Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

(RETARDASI MENTAL, AUTISME, ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY


DISORDER, DOWN SYNDROME)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak II

Dosen pembimbing : Neti Mustikawati, Ns. Sp.Kep.An

Disusun Oleh :

1. M. Khoirul umam (17.1345.S)


2. Maulida Yulianti (17.1347.S)
3. Nasihotin (17.1353.S)
4. Ni’ma Honest S. (17.1356.S)

TINGKAT 3A

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN

2019
Daftar Isi
BAB I

KONSEP TEORI

Retardasi Mental

4.Konsep Dasar Retardasi Mental


Retardasi Mental menerangkan keadaan fungsi intelektual umum
bertara subnormal yang dimulai dalam masa perkembangan individu dan
yang berhubungan dengan terbatasnya kemampuan belajar maupun
penyesuaian diri proses pendewasaan individu tersebut atau kedua –
duanya (Nelson,2000). Angka kejadian pada retardasi mental ini cukup
banyak terutama di Negara yang sedang berkembang dan merupakan
dilemma atau penyebab kecemasan keluarga, masyarakat, dan Negara.
Diperkirakan kejadian retardasi mental berat di Negara yang sedang
berkembangsekitar 0,3% dari seluruh populasi dan dan hamper 3%
mempunyai IQ dibawah 70. Sebagai sumber daya tentunya mereka tidak
bisa dimanfaatkan karena 0,1 % dari kelompok anak ini memerlukan
perawatan, bimbingan, serta pengawasan sepanjang hidupnya
(Swaiman dalam Tumbang Anak, Soetjiningsih, 1994)dalam
(Muttaqin,2008).
Hasil penelitian Triman Prasedio (1980) mengemukakan angka
prevalensi retardasi mental di Indonesia adalah 3 % hasil penelitian ini
diperkirakan suatu angka yang tinggi. Sebagai perbandingan di Prancis
angka Prevalensinya adalah 1,5-8,6% dan di Inggris 1-8% (laporan
WHOyang dikutip Triman Prasedio). Statistik menunjukkan bahwa di
Indonesia didapatkan 10-30 dari 1000 penderita yang mengalami tuna
grahita, terdapat 1.750.000-5.250.000 jiwa menderita tuna grahita.
Melalui data demologi dilaporkan bahwa 34,39% pengunjung Pukesmas
berusia 5-15 tahun menunjukkan gangguan mental emosional.
Pengertian retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai
intelegensi yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu
untuk belajar dan beradaptasi terhadap tuntutan masyarakatatas
kemampuan yang dianggap normal (Soetjiningsih, 1994)dalam
(Muttaqin,2008).
Anak tidakmampu belajardan beradaptasi karena intelegensinya
rendah, biasanya IQ di bawah 70. Retardasi mental memiliki kriteria
sebagai berikut :
1. Fungsi intelektual umum di bawah normal (umumnya dibawah 70)
2. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial.
3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan, yaitu di bawah usia 18
tahun.

a. Etiologi
Secara garis besarnya faktor penyebab dapat dibagi empat golongan,
yaitu (Soetjiningsih, 1994)dalam (Muttaqin,2008):
1. Faktor genetic
a. Akibat kelainan jumlah kromosom, misalnya trisomi 21 atau
dikenal dengan syndrome down.
b. Kelainan bentuk kromosom

2. Faktor Prenatal
Dimaksudkan adalah keadaan tertentu yang telah diketahui ada
sebelum atau pada saat kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan
sebabnya.
3. Faktor Perinatal
a. Proses kelahiran yang lama misalnya placenta previa, rupture
tali umbilicus
b. Posisi janin abnormal seperti letak bokong atau melintang,
anomaly uterus, dan kelainan bentuk jalan lahir.
c. Kecelakaan pada waktu lahir dan distress fatal
4. Faktor pascanatal
a. Akibat infeksi (meningitis, ensefalitis, meningoencefalitis, dan
infeksi).
b. Trauma kapitis dan tumor otak.
c. Kelainantulang tengkorak
d. Kelainan endokrin dan metabolic, keracunan pada otak, serta
faktor sosio- budaya. (Muttaqin, 2008)

Tabel klasifikasi retardasi mental (Muttaqin,2008)

Tabel Intelegensi menurut nilai IQ (Swaiman, 1989)


b. Gambaran Klinis
Anak yang retardasi mental dapat dikenali dari tanda sebagi berikut :
1. Penampilan fisik tidak seimbang misalnya kepala terlalu besar
atau terlalu kecil, mulut melongo, mata sipit/mongoloid, badan
bungkuk.
2. Kecerdasan terbatas
3. Tidak dapat mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang lain sesuai
usia
4. Arah minat sangat terbatas pada hal-hal yang terbatas dan
sederhana saja
5. Perkembangan bahasa / bicara lambat
6. Tidak ada perhatian terhadap lingkungannya (pandangan kosong)
dan perhatiannya labil, sering berpindah-pindah
7. Koordinasi gerakan kurang , gerakan kurang terkendali.
8. Daya ingatnya lemah, emosi sangat miskin dan terbatas, apatis,
dan acuh tak acuh terhadap sekitarnya.
9. Sering kali ngiler.

Autisme
Attention Deficit Hyperactivity Disorder
Down Syndrome

A. Pengertian
Sindrom Dwon adalah abnormalitas kromosom yang ditandai dengan
berbagai derajat retardasi mental dan defek fisik yang berhubungan; dikenal
juga sebagai trisomy 21.
Anak dengan down syndrome adalah individu yang dapat dikenali dari
fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat
adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih. Perkembangannya lebih lambat
dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital,
hipotonia yang berat, masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat
menyebabkan keterlambatan perkembangan motoric dan keterampilan untuk
menolong diri sendiri.

B. Etiologi
Selama satu abad sebelumnya banyak hipotesis tentang penyebab sindrom
down yang dilaporkan. Tetapi semenjak ditemukan adanya kelainan kromosom
pada sindrom down pada tahun 1959, maka sekarang perhatian lebih dipusatkan
pada kejadian “non-disjunctional” sebagai penyebabnya yaitu:
1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap “non-disjunctional”.
Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian
epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila
dalam keluarga terdapat anak dengan syndrome down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya “non-
disjunctional” pada syndrome down ini. Uchida 1981(dikutip Pueschel
dkk.) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya
konsepsi. Sedangkan peneliti yang lain tidak mendapatkan adanya
hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom
down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa
virus dapat mengakibatkan “non-disjunction”.
4. Autoimun
Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom down adalah
autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan
tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip dari Pueschel dkk,) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang
melahirkan anak dengan sindrom down dengan ibu kontrol yang umurnya
sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan “non-disjunction” pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon)
secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya “non-disjunction”.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, juga dilaporkan adanya
pengaruh dari umur ayah. Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak
dengan sindrom down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom
21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur
ibu.

Faktor lain seperti gangguan intragenetik, organisasi nukleolus, bahan


kimia dan frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai
penyebab dari sindrom down.
C. Patofisiologi
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis
pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga dapat terjadi saat mitosis awal
dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya terhenti pada
saat profase meiosis I tidak berubah pada tahap tersebut sampai ovulasi.
Diantara waktu tersebut, oosit mengalami nondisjunction. Pada Sindrom
Down, meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan
apabila dibuahi oleh spermatozoa normal, yang membawa autosom 21, maka
terbentuk zigot trisomi 21.
Pada saat bertambahnya usia ibu juga akan terjadi penuaan sel telur,
dimana akan berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi
kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan
mengalami kesalahan dalam pembelahan.
Ekstra kromosom 21 hampir memengaruhi semua sistim organ dan
menyebabkan spektrum fenotip yang luas. Ini termasuk komplikasi yang
mengancam nyawa, masalah klinis yang banyak memengaruhi hidup si
penderita (contoh: disabilias intelektual), dan dismorfik wajah. Sindrom Down
mengurangi tingkat kelangsungan hidup saat prenatal dan meningkatkan
mortalitas serta morbiditas prenatal dan postnatal. Anak yang menderita
Sindrom Down mengalami gangguan pertumbuhan, kedewasaan,
perkembangan tulang dan pertumbuhan gigi.

D. Manifestasi klinis
Sindrom Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat
dengan mudah mengenalinya. Selain itu, Sindrom Down juga menyebabkan
berbagai gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Pertumbuhan: Tubuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja.
2) Sistim syaraf pusat: Retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85
(rata-rata 50). Hipotonia berkelanjutan seiring berjalannya umur.
Obstructive sleep apnea (OSA) terjadi ketika aliran udara masuk ke paru
mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal itu sering
mengakibatkan hipoksemia.
3) Tingkah laku: Spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah
lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami
kecemasan dan keras kepala.
4) Gangguan kejang: Spasme infantil sering terjadinya pada masa bayi,
sedangkan kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua.
5) Penuaan dini: Berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan rambut
lebih awal, hipogonadisme, katarak, kehilangan pendengaran, kejang,
keganasan, penyakit vaskuler degeneratif, hilangnya kemampuan adaptasi,
dan meningkatnya demensia tipe Alzheimer.
6) Tulang tengkorak: Brachycephaly, microcephaly, kening melandai, patent
metopic, microencephaly, patent metopic suture, tidak adanya sinus frontalis
dan sfenoidalis, hipoplasia sinus maksilaris.
7) Mata: Fisura palpebra yang condong kedepan, lipatan epikantus bilateral,
brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%), strabismus
(44%), kongenital (3%) blepharitis (31%), dan keratokonus (50%), agenesis
gigi, malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (30-50%)
pada pertumbuhan gigi primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi
gigi dan maloklusi.
8) Telinga: Telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis media
kronis dan hilang pendengaran sering terjadi.
9) Leher: Atlantoaksial tidak sambil (14%) dapat menyebabkan kelemahan
ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas
yang melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid
berpindah kebelakang, mengakibatkan kompresi medula sipanlis.
10) Penyakit jantung bawaaan: Penyakit jantung bawaan sering terjadi (40-
50%); hal tu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindrom Down yang
berada di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering terjadi pada
kasus ini pada 2 tahun pertama kehidupan. PJB yang sering terjadi adalah
endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%),
secundum atrial septal defect (10%), Tetralogi of Fallot (TOF) (6%). Lesi
yang paling sering adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic
stenosis (9%). Sekitar dari semua endocardial cushion defect berhubungan
dengan Sindrom Down.
11) Abdomen: Rektum diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi
12) Sistim saluran cerna (12%): Atresia atau stenosis duodenum. Penyakit
hirschprung (<1%), fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus
imperforata, dan omfalokel juga dapat terjadi.
13) Saluran urin dan kelamin: Malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis dan
kriptorkoidisme.
14) Skeletal: Tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari kelima lipatan
fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak antara dua
jari kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat.
15) Sistim endokrin: Tiroiditis Hashimoto yang menyebabkan hipotiroidisme
adalah gangguan tiroid dan diabetes pada pasien Sindrom Down.
16) Sistim hematologi: Anak dengan Sindrom Down memiliki resiko untuk
mengalami leukimia, termasuk leukimia limfoblastik akut dan leukimia
mieloid. Resiko relatif leukimia akut pada anak Sindrom Down berumur 5
tahun 56 kali lebih besar daripada anak tanpa Sindrom Down.
17)Imunodefisiensi: Pasien Sindrom Down memiliki resiko 12 kali untuk
terkena penyakit infeksi, teruma pneumonia, karena kerusakan imunitas
seluler.
18) Kulit: Serosis, lesi hiperkeratotik terlokaslisasi, serpiniginosa elastosis,
alopesia areata, vitiligo dan infeksi kulit berulang.

E. Pemeriksaan penunjang
Down syndrome dapat dideteksi pada masa kehamilan melalui skrining
kelainan genetik, yaitu dengan tes darah dan USG kehamilan. Selanjutnya akan
dilakukan tes air ketuban dan uji sampel ari-ari, guna memastikan apakah
terdapat kelainan gen.
1. USG kehamilan
USG kehamilan dilakukan setiap kali ibu hamil melakukan kontrol
kandungan. Melalui pemeriksaan USG, dokter kandungan dapat menilai
pertumbuhan janin, dengan melihat kadar cairan tulang belakang janin.
2. Tes darah
Dokter akan mengukur kadar protein PAPP-A (pregnancy-associated plasma
protein-A) dan hormon HCG (human chorionic gonadotropin) pada
trimester awal kehamilan. Pada trimester kedua, tes darah kembali dilakukan
untuk mengukur kadar alpha-protein (AFP), estriol, HCG, dan hormon
inhibin A. Seluruh pemeriksaan tersebut menjadi dasar bagi dokter, untuk
menentukan apakah perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih
berisiko, yaitu pengambilan sampel air ketuban atau ari-ari.
3. Tes air ketuban
Tes air ketuban atau amniocentesis dilakukan untuk mengetahui apakah
janin menderita kelainan genetik. Amniocentesis dilakukan pada trimester
kedua, saat kehamilan memasuki usia 15 minggu.
4. Uji sampel ari-ari
Kelainan genetik juga dapat diketahui melalui pengambil sampel jaringan
ari-ari atau plasenta. Pemeriksaan ini disebut chorionic villus sampling
(CVS). CVS dilakukan oleh dokter kandungan saat kehamilan memasuki
usia 10-13 minggu.
Untuk mendeteksi kemungkinan memiliki anak yang menderita Down
syndrome, pasangan disarankan melakukan konseling genetik sebelum
merencanakan kehamilan, terutama jika memiliki anggota keluarga yang
menderita kelainan ini.

F. Penatalaksanaan
Sindrom Down memiliki penatalaksanaan yang spesifik untuk masing-
masing defek yang dialami si penderita (Roizen et al, 2009).
1) Jantung: Semua bayi dengan Sindrom Down harus secepatnya dievaluasi
mengenai penyakit jantung bawaan yang diderita dengan mengkonsultasikan
ke ahli kardiologi anak. Echocardiogram direkomendasikan untuk
mendeteksi abnormalitas yang tidak memiliki gejala ataupun tidak tampak
pada pemeriksaan fisik. Risiko prolaps katup mitral dan regurgitasi aorta
yang tinggi pada masa remaja dan dewasa muda harus segera di evaluasi
pada anak Sindrom Down.
2) Pendengaran: Bayi baru lahir harus dinilai pendengarannya jika ada kelainan
maka dibutuhkan evaluasi brainstem auditory evoked response dan
otoacoustic emissions. Pendengaran pada anak Sindrom Down harus segera
dievaluasi juga sejak masa kanak-kanak.
3) Oftalmologi: Penilaian oftalmologi harus dilakukan pada bayi baru lahir atau
paling tidak pada usia 6 bulan untuk menilai strabismus, nistagmus dan
katarak. Anak yang mengalami gangguan tersebut harus mendapat
pemeriksaan yang rutin.
4) Fungsi tiroid: Tes fungsi tiroid harus segera dilakukan pada bayi baru lahir.
American academy of pediatric (AAP) merekomendasikan agar skrining
harus diulang pada umur 6 dan 12 bulan, dan kemudian setiap tahun secara
rutin. Tinggi anak dan beratnya juga harus diukur setiap tahun karena adanya
kombinasi deselerasi dari pertumbuhan linear berkaitan dengan pertambahan
berat badan adalah indikator yang sensitif untuk hipotiroid.
5) Hematologi: Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan pada saat lahir
untuk mengevaluasi kelainan mieloproliferatif dan polistemia. Bayi dengan
TMD harus dilihat perkembangannya setiap 3 bulan sekali sampai bayi
tersebut berusia 3 tahun dan setiap 6 bulan sampai 6 tahun.
6) Penyakit periodontal: Penyakit periodontal sering pada anak-anak dan
dewasa dengan Sindrom Down. Mekanisme ini diperkirakan karena
perubahan flora normal pada mulut, dengan frekuensi Actinobacillus
actinomycetemcomitansi yang lebih tinggi dan juga sistim imun rendah yang
ikut berpengaruh.
7) Konseling: Konseling dapat dimulai sejak diagnosis prenatal ataupun pada
kasus yang dicurigai. Diskusi tersebut mencakup tentang prognosis.
Pengobatan medis dan juga edukasi juga penting dibicarakan.

G. Komplikasi
Down syndrome dapat memicu beragam komplikasi, antara lain:
1. Kelainan jantung. Sekitar setengah dari anak dengan Down syndrome
diketahui terlahir dengan penyakit jantung bawaan, sehingga harus
menjalani operasi.
2. Gangguan pencernaan. Sebagian penderita Down syndrome mengalami
gangguan pencernaan, seperti sulit menelan (disfagia) dan penyakit celiac.
3. Demensia. Saat mencapai usia lanjut, penderita Down syndrome cenderung
terserang demensia, terutama penyakit Alzheimer.
4. Gangguan penglihatan. Setengah dari penderita Down syndrome mengalami
gangguan penglihatan, seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, juling,
penipisan kornea, nistagmus, mata malas, dan konjungtivitis.
5. Masalah kesehatan mulut. Penderita Down syndrome dapat mengalami mulut
kering, kesulitan saat menyikat gigi, gigi berlubang, dan radang gusi.
6. Penyakit tiroid. Sebagian kecil penderita Down syndrome mengalami
penyakit tiroid, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme (kekurangan
hormon tiroid) atau hipertiroidisme (kelebihan hormon tiroid).
7. Gangguan pendengaran. Sebagian penderita Down syndrome mengalami
masalah pada pendengaran, akibat penumpukan cairan di bagian tengah
telinga atau glue ear.
8. Sleep apnea. Kelainan bentuk tulang dan jaringan pada penderita Down
syndrome bisa menyebabkan sumbatan pada saluran napas, dan berujung
pada sleep apnea.
9. Gangguan psikologis dan mental. Sekitar 1 dari 5 penderita Down syndrome
mengalami gangguan mental, seperti gangguan obsesif-kompulsif, autisme,
depresi, dan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder).
Selain sejumlah komplikasi di atas, penderita Down syndrome lebih rentan
mengalami obesitas, gangguan hormon, penyakit autoimun, dan penyakit
infeksi. Penderita Down syndrome juga lebih berisiko terkena kanker darah
(leukemia), walaupun hal ini jarang terjadi.

H. Gambar

Asuhan Keperawatan Anak Berkebutuhan Khusus


BAB II
RESUME JURNAL
Daftar pustaka
Hariyanto, Deni. 2018. Hubungan Antara Usia Ibu saat Hamil Dengan
Terjadinya Sindrom Down. Hal 5 – 11.
https://www.alodokter.com/sindrom-down/komplikasi. Diunduh pada 24 sep
2019 pukil 21.20
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Ditingkat Pelayanab
Kesehatan Dasar.
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Tarek, M. 2005. The Baby With Down Syndrome.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik edisi 4. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai