ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
Alhamdulillah, puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Jiwa yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kebutuhan Khusus”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan ilmu
keperawatan dengan perkembangan kurikulum terbaru, khususnya mata kuliah Keperawatan
Psikiatri di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yayasan Rumah Sakit Islam Pontianak.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi berbagai pihak dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua dan para pembaca
dapat memahami dan mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat diaplikasikan
untuk mengembangkan kompetensi dalam ilmu keperawatan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Penulis
mengharapkan kritik dan saran serta pendapat yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan Anugerah dari Tuhan yang tak ternilai harganya, kehadiran seorang
anak merupakan dambaan sebuah keluarga. Anak memiliki peran yang cukup besar dalam
sebuah perkawinan karena sering dianggap sebagai penerus garis keturunan dan merupakan
buah cinta kasih sayang dalam melekatkan hubungan perkawinan. Namun, tidak semua anak
terlahir ke dunia dalam kondisi yang sempurna, terdapat beberapa anak yang terlahir dengan
keterbatasan fisik maupun psikis. Berdasarkan hasil data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kalimantan Barat tahun 2018, di Kalimantan Barat terdapat proporsi anak
penyandang disabilitas berusia 5-17 tahun berjumlah 7.609 jiwa yang tersebar di 14
Kabupaten dan Kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.891 berjenis kelamin laki-laki dan
3.718 berjenis kelamin Perempuan. Proporsi terbesar penyandang disabilitas terdapat di
pedesaan sebanyak 5.132, sedangkan di perkotaan lebih sedikit yaitu 2.477.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mempunyai kelainan/
keterbatasan yang berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangannya.
Dibandingkan dengan kondisi rata-rata anak normal seusianya baik secara fisik, mental,
intelektual, sosial maupun emosional anak kebutuhan khusus mengalami keterlambatan.
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan
belajar yang membuatnya lebih sulit belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan
kebanyakan anak seusianya (Atmaja, 2020).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena
adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan dengan istilah
disabilitas, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah
satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu,
maupun bersifat psikologis seperti retardasi mental, autisme dan Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (Pitaloka, 2022).
Salah satu masalah anak kebutuhan khusus yang paling banyak ditemukan adalah
autis. WHO memprediksi 1 dari 160 anak di dunia menderita gangguan spektrum autisme,
sedangkan jumlah penderita gangguan spektrum autisme di Indonesia diperkirakan
mengalami peningkatan 500 orang setiap tahunnya. Periode tahun 2020-2021 dilaporkan
sebanyak 5.530 kasus gangguan perkembangan pada anak, termasuk gangguan spektrum
autisme yang mendapatkan layanan di Puskesmas. Autisme adalah gangguan perkembangan
pada anak dengan bentuk keterbatasan dalam hubungan social, komunikasi yang abnormal,
serta pola perilaku yang terbatas, repretitif dan tetap. Autisme merupakan gangguan
perkembangan yang berhubungan dengan prilaku yang umumnya disebabkan oleh kelainan
struktur otak atau fungsi otak (Setyaningsih, 2015).
Salah satu ciri spesifik anak dengan gangguan autism yaitu adanya gangguan dalam
berinteraksi social. Selain tidak mampu bersosialisasi, anak autism juga mengalami
gangguan dalam bekomunikasi, kontak mata yang buruk dan menghindari tatapan,
menunjukkan wajah yang tidak berekpresi, lebih suka menyendiri, tidak suka bermain
dengan anak-anak sebayanya, dan juga tidak dapat mengendalikan emosinya. Jadi secara
kesimpulan, anak autism memiliki gangguan pada bidang interaksi, komunikasi, dan prilaku
(Setyaningsih, 2015).
Peran keluarga dalam penanganan autisme ialah memastikan diagnosis, sekaligus
mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Hal yang juga sangat
membantu orang tua adalah bertemu dan berbicara dengan sesama orang tua anak autism.
Kemudian usahakan untuk bergabung dalam parents support group. Selain untuk berbagi
rasa, juga untuk berbagi pengalaman, informasi, dan pengetahuan. Orang tua juga harus
bertindak sebagai manager saat terapi dilakukan, misalnya mempersiapkan kamar khusus,
mencari dan mewawancarai terapis, mengatur jadwal, melakukan evaluasi bersama tim,
juga mampu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapis, dan
pengobatan anak.
Memperbaiki keadaan anak dengan autism dapat diusahakan dengan melakukan
beberapa intervensi di antaranya adalah terapi perilaku Applied Behaviour Analysis (ABA),
pemberian obat, terapi akunputur, terapi music, terapi balur, terapi diet. Peran perawat
dalam penanganan anak dengan autisme terbagi dalam 5 tahapan yaitu, sebagai educator,
advocator, care giver, konsultan dan kolaborator. Educator disini merupakan peran paling
penting dari seorang perawat dalam memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan
keterampilan kepada pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat dalam menangani
anak dengan autisme (Agustina, 2022).
Oleh karena itu, peran perawat sebagai educator sangat diperlukan dalam
memberikan edukasi kepada orang tua dan keluarga dengan anak kebutuhan khusus.
Berdasarkan latar belakang di atas, kelompok Menyusun makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus” agar dapat menjadi acuan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus.
B. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui asuhan keperawatan pada
anak dengan kebutuhan khusus : autisme.
2. Tujuan Khusus
Setelah mempelajari makalah ini mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan konsep dasar anak dengan kebutuhan khusus.
b. Menjelaskan konsep dasar autisme.
c. Menjelaskan konsep dasar asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus:
autisme secara teoritis.
d. Mengaplikasikan asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus: autisme.
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Makalah ini dapat membantu dan menjadi bahan acuan bagi fasilitas pelayanan
Kesehatan dalam membuat kebijakan terkait pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak
dengan kebutuhan khusus.
2. Bagi Perawat
Makalah ini dapat membantu perawat memahami serta dapat menerapkan,
mengaplikasikan dan menambah pengalaman serta memperluas pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan referensi bagi mahasiswa
keperawatan Prodi S1 Keperawatan STIKes YARSI Pontianak tentang asuhan
keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus.
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Makalah ini dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada keluarga tentang cara
menangani dan merawat anak dengan kebutuhan khusus.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas tentang Latar Belakang, Tujuan
Penulisan, Manfaat Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Dalam bab ini penulis membahas tentang Konsep Dasar Anak Dengan
Kebutuhan Khusus, Konsep Dasar Autisme dan Asuhan Keperawatan
Teoritis.
BAB III : APLIKASI KASUS
Dalam bab ini penulis membahas tentang Kasus, Pengkajian, Diagnosa
Keperawatan dan Rencana Keperawatan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini penulis membahas tentang Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2. Jenis-jenis Autisme
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Sering
kali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat
diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah
sebagai berikut (Wardani, 2014):
a. Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak
berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil
namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah
meskipun terjadinya hanya sesekali.
b. Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata namun tidak
memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif,
menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak
sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
c. Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang
sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke
tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua
berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya,
bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-
mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian
langsung tertidur
Sementara menurut Lisinus & Sembiring dalam Atmaja (2020) dalam berinteraksi sosial
anak autis dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Kelompok Menyendiri
1) Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungan sekitarnya
2) Bertedensi kurang menggunakan kata-kata
3) Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalau berbuat sesuatu anak
autis akan melakukannya berulang-ulang
4) Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-bunyi aneh, gerakan
tangan, mudah marah, melukai diri sendiri, menyerang teman sendiri, merusak
dan menghancurkan mainannya
b. Kelompok Anak Autis yang Pasif
1) Lebih bisa bertahan pada kontak fisik dan sedikit mampu bermain dengan teman
sebaya nya, tetapi jarang sekali mencari teman sendiri
2) Mempunyai kata yang lebih banyak meskipun masih agak terlambat bisa
berbicara dibandingkan sengan anak sebaya nya
3) Kadang anak autis lebih cepat merangkai kata
4) Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan dengan anak autis
yang menyendiri.
c. Kelompok Autis yang Aktif tetapi Menurut Kemauannya Sendiri
1) Kelompok ini bertolak belakang dengan kelompok anak autis yang menyendiri
karena lebih cepat bisa berbicara dan memiliki kata yang paling banyak
2) Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja ada kata yang aneh
dan kurang dimengerti
3) Kurang mampu berbicara dengan teman sebayanya meskipun masih ada
kemampuan berbicara
4) Selalu mengulang-ulang kata atau kalimat
5) Tidak bisa spontan mempercayai teman bermainnya
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya autism, yaitu (Sitompul, 2017):
1) Keracunan logam seperti mercury yang banyak terdapat dalam vaksin imunisasi
atau pada makanan yang dikomsumsi yang sedang ibu hamil, misalnya ikan
dengan kandungan logam berat yang tinggi, sehingga para peneliti membuktikan
bahwa didalam tubuh anak atisme terkandung timah hitam dan mercury dalam
kadar yang relative tinggi.
2) Kelahiran premature. Pada bayi yang lahir premature khususnya bayi yang lahir
pada masa kehamilan 26 minggu atau kurang.
3) Penularan selama dalam kandungan. Contohnya, efek samping terhadap minuman
beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi untuk ibu hamil) selama
dalam kandungan.
c. Sumber Koping
Sumber koping (coping resources) untuk anak dengan autis bisa bervariasi tergantung
pada kebutuhan dan preferensi individu. Beberapa sumber koping yang dapat
membantu anak autis meliputi (Atmaja, 2020):
1) Terapi: Terapi perilaku terapan (Applied Behavior Analysis/ABA), terapi bicara,
terapi okupasi, dan terapi fisik dapat membantu anak autis mengembangkan
keterampilan sosial, komunikasi, dan keterampilan hidup sehari-hari.
2) Dukungan keluarga: Keluarga yang memberikan dukungan emosional dan praktis
sangat penting. Ini termasuk pemahaman, kesabaran, dan pengetahuan tentang
autisme.
3) Pendidikan khusus: Program pendidikan khusus dan dukungan pendidikan
individual dapat membantu anak autis mengatasi tantangan akademik mereka.
4) Lingkungan yang mendukung: Menciptakan lingkungan yang ramah autisme
dengan meminimalkan sensory overload dan memberikan rutinitas yang
konsisten bisa sangat membantu.
5) Kelompok dukungan: Bergabung dengan kelompok dukungan orang tua atau
anak-anak autis lainnya dapat memberikan dukungan emosional dan informasi
berguna.
6) Terapi alternatif: Beberapa keluarga juga mencari terapi alternatif seperti musik,
seni, atau terapi hewan peliharaan untuk membantu anak autis mengatasi stres
atau gangguan sensorik.
7) Kesehatan fisik dan nutrisi: Memastikan anak mendapatkan nutrisi yang
seimbang dan kegiatan fisik yang sesuai dapat membantu dalam manajemen
autisme.
Selalu penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan dan pendidikan
yang berpengalaman dalam autisme untuk merancang sumber koping yang sesuai
dengan kebutuhan anak autism.
d. Mekanisme Koping
Anak dengan autisme mungkin memiliki berbagai cara untuk mengatasi stres atau
situasi yang menantang. Namun, perlu diingat bahwa setiap anak dengan autisme
adalah individu yang unik dan mekanisme koping mereka bisa berbeda-beda.
Beberapa cara umum yang dapat digunakan oleh anak autis untuk mengatasi stres
atau ketidaknyamanan termasuk (Setyaningsih, 2015) :
1) Stimulasi sensorik: Beberapa anak autis merasa nyaman dengan stimulasi
sensorik tertentu, seperti memegang mainan favorit, berayun, atau meremas
benda-benda tertentu untuk meredakan stres.
2) Komunikasi alternatif: Beberapa anak dengan autisme mungkin menggunakan
metode komunikasi alternatif, seperti komunikasi berbasis gambar atau perangkat
komunikasi tertentu, untuk mengungkapkan kebutuhan atau perasaan mereka.
3) Rutinitas yang terstruktur: Anak-anak autis sering merasa nyaman dengan
rutinitas yang terstruktur dan konsisten. Ini dapat membantu mereka merasa lebih
aman dan dapat meminimalkan stres.
4) Pemahaman visual: Beberapa anak autis mungkin merespons lebih baik terhadap
panduan visual daripada verbal. Ini bisa berupa panduan dalam bentuk gambar
atau papan jadwal harian.
5) Pemahaman sosial: Anak-anak autis mungkin perlu belajar keterampilan sosial
dan strategi pemahaman sosial untuk mengatasi situasi sosial yang sulit.
6) Menarik diri: Beberapa anak autis mungkin menarik diri dari situasi yang
menantang atau berlebihan dengan cara mengisolasi diri mereka untuk beberapa
saat.
Penting untuk mengamati dan mendukung anak dengan autisme dalam
mengidentifikasi mekanisme koping yang efektif untuk mereka sendiri. Kolaborasi
dengan profesional kesehatan yang berpengalaman dalam autisme, seperti terapis
wicara, terapis okupasi, atau psikolog, juga dapat membantu mengembangkan
strategi koping yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut.
e. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan kebutuhan khusus menurut
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017), yaitu :
a. Gangguan interaksi sosial (D.0118)
b. Gangguan komunikasi verbal (D.0119)
c. Gangguan tumbuh kembang (D.0106)
d. Gangguan proses keluarga (D.0120)
e. Ketegangan peran pemberi asuhan (D.0124)
f. Defisit pengetahuan tentang stimulasi bayi dan anak (D.0111)
3. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1 Gangguan Setelah dilakukan meningkatkan kemampuan
interaksi sosial tindakan keperawatan 3 x untuk berinteraksi dengan orang
(D.0118) 24 jam, diharapkan lain (l.13498):
kuantitas dan/atau Observasi
kualitas hubungan sosial a. Identifikasi kemampuan
yang cukup, dengan untuk berinteraksi dengan
kriteria hasil (L.13115): orang lain
a. Perasaan nyaman b. Identifikasi hambatan
dengan situasi sosial melakukan interaksi dengan
b. Perasaan mudah orang lain
menerima atau Terapeutik
megkomunikasikan a. Motivasi meningkatkan
perasaan keterlibatan dalam suatu
c. Responsive pada hubungan
orang lain b. Motivasi kesabaran dalam
d. Minat melakukan mengembangkan suatu
kontak emosi hubungan
e. Minat melakukan c. Motivasi berpartisipasi
kontak fisik dalam aktivitas baru dan
kegiatan kelompok
d. Motivasi berinteraksi di luar
lingkungan (mis. Jalan-
jalan, ke toko buku)
e. Diskusikan kekuatan dan
keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan
orang lain
f. Diskusikan perencanaan
kegiatan di masa depan
g. Berikan umpan balik positif
dalam perawatan diri
h. Berikan umpan balik positif
pada setiap peningkatan
kemampuan
Edukasi
a. Anjurkan berinteraksi
dengan orang lain secara
bertahap
b. Anjurkan ikut serta kegiatan
sosial dan kemasyarakat
c. Anjurkan berbagi
pengalaman dengan orang
lain
d. Anjurkan meningkatkan
kejujuran diri dan
menghormati hak orang lain
e. Anjurkan penggunaan alat
bantu (mis. Kacamata dan
alat bantu dengar)
f. Anjurkan membuat
perencanaan kelompok kecil
untuk kegitan khusus
g. Latih bermain peran untuk
meningkatkan keterampilan
komunikasi
h. Latih mengekspresikan
marah dengan tepat
2 Gangguan Setelah dilakukan menggunakan Teknik
komunikasi tindakan keperawatan 3 x komunikasi tambahan pada
verbal (D.0119) 24 jam, diharapkan individu dengan gangguan
kemampuan menerima, bicara (l.13492) :
merespon, mengirim, Observasi
dan/atau menggunakan a. Monitor kecepatan, tekanan,
sistemsimbol (L.13118) : kuantitas, volume, dan diksi
a. Kemampuan berbicara bicara
b. Kemampuan b. Monitor proses kognitif,
mendengar anatomis, dan fisiologis
c. Kesesuaian ekspresi yang berkaitan dengan
wajah/tubuh bicara (mis. Memori,
pendengaran, dan Bahasa)
c. Monitor frustasi, marah,
depresi, atau hal lain yang
mengganggu bicara
d. Identifikasi perilaku
emosional dan fisik sebagai
bentuk komunikasi
Terapeutik
a. Gunakan metode
komunikasi alternatif (mis.
Menulis, mata berkedip,
papan komunikasi dengan
gambar dan huruf, isyarat
tangan, dan computer)
b. Sesuaikan gaya komunikasi
dengan kebutuhan (mis.
Berdiri didepan pasien,
sengarkan dengan seksama,
tunjukan suatu gagasan atau
pemikiran sekaligus,
bicaralah dengan perlahan
sambal menghindari
teriakan, gunakan
komunikasi tertulis, atau
meminta bantuan keluarga
untuk memahami ucapan
pasien)
c. Modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
bantuan
d. Ulangi apa yang
disampaikan pasien
e. Beri dukungan psikologis
f. Gunakan juru bicara, jika
perlu
Edukasi
a. Anjurkan bicara perlahan
b. Anjurkan pasien dan
keluarga proses kognitif,
anatomis, dan fisiologis
yang berhubungan dengan
kemampuan berbicara
Kolaborasi
a. Rujukan ke ahli patologi
bicara atau terapis
A. Kasus
Seorang anak laki-laki 12 tahun dibawa orang tua nya ke RSJ, dengan keluhan saat dirumah
anaknya sering asik dengan dirinya sendiri, tanpa mau berkomunikasi dengan orang lain. Sulit
bersosialisasi dengan orang lain. Anak tersebut hanya focus dengan apa yang dia sukai dan di
senangi. Saat di diagnosa medis anak tersebut merupakan anak dengan kebutuhan khusus yaitu
Autisme, saat ini perawat akan mengajaknya untuk bercakap-cakap, dan belajar
berinteraksi dengan orang lain
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan interaksi sosial
2. Gangguan proses kluarga
C. Rencana Keperawatan
1. Modifikasi perilaku keterampilan social (I. 13484)
2. Edukasi proses keluarga (I.12443)
D. Strategi Pelaksaanaan (SP) komunikasi
SP 1 : Pada fase ini melakukan persiapan diri, Mencari dan Mengumpulkan data mengenai
klien, Penetapan tahapan hubungan/Interaksi, menentukan rencana Interaksi,
Mempersiapkan Alat, Memperkenalkan diri, Melakukan kontrak waktu, dan
Mempersiapkan Lingkungan
1. Fase Orientasi :
a. Salam terapeutik
“Assallamualaikum wr,wb , selamat pagi.”
“Perkenalkan ibu, nama saya suster Felisia, biasa di panggil Feli. Saya akan membantu
anak Ibu untuk belajar berinteraksi sosial.
b. Evaluasi
“Hayyyy… adek?”
“Wah adek suka sekali bermain susun gelang yaaa?
“Boleh kakak ikut bermain? kalo yang ini warnanya apa….merah yaaa”
“Nama adek siapa? “Senang dipanggil apa?
(tidak ada respon)
2. Fase Kerja :
Bayu, kakak lihat kamu senang memainkan alat - alat makan, bagaimana kalo hari ini
kakak ajari Bayu mengenal alat - alat makan?”
Nah kalo ini namanya sendok gunanya untuk makan…kalo ini Namanya gelas…dan ini
namanya mangkok”
Coba sekarang Bayu beri tahu kakak mana yang namanya sendok? Oh kalo yang hijau ini
namanya gelas dek, cobaa mana yang namanya sendok, wah Bayu pintar sekali, iya itu
namanya sendok bisa digunakan untuk mengambil air dalam gelas seperti yang Bayu
peragakan”
Sekarang coba Bayu ikuti gerakan ibu ( memutar sendok di dalam gelas), luar biasa
Bayu sangat pintar bisa mengikuti gerakan kakak memutar sendok yaaaa”
3. Fase Terminasi :
Evaluasi subjektif
“ Bagaimana perasaan Bayu setelah kita bermain mengenal alat makan ?”
“ Bayu tadi sudah mempraktekannya dengan baik sekali “ selanjutnya Bayu
dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama kakak tidak ada, sehingga
Bayu dapat bermain dengan kawan-kawan Bayu nanti”
RTL:
“Bagaimana kalau jadwal kegiatan Bayu yaitu kegiatan berkenalann dengan
kakak apa Bayua mau?. Mau jam berapa Bayu latihan? Oo ketika
makan pagi dan makan siang.”
Kontrak yang akan datang
Waktu :“untuk pertemuan selanjutnya, akan kita praktekan lagi ya Bayua ? Mau jam
berapa besok untuk mencobanya?”
Tempat : “Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan hariannya . “ besok pagi saya
akan datang kesini
Topik :” nah besok kakak akan mengajak Bayu berkenalan”
“ Baik lah Sampai jumpa besok pagi ya Bayu.
waasallamualikum wr.wb.
SP 1 keluarga :
Memberikan Penyuluhan Kepada Keluarga Tentang Masalah Gangguan Interaksi, Penyebab,
dan Cara Merawat Anak dengan gangguan interaksi
1. Fase Orientasi:
“Assalamu’alaikum Bu”
”Perkenalkan saya perawat Feli , saya yang membantu menangani anak Ibu Bayu di praktek
Dokter ini.
”Nama Ibu siapa? Senang dipanggil apa?”
”Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Bagaimana keadaan anak Bayu sekarang?”
“Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang masalah anak Ibu dan cara perawatannya”
”Kita diskusi di sini saja ya? Berapa lama Ibu punya waktu? Bagaimana kalau 1/2 jam?”
2. Fase Kerja:
“Apa masalah yang Ibu hadapi dalam merawat Bayu? Apa saja yang sudah dilakukan?”
“Anak B termasuk anak dengan kebutuhan khusus: Autis, Masalah yang dialami oleh anak
Bayu adalah gangguan interaksi sosial. Ini adalah salah satu gejala penyakit yang juga
dialami oleh pasien-pasien dengan anak kebutuhan khusus”.
”Tanda-tandanya antara lain tidak mau bergaul dengan orang lain, kalaupun berbicara hanya
sebentar dengan wajah menunduk, asik dengan dunianya sendiri dan sulit untuk di ajak
berinteraksi”
”masalah ini memang salah satu tanda gejala pasien dengan kebutuhan khusus: autis, dan ada
tingkatan autis”
“Apabila masalah ini tidak diatasi dengan baik dan benar maka seseorang bisa mengalami
halusinasi, yaitu mendengar suara atau melihat bayangan yang sebetulnya tidak ada.”
Untuk menghadapi keadaan yang demikian Ibu dan anggota keluarga harus sabar
menghadapi dan merawat Bayu, maka dari itu keluarga perlu melakukan beberapa hal.
Pertama keluarga harus membina hubungan saling percaya dengan Bayu yang caranya
adalah bersikap peduli dengan Bayu dan jangan ingkar janji. Kedua, keluarga perlu
memberikan semangat dan dorongan kepada Bayu untuk bisa melakukan kegiatan bersama-
sama dengan orang lain. Berilah pujian yang wajar dan jangan mencela kondisi Bayu.”
Selanjutnya jangan biarkan Bayu sendiri. Buat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan
Bayu. Misalnya, makan bersama, bermain bersama, melakukan kegiatan rumah bersama-
sama.”
Bagaimana ibu, apakah sudah dapat dimengerti? Baiklah.
” Bagaimana kalau sekarang kita latihan untuk melakukan semua cara itu”
” Begini contoh komunikasinya: Bayu, Ibu lihat kamu suka bermain dengan alat alat makan,
bagaiamana kalo hari ini ibu ajari Bayu nama nama alat makan ini?”
Nah kalo ini namanya sendok gunanya untuk makan…kalo ini Namanya gelas…dan ini
Namanya mangkok”
Coba sekarang Bayu beri tahu ibu mana yang namanya sendok…. Oh kalo yang hijau ini
Namanya gelas Bayu.. cobaa mana yang namanya sendok... wah Bayua pintar sekali..iya itu
namanya sendok bisa digunakan untuk mengambil air dalam gelas seperti yang B peragakan”
Sekarang Bayu coba ikuti gerakan ibu ( memutar sendok di dalam gelas) ... luar biasa B
sangat pintar bisa mengikuti gerakan ibu memutat sendok yaaaa”
”Nah coba sekarang Ibu peragakan cara komunikasi seperti yang saya contohkan”
”Bagus, Bu. Ibu telah memperagakan dengan baik sekali”
”Sampai sini ada yang ditanyakan Bu”
3. Fase Terminasi:
Baiklah waktunya sudah habis. Bagaimana perasaan Ibu setelah kita latihan tadi?”
“Coba Ibu ulangi lagi apa yang dimaksud dengan gangguan interaksi sosial dan tanda-tanda
orang yang mengalami interaksi sosial
Selanjutnya bisa Ibu sebutkan kembali cara-cara merawat anak bapak yang mengalami
masalah interaksi sosial
Bagus sekali Bu, Ibu bisa menyebutkan kembali cara-cara perawatan tersebut
Nanti kalau ketemu coba Ibu lakukan. Dan tolong ceritakan kepada semua keluarga agar
mereka juga melakukan hal yang sama.
Bagaimana kalau kita betemu tiga hari lagi untuk latihan lagi kepada Bayu ?
Kita ketemu disini saja ya Bu, pada jam yang sama
Assalamu’alaikum wr. wb
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, yaitu :
1. Anak kebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami penyimpangan atau perbedaan
dari rata-rata anak normal lainnya. Pada proses pertumbuhan atau perkembangannya
terjadi kelainan seperti kelainan fisik, intelektual, mental, sosial dan emosi. Anak
berkebutuhan khusus juga memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya
atau memiliki perbedaan sesuai dengan jenis kelainan yang dialami oleh anak.
2. Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang (anak) sejak lahir atau balita, yang
membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang tidak
normal. Proses terjadinya autis memiliki beberapa factor mulai dari factor predisposisi,
factor presipitasi, sumber koping, mekanisme koping, hingga rentang respon.
3. Asuhan keperawatan pada anak autis meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan
perencanaan keperawatan yang memiliki kriteria hasil serta rencana intervensi. Dari hasil
pengkajian anak autis ditemukan diagnosa gangguan interaksi sosial, gangguan
komunikasi verbal, gangguan tumbuh kembang, perubahan proses keluarga, ketegangan
peran pemberi asuhan, defisit pengetahuan tentang stimulasi bayi dan anak. Masing-
masing diagnosa diberikan perencanaan asuhan keperawatan seperti mengobservasi
pasien, memberikan terapeutik, perawatan juga harus memberikan edukasi kepada pasien
dan keluarga, serta kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya.
4. Pelaksanaan aplikasi kasus pada anak dengan autism terkadang memiliki kendala di
dalam pelaksanaannya. Tidak semua anak dapat mengikuti langkah-langkah pelaksanaan
kegiatan dengan kooperatuf. Disinilah perawat dituntut untuk dapat meningkatkan
kemampuan dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus terutama anak dengan
autime.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran :
1. Bagi Perawat
Perawat dapat mengikuti langkah-langkah proses pelaksanaan asuhan keperawatan pada
anak dengan kebutuhan khusus secara sistematis dari pengkajian hingga evaluasi
keperawatan. Perawat juga dapat mengajukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan
dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada anak dengan kebutuhan khusus :
autisme.
2. Bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan perlu menetapkan suatu kebijakan dalam penanganan
kasus pada anak dengan kebutuhan khusus. Fasilitas pelayanan Kesehatan juga dapat
mengajukan pelatihan bagi perawat untuk membantu meningkatkan kemampuan dan
keterampilan dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan
khusus. Makalah ini dapat menjadi referensi dalam memahami serta dapat menerapkan,
mengaplikasikan dan menambah pengalaman serta memperluas pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus : autisme.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Penulisan makalah ini membutuhkan banyak literatur, diharapkan adanya dukungan oleh
instansi Pendidikan untuk memperbanyak literatur khususnya di bidang keperawatan
psikiatri dan anak. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat digunakan sebagai
literatur tambahan bagi peserta didik lainnya tentang asuhan keperawatan pada anak
dengan kebutuhan khusus terutama autisme.
4. Bagi Keluarga
Keluarga merupakan orang yang terdekat dengan pasien, sehingga proses perawatan dan
pengasuhan anak yang terdekat adalah keluarga itu sendiri. Maka dari itu, perlu adanya
dukungan dan perhatian dari pihak keluarga terhadap anak dengan kebutuhan khusus.
Diharapkan keluarga dapat lebih memperhatikan kondisi anak sehingga meminimalkan
risiko-risiko masalah yang mungkin terjadi kepada anak. Keluarga juga dapat melakukan
konsultasi kepada tenaga kesehatan yang menurut keluarga dapat membantu dan
memberikan masukan tentang perawatan anak dengan kebutuhan khusus terutama anak
dengan autisme.
Daftar Pustaka
Apriany, Dyna dan Yanti Cahyati. 2021. Buku Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Kebutuhan Khusus (Pendekatan SDKI, SLKI dan SIKI). Yogyakarta : Deepublish.
Atmaja, Jati Rinakri. 2020. Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Remaja Rosdakarya.
Agustina, Ica. 2022. Problematika Orang Tua dalam Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus.
Diakses tanggal 4 Oktober 2023.
Erawati, Meira. 2016. Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Handojo, Y. 2013. Autisma. Jakarta : PT Buana Ilmu Populer.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2013.
Pitaloka, Asyharinur, dkk. 2022. Jurnal Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus. Diakses
tanggal 4 Oktober 2023.
Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Setyaningsih, W. 2015. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Sosial Anak
Autisme Di Sekolah Luar Biasa Harmoni Surakarta. Jurnal Kesehatan.
Sitompul, D.R. 2017. Pola Perawatan Ibu Dengan Anak Penyandang Autisme Di Rumah.
Thesis. Cimahi: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jendral Achmad Yani.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2022. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Wardani. 2014. Pengantar Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus. Jakarta : Universitas Terbuka