DENGAN AUTISME
Dosen Pengampu :
Ns. Surwaningsih, Skep., Mkep
Ns. Dwinara Febriyanti, Skep., Sp.Kep J
Disusun Oleh :
Hannisya Tofiqurrohma 1032201019
Nadhira Nur Alifiana 1032201050
Sabila Miftahul Zanah 1032201041
Syifa Wahyu Setyorini 1032201045
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Harga diri rendah adalah kondisi seseorang yang menilai keberadaan dirinya lebih
rendah dibandingkan orang lain yang berpikir tentang hal negatif diri sendiri sebagai
individu yang gagal, tidak mampu dan tidak berprestasi (Keliat, 2010). Fitria (2009) juga
menyebutkan, harga diri rendah merupakan kondisi seseorang dimana ia merasa bahwa
dirinya tidak diterima dilingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya.
Harga diri rendah dapat dibagi menjadi dua yaitu, harga diri rendah situasional
dan harga diri rendah kronik. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana
individu yang sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon terhadap suatu kejadian. Apabila dari harga diri rendah
situasional tidak ditangani segera, maka lama kelamaan dapat menjadi harga diri rendah
kronik.
Semakin rendah harga diri seseorang akan lebih berisiko terkena gangguan
kepribadian. Pada beberapa penelitian mengaitkan rendahnya harga diri dengan adanya
kecemasan sosial. Sebuah penelitian menyatakan jika orang yang memiliki harga diri yang
rendah akan memiliki perasaan takut gagal ketika terlibat dalam hubungan sosial ( Fitria,
2013). Penelitian yang dilakukan Simbar, Ruindungan dan Solang (2015) menyebutkan
bahwa 26,7% anak memiliki harga diri rendah situasional pasca mendapat perlakuan
bullying yaitu menarik diri dari lingkungan sekitar untuk memperoleh rasa aman. Jika ini
terus berlanjut pada anak-anak maka akan muncul ide bunuh diri hingga percobaan bunuh
diri karena perasaan malu (Espelage, 2012).
Masa kanak-kanak merupakan masa dimana seorang individu memerlukan
perhatian khusus untuk mengoptimalisasi tumbuh kembang. Tumbuh kembang anak dapat
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu, faktor genetik serta faktor lingkungan (Wong,
2008). Tumbuh kembang otak yang kurang dalam struktur dan fungsi otak dapat
menyebabkan masalah perkembangan pada anak diantaranya adalah perkembangan
mental, salah satunya adalah autisme pada anak (Yuwono, 2009).
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang didefenisikan oleh adanya
perkembangan abnormal atau gangguan yang nyata sebelum usia tiga tahun, dengan tipe
karakteristik tidak normalnya tiga bidang psikopatologi yaitu interaksi sosial, komunikasi
dan stereotip atau perilaku berulang (WHO, 2016). The Autism Society of America (2009)
menyebutkan autis merupakan gangguan perkembangan yang sangat kompleks dan secara
klinis ditandai oleh kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi sosial, emosional,
komunikasi timbal balik, minat yang terbatas, perilaku tidak wajar, disertai gerakan-
gerakan berulang tanpa tujuan.
B. TUJUAN
Mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan jiwa autisme.
C. MANFAAT
Sebagai pengembangan kemampuan mahasiswa dalam hal pemberian asuhan keperawatan
jiwa.
BAB II
KONSEP TEORI
A. DEFINISI
Autisme adalah gangguan perkembangan saraf dengan gejala yang timbul yang jelas
sepanjang umur pasien. Autism Spectrum Disorde (ASD) ditandai dengan gangguan
interaksi social dan komunikasi yang terhambat dan menyimpang, serta kumoulan
aktivitas dan minat yang terbatas.
Autisme adalah ketidak mampuan perkembangan yang biasanya terlihat sebelum usia
dua setengan tahun dan ditandai dengan gangguan pada wicara, bahasa, mobilitas, persepsi
dan hubungan interpersonal. Anak yang autisme biasanya tiak memiliki kesadaran
terhadap orang lain dan gagal membangun hubungan interpersonal, bahkan dengan orang
tuanya.
Gangguan autistik (dahulu disebut autisme infantile dini, autisme masa kanak-kanak
atau autisme kanner) ditandai dengan interaksi soasial timbal balik yang menyimpang,
keterampilan komunikasi yang terlambat dan menyimpang, serta kumpulan aktivita dan
minat yang terbatas. Gangguan autisme 4 hingga 5 kali lebih sering pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan dengan gangguan autistik lebih besar
kemungkinannya memiliki retradasi mental
B. KLASIFIKASI
1. Autisme persepsi
Dengan autisme yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidak
mampuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan
dari luar, begitu juga kemampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak
bersikap masa bodoh.
2. Autisme reaksi
Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orang tua
meninggal, sakit berat, pindah rumah atau sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan
memunculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang, kadang-kadang disertai
kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar enam sampai tujuh sebelum
anak memasuki tahapan berfikir logis.
3. Autisme yang timbul kemudian
Terjadi setelah anak agak besar, dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi
setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pemberian pelatihan dan
pelayanan Pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat.
C. ETIOLOGI
Peningkatan jumlah penderita autisme yang tajam menimbulkan berbagai pertanyaan
mengenai penyebab gangguan tersebut. Hingga saat ini ada beberapa penyebab autisme
yang dikembangkan oleh beberapa ahli yaitu (Kaplan dan Sadock).
1. Faktor Psikogenik
Ketika autisme pertama kali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autisme
diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasus perdana banyak
ditemukan pada keluarga kelas menengah dan berpendidikan yang orang tuanya
bersikap dingin dan kaku pada anak. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut
kurang meberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya
menghambat perkembangan kemampuan komuniksi dan interaksi soaial anak.
2. Faktor Biologis dan Lingkungan
Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang
memiliki banyak sebab dan antara satu kasus dengan kasus lainnya penyebab bisa
tidak sama. Penelitian tentang faktor organik menunjukkan adanya kelainan atau
keterlambatan dalam tahap perkembangan anak autis sehingga autisme kemudian
digolongan sebagai gangguan dalam perkembangan yang mendasari
pengklasifikasian.
3. Faktor Genetik
Pada beberapa survey, antara 2-4% saudara kandung anak autistic juga mengalami
gangguan autistik. Laporan klien mengesankan bahwa pada keluarga yang memiliki
anggota autistic, anggota non autistiknya mempunyai kejadian yang lebih tinggi.
4. Faktor Imunologis
Beberapa laporan yang mengesankan bahwa ketidakcocokan imunologis dapat turut
berperan dalam gangguan autistic. Limfosit beberapa anak autistik bereaksi dengan
antibody maternal, suatu fakta yang meningkatkan kemungkinan jaringan saraf
embrionik atau ekstraenbrionik rusak selama gestasi.
D. PATOFISIOLOGI
Sel saraf otak (neuron) terdiri dari badan sel dan serabut untuk mengalirkan implus
listrik (akson) serta serabut untuk menerima impluslistrik (dendrite). Sel saraf terdapat
pada lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson di bungkus selaput bernama
myelin terletak dubagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat
sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga,
pembentukan sel saraf berhenti dan di mulai pembentukan akson, dendrite dan sinaps yang
berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses
pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrite dan
sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal
sebagai brai growth factor Sn proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas, pembentukan akson, dendrite dan
sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan
dalam belajar menunjukan pertambahan akson, dendrite dan sinaps, sedangkan bagian
otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrite dan
sinaps.
Kelainan genetis, keracuanan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan gangguan proses-proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel saraf.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal
Meliputi kemampuan bahasa dan mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak
dapat bicara
2. Gangguan dalam bidang interaksi social
Meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka.
3. Gangguan dalam bermain
Diantaranya bermain sangat monoton dan aneh, misalnya menderetkan sabun menjadi
satu deretan panjang.
4. Gangguan perilaku
Dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus
menempatkan barang tertentu dapa tempatnya.
5. Gangguan perasaan dan emosi
Dapat dilihat dari perilaku tertawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata.
6. Gangguan dalam persepsi sensori
Meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya (penglihatan), pendengaran, sentuhan,
penciuman, dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.
7. Intelegasi
Dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
Umumnya terapi yang diberikan ialah terhadap gejala, edukasi dan penerangan kepada
keluarga, serta penanganan perilaku dan edukasi bagi anak. Manajemen yang efektif dapat
mempengaruhi outcome. Intervensi farmakologi, yang saat ini dievaluasi, mencakup obat
fenfluramine, lithium, haloperidol dan naltrexone terhadap gejala yang menyertai.
Terapi prilaku sangat penting untuk membantu para anak autis untuk lebih bisa
menyesuaikan diri dalam masyarakat. Terapi prilaku terdiri dari terapi wicara, terapi
okupasi, dan menghilangkan prilaku yang asocial.
Dalam terapi farmakologi dinyatakan belum ada obat atau terapi khusus yang
menyembuhkan kelainan ini. Medikasi (terapi obat) beguna terhadap gejala yang
menyertai.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
A. PENGKAJIAN
a.) Identitas klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku, bangsa,
tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b.) Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa, keterlambatan
atau sama sekali tidak dapat berbicara. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh
dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak senang dan
menoak dipeluk. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ
dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5%
mempunyai IQ diatas 100.
Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)
Sering terpapar zat toksik, seperti timbal
Cidera otak
Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan.
Biasanya pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.
c.) Status perkembangan anak
Anak kurang merespon orang lain
Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenai tubuh
d.) Keterbatasan kognitif
e.) Pemeriksaan Fisik
Anak tertarik pada sentuhan
Terdapat ekolalia
Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
f.) Psikososial
Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
Memiliki sikap menolak perubahan ekstrem
Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
Perilaku menstimulasi diri
Pola tidur tidak teratur
Kemampuan bertutur kata menurun
g.) Neurologis
Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
Refleks mengisap buruk
Tidak mampu menangis ketika lapar
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Risiko mutiasi diri buktikan dengan individu autistik
b) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
c) Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan berkembang.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Menurut Townsend, M.C (1998) perencanaan dan rasionalisasi untuk mengatasi
masalah keperawatan pada anak dengan gangguan perkembangan pervasife autisme
antara lain :
1. Risiko mutilasi diri
Tujuan : Pasien akan mendemostrasikan perilaku-perilaku alternative (misalnya
memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons terhadap kecemasan
dengan kriteria hasil :
a) Rasa gelisah dipertahankan
b) Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas
Intervensi :
Menjamin keselamatan anak dengan memberi rasa aman, lingkungan yang
kondusif untuk mencegah perilaku merusak diri
Rasional : Perawat bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan anak.
Kaji dan tentukan penyebab perilaku-perilaku mutilatif sebagai respon terhadap
kesemasan.
Rasional : Pengkajian kemungkinan penyebab dapat memilih cara/alternative
pemecahan yang tepat
Untuk membentuk kepercayaan satu anak dirawat oleh satu perawat
Rasional : Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling percaya dengan
pasien
Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu-waktu meningkatnya
kecemasan agar tidak terjadi mutilasi
Rasional : Dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-perilaku
mutilasi diri dan memberikan rasa aman.
B. SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi mahasiswa-
mahasiswi keperawatan dapat memahami asuhan keperawatan pada anak berkebutuhan
khusus autisme dan bagi orang tua yang memiliki anak autisme.
DAFTAR PUSTAKA
http://scholar.unand.ac.id/41401/
https://www.sc.asuhankeperawatanautisme.com/doc/451242004
https://www.academia.edu/37923443/ASKEP_PADA_ANAK_AUTISME
http://ejurnal.binawakya.or.id/index.php/MBI/article/view/554/pdf