Anda di halaman 1dari 6

Etiologi Autisme

1. Etiologi berdasarkan genetik yang dihimpun dari berbagai jurnal dan literatur :
a. Herediter
Faktor ini tidak diragukan lagi berhubungan dengan penyebab autisme. Terdapat
kecenderungan sebesar 40-90% anak kembar monozigot akan mengalami gangguan
autisme dan 0-25% anak kembar dizigot akan mengalami gangguan autisme. (Sadock,
2010)
b. Kelainan kromosom dan gen
Beberapa kelainan kromosom yang mempengaruhi terjadinya autisme adalah
kromosom 4, 7, 10, 15, 16, 17, 18, 19, dan 22. Sedangakn gen yang mempengaruhi
terjadinya autisme adalah Gen DbetaH (DBH), NLGN3, NLGN4, MeCP2, FMR-1,
PTEN dan NRXN1 serta gen X rapuh. (Ratajezak, 2011)
c. Penyakit penyerta
Penyakit yang berhubungan dengan autisme adalah sclerosis tuberosa, fenilketonuria,
histidinemia, dan neurofibromatosis (Ratajezak, 2011)
d. Disfungsi metallotionin
Pada anak autisme sering dijumpai kadar besi dan seng yang meningkat dikarenakan
disfungsi metallotionin. Metallotionin adalah protein yang mengontrol kadar besi dan
seng dalam tubuh. Disfungsi protein ini akan menyebabkan timbulnya gangguan
perkembangan sel saraf diotak. Gangguan perkembangan sel saraf akan menimbulkan
ciri khas perilaku autisme.
2. Faktor Lingkungan
Meskipun perhatian utama penelitian tentang gangguan spektrum autisme terfokus pada
pengaruh genetik dan kondisi medis, bukti lain secara jelas menyatakan bahwa faktor
etiologi gangguan spektrum autisme adalah multifactorial. Hal ini berarti faktor non-
genetik juga memainkan peran pada etiologi autisme meskipun hanya sedikit yang
diketahui. Etiologi atau penyebab autisme yang berasal dari kingkungan :
a. Toksin logam berat
Contoh dari toksin logam berat adalah bahan merkuri yang merupakan neurotoksin
bahan ini terdapat pada makanan laut dan vaksin thimerosal. Bahan merkuri ini
menyebabkan gangguan neurologis dan keterlambatan perkembangan. Gangguan
neurologis dan keterlambatan perkembangan ini menimbulkan gangguan autisme
(Ratajezak, 2011)
b. Usia
Penelitian menyebutkan bahwa peningkatan usia orang tua baik usia ayah maupun ibu
antara 30-40 tahun mempunyai resiko sebesar 1,31 – 1,90 kali lebih besar untuk
memiliki anak dengan gangguan autisme. Tetapi, penelitian di Yordania pada tahun
2011 menyatakan bahwa autisme terjadi pada usia orang tua yang kurang dari 35
tahun. Mekanisme biologis dari pengaruh peningkatan usia terhadap autisme belum
diketahui. Peningkatan usia ayah akan menyebabkan adanya mutase genetik pada
spermatogonia. Mutase tersebut akan menimbulkan gangguan autisme. Pada
peningkatan usia ibu, resiko terjadinya abnormlitas kromosom ikut meningkat. Salah
satu abnormalitas komosom tersebut adalah gangguan triplet nukleotida yang
berhubungan dengan resiko autisme.
c. Infeksi
Beberapa infeksi selama kehamilan yang tampaknya berhubungan dengan gangguan
autisme adalah virus campak, rubella kongenital, herpes simplekd, mumps, varisela,
sitomegalovirus, toksoplasma, sifilis, dan rubeol. Infeksi virus tersebut menimbulkan
ensefalitis yang berkaitan dengan perkembangan perilaku autisstik.
d. Vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella)
e. Ketidakseimbangan sistem saraf
Saat ini telah berlaku umum bahwa autisme dapat timbul akibat abnormalitas fungsi
dari saraf pusat. Suatu studi menyatakan bahwa 85-90% penderita dnegan gangguan
autisme didasari oleh adanya disfungsi pada otak. Disfungsi tersebut berupa adanya
hypoplasia dilobus vermian serebellum dan peningkatan ukuran pada lobus
oksipitalis, lobus parientalis dan lobus temporalis.
f. Imunologi
g. Medikasi
Obat obatan yang berhubungan dengan kejadian autisme adalah misoprostol dan asam
valproate. Mekanisme medikasi yang menyebabkan autisme masih belum jelas
dikarenakan variasi konsumsi obat pada saat ibu mengandung anak dengan autisme.
Misoprostol memiliki efek untuk memotong komunikasi antar neuron pada trimester
pertama melalui peningkatan kadar ion kalsium sehingga hal tersebut dikaitkan
dengan terjadinya asutisme. Ibu mengkonsumsi oabt anti kejnag asam valproate akan
mengakibatkan adanya malformasi somatic seperti neural tube defect, malformasi
jantung, dan anomaly kranifasial. Dikatakan bahwa 11% dari 57 anak autistic yang
ibunya mnegkonsumsi asam valproate. (Landrigan, 2010)
DAFTAR PUSTAKA

Landrigan, 2010, What Causes Autisme, Exsploring The Environmental Contribution.


Current Opinion, Journal of Social

Ratajezak, 2011, Theoretical Aspects of Autisme, Cause – A Review, Informa Jornal of


Immunotoxiocology

Sadock, 2010, Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang :
Bina Rupa Aksara
Menurut Sari (2009) autis merupakan penyakit yang bersifat multifactor. Teori mengenai
penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Faktor Genetika
Penelitian genetik pada anak austik masih terus dilakukan. Sampai saat ini ditemukan
sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme. Namun kejadian autisme baru bisa
muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. bisa saja gejala autisme tidak muncul
meskipun anak tersbeut membawa gen autisme. Jumlah anak berjenis kelamin laki-
laki menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena
adanya beberapa gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis.
Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki memiliki satu kromosom
X. sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah
penyebab utama autis, namun suatu gen pada keomosom X yang mempengaruhi
interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis
(Mujiyanti, 2011)
2) Kelainan anatomis otak
Otak anak autisme mengalami pertumbuhan denga laju kecepatan yang tidak normal,
khususmya pada usia 2 tahun, dan memliki puzzling sign of inflammation (peradanan
yang membingungkan). Bagian corpus callosum, biasanya pada anak autis berukuran
kecil. Corpus callosum merupakan pita tenunan yang menghubungkan hemisphere
otak kanan dan otak yang kiri. Kegiatan crossing bagian otak yang berbeda menajdi
kurang terkoordinir sehingga lalu lintas stimulus tidak harmonis.
Kelainan stimulus otak ditemukkan khususnya dilobus parietalis dan serebelum. Serta
pada sistem limbiknya. Sebnayak 43% penyandang autisme mempunyai kelainan
dilobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap
lingkungannya. Kelainan juga ditemukkan pada otak kecil (serebelum), terutama pada
nervus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses atesi (perhatian).
Kelainan khas juga ditemukkan pada sistem limbik yang disebut hipokampus dan
amigala. Kelainan tersebut menyebabkan kelainan fungsi control terhadap agresi dan
emosi. (Mujiyanti, 2011)
3) Disfungsi metabolic
Disfungsi metabolic terutama berhubungan dengan kemampuan memecah komponen
asam amino phenolic. Amino phenolic banyak ditemukkan diberbagai makanan dan
dialporkan komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya tingkah laku pada
pasien autisme. Sebuah publikasi dari Lembaga psikiatri biologi menemukkan bahwa
amak autis mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakanberbagai komponen
sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino
phenolic. Komponen animo phenolic merupakan bahan baku pembentukan
neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme dengan baik akan
terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi syaraf. Makanan yang mengandung
amino phenolitik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, dan apel.
(Mujiyanti, 2011)
4) Infeksi kandidiasis
Anak anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan usus yang meradang sangat
mudah diserang oleh jamur khususnya jamur dan spesies Candida. Infeksi Candida
Albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak mengkonsumsi makanan yang
banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut
Candida dapat tumbuh dengan subur. Makanan ini dialporkan dapat menyebabkan
anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara
beratnya infeksi Candida Albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis seperti
gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata (Mujiyanti,
2011)
5) Teori kelebihan oploid dan hubungannya dnegan diet protein kasein dan protein
gluten
Aktivitas opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi dan emosi
penyadang autis. Peptide tersebut berasal ari pencernaan makanan yang tidak
sempurna khusunya gluten dan kasein. Gluten berasal dari gandum dan biji-bijian
(sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein berasal dari susu dan
produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut) maka terjadi peningkatan
jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut)
maka terjadi peningkatan jumlah peptide yang masuk ke darah.
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua potein ini
hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari keuda protein tersebut terserap
dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” diotak anak. Pori-pori yang tidak
lazim kebanyakan ditemukan dimembrane saluran cerna pasien autis, yang
menyebabkan masuknya peptide didalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah
protein glidalin. Gliadin akan beriktan dengan reseptor opioid C dan D. reseptor
tersebut berhubungan dengan mood dan tingkh laku. Diet sangat ketat bebas gluten
dan casein menurunkan kaddar peptide opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis
pada bebrapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik
untuk memperoleh kesembuhan pasien. (Mujiyanti, 2011).

DAFTAR PUSTAKA
Mujiyanti, 2011. Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi Pada Anak Autis, Kota
Bogor : Fakultas Ekologi Manusia Institut.

Anda mungkin juga menyukai