Anda di halaman 1dari 20

Bab II

Tinjauan teori

A. Definisi

Menurut PPDGJ ( pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di


indonesia III) yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan 1993 dan merupakan
terjemahan dari ICD-X (International Classification of Diseases – X) yang diterbitkan
WHO 1992 dan DSM-IV, yang di maksud autisme masa anak adalah gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/atau hendaya
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dan mempunyai fungsi abnormal
dalam 3 bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan
berulang.
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada bayi atau anak yang
ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Gangguan autis adalah salah satu
perkembangan pervasif berawal sebelum usia 2,5 tahun (Devision, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI
Jumlah penyandang autisme di seluruh dunia semakin tahun semakin
meningkat. Dari kepustakaan pada awal tahun 90-an, jumlah penyandang autisme
diperkirakan sekitar 4-6 per 10.000 kelahiran. Tetapi mendekati tahun 2000 angka ini
mencapai 15-20 per 10.000 kelahiran. Data pada tahun 2000, angka ini meningkat
drastis yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran atau 1 : 250 anak. Bahkan di beberapa
kota di Amerika bisa mencapai 1 : 100 anak. Angka ini sudah dapat dikatakan sebagai
wabah, oleh karena itulah di Amerika autisme sudah dimasukkan ke dalam national
alarming. Insidens dan Prevalens ASD (Autism Spectrum Disorder) adalah 2 kasus
baru per 1.000 penduduk per tahun, dan 10 kasus per 1.000 penduduk (BMJ, 1997).
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-4:1.
Penyakit sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat menunjukan gejala seperti
austik.
C. Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui, tetapi diketahui bahwa penyebabnya sangat


kompleks dan multifaktoral dan terutama dipengaruhi faktor genetik. Dari berbagai
penelitian disimpulkan bahwa berbagai faktor secara sendiri atau bersama- sama
mengganggu sususan saraf pusat melalui mekanisme tertentu, yang akhirnya
menghasilkan suatu sindrom gangguan perilaku yang disebut sebagai autisme.
Berbagai teori yang diperkirakan menjadi penyebab terjadinya autisme adalah sebagai
berikut:

1. Faktor psikososial
Dahulu diperkirakan autisme adalah faktor psikogenik, yaitu pengasuhan yang
kaku dan obsesif dalam suasana emosional yang dingin. Pendapat lain adalah sikap
ibu yang kurang memperhatikan anak atau yang tidak menghendaki/menolak
kehadiran anak tersebut, sehingga mengakibatkan penarikan diri anak tersebut,
Sebagai akibat teori ini, banyak ibu merasa bersalah dan stres. Padahal, dia juga sudah
banyak beban dengan merawat anaknya yang autisme. Namun, sekarang teori tersebut
disanggah, karena tidak terdapat perbedaan situasi keluarga antara anak yang autisme
dengan yang normal.
2. Faktor pranatal, perinatal, dan pascanatal
Komplikasi pranatal, perinatal, dan pascanatal, sering diketemukan pada anak
yang menderita autisme, seperti perdarahan setelah kehamilan trimester pertama serta
mekoneum pada cairan amnion sebagai tanda adanya fetal distres dan preklamsia.
Komplikasi lainnya antara lain adalah penggunaan obat- obatan tertentu pada ibu,
infeksi rubela pada ibu, inkompatibilitas rhesus, fenilketonuria yang tidak diobati,
asfiksia atau gangguan pernafasan lainnya, anemia pada janin, dan kejang pada
neonatus. Semua komplikasi itu menyebabkan gangguan fungsi otak yang diduga
sebagai penyebab autisme.
3. Teori imunologi
Ditemukan antibodi ibu terhadap antigen tertentu yang menyebabkan
penyumbatan sementara aliran darah otak janin. Selain itu, antigen tersebut juga
ditemukan pada sel otak janin, sehingga antibodi ibu dapat merusak jaringan otak
janin. Keadaan tersebut memperkuat teori peranan imunologi pada terjadinya autisme.
Penyakit autoimun seperti diabetes tipe 1, artritis rheumatoid, hipotiroid dan lupus
eritematosus sistemik, banyak autime ditemukan 8,8 kali lebih banyak pada anak yang
ibunya menderita penyekit autoimun.
4. Teori infeksi
Peningkatan angka kejadian autisme terjadi pada anak- anak yang lahir dengan
rubela kongenital, ensefalitis herpes kompleks, dan infeksi sitomegalovirus, sebagai
akibat dari kerusakan otak anak.
Pernah dilaporkan bahwa overgrowth jamur C.albicans dapat menyebar keseluruh
tubuh termasuk otak anak, sehingga mengganggu funsi otak. C.albicans juga
mengeluarkan enzim fosfolipid dan protease yang mengakibatkan preabilitas usus
meningkat, sehingga mudah dilalui protein yang belum sempurna dipecah seperti
gluten dan kasei. Dikatakan bahwa dengan diet rendah gluten dan kasien, gejala
autisme akan membaik, tetapi teori ini belum terbukti kebenarannya.
5. Faktor genetik
Terdapat bukti kuat bahwa faktor genetik berperan pada autisme. Pada
pasangan anak kembar satu telor (monozygot), ditemukan kejadian autisme sebesar
36-95%, sedangkan pada anak kembar 2 telor (dizygot) kejadian 0-23%. Pada
penelitian keluarga dari anak yang autisme, diketemukan autisme pada saudara
kandungnya 2,5-3%. Dikatakan pula bahwa autisme adalah salah satu dari
kemungkinan yang timbul pada anak yang secara genetik pada keluarganya terdapat
masalah belajar dan komunikasi. Didapatkan angka kejadian autisme pada fragile-X
sekitar 7-20% dan pada tuberous sclerosis sekitar 17-61%. Pernah dilaporkan sindrom
fragile-X yang terjadi bersamaan dengan gangguan X-linked autosomal dominan dan
tuberous sclerosis pada 8-11% kasus autisme.
Sindrom fragile-X meliputi sekumpulan gejala, seperti retardasi mental ringan
sampai berat, kesuliatan belajar, daya ingat jangka pendek yang buruk, kelainan fisik,
clumsiness, serangan kejang, dan hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impilsif,
ansietas, dan gangguan autistik. Namun, hingga saat ini hubungan antara autisme
dengan sindrom fragile-X masih diperdebatkan.
Komponen genetik autisme cenderung heterogen, melibatkan sekitar 100gen.
Kelaianan genetik pada autisme ditemukan pada hampir semua mitokondria dan
semua kromosom, kecuali kromosom 14 dan 20. Diketahuai bahwa untuk terjadinya
gejala autisme, telibat gen majemuk yang berinteraksi dengan berbagai faktor
lingkungan sekitar. Kromosom yang sangat terkait dengan autisme adalah kromosom
7q, 2q, 15q,11-13.

6. Faktor neuroanatomi
Dengan majunya ilmu pengetahuan dan penelitian dalam bidang neurobiologis
dan genetika, telah ditemukan adanya kerusakan yang khas didalam sistem
limbik(pusat emosi) , yaitu pada bagian otak yang disebut hipokampus dan amigdala.
Mereka menemukan bahwa pada anak autisme, neuron didalam hipokampus dan
amigdala sangat padat dan kecil- kecil.
Amigdala mengendalikan fungsi emosi dan agresi. Anak autis pada umumnya
tidak bisa mengendalikan emosinya. Mereka seringkali agresif terhadap orang lain.
Amigdala juga peka terhadap berbagai rangsanagan sensoris, seperti suara,
penglihatan, penciuman, dan emosi yang berhubungan dengan rasa takut. Penderita
autisme seringkali mengalami gangguan pada hal-hal tersebut diatas.
Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat.
Kerusakan pada hipokampus menyebabkan kesulitan menyerap dan mengingat
informasi baru dan juga menimbulkan perilaku yang stereotipik, stimulasi diri, serta
hiperaktifitas. Selain itu, pada penelitian dengan menggunakan pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging), didapatkan lesi pada lobus temporalis, parietalis,
frontalis dan serebelum pada anak austistik. Kelainan di serebelum ditemukan pada
30-50% anak, berupa hipoplasia atau hiperplasia pada lobuske VI dan VII. Ditemukan
jumlah sel- sel Purkinye di serebelum sangat sedikit dan mempunyai kandungan
serotonin yang tinggi. Keseimbangan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin
sangat diperlukan untuk penyaluran implus dari neuron satu ke neuron lain.
Sementara itu, kerusakan pada lobus frontalis mengakibatkan terbatasnya perhatian
terhadap lingkungan.

7. Faktor neurokimiawi/neurotransmiter
Teori ini mengacu pada ditemukannya peningkatan kadar serotonin pada sepertiga
anak autisme. Sejak itu, peranan neurotransmiter pada autisme mendapat banyak
perhatian. Diduga gangguan fungsi neurotransmiter inilah yang mendasari terjadinya
gangguan fungsi perilaku kognitif pada autisme. Neurotransmiter yang diduga
menimbulkan gangguan autisme adalah
a. Serotonin
Hiperserotoninemia didapatkan pada sepertiga anak autistik, separuh anak autistik
dengan retardasi mental, serta pada keluarga anak autistik.

b. Dopamin
Adanya hiperdopaminergik pada susunan saraf pusat diduga sebagai penyebab
hiperaktifitas dan stereotipi pada autisme. Walaupun tidak terdapat perbedaan
antara kadar asam homovalinik cairan serebrospinal dan perifer, terbukti bahwa
penghambatan reseptor dopamin dapat mengurangi gejala hiperaktifitas dan
stereotipi pada beberapa kasus autisme.
c. Opiat endogen
Dikatakan bahwa penderita autisme memproduksi ensefalin dan beta-endorfin
dalam jumlah banyak. Ditemukan persamaan tingkah laku antara anak autistik
dengan anak dengan ketergantungan opiat, yaitu terdapat gangguan interaksi
sosial dan kurang sensitif terhadap rasa sakit.
Selain ketiga neurotransmiter tersebut diatas, juga terdapat kenaikan epinefrin,
norepinefrin, dan okstitosin pada penderita autisme.

D. Patofisiologi

Penyebab pasti dari autisme belum diketahui. Yang pasti diketahui adalah
bahwa penyebab dari autisme bukanlah salah asuh dari orang tua,  beberapa penelitian
membuktikan bahwa beberapa penyebab autisme adalah ketidakseimbangan biokimia,
faktor genetic dan gangguan imunitas tubuh. Beberapa kasus yang tidak biasa
disebabkan oleh infeksi virus (TORCH), penyakit- penyakit lainnya seperti
fenilketonuria (penyakit kekurangan enzim), dan sindrom X (kelainan kromosom).

E. Gejala klinis

Gejala autisme dibagi berdasarkan umur anak, yaitu:

1. Pada masa bayi


Sebenarnya, kalau kita jeli memperhatikan, gejala autistik sudah dapat diamati
pada masa bayi dibawah usia setahun, karena sebagian besar anak autistik berbeda
dari anak yang normal sejak dari lahir. Gejala utama yang khas adalah selalu
membelakangi/tidak berani menatap mata pengasuhnya untuk menghindari kontak
fisik/kontak mata. Agar tidak diangkat, bayi memperlihatkan sikap diam atau asyik
bermain sendiri berjam-jam diranjangnya tanpa menangis atau membutuhkan
pengasuhnya, sehingga pada awalnya orangtuanya mengira sebagai bayi yang manis
dan mudah diatur. Sebaliknya, sebagian bayi lainya sering tampak agresif. Pada bayi
yang agresif ini, sering menangis berjam-jam tanpa sebab yang jelas pada waktu
mereka sedang terjaga. Pada beberapa kasus, bayi mulai membentur-benturkan
kepalanya pada ranjang, tetapi keadaan ini tidak selalu terjadi.
Gejala lainnya adalah bayi menolak dipeluk/disayang, tidak menyambut ajakan
ketika kedua tangannya diangkat, kurang bisa meniru pembicaraan atau gerakan
badan, gagal menunjukkan suatu objek kepada orang lain, dan kurang responsif
terhadap isyarat sosial seperti kontak mata dan senyuman. Bergumam yang biasa
muncul sebelum anak dapat mengucapkan kata-kata mungkin tidak nampak pada anak
autisme.

2. Pada masa anak


Sekitar setengah anak-anak autistik mengalami perkembangan yang normal
sampai umur satu setengah sampai tiga tahun. Setelah itu, barulah tampak gejala
autistik.
Anak-anak ini disebut sebagai regressive autism.
Selama masa anak ini, perkembangan anak autisme dibawah rata-rata anak
sebayanya dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, kognitif, dan gangguan perilaku
mulai tampak
a. Gangguan perilaku
Gangguan perilaku tersebut antara lain adalah stimulasi diri (gerakan aneh yang
diulang-ulang atau perilaku yang tanpa tujuan, seperti menggoyang-goyangkan
tubuhnya kedepan dan kebelakang, tepuk-tepuk tangan, dll), mencederai diri
sendiri (menggigit-gigit tanganya, melukai diri, membentur-benturkan kepalanya),
timbul masalah tidur dan makan, tidak sensitif terhadap rasa nyeri,
hiper/hipoaktifitas, gangguan pemusatan perhatian. Terutama pada masa anak
dini, kadang-kadang terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tidak
lebut.
Karakteristik lainnya pada anak autistik adalah insistence on sameness atau
perilaku perseverative, yaitu sikap yang sangat rutin (adanya perubahan sedikit
saja, anak akan marah. Anak dapat memaksakan suatu kegiatan yang rutin seperti
dalam suatu upacara; dapat terjadi preokupasi yang stereotipik dengan perhatian
yang khusus terhadap tanggal, rute, jadwal ; sering terdapat stereotipik dengan
perhatian yang khusus unsur samping suatu benda (seperti bau atau rasa) dan
terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau tata ruang
dilingkunganya. Contoh rutinitas tersebut adalah memakai baju dengan urutan
yang sama seperti tangan kiri harus dimasukkan terlebih dahulu, pergi kesekolah
melalui rute yang sama. Salah satu alasan rutinitas tersebut adalah bahwa anak
autisme tidak mempunyai kemampuan untuk mengerti dan mengatasi perubahan
situasi.
b. Gangguan interaksi sosial
Gangguan interaksi sosial antara lain adalah tidak ada reaksi bila anak
dipanggil, sehingga orangtua mengira anaknya tuli. Anak senang menyendiri,
tidak tertarik bergaul/bermain dengan anak lain, tidak mampu memahami aturan-
aturan yang berlaku, dan menghidari kontak mata. Walaupun mereka berminat
untuk mengadakan hubungan dengan temannya, seringkali terjadi hambatan
karena ia kurang memiliki kesadaran sosial. Hal ini pula yang menyebabkan
mereka tidak bisa memahami ekspresi wajah atau pun mengekspresikan
perasaannya dengan baik secara vokal maupun dengan ekspresi wajah yang baik.
Dengan demikian, ia tidak memiliki empati terhadap orang lain yang sangat
dibutuhkan dalam interaksi sosial. Dikatakan penderita hidup didunia sendiri.
Perhatiannya kepada orang lain hanya sebatas memakainya sebagai alat untuk
mencapai tujuan, misalnya mengambil tangan ibunya untuk memperbaiki
mainannya yang rusak. Anak tampak acuh tak acuh terhadap pendekatan yang
dilakukan orangtuanya. Ada pula anak yang menghidari sentuhan fisik, dengan
cara membuat tubuhnya kaku, lari, stres saat disentuh, atau bahkan tidak bereaksi
kalau disentuh. Namun, ada pula anak menunjukkan perhatian yang kurang
terhadap orang lain, misalnya tidak peduli bila seseorang memasuki kamarnya.
c. Gangguan komunikasi
Sekitar 40-50% anak autis tidak memiliki kemampuan komunikasi, baik
verbal maupun nonverbal. Gangguan ini nampak pada kurangnya penggunaan
bahasa untuk kegiatan sosial, seperti kendala dalam permainan imaginatif dan
imitasi; buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam
percakapan ; buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresi dan relatif kurangnya
kreativitas dan fantasi pada proses berpikir; kurangnya respons emosional
terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain; kendala dalam menggunakan
irama dan tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk
menekan atau mengartikan komunikasi lisan.
Pada anak autistik perkembangan kemampuan berbahasa sangat lebar atau
tidak ada sama sekali. Kata- kata yang dikeluarkan tidak dapat dimengerti (bahasa
planet), meniru tanpa mengetahui artinya (ekolali), dan nada suara monoton
seperti suara robot. Anak tidak dapat menyampaikan keinginannya dengan kata-
kata yang baru mereka dengar dan tidak dapat menggunakan bahasa dalam
konteks yang benar. Anak sering mengulang kata-kata yang baru/pernah didengar
tanpa maksud untuk berkomunikasi. Bila bertanya, mereka sering menggunakan
kata ganti orang yang terbalik, misalnya menyebut dirinya “kamu” dan menyebut
orang lain “saya”.
Komunikasi nonverbal lewat ekspresi wajah dan gerakan tubuh seringkali
tidak ditemukan pada anak autisme. Anak autisme sulit menggunakan bahasa
tubuh untuk berkomunikasi, seperti menggelengkan kepala, melambaikan tangan,
mengangkat alis. Biasanya tidak menunjuk atau memakai gerakan tubuh untuk
menyampaikan maksudnya, tetapi mengambil tangan orang lain untuk
menunjukkan objek yang dituju.
d. Gangguan kognitif
Semua tingkatan IQ dapat diketemukan pada anak autis, tetapi sekitar 70%
anak autistik mengalami retardasi mental; derajat retardasi mental sejalan dengan
beratnya gejala autisme. Kemampuan memahami apa yang dipikirkan orang lain
sangat rendah, dan kondisi ini menetap sepanjang hidupnya. Kreaktifitasnya
sangat terbatas. Gangguan kognitif pada anak autis tidak terjadi pada semua sektor
perkembangan kognitif, karena ada sebagian kecil anak autis mempunyai
kemampuan yang luar biasa, misalnya dalam bidang musik, metematik, kemapuan
visuo-spatial, disamping kekurangannya yang berat dalam bidang lain. Anak ini
disebut autisme savant (dulu disebut idiot savant).
e. Respon abnormal terhadap perangsangan indera
Pada anak autistik, mungkin terjadi respons yang hipo-/hipersensitif terhadap
perangsangan penglihatan, pendenganran, perabaan/sentuhan, penciuman dan
pengecapan.
f. Gangguan emosi
Beberapa anak menunjukkan perubahan perasaan yang tiba-tiba (mungkin tertawa
atau menangis) tanpa alasan yang jelas. Kadang- kadang timbul rasa takut yang
sangat terhadap objek yang sebenarnya tidak menakutkan atau terdapat
ketertarikan pada benda-benda tertentu, atau ada cemas/depresi berat terhadap
perpisahan.
Anak juga menunjukkan respons yang kurang terhadap emosi orang lain dan
tidak bisa menujukkan empati, sehingga tidak terdapat respons timbal balik sosio-
emosional.

3. Pada masa pubertas


Manifestasi autisme berubah sejalan dengan tumbuh kembang anak, tetapi
defisit tetap berlanjut sampai/ melewati usia dewasa dengan pola yang sama dalam
hal, sosialisasi, komunikasi, dan pola minat. Kadang- kadang anak autistik mengalami
kesulitan pada masa transisi kepubertas. Sekitar sepertiga mendapatkan kejang untuk
pertama kalinya pada masa pubertas, yang mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh
hormonal. Disamping itu, banyak masalah perilaku yang menjadi lebih sering dan
lebih berat pada masa ini. Namun, sebagian anak autisme yang ringan dapat melewati
masa pubertas dengan relatif mudah.
Anak- anak autis dapat tinggal bersama keluarga, kecuali pada kasus uang
berat; bahkan, banyak orang autistik mempunyai IQ yang normal dan dapat
menamatkan pendidikan tinggi dan berkeluarga. Pada lingkungan kerja, orang dewasa
autistik dapat menjadi pekerja tetapi harus dengan bimbingan. Namun, pada
kenyataannya, orang dewasa autistik sulit mendapatkan pekerjaan, karena mereka
tampak “berbeda” dan sering mengalami kesulitan pada waktu wawancara.

F. Klasifikasi

Berdasarkan waktu munculnya gangguan, Kurniasih (2002) membagi autisme


menjadi dua yaitu:
1. Autisme sejak bayi (Autisme Infantil)
Anak sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak non
autistik, dan biasanya baru bisa terdeteksi sekitar usia bayi 6 bulan.
2.      Autisme Regresif
Ditandai dengan regresif (kemudian kembali) perkembangan kemampuan yang
sebelumnya jadi hilang. Yang awalnya sudah sempat menunjukkan
perkembangan ini berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap. Dan
jika awalnya sudah bisa mulai mengucapkan beberapa patah kata, hilang
kemampuan bicaranya. (Kurniasih, 2002).
Sedangkan Yatim, Faisal Yatim (dalam buku karangan purwati, 2007)
mengelompokkan autisme menjadi :
a.       Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena
kelainan sudah timbul sebelum lahir
b.      Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7
tahun) sebelum anak memasuki
tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu pertama.
Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang
– ulang dan kadang – kadang disertai kejang – kejang.
Dalam berinteraksi anak autisme dikelompokkan atas 3 kelompok :
a.        Menyendiri
 Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
 Bertendensi kurang menggunakan kata-kata dan kadang-kadang sulit
berubah meskipun usianya bertambah lanjut.
 Menghabiskan harinya berjam-jam sendiri,dan kalau berbuat
sesuatu,melakukannya berulang-ulang
 Sangat tergantung pada kegiatan sehari-hari
b.      Kelompok anak autisme yang pasif
 Lebih bisa bertahan pada kontak fisik dan agak mampu bermain dengan
kelompok.
 Mempunyai pembendaharaan kata yang lebih banyak meskipun masih
agak terlambat biasa berbicarannya.
 Kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun kadang ada kata yang
kurang tepat
 Gangguan kelompok ini tidak seberat anak kelompok menyendiri.
 Kelompok ini bisa diajari dan dilatih
c.       Anak autisme kelompok yang aktif tetapi menggunakan cara sendiri
 Kelompok ini lebih cepat mempunyai pembendaharaan kata paling banyak
dan cepat bisa berbicaramasih bisa ikut berbagi rasa dengan teman
 Meskipun bisa merangkai kata dengan baik namun masih terselip kata
yang aneh dan kurang dimengerti
 Menyenangi dan terpaku pada salah satu jenis barang tertentu.

G. Faktor resiko

Karena penyebab Autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang


mempengaruhi.Sehingga banyak teori penyebab yang telah diajukan oleh banyak ahli.
Hal ini yang menyulitkan untuk memastikan secara tajam faktor resiko gangguan
autis. Faktor resiko disusun oleh para ahli berdasarkan banyak teori penyebab autris
yang telah berkembang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang membuat resiko
anak menjadi autis lebih besar. Dengan diketahui resiko tersebut tentunya dapat
dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini pada anak
yang beresiko. Adapun beberapa resiko tersebut dapat diikelompokkan dalam
beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan dan periode usia bayi

a. Periode Kehamilan
Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya.
Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat
terjadi pada periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau gangguan pada ibu
tentunya sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan
mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko
terjadinya autisme

b. Periode Persalinan
Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi
selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan
kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang
paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh
bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap
gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak
baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya. Gangguan persalinan yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu
cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama
persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah
( < 2500 gram)

c. Periode Usia Bayi


Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan
yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya dapat beresiko
untuk terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk
terjadinya autism adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan kenaikan berat
badan, kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan
metabolik, gangguan pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar, sering
buang air besar dan gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang, otot atipikal,
kelemahan otot.

H. Penatalaksanaan

Terapi yang dilakukan untuk anak dengan autisme adalah :

1)      Applied Behavioral Analysis (ABA)


ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian
dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi
pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement
(hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya . Saat ini terapi inilah yang
paling banyak dipakai di Indonesia.

2)      Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan
berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic
yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang , namun mereka tidak mampu untuk
memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.

3)      Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot2 halusnya dengan benar.

4)      Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara
individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.
Kadang2 tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan
tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot2nya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

5)      Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam
ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat
bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka
untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.

6)      Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara,
komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam
hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7)      Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka
banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka
sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari
perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan
lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.

8)      Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention)
dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya,
kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan
sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi
perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.

9)      Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual
thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar
komunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa video games bisa juga dipakai untuk
mengembangkan ketrampilan komunikasi.

10)  Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam
DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik.
Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini
diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan
fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan,
darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan,
sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami
kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari
dalam tubuh sendiri (biomedis).

Tatalaksana autis dibagi menjadi 2 bagian


1.      Edukasi kepada keluarga
Keluarga memerankan peran yang penting dalam membantu perkembangan
anak, karena orang tua adalah orang terdekat mereka yang dapat membantu untuk
belajar berkomunikasi, berperilaku terhadap lingkungan dan orang sekitar, intinya
keluarga adalah jendela bagi penderita untuk masuk ke dunia luar, walaupun diakui
hal ini bukanlah hal yang mudah.
2.      Penggunaan obat-obatan
Penggunaan obat-obatan pada penderita autisme harus dibawah pengawasan
dokter. Penggunaan obat-obatan ini diberikan jika dicurigai terdapat kerusakan di otak
yang mengganggu pusat emosi dari penderita, yang seringkali menimbulkan
gangguan emosi mendadak, agresifitas, hiperaktif dan stereotipik. Beberapa obat yang
diberikan adalah Haloperidol (antipsikotik), fenfluramin, naltrexone (antiopiat),
clompramin (mengurangi kejang dan perilaku agresif)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.       Pengkajian
a.       Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, No. MR
b.      Riwayat Kesehatan
 Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada kehamilan ibu pertumbuhan dan perkembangan otak janin terganggu.
Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan
perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme Gangguan pada
otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak
nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme. Gangguan persalinan yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu
cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama
persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir
rendah ( < 2500 gram)
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Anak dengan autis biasanya sulit bergabung dengan anak-anak yang lain, tertawa
atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata atau hanya sedikit
melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri, lebih senang
menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidak membentuk hubungan pribadi yang
terbuka, jarang memainkan permainan khayalan, memutar benda, terpaku pada
benda tertentu, sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan
baik, secara fisik terlalu.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
Dilihat dari faktor keluarga apakah keluarga ada yang menderita autisme.
c.       Psikososial
 Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
 Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
 Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
 Perilaku menstimulasi diri
 Pola tidur tidak teratur
 Permainan stereotip
 Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
 Tantrum yang sering
 Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
 Kemampuan bertutur kata menurun
 Menolak mengonsumsi makanan yang tidak halus
d.      Neurologis
 Respons yang tidak sesuai dengan stimulus
 Refleks mengisap buruk
 Tidak mampu menangis ketika lapar
e.       Gastrointestinal
 Penurunan nafsu makan
 Penurunan berat badan

II.    Diagnosa Keperawatan
1) Hambatan komunikasi berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus
2) Resiko membahayakan  diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan
rawat inap di rumah sakit
3) Resiko perubahan peran orang tua berhubungan dengan gangguan

III. Intervensi Keperawatan

1)   Hambatan komunikasi berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulasi

Hasil yang diharapkan :

Anak mengkomunikasikan kebutuhannya dengan menggunakan kata-kata atau gerakan tubuh


yang sederhana,konkret; bayi dengan efektif dapat mengomunikasikan kebutuhannya
(keinginan akan makan, kenyamanan, dan sebagainya).

INTERVENSI RASIONAL
Ketika berkomunikasi dengan Kalimat yang sederhana dan diulang-
anak,bicaralah dengan kalimat singkat ulang mungkin merupakan satu-satunya
yang terdiri atas satu hingga tiga kata,dan cara berkomunikasi karena anak yang
ulangi perintah sesuai yg diperlukan. autistic mungkin tidak mampu
mengembangkan tahap operasional yang
konkret
Gunakan irama,music,dan gerakan tubuh Gerakan fisik dan suara membantu anak
untuk membantu perkembangan mengenali integritas tubuh serta batasan-
komunikasi sampai anak dapat batasannya sehingga mendorongnya
memahami bahasa. terpisah dari objek dan orang lain.

Bantu anak mengenali hubungan antara Memahami konsep penyebab dan efek
sebab akibat dengan cara menyebutkan membantu anak membangun kemampuan
perasaannya yang khusus dan untuk terpisah dari objek serta orang lain
mengidentifikasi penyebab stimulus bagi dan mendorongnya mengekspresikan
mereka. kebutuhan serta perasaannya.

Ketika berkomunikasi dengan Biasanya anak autistic tidak mampu


anak,bedakan kenyataan dengan membedakan antara realitas dan
fantasi,dalam pernyataan yang singkat fantasi,dan gagal untuk mengenali nyeri
dan jelas. atau sensasi lain serta peristiwa hidup
dengan cara yang bermakna.

Sentuh dan gendong bayi, tetapi Menyentuh dan menggendong mungkin


semampu yang dapat ditoleransi tidak membuat bayi yang autistic merasa
nyaman

b.    Resiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan rawat inap di
rumah sakit

Hasil yang diharapkan :

Anak memperlihatkan penurunan kecenderungan melakukan kekerasan atau perilaku


merusak diri sendiri,yang ditandai oleh frekuensi tantrum dan sikap agresi atau destruksi
berkurang,serta peningkatan kemampuan mengatasi frustasi.

INTERVENSI RASIONAL
Sediakan lingkungan kondusif dan anak yang autistic dapat berkembang
sebanyak mungkin rutinitas sepanjang melalui lingkungan yang kondusif
periode perawatan di rumah sakit. dan rutinitas,dan biasanya tidak dapat
beradaptasi terhadap perubahan dalam
hidup mereka.

Lakukan intervensi keperawatan dalam Sesi yang singkat dan sering


sesi singkat dan sering.Dekati anak memungkinkan anak mudah
dengan sikap lembut dan bersahabat,dan mengenal perawat serta lingkungan
jelaskan apa yang akan anda lakukan rumah sakit.Mempertahankan sikap
dengan kalimat yang jelas,dan sederhana. tenang,ramah,dan mendemonstrasikan
prosedur pada orang tua,dapat
membantu anak menerima intervensi.
Gunakan restrain fisik selama prosedur Restrain fisik dapat mencegah anak
ketika membutuhkannya, untuk dari tindakan mencederai diri
memastikan keamanan anak dan untuk sendiri.Biarkan anak terlibat dalam
mengalahkan amarah dan frustasinya. perilaku yang tidak terlalu
membahayakan.

Gunakan teknik modifikasi perilaku yang Pemberian imbalan dan hukuman


tepat untuk menghargai perilaku positif dapat membantu mengubah perilaku
dan menghukum perilaku yang negative. anak dan mencegah episode
kekerasan.

Ketika anak berperilaku destruktif, Setiap peningkatan perilaku agresif


tanyakan apakah ia mencoba menujukkan perasaan stress
menyampaikan sesuatu untuk dimakan meningkat, kemungkinan muncul dari
atau diminum atau apakah ia perlu pergi kebutuhan untuk mengkomunikasikan
ke kamar mandi sesuatu

c.    Resiko perubahan peran orang tua berhubungan dengan gangguan

Hasil yang diharapkan :

Orang tua mendemonstrasikan keterampilan peran menjadi orang tua yang tepat yang
ditandai oleh ungkapan kekhawatiran mereka tentang kondisi anak dan mencari nasihat serta
bantuan.

INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan orang tua untuk Membiarkan orang tua
mengekspresikan perasaan dan mengekspresikan perasaan dan
kekhawatiran mereka. kekhawatiran mereka tentang kondisi
kronis anak membantu mereka
beradaptasi terhadap frustasi dengan
baik.
Rujuk orang tua ke kelompok pendukung Kelompok pendukung
autism setempat dan ke sekolah khusus memperbolehkan orang tua menemui
jika diperlukan. orang tua dari anak lain yang
menderita autis untuk berbagi
informasi dan memberikan dukungan
emosional.
Anjurkan orang tua untuk mengikuti Kontak dengan kelompok swabantu
konseling membantu orang tua memperoleh
informasi tentang masalah terkini,dan
perkembangan yang berhubungan
dengan autisme

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kompasiana.com/lizarudy/epidemiologi-
autisme_550db011a33311cd1c2e3f35

Anda mungkin juga menyukai