BAB I
PENDAHULUAN
Anak merupakan harta yang paling berharga bagi setiap orangtua, yang harus
dijaga, disayangi, dan diberi perhatian yang khusus terutama jika anak masih berada
pada masa tumbuh kembang anak, yaitu antar usia lahir sampai 8 tahun. Dimasa inilah
anak berada pada fase keemasan atau yang sering kita sebut dengan golden age, karena di
usia ini 80% otak anak berkembang dengan baik. Seperti halnya yang dikatakan oleh
Hurlock (1978:34) yang
anak pada
usia awal
adanya
keterlambatan
perkembangan,
diantaranya
keterlambatan
pendengaran,
termasuk
kurang
beresponnya
rangsangan
pendengaran,
1997, angka itu berubah menjadi 1: 500 kelahiran. Pada tahun 2000, naik lagi menjadi 1: 250
kelahiran. Tahun 2006, jumlah anak autis diperkirakan 1: 100 kelahiran. Pada tahun 2007
diperkirakan lebih dari 400.000 anak di Indonesia menyandang autisme (Kelana & Larasati,
2007, Kromosom Abnormal Penyebab Autisme). Namun demikian, menurut Yayasan Autisme
Indonesia, jumlah anak yang menyandang autisme memang semakin meningkat dari tahun
ke tahun, tetapi belum ada survey mengenai jumlah pasti anak di Indonesia yang menderita
autis.3
Dengan semakin meningkatnya jumlah anak penyandang autisme diharapkan
kesadaran orangtua untuk mencari layanan khusus buat anak mereka. 3 Terdapat beberapa jenis
terapi anak autisme yang ditawarkan di pusat-pusat terapi, diantaranya ialah Terapi
Wicara (Speech Therapy), dan Terapi Perilaku Applied Behavioral Analysis (ABA).1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos = diri dan isme = paham, aliran.
Autisme merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan secara kompleks
yang meliputi gangguan bahasa, komunikasi, prilaku, dan interaksi sosial. Autisme
adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan
interaksi sosial.5,18
Autism Spectrum Disorder (ASD) didefinisikan sebagai gangguan dan keterbatasan
interaksi sosial dan perilaku repetitif. Satu tanda-tanda awal dari ASD yaitu berkurangnya
perhatian sosial. Berkurangnya perhatian sosial dianggap sebagai manifestasi dari
ketidakpedulian
abnormalitasnya, diduga adanya disfungsi batang otak dan meso limbik, namun dari
penelitian terakhir ditemukan kemungkinan adanya keterlibatan serebelum.
Berbagai kondisi tersebut antara lain :7,8,9
a) Faktor genetik :
Hasil penelitian pada keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor
genetik yang berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu sel telur
ditemukan sekitar 36-89% sedang pada anak kembar dua telur 0%. Pada penelitian
dalam keluarga ditemukan 2,5% autism pada saudara kandung, yang berarti 50-100
kali lebih tinggi di banding pada populasi normal. Penelitian terbaru menemukan
adanya peningkatan gangguan psikiatrik pada anggota keluarga dari anak autistik,
berupapeningkatan insidens gangguan afektif dan anxietas, juga peningkatan
gangguan dalam fungsi sosial. Juga telah ditemukan adanya hubungan autisme dengan
sindrom fragile-X, yaitu suatu keadaan abnormal dari kromosom X. Pada sindrom ini
di temukan berbagai gejala, seperti retardasi mental dari yang ringan sampaiyang
berat, kesulitan belajar pada yang ringan, daya ingat jangka pendek yang buruk, fisik
yang abnormal pada 80% laki-laki dewasa, clumsiness, serangan kejang, dan
hiperrefleksi. Sering tampak pula gangguan perilaku seperti hiperaktif, perhatian yang
tersebar, impulsif, dan anxietas.7,8,9
Gambaran autistik seperti tidak mau bertukar pandang, stereotipik,
pengulangan kata-kata, perhatian atau minat terpusat pada suatu benda atau abjek
sering ditemukan. Di duga terdapat 0-20% sindrom fragile-X pada autism, walau
demikian hubungan kedua kondisi ini masih diperdebatkan.7,8,9,10
b) Faktor peri-natal:
Komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal yang meningkat juga ditemukan
pada anak autistik. Komplikasi yang paling sering dilaporkan adalah adanya
perdarahan setelah trisemester pertama dan adanya feses janin pada cairan
amnion , yang merupakan tanda bahaya dari janin (fetal distress). Penggunaan
obat-obatan tertentu pada ibu yang sedang mengandung diduga ada hubungan
dengan timbulnya autism. Adanya komplikasi waktu bersalin seperti terlambat
menangis, gangguan pernafasan, anemia pada janin, juga di duga ada hubungan
dengan autism.7,8,9
c) Model neuroanatomi:
Berbagai kondisi neuropatologi diduga dapat mendorong timbulnya gangguan
perilaku pada autisme. Ada beberapa daerah di otak anak autism yang diduga
menggalami disfungsi. Adanya kesamaan perilaku autistik dan perilaku abnormal
4
pada orang dewasa yang diketahui mempunyai lesi di otak dijadikan dasar dari
beberapa teori penyebab autisme.7,8,9
d) Hipotesis neurokimiawi
Sejak ditemukan adanya kenaikan kadar serotonin di dalam darah pada
sepertiga anak autistik (1961), fungsi neurotransmiter pada autisme menjadi focus
perhatian banyak peneliti. Dengan anggapan bila disfungsi system neurotransmiter
akan dapat dikoreksi.7,8,9
Beberapa jenis neurotransmiter yang diduga mempunyai hubungan dengan
autisme antara lain: serotonin, dopamin, dan opioid endogen.
3. Teori Imunologi
Ditemukannya penurunan respon system imun pada beberapa anak autis
meningkatkan kemungkinan adanya dasar imunologis pada beberapa kasus autism.
Ditemukannya antibody beberapa ibu terhadap antigen lekosit anak mereka yang
autistik, memperkuat dugaan ini karena ternyata antigen leukosit itu juga ditemukan
pada sel-sel otak, sehingga antibody ibu dapat secara langsung merusak jaringan saraf
otak janin, yang menjadi penyebab timbulnya autism. 7,8,9
4. Infeksi virus
Peningkatan frekuensi yang tinggidari gangguan autisme pada anak-anak
dengan congenital rubella, herpes simplex, encephalitis, dan cytomegalovirus
infection , juga pada anak-anak yang lahir selama musim semi dengan kemungkinan
ibu mereka menderita influenza musim dingin saat mereka ada di dalam rahim, telah
membuat peneliti menduga infeksi virus ini merupakan salah satu penyebab
autism.7,8,10
jurnal Nature Genetics, penelitian yang dilakukan terhadap 1200 keluarga
dengan melibatkan 120 ilmuan dan 50 lembaga di lebih dari 19 negara berhasil
menemukan kromosom 11 dan gen khusus yang bernama neurexin 11 sebagai biang
keladi penyebab Autis. Sebelumnya para ahli menduga kesalahan dalam cetak biru
genetis sebagai penyebab Autis. Neurexin merupakan bagian dari keluarga gen yang
membantu komunikasi sel syaraf. Menurut para ilmuwan gen ini memainkan peran
penting dalam terjadinya sindrom autis.11
Sebuah penilitian mengenai Autism Spectrum Disorder in Africa memaparkan
bahwa faktor etiologi umum untuk ASD pada anak-anak Afrika diantaranya anak
dengan pasca-ensefalitis infeksi atau sepsis sebelum timbulnya gejala faktor ASD,
genetik dan auto-imun dan kekurangan vitamin D.12
C. Gambaran klinis
5
Biasanya gejala autisme mulai muncul sebelum usia 3 tahun dan ditandai kegagalan
dalam perkembangan berbahasa dan kegagalan dalam menjalin hubungan dengan orangtuanya
merupakan alasan yang paling sering dari orangtua anak autistik untuk mengadakan kontak
dengan tenaga medis12,13
Sebenarnya bila orangtua atau dokter dapat lebih cermat mengamati, anak sudah
memperlihatkan gejala sejak bayi dengan CD 0-3 sudah dapat dipastikan pada usia 5 bulan
anak menderita gangguanrelasi dan komunikasi (lihat lampiran). Sebagai bayi, anak austik
mungkin akan terbaring di boksnya atau asyik bermain sendiri selama berjam-jam tanpa
menagis ataupun membutuhkan orangtuanya, sehingga pada awalnya orangtua mengira ia
anak yang manis, yang mudah diatur. Walau ada juga yang justru rewel dan sering menangis
tanpa sebab yang jelas12,13
Hal ini berlawanan dengan perkembangan normal bayi, dimana seharusnya bayi dapat
berinteraksi dengan merespon wajah orang dewasa yang menatapnya berupa tersenyum.
Beberapa orangtua takut anaknya tuli, karena anak tidak ada reaksi bila di panggil. Sangat
jarang orangtua yang melaporkan anaknya mempunyai perkembangan sosial dan bahasa yang
normal, tetapi yang sering justru kehilangan kemampuan berbahasa dan menarik diri dari
interaksi sosial.13,14
1. Hambatan kualitatif dalam komunikasi verbal atau nonverbal dan dalam bermain
Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan bicara merupakan keluhan yang
sering diajukan pada orang tua, sekitar 50% mengalami hal ini. Bergumam yang biasanya
muncul sebelum dapat mengucapkan kata-kata, mungkin tidak tampak pada anak
austistik. Sering mereka tidak memahami ucapan yang di tujukan pada mereka. Biasanya
mereka tidak menunjuk ataupun memakai gerakan tubuh menyampaikan keinginannya ,
tetapi dengan mengambil tangan orang tuanya untuk dipakai mengambil objek yang
dimaksud. Mereka mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata dan juga
kesukaran dalam menggunakan bahasa dalam konteks yang sesuai atau benar. Bahwa satu
kata mempunyai banyak arti mungkinsulit untuk dapat dimengerti oleh mereka.14,15
Anak autistik sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar atau yang
pernah ia dengar sebelumnya tanpa maksud untuk berkomunikasi. Bila bertanya sering
menggunakan kata ganti orang dengan terbalik saya jadi kamu dan menyebut diri
sendiri sebagai kamu. Mereka sering berbicara pada diri sendiri, dan mengulang
potongan kata atau lagu dari iklan televise dan mengucapkannya di muka orang lain dalam
suasana yang tidak sesuai. Penggunaan kata-kata yang aneh atau dalam arti kiasan ,
seperti seorang anak berkata sembilan , setiap mereka melihat kereta api. Anak-anak ini
juga memiliki kesukaran dalam berkomunikasi walaupun mereka dapat berbicara dengan
baik, karena tidak tahu kapan giliran mereka bicara, memilih topic pembicaraan, atau
6
ingat yang sangat baik, kemampuan membaca yang diatas batas penampilan
intelektualnya (hiperleksia).8,9
4. Gangguan pada perilaku motoric
Kebanyakan anak autistik menunjukan adanya stereotipi, seperti bertepuk-tepuk
tangan , menggoyang-goyang tubuh. Hiperaktivitas biasa terjadi terutama pada anak
prasekolah. Beberapa anak juga menunjukkan perhatian yang tersebar dan impulsivitas.
Juga didapatkan adanya koordinasi motoric yang terganggu, tiptoe walking, clumsiness,
kesulitan belajar mengikat tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan, mengancing
baju.7,8
5. Reaksi abnormal terhadap perangsangan indera
Beberapa anak menunjukkan hipersensitivitas terhadap suara yang keras seperti suara
(hiperakusis) dan menutup telinganya bila mendengar suara yang keras seperti suara
petasan, gonggongan anjing, atau sirine polisi. Anak yang lain mungkin justru lebih
tertarik dengan suara jam tangan atau remasan kertas. Sinar yang terang , termasuk sinar
lampu sorot di ruang praktek dokter gigi, mungkin membuatnya tegang, walau beberapa
anak malah menyukai sinar. Mereka mungkin sangat sensitive terhadap sentuhan,
memakai baju yang terbuat dari serat yang kasar, seperti wol, atau baju denga label yang
maih menempel, atau berganti baju dari lengan pendek menjadi lengan panjang, semua itu
dapat membuat mereka temper tantrums. Di lain pihak ada juga anak yang tidak peka
terhadap rasa sakit , dan tidak menangis aat mengalami luka yang parah. Anak mungkin
tertari pada rangsang indera tertentu sebagai objek yang berputar.7,8
6. Gangguan tidur dan makan
Gangguan tidur berupa terbaliknya pola tidur , terbangun tengah malam. Gangguan
makan beupa keengganan terhadap makanana tertentu karena tidak menyukai tekstur atau
baunya, menuntut hanya makan jenis makanan baru, atau pika (makanan zat-zat yang
bukan makanan, misal debu, pasir dll). Dapat sangat menyulitkan para orang tua7,8
7. Gangguan mood atau perasaan atau emosi
Beberapa anak menunjukkan perubahan mood yang tiba-tiba, mungkin menangis atau
tertawa tanpa alasan yang jelas. Sering tampak tertawa sendiri, beberapa anak tampaknya
mudah menjadi emosional. Rasa takut yang sangat kadang-kadang muncul terhadap objek
yang sebetulnya tidak menakutkan. Cemas perpisahan yang berat, juga depresi berat
mungkinditemukan pada anak autistik.7,8
8. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan angresivitas melawan orang lain.
Ada kemungkinan mereka menggigit lengan, tangan atau jari sendiri , sampai
berdarah. Membentur-benturkan kepala, mencubit, menarik rambut sendiri atau memukuli
8
diri sendiri. Temper tentrums , ledakan agresivitas tanpa pemicu, kurangnya perasaan
terhadap bahaya dapat terjadi pada anak autistik 7,8
9. Gangguan kejang
Terdapat kejang epilepsy pada sekitar10-25% anak austistik. Ada korelasi yang tinggi
antara serangan kejang dengan beratnya retardasi mental, derajat disfungsi susunan saraf
pusat7,8
D. Kriteria Diagnostik Autism7,8,11,25
International Classification of diseases (ICD) 1993 maupun Diagnostic and Statistical
Manual (DSM-IV) 1994, merumuskan criteria diagnosis untuk Autisme infantile adalah:
1.
Harus ada 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal dua gejala dari (1) dan masingmasing satu gejala dari (2) dan (3).
a) Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik. Minimal harus ada 2
gejala berikut:
i.
Tak mampu menjalin interaksi social yang cukup memadai: kontak mata sangat
ii.
iii.
iv.
b) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada satu dari gejalagejala berikut:
i.
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak
ii.
iii.
iv.
c) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan
kegiatan. Minimal harus ada dari gejala-gejala berikut:
i.
Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
ii.
iii.
iv.
2.
berlebihan.
Terpaku pada kegiatan yang ritualistik dan rutinitas yang tidak ada gunanya.
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang
interaksi social, bicara dan berbahasa dan cara bermain yang monoton, kurang variatif.
3.
Bukan disebabkan oleh sindrom Rett atau gangguan disintegrasi masa kanak.
E. Diagnosis banding
1. Retardasi mental
Keterampilan sosial dan komunikasi verbal atau nonverbal pada anak retardasi
mental adalah sesuai dengan usia mental mereka. Tes intelegensi biasa menunjukkan
suatu penurunan yang menyeluruh dari berbagai tes, berbeda dengan anak autistik
hasil tesnya tidak menunjukkan hasil yang rata-rata sama. Kebanyakan anak dengan
taraf retardasi yang berat dan usia mental yang sangat rendah menunjukkan tandatanda autisme yang khas , seperti gangguan dalam interaksi sosial, stereotipi , dan
buruknya kemampuan berkommunikasi.7,8,25
2. Skizofrenia : kebanyakan anak dengan skizofrenia secara umum Nampak normal pada
saat bayi sampai sekitar usia 2-3 tahun, dan baru kemudian muncul halusinasi dan
waham, gejala yang tidak terdapat pada autisme. Biasanya anak dengan skizofrenia
tidak retardasi mental , sedang pada autisme sekitar 75-80% adalah retardasi
mental.7,8,25
3. Gangguan perkembangan berbahasa : adanya gangguan pada pemahaman dan dalam
mengekspresikan pembicaraan. Namun komunikasi nonverbal-nya baik, dengan
memakai gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Juga tidak ditemukan adanya stereotipi
dan gangguan berat dalam interaksi sosial.7,8,25
4. Gangguan penglihatan dan pendengaran : mereka yang buta dan tuli tidak akan
bereaksi terhadap rangsang lingkungan sampai gangguannya terdeteksi dan memakai
alat bantu khusus untuk mengoreksi kelainannya.7,8,25
5. Gangguan kelekatan reaktif : suatu gangguan dalam hubungan sosial pada bayi dan
anak kecil. Keadaan ini dikarenakan pengasuhan yang buruk , sehingga dengan terapi
dan pengasuhan yang baik dan sesuai kondisi ini dapat kembali normal.7,8,25
6. Semua gangguan yang termasuk dalam kelompok PDD : sindrom Asperger, sindrom
Rett, Autisme tak khas, gangguan disintegratif masa kanak, PDD- NOS.7,8,25
7. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) : banyak anak autism yang
juga mempunyai gejala hiperaktif, impulsive dan inatensi, namun dengan pengamatan
klinis yang teliti akan tampak bedanya
mempunyai interaksi sosial yang baik, komunikasi nonverbal yang baik dan minat
atau aktivitas motoric yang sesuai dan terarah, ada tujuan walau tidak sesuai.7,8,25
F. Penanganan Autisme
10
Makin banyaknya fenomena anak autis belakangan ini, membuat para ahli, baik itu
peneliti, dokter atau psikiater anak berkutat mencari penanganan atas penyakit autis ini.
Menurut para ahli, psikiater anak atau pun para dokter yang menggeluti penyakit autis ini,
Autisme bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan melainkan hanya dapat dikurangi
kelemahannya.11,16
Walaupun autis tidak dapat disembuhkan seratus persen, tetapi penyandang austis dapat
dilatih melalui terapi, sehingga ia bias tumbuh normal seperti anak sehat lainnya. Dalam hal
ini, terapi saja tidak akan berhasil karena diperlukan peran orang tua dalm melihat
perkembangan anaknya. Oleh karena itu, kunci kesembuhan autis adalah orang tua dan terapi
tat laksana perilaku.16,17
Anak penyandang autis yang memiliki mental retardasi akan membutuhkan
pengawasan dan bantuan untuk menjalani rutinitas sehari-hari seumur hidupnya. Strategi
penangananuntuk anak-anak ini biasanya menekankan pada menghilangkan perilaku
berbahaya, melukai diri (misalnya membersihkan diri setelah buang air kecil/besar atau cara
menggunakan kamar mandi, berpakaian, makan dan minum sendiri), kepatuhan pada
peraturan atau permintaan sederhana, munculnya perilaku emosional dan sosial yang
sederhana, mengkomunikasikan/mengutarakan kebutuhannya, bermain.11,16
Berikut adalah terapi-terapi yang sedikitnya dapat dilakukan dan biasa diterapkan di
yayasan-yayasan yang bergerak dalam memberikan terapi dan pembelajaran sebagai
penanganan terhadap anak penyandang autis:
1. Terapi Prilaku
Metode Lovaas merupakan terapi perilaku intensif dengan pendekatan kepada
anak-anak dengan penyakit autis atau gangguan pervasif lainnya yang berhubungan
dengan Autisme tersebut. Metode Lovaas ini juga dikenal sebagai UCLA Programme
atau Program UCLA (University of California Los Angeles) yang pertama kali
diperkenalkan oleh Prof. Ivar O. Lovaas yang juga dikenal di seluruh dunia dengan
Applied Behavioral Analysis (ABA).12,13
Tabel 1. Kurikulum ABA Tahap Awal (Beginner)11
Jenis Kemampuan
Attending Skill
Keterangan
Sits independently, eye contact.
(dapat duduk secara mandiri, terdapat kontak mata dengan
Imitation Skill
orang lain)
Gross, fine and oral motor skills.
(kemampuan bersuara dengan jelas, kemampuan motorik
Receptive language
Skill
Expresive
langkah perintah)
Imitates sounds, labeling, yes/no, greeting, answer simple
Language Skill
question.
(menirukan suara, menamai sesuatu, menjawab iya atau
Pre-Academic Skill
baju
sendiri,
makan
dengan
mandiri,
Keterangan
Sustains eye contact, responds to name.
(Belajar menjaga kontak mata, menjawab dan menyebutkan
Initation Skill
sesuatu)
Imitates sequences, copies simple drawing, pairs action
with sound.
(meniru dan mengikuti gambar sederhana, mencocokan
Receptive
Language Skill
Expresive
Language Skill
Pre-Academic Skill
memakai
baju
sendiri,
memakai
sepatu,
Keterangan
Maintains eye contact during conversation and group
instruction.
(belajar menjaga kontak mata selama terjadi percakapan
Imitation Skill
Receptive
Language Skill
teman-temannya)
Three-step instructions, same/different, identifies what
doesnt
belong,
plural/singular,
understandingaskversustell
(menuruti perintah 3 tahap, memahami persamaan dan
perbedaan, mengenal apa yang tidak cocok, jamak/tunggal,
Expresive
Language Skill
mengertibertanyadanmengucapkan
UtilizesI dont know retell story, recall past events, ask for
clarification
(memahami
penggunaan
kata
Saya
tidak
taau
Abstract Language
Complete
consonants,
patterns,
spelling,
reading
states
names
word
letter
sounds,
meaning,
simple
sederhana).
Follow directions from peers, answers questions from pers,
responds to play statements to peers, offers and accepsts
peer assistance.
(mengikuti
School Readiness
petunjuk
dari
orang
sekitar,
menjawab
pertanyaan)
Wait turns, demonstrates new responses through obsevatio,
follow group instruction, sing nursery rhymes, answer
when called on, raises hand, story-time, show and tell.
(menunggu, mendemonstrasikan tanggapan baru melalui
observasi sebelumnya)
Brushes teeth, zippers, buttons, snaps.
(menyikat gigi, meresleting, mengancing)
2. Terapi Wicara
Terapi Wicara adalah terapi yang dilakukan jika ditemukan adanya kesulitan
berkomunikasi atau ganguan dalam berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun
anak. Terapis Wicara (orang yang memberikan terapi berbicara) dapat diminta untuk
berkonsultasi dan konseling, mengevaluasi, memberikan perencanaan maupun
penanganan untuk terapi, dan merujuk sebagai bagian dari tim penanganan kasus. Terapi
Wicara pada Autistik Spectrum Disorders (ASD) bersifat, verbal, non-verbal dan
kombinasi.11,18
Anak-anak dengan autisme sering menunjukkan gangguan dalam berbicara dan
berbahasa (Paul, 2008). Mungkin beberapa anak tak pernah dapat berbicara dengan baik
dalam beraktivitas dan berkomunikasi dengan orang lain. (Yoder & Stone, 2006).
Kegagalan untuk mengembangkan kemampuan berbicara dikaitkan dengan gangguan
seumur hidup dari beberapa perilaku adaptif (Lord & Pick-les, 1996; Paulus) dan
mengalami kesulitan dalam mencapai/melakukan hal yang mendasar/hari-hari dan hal
yang diinginkan (Carr & Durand, 1985; Halle & Meadan, 2007). Walaupun anak-anak
dapat diajarkan alternatif dan topografi komunikasi augmentatif (misalnya, Charlop14
Christy, Carpenter, Le, LeBlanc, & Kellet, 2002), anak-anak yang memperoleh latihan
verbal/berbicara selama tahun tahun pra-sekolah menunjukan hasil yang lebih baik
dalam kemampuan berbahasa secara reseptif dan ekspresif, keterampilan akademik, dan
perilaku sosial selama hidupnya (Paul;. Tager-Flusberg et al, 2009). Oleh karena itu,
latihan verbal/berbicara untuk anak-anak dengan autisme menjadi prioritas sebagai
program intervensi awal.19
G. Penanganan gangguan berbahasa pada penderita Autisme dengan pendekatan Non Verbal
Denver Model and PROMPT interventions
Dua pendekatan umum untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi pada
anak-anak dengan autisme telah tersedia selama bertahun-tahun. Pendekatan ini biasanya
menerapkan teori belajar pada prinsip-prinsip untuk pengembangan berbicara, menggunakan
salah satu dari dua metode utama.20
Metode pertama, umumnya dikenal sebagai " discrete trial teaching ", menggunakan
didaktik, kurikulum yang diarahkan oleh orang dewasa dalam suatu kelompok. Strategi
direktif lebih mengarah ke drilling. Strategi ini dilakukan dengan proses terapis mengucapkan
kata dan anak mencoba mengulangi kata tersebut.20,21
Pertama dijelaskan oleh Wolf, Risley, dan Mees (1964), pendekatan ini telah
dijelaskan oleh Lovaas dan rekan-rekannya (Lovaas, 1981; Lovaas, 2002). Dalam pendekatan
ini, anak dituntun oleh orang dewasa dimana ia menanggapi instruksi sederhana (pelatihan
bahasa reseptif); berupa meniru gerakan motorik dari gerakan mulut dan kemudian meniru
suara. Kemudian belajar mengasosiasikan antara ragam makna kata dalam berbicara dengan
kemampuan ekspresi wajah. Motivasi sangat diperlukan dalm pendekatan ini melalui pujian
yang diberikan pada anak setelah berhasil melakukannya. Banyak penelitian yang diterbitkan
telah mendukung efektivitas pendekatan ini, seperti baru-baru ini penelitian yang dilakukan
oleh Goldstein (2002).20
Pendekatan kedua melibatkan lebih banyak pendekatan yang bersifat naturalistik.
Pendekan yang kedua ini dilakukan dengan melibatkan bermacam-macam mainan karena
bermain adalah media natural bagi anak-anak.20
Kedua pendekatan ini memerlukan intervensi yang intensif, berlatih berkali-kali
sehari, selama periode waktu yang cukup lama. Pendekatan ini pada akhirnya menghasilkan
anak-anak dengan peningkatan dalam
pengobatan, dimana anak-anak itu mendapatkan intervensi latihan 25-40 jam per minggu
dengan perawatan dirumah.20
15
16
17
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etiologi dari autis merupakan multi
faktorial yang saat ini membutuhkan penelitian lebih lanjut serta memerlukan penanganan
komprehensif , baik itu dari suatu tim terpadu yang di dalamnya berasal dari berbagai disiplin
ilmu, dokter (psikiater, dokter anak, neurolog), pendidik, psikolog, ahli terapi wicara, terapi
okupasi, pekerja sosial, juga perawat. Diharapkan dapat dengan mendeteksi dan mendiagnosa
gangguan autisme serta melakukan penanganan yang tepat.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Artanti PY, Formen A, Diana. Studi deskriptif terapi terhadap penderita autisme pada
anak usia dini di mutia center kecamatan bojong kabupaten purbalingga. Journal of
Early Childhood Education Papers. 2012.
2. Feero WG, Guttmacher AE. Genomics, intellectual disability, and autism. New England
Journal Medical. 2012;366:733-43.
3. Ekawati Y, Wandansari YY. Perkembangan interaksi sosial anak autis di sekolah inklusi:
ditinjau dari perspektif ibu. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya.
4. Carpenter ML, Estrem TL, Crowell RL, Edrisinha CD. Auditory processing skills in
young adults with autism spectrum disorder. Communication Disorders, Deaf Studies &
Hearing Aids. 2014; 22.
5. Handayani RN, Murniati.
Pengaruh
terapi
visual
teknik
Picture
Exchange
Communication (PEC) terhadap kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif pada anak
autisme di SD Purba Adhi Suta Purbalingga. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan
Bangsa Purwokerto. 2014.
6. Lidstone J, Uljarevic M, Kanaris H, Mullis J, Fasoli L, Leekam S. Imitating the Child
with Autism: A Strategy for Early Intervention?. Autism Open Access. 2014; 4,1
7. Widyawati I. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2010; p, 420-440.
8. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Gangguan perkembangan pervasif. Dalam: KaplanSadock sinopsis psikiatri. Edisi 7. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. Hal 715-19.
9. Schaafsma M. S, Pfaff W. D. Etiologies underlying sex differences in Autism Spectrum
Disorders. Laboratory of Neurobiology and Behavior, The Rockefeller University, 1230
York Avenue, New York, NY 10065, USA. 2014
10. Setyawan F. Pola penanganan anak autis di yayasan sayab ibu (YSI) Yogyakarta. Jurusan
pengembangan masyarakat islam fakultas dakwah: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta; 2010
19
11. Reza MS. Aplikasi terapi untuk anak autis dengan metode lovaas berbasis multimedia
interaktif. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2011.
12. Bakare MO, Munir KM. Autism spectrum disorders (ASD) in Africa: a perspective. Afr J
Psychiatry 2011;14:208-210.
13. Bensaid LA. The effect of speakers gender and number of syllables on the perception of
words by young children: a developmental study. Journal of speech-language pathology
and applied behavior analysis. 2011; 5, 1-24.
14. Duvall JA, Lu A, Cantor RM, Todd RD, Constantino JN, Geschwind DH. A Quantitative
Trait Locus Analysis of Social Responsiveness in Multiplex Autism Families. Am J
Psychiatry. 2007; 164:656662.
15. Boddaert N, Chabane N, Belin P, Bourgeois M, Royer V, Barthelemy C, et al. Perception
of complex sounds in autism: abnormal auditory cortical processing in children. Am J
Psychiatry 2004; 161:21172120.
16. Sheinkopf JS, Siegel B. Home-based behavioral treatment of young children with autis.
Journal of autismand developmental disorders. 1998; 28,1.
17. Sallows GO, Graupner TD. Intensive behavioral treatment for children withautism: fouryear outcome and predictor. American journal on mental retardation. 2005;110, 417-438.
18. Wright P, Miles N, Alexander R. The effect of error correction and goal setting with
reinforcement on the acquisition of tacts of form and function of unknown nouns for
individuals with autism. Journal of speech-language pathology and applied behavior
analysis. 2011; 5, 1-7.
19. Palvnick JB, Ferrari SJ, Mannes TJ, Maupin AN, Stewart LS, Goforth AN, et al.
Experimental comparison of brief behavioral and developmental language training for a
young child with autism. Journal of speech-language pathology and applied behavior
analysis. 2011; 5, 35-41.
20. Rogers SJ, Hayden D, Hepburn S, Smith RC, Hall T, Hayes A. Teaching young
nonverbal children with autism useful speech: A pilot study of the Denver Model and
PROMPT interventions. Journal of Autism and Developmental Disorders. 2006.
21. Dunst CJ, Raab M, Trivette CM. Characteristics of naturalistic language intervention
strategies. Journal of speech-language pathology and applied behavior analysis. 2011;
5,3-16.
22. Cohen SB, Scott FJ, Allison C, Williams J, Bolton P, Matthews FE, et al. Prevalence of
autism-spectrum conditions:UK school-based population study. The British Journal of
Psychiatry. 2009; 194, 500509.
23. Clarke DJ, Littlejhons CS, Corbett JA, Joseph S. Developmental disorders and psychoses
in adult life. British Journal of Psychiatry. 1989; 155, 692-699.
24. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Gangguan perkembangan pervasif. Dalam: KaplanSadock sinopsis psikiatri. Edisi 7. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. Hal 715-19.
20
25. Sadock BJ, Sadock VA. Editors. Pervasive developmental disorder. Dalam: Kaplan and
sadock comprehensive textbook of psychiatry. Edisi 8. Vol 2. New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.h. 3169.
26. Gambar 2 diunduh dari http://www.kidstalkmatters.com/prompt.html
21