Disusun Oleh :
TINGKAT 3A
2019
Daftar Isi
BAB I
KONSEP TEORI
Retardasi Mental
a. Etiologi
Secara garis besarnya faktor penyebab dapat dibagi empat golongan,
yaitu (Soetjiningsih, 1994)dalam (Muttaqin,2008):
1. Faktor genetic
a. Akibat kelainan jumlah kromosom, misalnya trisomi 21 atau
dikenal dengan syndrome down.
b. Kelainan bentuk kromosom
2. Faktor Prenatal
Dimaksudkan adalah keadaan tertentu yang telah diketahui ada
sebelum atau pada saat kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan
sebabnya.
3. Faktor Perinatal
a. Proses kelahiran yang lama misalnya placenta previa, rupture
tali umbilicus
b. Posisi janin abnormal seperti letak bokong atau melintang,
anomaly uterus, dan kelainan bentuk jalan lahir.
c. Kecelakaan pada waktu lahir dan distress fatal
4. Faktor pascanatal
a. Akibat infeksi (meningitis, ensefalitis, meningoencefalitis, dan
infeksi).
b. Trauma kapitis dan tumor otak.
c. Kelainantulang tengkorak
d. Kelainan endokrin dan metabolic, keracunan pada otak, serta
faktor sosio- budaya. (Muttaqin, 2008)
Autisme
Attention Deficit Hyperactivity Disorder
Down Syndrome
A. Pengertian
Sindrom Dwon adalah abnormalitas kromosom yang ditandai dengan
berbagai derajat retardasi mental dan defek fisik yang berhubungan; dikenal
juga sebagai trisomy 21.
Anak dengan down syndrome adalah individu yang dapat dikenali dari
fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat
adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih. Perkembangannya lebih lambat
dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital,
hipotonia yang berat, masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat
menyebabkan keterlambatan perkembangan motoric dan keterampilan untuk
menolong diri sendiri.
B. Etiologi
Selama satu abad sebelumnya banyak hipotesis tentang penyebab sindrom
down yang dilaporkan. Tetapi semenjak ditemukan adanya kelainan kromosom
pada sindrom down pada tahun 1959, maka sekarang perhatian lebih dipusatkan
pada kejadian “non-disjunctional” sebagai penyebabnya yaitu:
1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap “non-disjunctional”.
Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian
epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila
dalam keluarga terdapat anak dengan syndrome down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya “non-
disjunctional” pada syndrome down ini. Uchida 1981(dikutip Pueschel
dkk.) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya
konsepsi. Sedangkan peneliti yang lain tidak mendapatkan adanya
hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom
down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa
virus dapat mengakibatkan “non-disjunction”.
4. Autoimun
Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom down adalah
autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan
tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip dari Pueschel dkk,) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang
melahirkan anak dengan sindrom down dengan ibu kontrol yang umurnya
sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan “non-disjunction” pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon)
secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya “non-disjunction”.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, juga dilaporkan adanya
pengaruh dari umur ayah. Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak
dengan sindrom down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom
21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur
ibu.
D. Manifestasi klinis
Sindrom Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat
dengan mudah mengenalinya. Selain itu, Sindrom Down juga menyebabkan
berbagai gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Pertumbuhan: Tubuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja.
2) Sistim syaraf pusat: Retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85
(rata-rata 50). Hipotonia berkelanjutan seiring berjalannya umur.
Obstructive sleep apnea (OSA) terjadi ketika aliran udara masuk ke paru
mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal itu sering
mengakibatkan hipoksemia.
3) Tingkah laku: Spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah
lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami
kecemasan dan keras kepala.
4) Gangguan kejang: Spasme infantil sering terjadinya pada masa bayi,
sedangkan kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua.
5) Penuaan dini: Berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan rambut
lebih awal, hipogonadisme, katarak, kehilangan pendengaran, kejang,
keganasan, penyakit vaskuler degeneratif, hilangnya kemampuan adaptasi,
dan meningkatnya demensia tipe Alzheimer.
6) Tulang tengkorak: Brachycephaly, microcephaly, kening melandai, patent
metopic, microencephaly, patent metopic suture, tidak adanya sinus frontalis
dan sfenoidalis, hipoplasia sinus maksilaris.
7) Mata: Fisura palpebra yang condong kedepan, lipatan epikantus bilateral,
brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%), strabismus
(44%), kongenital (3%) blepharitis (31%), dan keratokonus (50%), agenesis
gigi, malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (30-50%)
pada pertumbuhan gigi primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi
gigi dan maloklusi.
8) Telinga: Telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis media
kronis dan hilang pendengaran sering terjadi.
9) Leher: Atlantoaksial tidak sambil (14%) dapat menyebabkan kelemahan
ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas
yang melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid
berpindah kebelakang, mengakibatkan kompresi medula sipanlis.
10) Penyakit jantung bawaaan: Penyakit jantung bawaan sering terjadi (40-
50%); hal tu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindrom Down yang
berada di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering terjadi pada
kasus ini pada 2 tahun pertama kehidupan. PJB yang sering terjadi adalah
endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%),
secundum atrial septal defect (10%), Tetralogi of Fallot (TOF) (6%). Lesi
yang paling sering adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic
stenosis (9%). Sekitar dari semua endocardial cushion defect berhubungan
dengan Sindrom Down.
11) Abdomen: Rektum diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi
12) Sistim saluran cerna (12%): Atresia atau stenosis duodenum. Penyakit
hirschprung (<1%), fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus
imperforata, dan omfalokel juga dapat terjadi.
13) Saluran urin dan kelamin: Malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis dan
kriptorkoidisme.
14) Skeletal: Tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari kelima lipatan
fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak antara dua
jari kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat.
15) Sistim endokrin: Tiroiditis Hashimoto yang menyebabkan hipotiroidisme
adalah gangguan tiroid dan diabetes pada pasien Sindrom Down.
16) Sistim hematologi: Anak dengan Sindrom Down memiliki resiko untuk
mengalami leukimia, termasuk leukimia limfoblastik akut dan leukimia
mieloid. Resiko relatif leukimia akut pada anak Sindrom Down berumur 5
tahun 56 kali lebih besar daripada anak tanpa Sindrom Down.
17)Imunodefisiensi: Pasien Sindrom Down memiliki resiko 12 kali untuk
terkena penyakit infeksi, teruma pneumonia, karena kerusakan imunitas
seluler.
18) Kulit: Serosis, lesi hiperkeratotik terlokaslisasi, serpiniginosa elastosis,
alopesia areata, vitiligo dan infeksi kulit berulang.
E. Pemeriksaan penunjang
Down syndrome dapat dideteksi pada masa kehamilan melalui skrining
kelainan genetik, yaitu dengan tes darah dan USG kehamilan. Selanjutnya akan
dilakukan tes air ketuban dan uji sampel ari-ari, guna memastikan apakah
terdapat kelainan gen.
1. USG kehamilan
USG kehamilan dilakukan setiap kali ibu hamil melakukan kontrol
kandungan. Melalui pemeriksaan USG, dokter kandungan dapat menilai
pertumbuhan janin, dengan melihat kadar cairan tulang belakang janin.
2. Tes darah
Dokter akan mengukur kadar protein PAPP-A (pregnancy-associated plasma
protein-A) dan hormon HCG (human chorionic gonadotropin) pada
trimester awal kehamilan. Pada trimester kedua, tes darah kembali dilakukan
untuk mengukur kadar alpha-protein (AFP), estriol, HCG, dan hormon
inhibin A. Seluruh pemeriksaan tersebut menjadi dasar bagi dokter, untuk
menentukan apakah perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih
berisiko, yaitu pengambilan sampel air ketuban atau ari-ari.
3. Tes air ketuban
Tes air ketuban atau amniocentesis dilakukan untuk mengetahui apakah
janin menderita kelainan genetik. Amniocentesis dilakukan pada trimester
kedua, saat kehamilan memasuki usia 15 minggu.
4. Uji sampel ari-ari
Kelainan genetik juga dapat diketahui melalui pengambil sampel jaringan
ari-ari atau plasenta. Pemeriksaan ini disebut chorionic villus sampling
(CVS). CVS dilakukan oleh dokter kandungan saat kehamilan memasuki
usia 10-13 minggu.
Untuk mendeteksi kemungkinan memiliki anak yang menderita Down
syndrome, pasangan disarankan melakukan konseling genetik sebelum
merencanakan kehamilan, terutama jika memiliki anggota keluarga yang
menderita kelainan ini.
F. Penatalaksanaan
Sindrom Down memiliki penatalaksanaan yang spesifik untuk masing-
masing defek yang dialami si penderita (Roizen et al, 2009).
1) Jantung: Semua bayi dengan Sindrom Down harus secepatnya dievaluasi
mengenai penyakit jantung bawaan yang diderita dengan mengkonsultasikan
ke ahli kardiologi anak. Echocardiogram direkomendasikan untuk
mendeteksi abnormalitas yang tidak memiliki gejala ataupun tidak tampak
pada pemeriksaan fisik. Risiko prolaps katup mitral dan regurgitasi aorta
yang tinggi pada masa remaja dan dewasa muda harus segera di evaluasi
pada anak Sindrom Down.
2) Pendengaran: Bayi baru lahir harus dinilai pendengarannya jika ada kelainan
maka dibutuhkan evaluasi brainstem auditory evoked response dan
otoacoustic emissions. Pendengaran pada anak Sindrom Down harus segera
dievaluasi juga sejak masa kanak-kanak.
3) Oftalmologi: Penilaian oftalmologi harus dilakukan pada bayi baru lahir atau
paling tidak pada usia 6 bulan untuk menilai strabismus, nistagmus dan
katarak. Anak yang mengalami gangguan tersebut harus mendapat
pemeriksaan yang rutin.
4) Fungsi tiroid: Tes fungsi tiroid harus segera dilakukan pada bayi baru lahir.
American academy of pediatric (AAP) merekomendasikan agar skrining
harus diulang pada umur 6 dan 12 bulan, dan kemudian setiap tahun secara
rutin. Tinggi anak dan beratnya juga harus diukur setiap tahun karena adanya
kombinasi deselerasi dari pertumbuhan linear berkaitan dengan pertambahan
berat badan adalah indikator yang sensitif untuk hipotiroid.
5) Hematologi: Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan pada saat lahir
untuk mengevaluasi kelainan mieloproliferatif dan polistemia. Bayi dengan
TMD harus dilihat perkembangannya setiap 3 bulan sekali sampai bayi
tersebut berusia 3 tahun dan setiap 6 bulan sampai 6 tahun.
6) Penyakit periodontal: Penyakit periodontal sering pada anak-anak dan
dewasa dengan Sindrom Down. Mekanisme ini diperkirakan karena
perubahan flora normal pada mulut, dengan frekuensi Actinobacillus
actinomycetemcomitansi yang lebih tinggi dan juga sistim imun rendah yang
ikut berpengaruh.
7) Konseling: Konseling dapat dimulai sejak diagnosis prenatal ataupun pada
kasus yang dicurigai. Diskusi tersebut mencakup tentang prognosis.
Pengobatan medis dan juga edukasi juga penting dibicarakan.
G. Komplikasi
Down syndrome dapat memicu beragam komplikasi, antara lain:
1. Kelainan jantung. Sekitar setengah dari anak dengan Down syndrome
diketahui terlahir dengan penyakit jantung bawaan, sehingga harus
menjalani operasi.
2. Gangguan pencernaan. Sebagian penderita Down syndrome mengalami
gangguan pencernaan, seperti sulit menelan (disfagia) dan penyakit celiac.
3. Demensia. Saat mencapai usia lanjut, penderita Down syndrome cenderung
terserang demensia, terutama penyakit Alzheimer.
4. Gangguan penglihatan. Setengah dari penderita Down syndrome mengalami
gangguan penglihatan, seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, juling,
penipisan kornea, nistagmus, mata malas, dan konjungtivitis.
5. Masalah kesehatan mulut. Penderita Down syndrome dapat mengalami mulut
kering, kesulitan saat menyikat gigi, gigi berlubang, dan radang gusi.
6. Penyakit tiroid. Sebagian kecil penderita Down syndrome mengalami
penyakit tiroid, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme (kekurangan
hormon tiroid) atau hipertiroidisme (kelebihan hormon tiroid).
7. Gangguan pendengaran. Sebagian penderita Down syndrome mengalami
masalah pada pendengaran, akibat penumpukan cairan di bagian tengah
telinga atau glue ear.
8. Sleep apnea. Kelainan bentuk tulang dan jaringan pada penderita Down
syndrome bisa menyebabkan sumbatan pada saluran napas, dan berujung
pada sleep apnea.
9. Gangguan psikologis dan mental. Sekitar 1 dari 5 penderita Down syndrome
mengalami gangguan mental, seperti gangguan obsesif-kompulsif, autisme,
depresi, dan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder).
Selain sejumlah komplikasi di atas, penderita Down syndrome lebih rentan
mengalami obesitas, gangguan hormon, penyakit autoimun, dan penyakit
infeksi. Penderita Down syndrome juga lebih berisiko terkena kanker darah
(leukemia), walaupun hal ini jarang terjadi.
H. Gambar