Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN KASUS

AUTISME MASA KANAK


Penyaji :
1. THYO AMANDO PURBA
2. DESI YULIANA RIZKI SIREGAR
3. SITI MARLENA HASIBUAN

I.

Tanggal Masuk

: 11 Juli 2016

Pembimbing

: dr. Silvy Agustina Hasibuan, Sp. KJ

Hari/Tanggal

Tempat

: RSUD Dr.R.M. Djoelham Kota Binjai

PENDAHULUAN
Istilah autisme akhir-akhir ini sangat sering muncul diberbagai media massa baik cetak
maupun elektronik, juga berbagai penelitian telah dilakukan di banyak negara, di tinjau dari
berbagai aspek perkembangan, baik biologik, psikologik maupun sosio-kultural. Hal ini dipicu
oleh adanya temuan bahwa dalam satu dekade terakhir, kondisi ini sangat meningkat jumlahnya
di seluruh penjuru dunia.
Autism masa kanak-kanak (ICD-X/ DSM-IV) merupakan salah satu jenis gangguan yang
terdapat pada kelompok gangguan perkembangan pervasif, yang biasanya muncul sebelum usia 3
tahun. Dengan semakin berkembangnya penelitian-penelitian mengenai autisme maka semakin
disadari bahwa gangguan autistik merupakan suatu spektrum yang luas. Setiap anak autistik
adalah unik. Masing-masing memiliki simtom-simtom dalam kuantitas dan kualitas yang
berbeda. Karena itulah pada beberapa tahun terakhir ini muncul istilah ASD (Autistic Spectrum
Disorder) atau GSA (Gangguan Spektrum Autistik).

Menurut Sunu (2012:7) autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh
kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf tertentu yang menyebabkan
fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan
komunikasi, dan kemampuan interaksi sosial seseorang. Anak autis mempunyai tiga karakteristik
yang mendasar, yang biasa disebut trias autis yakni mengalami hambatan dalam berkomunikasi,
gangguan perilaku serta kesulitan dalam interaksi sosial.
Menurut Joesoef (1981 : 36) Interaksi sosial sosial adalah suatu hubungan antara dua atau
lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Interaksi sosial akan lebih rumit lagi
dengan adanya masalah yang dialami anak autis, yaitu perubahan perhatian. Anak autis juga
membutuhkan lebih banyak lagi waktu untuk mengubah perhatiannya pada stimulus
pendengaran pada stimulus visual. Hal ini menyulitkan mereka untuk dapat mengikuti interaksi
sosial yang cepat berubah kompleks. Demikian pula anak autis akan mengalami kesulitan
mengingat informasi verbal yang panjang sehingga dapat menghambat interaksi sosial. Masalah
ini merupakan bagian dari alasan mengapa anak autis menjadi panik dan tidak tenang ketika
mereka berhubungan dengan orang terlalu lama.
Di Indonesia, autisme juga mendapat perhatian luas dari masyarakat maupun profesional
karena jumlah anak autistik yang meningkat dengan cepat. Sampai saat ini belum ada data resmi
mengenai jumlah anak autistik di Indonesia, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan
bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau GSA di Indonesia mencapai
475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005).
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Definisi
Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri
sendiri. Dalam kamus psikologi umum, autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan
sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri
daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme
sering disebut orang yang hidup di alamnyasendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang
unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom
Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran

dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka
berkomunikasi.
Pada awalnya istilah autisme diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana Bleuer
memakai autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang menarik diri dari
dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun ada perbedaan yang jelas antara
penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia dengan penyandang autisme infantil. Pada
skizofrenia, autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang didalamnya terkandung
halusinasi dan delusi yang berlansung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak
dengan autisme infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria
gangguan pervasive dengan kehidupan autistik yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi.
II.2.

Epidemiologi
Prevalensi gangguan autisme terjadi dengan angka 2 sampai 5 kasus per 10.000 anak

(0,02 sampai 0,05 persen) di bawah usia 12 tahun. Jika retardasi mental berat dengan ciri
autistic di masukkan angka dapat meningkat sampai tertinggi 20 per 10.000. Pada sebagian
besar kasus autism mulai sebelum 36 bulan tetapimungkin tidak terlihat oleh orangtua,
tergantung pada kesadaran mereka dan keparahan gangguan.
Di Indonesia blum ada angka yang pasti mengenai prevalensia autism, namun dari data
yang ada di poliklinikpsikiatri anak dan remaja RSCM pada tahun 1989 hanya ditemukan 2
pasien, dan pada tahun 2000 tercatat 103 pasien baru,terjadi peningkatan sekitar 50 kali.
Distribusi jenis kelamin. Gangguan autism lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan pada anak perempuan. Tiga sampai lima kali lebih banyak anak laki-laki yang
memiliki gangguan autisme di bandingkan anak perempuan. Tetapi anak perempuan yang
memiliki gangguan autism cenderung terkena lebih serius dan lebih mungkin
memilikiriwayat keluarga gangguan kognitif dibandingkan anak laki-laki.
Status sosioekonomi. Penelitian awal menyatakan bahwa setatus sosioekonomiyang
tinggi sering ditemukan pada keluarga dengan anak-anak autism, tetapi temuan tersebut
kemungkinan didasarkan pada rujukan bias. Selama lebih dari 25 tahun yang lalu, semakin
banyak kasus yang ditemukan pada kelompok sosioekonomi rendah. Temuan tersebut
mungkin dikarenakan meningkatnya pengetahuan tentang gangguan dan bertambahnya
petugas kesehatan mentalyang tersedia bagi anak-anak miskin.

2.3. Etiologi Dan Patofisiologi


Peningkatan jumlah penderita autisme yang tajam menimbulkan berbagai pertnyaan
mengenai penyebab gangguan tersebut. Hingga saat ini ada beberapa penyebab autisme yang
dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu:
1. Faktor Psikogenik
Ketika autisme pertamakali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autisme
diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasus perdana banyak ditemukan pada
keluarga kelas menengah dan berpendidikan,` yang orangtuanya bersikap dingin dan kaku pada
anak. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan stimulasi bagi
perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat perkembangan kemampuan
komunikasi dan interaksi sosial anak. Pendapat Kanner ini disebut dengan teori Psikogenik yang
menerangkan penyebab autisme dari factor-faktor psikologis, dalam hal ini perlakuan/ pola asuh
orangtua. Namun penelitian-penelitian selanjutnya tidak menyepakati pendapat Kanner.
Alasannya, teori psikogenik tidak mampu menjelaskan ketertinggalan perkembangan kognitif,
tingkah laku maupun komunikasi anak autis. Penelitian-penelitian selanjutnya lebih
memfokuskan kaitan factor-faktor organik dan lingkungan sebagai penyebab autis. Kalau semula
penyebabnya lebih pada factor psikologis, maka saat ini bergeser ke faktor organik dan
lingkungan.

2. Faktor Biologis dan Lingkungan


Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang
memiliki banyak sebab dan antara satu kasus dengan kasus lainnya penyebabnya bisa tidak sama.
Penelitian tentang faktor organik menunjukkan adanya kelainan/keterlambatan dalam tahap
perkembangan anak autis sehingga autisme kemudian digolongan sebagai gangguan dalam
perkembangan (developmental disorder) yang mendasari pengklasifikasian dan diagnosis dalam
DSM IV.

3. Faktor imunologis
Beberapa bukti menyatakan bahwa inkompatibilitas imunologi antara ibu dan embrio
atau janin dapat menyebabkan gangguan autistic. Limfosit beberapa anak autistik bereaksi
dengan antibody maternal, yang meningkatkan kemungkinan bahwa jaringan neural embrionik
atau ekstraembrional mungkin mengalami kerusakan selama kehamilan.
4. Faktor Perinatal
Tingginya insidensi berbagai komplikasi perinatal tampaknya terjadi pada anak-anak
dengan gangguan autistik, walaupun tidak ada komplikasi yang secara langsung dinyatakan
sebagai penyebabnya. Dalam periode neonates anak autistik memiliki insidensi tinggi sindrom
gawat pernafasan dan anemia neonates.
2.4. Gambaran klinis
Perkembangan yang terganggu pada anak yang mengalami autisme:
1. Gangguan Komunikasi
Munculnya kualitas komunikasi yang tidak normal ditunjukkan
dengan:
Kemampuan wicara tidak berkembang atau mengalami
keterlambatan
Pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan
lingkungan sekitar.
Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan
komunikasi dua arah dengan baik.
Anak tidak imajinatif dalam hal permainan atau cenderung
monoton.
Bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau
stereotipik.
2. Gangguan Interaksi Sosial
Timbulnya gangguan kualitas interaksi sosial yaitu:

Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan


wajah yang tidak berekspresi.
Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk
berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
Ketidakmampuan anak untuk berempati dan mencoba membaca
emosi yang dimunculkan orang lain.
3. Gangguan Perilaku
Aktivitas, perilaku dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas.
Banyak penggulangan terus-menerus seperti:
Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak
berguna.
Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada sutu pola
perilaku yang tidak normal.
Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang,
seperti menggoyang-goyang badan dan geleng-geleng kepala.
4. Gangguan Sensoris
Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

5. Gangguan Pola Bermain


Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
Tidak bermain sesuai fungsi mainan.
Menyenangi benda-benda yang berputar.
Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang
terus dan dibawa kemana-mana.

6. Gangguan Emosi
Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan.
2.5. Kriteria Diagnostik
Dalam DSM-IV-R, secara ringkas kriteria diagnostic gangguan autistik adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik:
a. gangguan yang nyata dalam berbagai tingkah laku non verbal seperti kontak mata, ekspresi
wajah, dan posisi tubuh;
b. kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat
perkembangan;
c. kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan orang
lain; dan
d. kurang mampu melakukan hubungan social atau emosional timbal balik.
2. Gangguan kualitatif dalam komunikasi:
a. keterlambatan perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali;
b. pada individu yang mampu berbicara, terdapat gangguan pada kemampuan memulai atau
mempertahankan percakapan dengan orang lain;
c. penggunaan bahasa yang stereotip, repetitive atau sulit dimengerti; dan
d. kurangnya kemampuan bermain pura-pura

3. Pola-pola repetitif dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat dan aktivitas:
a. preokupasi pada satu pola minat atau lebih;
b. infleksibilitas pada rutinitas atau ritual yang spesifik dan non fungsional;
c. gerakan motor yang stereotip dan repetitif; dan
d. preokupasi yang menetap pada bagian-bagian obyek. Seorang anak dapat didiagnosis
memiliki gangguan autistic bila simtom-simtom di atas telah tampak sebelum anak
mencapai usia 36 bulan.

2.6. Diagnosis
Diagnosis banding utama adalah skizofrenia dengan onset masa kanak-kanak, retardasi
mental dengan gejala perilaku, gangguan bahasa reseptif/ekspresif campuran, ketulian kongenital
atau gangguan pendengaran yang parah, pemutusan psikososial dan psikosis disintegrative
(regresif).
2.7. Pemeriksaan
Pemeriksaan medis yang dilakukan pada anak dengan autisme (disesuaikan dengan kebutuhan
anak):

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis
Tes neurologis
Tes pendengaran dengan BERA atau tes lain
Tes ketajaman penglihatan
Berbagai rating scales, misalnya CARS (Childhood Autism Rating Scale), GARS

(Gillian Autism Rating Scale).


MRI (Magnetic Resonance Imaging), Ct Scan, Brain Mapping, SPECT dan PET
EEG (Electroencephalogram)
Pemeriksaan sitogenetik untuk abnormalitas kromosom
Pemeriksaan lain yang belum berdasarkan Evidence Based Medicine misal: analisis tinja,
rambut, alergi, imunologi, jamur, tiroid, anti myelin basic protein.

2.8. penatalaksanaan
Tujuan dari terapi pada gangguan autistik adalah untuk:

Mengurangi masalah perilaku


Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penguasaan

bahasa
Mampu bersosialisasi dan beradaptasi di lingkungan sosialnya

Beberapa jenis terapi perilaku yang banyak digunakan :

Metode ABA (Applied Bebavioral Analysis): terapi dilakukan dengan memberikan


positive reinforcement bila anak menuruti perintah terapis. Disini anak diarahkan untuk

mengubah perilaku yang tidak diinginkan dan menggantikannya dengan perilaku yang

lebih bias diterima.


Metode option: lebih child centered, dimana terapis selalu mengikuti perilaku anak.
Yang ditekankan disini adalah acceptance and love. Orang tua justru harus berusaha

untuk masuk kedalam dunia anak tersebut.


Metode floor time. Ini sejanis terapi bermain yang dilakukan pada anak.

Terapi obat
Obat-obat yang digunakan antara lain:

Anti psikotik- memblok reseptor dopamine


SSRI- merupakan selektif serotonin reuptake inhibitor
Methylphenidate- merupakan hiperaktivitas, inatensi
Naltrexone- antagonis opioida
Clomipramine anti depresan
Clonidine merupakan aktivitas noradrenergic

Antipsikotik:
Risperidon (Risperdal): efektif untukterapi anak autistic yang disertai dengan
tantrums, agresivitas dan perilaku yang membahayakan diri sendiri, iritabel,
streotipik, hipertaktif,dan gangguan komunikasi.

Olanzapin (zyptrexa): penelitian pada anak autistic usia 6-16 tahun dengan menggunakan
olanzapine menunjukkan perbaikan dalam iritabilitas, hiperaktivitas, bicara yang
berlebihan dan komunikasi. Efek samping dari ES adalah penambahan berat badan dan
mengantuk.
Aripriprazole (abilify): mempunyai efek terapi yang hampir sama, dengan ES
penambahan berat badan yang lebih minimal di bandingkan obat kelompok yang sama.

SSRI (selektif serotonin reuptake inhibitor) termasuk: fluoxetine (Prozac), setralin


(Zoloft), vluvoxamine (luvox), sangat efektif untuk depresi, cemas dan obsesif, perilaku
streotipik, juga meningkatkan perilaku secara umum menjadi lebih terkendali, interest
yang terbatas, inatensi, hiperaktif, labilitas mood, proses belajar, bahasa dan sosialisasi.
Methylphenidate
Hiperaktifitas dan inatensi merupakan gejala yang sering ditemukan pada anak dengan
gangguan autistic/ASD.
2.9. prognosis
Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa factor,yaitu:
1. Beratringannya gejala atau kelainan otak
2. Usia, didiagnosis dini sanga penting oleh karna semakin mudah umur anak saat di
mulainya terafi sangat besar kemungkinan untuk berhasil
3. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
4. Bicara dan bahasa, 20% anak autis tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan
sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kepasihan yang berbeda-beda.
5. Terapi intensif.
Penanganan/intervensi trapi pada anak autis harus dilakukan dengan intensif dan
terpadu. Seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak.
Penanganan anak autism memerlukan kerja sama tim yang terpadu yang berasal dari
berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurologi, dokter anak, trapis bicara
dan pendidik. Prognosis untuk penderita autism tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ di atas 70 dan mampu menggunakan komunikasi
bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autism tidak
sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, prilaku dapat di ubah kea rah positif
dengan berbagai terapi.

Anda mungkin juga menyukai