Tinjauan teori
A. Definisi
B. EPIDEMIOLOGI
Jumlah penyandang autisme di seluruh dunia semakin tahun semakin
meningkat. Dari kepustakaan pada awal tahun 90-an, jumlah penyandang autisme
diperkirakan sekitar 4-6 per 10.000 kelahiran. Tetapi mendekati tahun 2000 angka ini
mencapai 15-20 per 10.000 kelahiran. Data pada tahun 2000, angka ini meningkat
drastis yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran atau 1 : 250 anak. Bahkan di beberapa
kota di Amerika bisa mencapai 1 : 100 anak. Angka ini sudah dapat dikatakan sebagai
wabah, oleh karena itulah di Amerika autisme sudah dimasukkan ke dalam national
alarming. Insidens dan Prevalens ASD (Autism Spectrum Disorder) adalah 2 kasus
baru per 1.000 penduduk per tahun, dan 10 kasus per 1.000 penduduk (BMJ, 1997).
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-4:1.
Penyakit sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat menunjukan gejala seperti
austik.
C. Etiologi
1. Faktor psikososial
Dahulu diperkirakan autisme adalah faktor psikogenik, yaitu pengasuhan yang
kaku dan obsesif dalam suasana emosional yang dingin. Pendapat lain adalah sikap
ibu yang kurang memperhatikan anak atau yang tidak menghendaki/menolak
kehadiran anak tersebut, sehingga mengakibatkan penarikan diri anak tersebut,
Sebagai akibat teori ini, banyak ibu merasa bersalah dan stres. Padahal, dia juga sudah
banyak beban dengan merawat anaknya yang autisme. Namun, sekarang teori tersebut
disanggah, karena tidak terdapat perbedaan situasi keluarga antara anak yang autisme
dengan yang normal.
2. Faktor pranatal, perinatal, dan pascanatal
Komplikasi pranatal, perinatal, dan pascanatal, sering diketemukan pada anak
yang menderita autisme, seperti perdarahan setelah kehamilan trimester pertama serta
mekoneum pada cairan amnion sebagai tanda adanya fetal distres dan preklamsia.
Komplikasi lainnya antara lain adalah penggunaan obat- obatan tertentu pada ibu,
infeksi rubela pada ibu, inkompatibilitas rhesus, fenilketonuria yang tidak diobati,
asfiksia atau gangguan pernafasan lainnya, anemia pada janin, dan kejang pada
neonatus. Semua komplikasi itu menyebabkan gangguan fungsi otak yang diduga
sebagai penyebab autisme.
3. Teori imunologi
Ditemukan antibodi ibu terhadap antigen tertentu yang menyebabkan
penyumbatan sementara aliran darah otak janin. Selain itu, antigen tersebut juga
ditemukan pada sel otak janin, sehingga antibodi ibu dapat merusak jaringan otak
janin. Keadaan tersebut memperkuat teori peranan imunologi pada terjadinya autisme.
Penyakit autoimun seperti diabetes tipe 1, artritis rheumatoid, hipotiroid dan lupus
eritematosus sistemik, banyak autime ditemukan 8,8 kali lebih banyak pada anak yang
ibunya menderita penyekit autoimun.
4. Teori infeksi
Peningkatan angka kejadian autisme terjadi pada anak- anak yang lahir dengan
rubela kongenital, ensefalitis herpes kompleks, dan infeksi sitomegalovirus, sebagai
akibat dari kerusakan otak anak.
Pernah dilaporkan bahwa overgrowth jamur C.albicans dapat menyebar keseluruh
tubuh termasuk otak anak, sehingga mengganggu funsi otak. C.albicans juga
mengeluarkan enzim fosfolipid dan protease yang mengakibatkan preabilitas usus
meningkat, sehingga mudah dilalui protein yang belum sempurna dipecah seperti
gluten dan kasei. Dikatakan bahwa dengan diet rendah gluten dan kasien, gejala
autisme akan membaik, tetapi teori ini belum terbukti kebenarannya.
5. Faktor genetik
Terdapat bukti kuat bahwa faktor genetik berperan pada autisme. Pada
pasangan anak kembar satu telor (monozygot), ditemukan kejadian autisme sebesar
36-95%, sedangkan pada anak kembar 2 telor (dizygot) kejadian 0-23%. Pada
penelitian keluarga dari anak yang autisme, diketemukan autisme pada saudara
kandungnya 2,5-3%. Dikatakan pula bahwa autisme adalah salah satu dari
kemungkinan yang timbul pada anak yang secara genetik pada keluarganya terdapat
masalah belajar dan komunikasi. Didapatkan angka kejadian autisme pada fragile-X
sekitar 7-20% dan pada tuberous sclerosis sekitar 17-61%. Pernah dilaporkan sindrom
fragile-X yang terjadi bersamaan dengan gangguan X-linked autosomal dominan dan
tuberous sclerosis pada 8-11% kasus autisme.
Sindrom fragile-X meliputi sekumpulan gejala, seperti retardasi mental ringan
sampai berat, kesuliatan belajar, daya ingat jangka pendek yang buruk, kelainan fisik,
clumsiness, serangan kejang, dan hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impilsif,
ansietas, dan gangguan autistik. Namun, hingga saat ini hubungan antara autisme
dengan sindrom fragile-X masih diperdebatkan.
Komponen genetik autisme cenderung heterogen, melibatkan sekitar 100gen.
Kelaianan genetik pada autisme ditemukan pada hampir semua mitokondria dan
semua kromosom, kecuali kromosom 14 dan 20. Diketahuai bahwa untuk terjadinya
gejala autisme, telibat gen majemuk yang berinteraksi dengan berbagai faktor
lingkungan sekitar. Kromosom yang sangat terkait dengan autisme adalah kromosom
7q, 2q, 15q,11-13.
6. Faktor neuroanatomi
Dengan majunya ilmu pengetahuan dan penelitian dalam bidang neurobiologis
dan genetika, telah ditemukan adanya kerusakan yang khas didalam sistem
limbik(pusat emosi) , yaitu pada bagian otak yang disebut hipokampus dan amigdala.
Mereka menemukan bahwa pada anak autisme, neuron didalam hipokampus dan
amigdala sangat padat dan kecil- kecil.
Amigdala mengendalikan fungsi emosi dan agresi. Anak autis pada umumnya
tidak bisa mengendalikan emosinya. Mereka seringkali agresif terhadap orang lain.
Amigdala juga peka terhadap berbagai rangsanagan sensoris, seperti suara,
penglihatan, penciuman, dan emosi yang berhubungan dengan rasa takut. Penderita
autisme seringkali mengalami gangguan pada hal-hal tersebut diatas.
Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat.
Kerusakan pada hipokampus menyebabkan kesulitan menyerap dan mengingat
informasi baru dan juga menimbulkan perilaku yang stereotipik, stimulasi diri, serta
hiperaktifitas. Selain itu, pada penelitian dengan menggunakan pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging), didapatkan lesi pada lobus temporalis, parietalis,
frontalis dan serebelum pada anak austistik. Kelainan di serebelum ditemukan pada
30-50% anak, berupa hipoplasia atau hiperplasia pada lobuske VI dan VII. Ditemukan
jumlah sel- sel Purkinye di serebelum sangat sedikit dan mempunyai kandungan
serotonin yang tinggi. Keseimbangan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin
sangat diperlukan untuk penyaluran implus dari neuron satu ke neuron lain.
Sementara itu, kerusakan pada lobus frontalis mengakibatkan terbatasnya perhatian
terhadap lingkungan.
7. Faktor neurokimiawi/neurotransmiter
Teori ini mengacu pada ditemukannya peningkatan kadar serotonin pada sepertiga
anak autisme. Sejak itu, peranan neurotransmiter pada autisme mendapat banyak
perhatian. Diduga gangguan fungsi neurotransmiter inilah yang mendasari terjadinya
gangguan fungsi perilaku kognitif pada autisme. Neurotransmiter yang diduga
menimbulkan gangguan autisme adalah
a. Serotonin
Hiperserotoninemia didapatkan pada sepertiga anak autistik, separuh anak autistik
dengan retardasi mental, serta pada keluarga anak autistik.
b. Dopamin
Adanya hiperdopaminergik pada susunan saraf pusat diduga sebagai penyebab
hiperaktifitas dan stereotipi pada autisme. Walaupun tidak terdapat perbedaan
antara kadar asam homovalinik cairan serebrospinal dan perifer, terbukti bahwa
penghambatan reseptor dopamin dapat mengurangi gejala hiperaktifitas dan
stereotipi pada beberapa kasus autisme.
c. Opiat endogen
Dikatakan bahwa penderita autisme memproduksi ensefalin dan beta-endorfin
dalam jumlah banyak. Ditemukan persamaan tingkah laku antara anak autistik
dengan anak dengan ketergantungan opiat, yaitu terdapat gangguan interaksi
sosial dan kurang sensitif terhadap rasa sakit.
Selain ketiga neurotransmiter tersebut diatas, juga terdapat kenaikan epinefrin,
norepinefrin, dan okstitosin pada penderita autisme.
D. Patofisiologi
Penyebab pasti dari autisme belum diketahui. Yang pasti diketahui adalah
bahwa penyebab dari autisme bukanlah salah asuh dari orang tua, beberapa penelitian
membuktikan bahwa beberapa penyebab autisme adalah ketidakseimbangan biokimia,
faktor genetic dan gangguan imunitas tubuh. Beberapa kasus yang tidak biasa
disebabkan oleh infeksi virus (TORCH), penyakit- penyakit lainnya seperti
fenilketonuria (penyakit kekurangan enzim), dan sindrom X (kelainan kromosom).
E. Gejala klinis
F. Klasifikasi
G. Faktor resiko
a. Periode Kehamilan
Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya.
Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat
terjadi pada periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau gangguan pada ibu
tentunya sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan
mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko
terjadinya autisme
b. Periode Persalinan
Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi
selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan
kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang
paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh
bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap
gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak
baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya. Gangguan persalinan yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu
cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama
persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah
( < 2500 gram)
H. Penatalaksanaan
2) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan
berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic
yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang , namun mereka tidak mampu untuk
memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot2 halusnya dengan benar.
4) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara
individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.
Kadang2 tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan
tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot2nya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam
ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat
bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka
untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.
6) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara,
komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam
hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7) Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka
banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka
sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari
perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan
lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention)
dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya,
kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan
sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi
perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
9) Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual
thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar
komunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa video games bisa juga dipakai untuk
mengembangkan ketrampilan komunikasi.
10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam
DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik.
Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini
diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan
fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan,
darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan,
sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami
kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari
dalam tubuh sendiri (biomedis).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, No. MR
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada kehamilan ibu pertumbuhan dan perkembangan otak janin terganggu.
Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan
perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme Gangguan pada
otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak
nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme. Gangguan persalinan yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu
cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama
persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir
rendah ( < 2500 gram)
Riwayat Kesehatan Sekarang
Anak dengan autis biasanya sulit bergabung dengan anak-anak yang lain, tertawa
atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata atau hanya sedikit
melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri, lebih senang
menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidak membentuk hubungan pribadi yang
terbuka, jarang memainkan permainan khayalan, memutar benda, terpaku pada
benda tertentu, sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan
baik, secara fisik terlalu.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Dilihat dari faktor keluarga apakah keluarga ada yang menderita autisme.
c. Psikososial
Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
Perilaku menstimulasi diri
Pola tidur tidak teratur
Permainan stereotip
Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
Tantrum yang sering
Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
Kemampuan bertutur kata menurun
Menolak mengonsumsi makanan yang tidak halus
d. Neurologis
Respons yang tidak sesuai dengan stimulus
Refleks mengisap buruk
Tidak mampu menangis ketika lapar
e. Gastrointestinal
Penurunan nafsu makan
Penurunan berat badan
II. Diagnosa Keperawatan
1) Hambatan komunikasi berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus
2) Resiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan
rawat inap di rumah sakit
3) Resiko perubahan peran orang tua berhubungan dengan gangguan
INTERVENSI RASIONAL
Ketika berkomunikasi dengan Kalimat yang sederhana dan diulang-
anak,bicaralah dengan kalimat singkat ulang mungkin merupakan satu-satunya
yang terdiri atas satu hingga tiga kata,dan cara berkomunikasi karena anak yang
ulangi perintah sesuai yg diperlukan. autistic mungkin tidak mampu
mengembangkan tahap operasional yang
konkret
Gunakan irama,music,dan gerakan tubuh Gerakan fisik dan suara membantu anak
untuk membantu perkembangan mengenali integritas tubuh serta batasan-
komunikasi sampai anak dapat batasannya sehingga mendorongnya
memahami bahasa. terpisah dari objek dan orang lain.
Bantu anak mengenali hubungan antara Memahami konsep penyebab dan efek
sebab akibat dengan cara menyebutkan membantu anak membangun kemampuan
perasaannya yang khusus dan untuk terpisah dari objek serta orang lain
mengidentifikasi penyebab stimulus bagi dan mendorongnya mengekspresikan
mereka. kebutuhan serta perasaannya.
b. Resiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan rawat inap di
rumah sakit
INTERVENSI RASIONAL
Sediakan lingkungan kondusif dan anak yang autistic dapat berkembang
sebanyak mungkin rutinitas sepanjang melalui lingkungan yang kondusif
periode perawatan di rumah sakit. dan rutinitas,dan biasanya tidak dapat
beradaptasi terhadap perubahan dalam
hidup mereka.
Orang tua mendemonstrasikan keterampilan peran menjadi orang tua yang tepat yang
ditandai oleh ungkapan kekhawatiran mereka tentang kondisi anak dan mencari nasihat serta
bantuan.
INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan orang tua untuk Membiarkan orang tua
mengekspresikan perasaan dan mengekspresikan perasaan dan
kekhawatiran mereka. kekhawatiran mereka tentang kondisi
kronis anak membantu mereka
beradaptasi terhadap frustasi dengan
baik.
Rujuk orang tua ke kelompok pendukung Kelompok pendukung
autism setempat dan ke sekolah khusus memperbolehkan orang tua menemui
jika diperlukan. orang tua dari anak lain yang
menderita autis untuk berbagi
informasi dan memberikan dukungan
emosional.
Anjurkan orang tua untuk mengikuti Kontak dengan kelompok swabantu
konseling membantu orang tua memperoleh
informasi tentang masalah terkini,dan
perkembangan yang berhubungan
dengan autisme
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kompasiana.com/lizarudy/epidemiologi-
autisme_550db011a33311cd1c2e3f35