapat adalah gejala terjadinya ASD pada anak
kecil karena faktor gen dari orang tuanya. Ketika anak memiliki gangguan autisme sang anak
memiliki masalah dalam belajar dan adanya gangguan di dirinya seperti hiperaktif. Gejala dari
orang yang memiliki autisme adalah orang mengalami gangguan pada pola pikirnya, minat,
dan perilaku berulang yang kaku. Orang yang memiliki ASD biasanya memiliki adik / kakak

26 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


dengan ASD, memiliki kelainan genetik tertentu seperti sindrom fragile X, down syndrome,
bayi prematur atau yang lahir sebelum kehamilan 26 tahun, dan usia orang tua yang lebih tua
saat hamil. Untuk melakukan pendekatan pada anak yang memiliki gejala ASD dapat dilakukan
seperti mengamati kegiatan anak serta cara berinteraksi dan berkomunikasi, menguji
kemampuan anak dalam mendengar, berbicara.

Intan Anggrena / 150120177


Berdasarkan hasil self study hal yang didapat yaitu ASD merupakan gangguan pada
perkembangan otak dan saraf yang dimulai sejak awal masa kanak kanak dan berlangsung
sepanjang hidup seseorang. ASD memiliki beberapa sifat utama yaitu gangguan interaksi
timbal balik, kelainan bahasa, perilaku berulang, dan kejiwaan dan ASD juga memiliki
karakteristik antara lain sangat sensitif dengan suara, asd sering melakukan gerakan secara
berulang ulang, melakukan aktivitas yang melibatkan menyakiti diri sendiri seperti memukul
mukul kepala, dsb. Adapun berbagai penyebab yang dapat diketahui seperti faktor genetik yang
dimana autisme cenderung terjadi dalam keluarga dan mungkin merupakan sesuatu yang
diwariskan dari orangtua ke anaknya, penyakit tertentu kondisi kesehatan tertentu juga bisa
berkaitan dengan penyebab autis. Kondisi yang dimaksud, meliputi: down syndrome, cerebral
palsy dan penyebab autisme juga bisa dilihat dari hormon seperti hormon testosteron, dan
hormon oksitosin. hormon lainnya seperti hormon vasopresin, hormon melatonin, hormon
tiroid, dan hormon estrogen yang dimana pada kasus tersebut bisa dilihat pada Tipe otak yang
dapat saja dipengaruhi oleh kadar testosterone dan oksitosin yang ada pada diri Koko, jika
salah satu hormon tersebut ada yang kurang atau berlebihan dapat menyebabkan autisme

27 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


LAMPIRAN 2. Screenshot Diskusi PBL Minggu 5 dan 6
PBLMinggu ke – 5
Tanggal PBL : 6 September 2021
Nama Mahasiswa yang Hadir :
Jalal Utomo Tampilang (150120238)
Syela Margareth W (150120038)
Nabila Aulia (150120235)
Nengah Intan Anggrena (150120177)
Jovantinus Susanto (150120024)
Screenshoot :

PBLMinggu ke – 6
Tanggal PBL : 13 September 2021
Nama Mahasiswa yang Hadir :
Jalal Utomo Tampilang (150120238)
Syela Margareth W (150120038)
Nabila Aulia (150120235)
Nengah Intan Anggrena (150120177)
Jovantinus Susanto (150120024)

28 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


Screenshoot : Tidak ada zoom

29 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


LAMPIRAN 3. Feedback Dosen Tutor
Tuliskan feedback yang diberikan oleh dosen tutor terhadap kelompok Anda

Nama Dosen Tutor : Pak Andrian


Tanggal Tutorial : 24 September 2021
Feedback :
- Perbaikan untuk prior knowledge, dibuat paragraf.
- Perbaikan diskusi dan pembahasan → dibuat lebih detail lagi dan dikaitkan dengan
ASD itu sendiri
- Kesimpulan belum selesai
- Daftar pustaka diperbaiki sesuai mendeley

30 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA

Anda mungkin juga menyukai