Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS

Tugas Mata Kuliah : Keperawatan Psikiatri

Dosen Pengampu : DR. Ns. Wahyu Kirana, M.Kep, Sp. Jiwa

Di Susun Oleh : Kelompok 1


Bayu Dian Pratama
Dwi Septi Handayani
Eka Kartika Dewi
Ertia Eriska
Fakhrurrazi
Halimah Assa’diah
Nur Azizah
Rendy Rianto
Venansia Erlinawati
Warliyah

KELAS REKOGNISI PEMBELAJARAN LAMPAU (RPL)


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN YARSI PONTIANAK
2023/2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Jiwa yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kebutuhan Khusus”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan ilmu
keperawatan dengan perkembangan kurikulum terbaru, khususnya mata kuliah Keperawatan
Psikiatri di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yayasan Rumah Sakit Islam Pontianak.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi berbagai pihak dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua dan para pembaca
dapat memahami dan mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat diaplikasikan
untuk mengembangkan kompetensi dalam ilmu keperawatan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Penulis
mengharapkan kritik dan saran serta pendapat yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Pontianak, 13 Oktober 2023


Penyusun

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................


A. Latar Belakang.........................................................................................
B. Tujuan Penulisan......................................................................................
C. Manfaat Penulisan....................................................................................
D. Sistematika Penulisan..............................................................................

BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................


A. Konsep Dasar Anak Kebutuhan Khusus .................................................
1. Definisi Anak Dengan Kebutuhan Khusus........................................
2. Jenis-Jenis Anak Kebutuhan Khusus.................................................
B. Konsep Dasar Autisme............................................................................
1. Definisi Autisme................................................................................
2. Jenis-Jenis Autisme............................................................................
3. Proses Terjadinya Autisme................................................................
a. Faktor Predisposisi.......................................................................
b. Faktor Presipitasi.........................................................................
c. Sumber Koping............................................................................
d. Mekanisme Koping......................................................................
e. Rentang Respon...........................................................................
4. Penatalaksanaan Autisme...................................................................
C. Asuhan Keperawatan Teoritis..................................................................
1. Pengkajian..........................................................................................
2. Diagnosa Keperawatan......................................................................
3. Rencana Keperawatan........................................................................

BAB III APLIKASI KASUS ..................................................................................


A. Kasus........................................................................................................
B. Pengkajian................................................................................................
C. Diagnosa Keperawatan............................................................................
D. Rencana Keperawatan..............................................................................
BAB IV PENUTUP .................................................................................................
A. Keimpulan................................................................................................
B. Saran........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan Anugerah dari Tuhan yang tak ternilai harganya, kehadiran seorang
anak merupakan dambaan sebuah keluarga. Anak memiliki peran yang cukup besar dalam
sebuah perkawinan karena sering dianggap sebagai penerus garis keturunan dan merupakan
buah cinta kasih sayang dalam melekatkan hubungan perkawinan. Namun, tidak semua anak
terlahir ke dunia dalam kondisi yang sempurna, terdapat beberapa anak yang terlahir dengan
keterbatasan fisik maupun psikis. Berdasarkan hasil data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kalimantan Barat tahun 2018, di Kalimantan Barat terdapat proporsi anak
penyandang disabilitas berusia 5-17 tahun berjumlah 7.609 jiwa yang tersebar di 14
Kabupaten dan Kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.891 berjenis kelamin laki-laki dan
3.718 berjenis kelamin Perempuan. Proporsi terbesar penyandang disabilitas terdapat di
pedesaan sebanyak 5.132, sedangkan di perkotaan lebih sedikit yaitu 2.477.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mempunyai kelainan/
keterbatasan yang berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangannya.
Dibandingkan dengan kondisi rata-rata anak normal seusianya baik secara fisik, mental,
intelektual, sosial maupun emosional anak kebutuhan khusus mengalami keterlambatan.
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan
belajar yang membuatnya lebih sulit belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan
kebanyakan anak seusianya (Atmaja, 2020).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena
adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan dengan istilah
disabilitas, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah
satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu,
maupun bersifat psikologis seperti retardasi mental, autisme dan Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (Pitaloka, 2022).
Salah satu masalah anak kebutuhan khusus yang paling banyak ditemukan adalah
autis. WHO memprediksi 1 dari 160 anak di dunia menderita gangguan spektrum autisme,
sedangkan jumlah penderita gangguan spektrum autisme di Indonesia diperkirakan
mengalami peningkatan 500 orang setiap tahunnya. Periode tahun 2020-2021 dilaporkan
sebanyak 5.530 kasus gangguan perkembangan pada anak, termasuk gangguan spektrum
autisme yang mendapatkan layanan di Puskesmas. Autisme adalah gangguan perkembangan
pada anak dengan bentuk keterbatasan dalam hubungan social, komunikasi yang abnormal,
serta pola perilaku yang terbatas, repretitif dan tetap. Autisme merupakan gangguan
perkembangan yang berhubungan dengan prilaku yang umumnya disebabkan oleh kelainan
struktur otak atau fungsi otak (Setyaningsih, 2015).
Salah satu ciri spesifik anak dengan gangguan autism yaitu adanya gangguan dalam
berinteraksi social. Selain tidak mampu bersosialisasi, anak autism juga mengalami
gangguan dalam bekomunikasi, kontak mata yang buruk dan menghindari tatapan,
menunjukkan wajah yang tidak berekpresi, lebih suka menyendiri, tidak suka bermain
dengan anak-anak sebayanya, dan juga tidak dapat mengendalikan emosinya. Jadi secara
kesimpulan, anak autism memiliki gangguan pada bidang interaksi, komunikasi, dan prilaku
(Setyaningsih, 2015).
Peran keluarga dalam penanganan autisme ialah memastikan diagnosis, sekaligus
mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Hal yang juga sangat
membantu orang tua adalah bertemu dan berbicara dengan sesama orang tua anak autism.
Kemudian usahakan untuk bergabung dalam parents support group. Selain untuk berbagi
rasa, juga untuk berbagi pengalaman, informasi, dan pengetahuan. Orang tua juga harus
bertindak sebagai manager saat terapi dilakukan, misalnya mempersiapkan kamar khusus,
mencari dan mewawancarai terapis, mengatur jadwal, melakukan evaluasi bersama tim,
juga mampu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapis, dan
pengobatan anak.
Memperbaiki keadaan anak dengan autism dapat diusahakan dengan melakukan
beberapa intervensi di antaranya adalah terapi perilaku Applied Behaviour Analysis (ABA),
pemberian obat, terapi akunputur, terapi music, terapi balur, terapi diet. Peran perawat
dalam penanganan anak dengan autisme terbagi dalam 5 tahapan yaitu, sebagai educator,
advocator, care giver, konsultan dan kolaborator. Educator disini merupakan peran paling
penting dari seorang perawat dalam memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan
keterampilan kepada pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat dalam menangani
anak dengan autisme (Agustina, 2022).
Oleh karena itu, peran perawat sebagai educator sangat diperlukan dalam
memberikan edukasi kepada orang tua dan keluarga dengan anak kebutuhan khusus.
Berdasarkan latar belakang di atas, kelompok Menyusun makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus” agar dapat menjadi acuan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus.

B. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui asuhan keperawatan pada
anak dengan kebutuhan khusus : autisme.
2. Tujuan Khusus
Setelah mempelajari makalah ini mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan konsep dasar anak dengan kebutuhan khusus.
b. Menjelaskan konsep dasar autisme.
c. Menjelaskan konsep dasar asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus:
autisme secara teoritis.
d. Mengaplikasikan asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus: autisme.

C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Makalah ini dapat membantu dan menjadi bahan acuan bagi fasilitas pelayanan
Kesehatan dalam membuat kebijakan terkait pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak
dengan kebutuhan khusus.
2. Bagi Perawat
Makalah ini dapat membantu perawat memahami serta dapat menerapkan,
mengaplikasikan dan menambah pengalaman serta memperluas pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan referensi bagi mahasiswa
keperawatan Prodi S1 Keperawatan STIKes YARSI Pontianak tentang asuhan
keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus.
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Makalah ini dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada keluarga tentang cara
menangani dan merawat anak dengan kebutuhan khusus.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas tentang Latar Belakang, Tujuan
Penulisan, Manfaat Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Dalam bab ini penulis membahas tentang Konsep Dasar Anak Dengan
Kebutuhan Khusus, Konsep Dasar Autisme dan Asuhan Keperawatan
Teoritis.
BAB III : APLIKASI KASUS
Dalam bab ini penulis membahas tentang Kasus, Pengkajian, Diagnosa
Keperawatan dan Rencana Keperawatan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini penulis membahas tentang Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Anak Kebutuhan Khusus


1. Definisi Anak Dengan Kebutuhan Khusus
Menurut Wardani, dkk (2014) anak berkebutuhan khusus merupakan anak
karena kelainan yang dimilikinya, memerlukan bantuan khusus dalam pembelajaran
agar mampu mengembangkan potensi secara optimal. Wardani juga mengemukakan
bahwa kelainan tersebut dapat berada di bawah normal, dapat juga diatas normal,
sehingga sebagai dampaknya diperlukan pengaturan khusus dalam pelayanan
pendidikan.
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa dalam Erawati (2016) anak
berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami
kelainan atau penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya,
sehingga anak memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli di atas tentang anak berkebutuhan
khusus dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak
yang mengalami penyimpangan atau perbedaan dari rata-rata anak normal lainnya. Pada
proses pertumbuhan atau perkembangannya terjadi kelainan seperti kelainan fisik,
intelektual, mental, sosial dan emosi. Anak berkebutuhan khusus juga memiliki
karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya atau memiliki perbedaan sesuai
dengan jenis kelainan yang dialami oleh anak.

2. Jenis-Jenis Anak Kebutuhan Khusus


Menurut Mangunsong dalam Erawati (2016), jenis-jenis anak berkebutuhan
khusus dibagi menjadi beberapa golongan diantara lain : tunanetra, tunagrahita,
tunarungu, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, cerebral palsy, autism, anak berbakat
(gifted), rett’s disorder, asperger, lamban belajar (slow learner), dan Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD).
Menurut Wardani, dkk (2014) jenis kelainan yang dialami oleh ABK dapat
dikelompokkan berdasarkan bidang yang mengalami kelainan dan dapat pula
berdasarkan arah kelainan tersebut. Berdasarkan bidang kelainan karena hambatan
sensori (indra) yaitu :
a. Anak berkesulitan belajar
b. Anak gangguan komunikasi
c. Anak kelainan perilaku
d. Anak kelainan ganda
Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Republik
Indonesia (2013), jenis-jenis anak berkebutuhan khusus dapat digolongkan menjadi
beberapa jenis, yaitu :
a. Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya
penglihatan berupa kebutaan secara sebagian (low vision), atau menyeluruh (total).
b. Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran,
baik sebagian ataupun menyeluruh dan biasanya memiliki hambatan dalam berbahasa
dan berbicara serta berkomunikasi.
c. Anak disabilitas intelektual adalah anak yang memiliki inteligensia yang signifikan
berada di bawah rata-rata anak seusianya dan disertai dengan ketidakmampuan dalam
adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa perkembangan pertumbuhan.
d. Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami gangguan gerak akibat
kelumpuhan, tidak lengkap anggota badan, kelainan bentuk dan fungsi tubuh atau
anggota gerak. Cerebral palsy termasuk ke dalam golongan disabilitas fisik.
e. Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki masalah atau hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial, serta berperilaku menyimpang dalam
keadaan sosial.
f. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau
attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) adalah anak yang mengalami
gangguan perkembangan, yang ditandai dengan sekumpulan masalah berupa
ganggguan pengendalian diri, masalah rentang atensi atau perhatian, hiperaktivitas
dan impulsivitas, yang menyebabkan kesulitan berperilaku, berfikir, dan
mengendalikan emosi dalam kehidupan sehari-hari.
g. Anak dengan gangguan autism spectrum disorders (ASD) atau spektrum autisma
adalah anak yang mengalami gangguan dalam tiga area dengan tingkatan berbeda-
beda, yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, serta pola-pola perilaku
yang repetitif dan stereotipi.
h. Anak dengan gangguan ganda adalah anak yang memiliki dua atau lebih gangguan
sehingga diperlukan pendampingan, layanan, Pendidikan khusus, dan alat bantu
belajar yang khusus untuk dapat hidup secara optimal.
i. Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual
sedikit di bawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Membutuhkan
waktu lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik
maupun non akademik dalam kehidupan sehari-hari.
j. Anak dengan kesulitan belajar khusus atau specific learning disabilities adalah anak
dengan hambatan atau penyimpangan pada satu atau lebih proses psikologis dasar
berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja
dan berhitung.
k. Anak dengan gangguan kemampuan komunikasi adalah anak yang mengalami
penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara, suara, irama, dan
kelancaran dari usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor fisik dan motorik,
psikologis dan lingkungan, baik reseptif maupun ekspresif.
l. Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah anak yang memiliki
skor inteligensi yang tinggi (gifted), di atas rata-rat atau mereka yang unggul dalam
bidang-bidang khusus (talented) seperti musik, seni, olahraga, dan kepemimpinan.
Pembahasan yang akan dibahas lebih lanjut di dalam makalah ini adalah anak kebutuhan
khusus autism.

B. Konsep Dasar Autisme


Konsep dasar autism terdiri dari beberapa hal yang akan dibahas berikut ini:
1. Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autism seakan-
akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autism baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh
Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lampau
(Handojo,2013).
Penyandang autis memiliki ciri-ciri penderita senang menyendiri dan bersikap
dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan tidak merespon diri (tersenyum dan
sebagainya) bila di beri makan dan sebagainya serta seperti tidak menaruh perhatian
terhadap lingungan sekitarnya,tidak mau atau sangat sedikit berbicara hanya mau
mengatakan ya atau tidak atupun ucapan-ucapan yang tidak jelas, lalu tidak suka dengan
stimulus pendengaran (contoh mendengar suara orang tuanya pun menangis), tetapi
senang melakukan stimulus diri, contoh dengan memukul mukuli kepala/ gerakan-
gerakan aneh lain, kadang gampang memanipulasi kan obyek,namun sulit menangkap
(Apriany, 2021).
Autis adalah gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan
hubungan antar pribadi, hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena
ritualistik masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan
realitas atau orang lain. Autisme infantile adalah gangguan kulitatif pada komunikasi
verbal dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi social timbale balik yang terjadi
sebelum usia 30 bulan (Wardani, 2014).
Menurut Harris dalam Atmaja (2020), autisme merupakan keadaan yang adanya
kelainan pada perkembangan otak, khususnya yang berkaitan pada neurologika. Autisme
berlangsung sepanjang hidup yang dapat mempengaruhi interaksi dengan lingkungan dan
orang-orang sekitarnya.
Kesimpulannya bahwa autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang (anak)
sejak lahir atau balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial
atau komunikasi yang tidak normal.

2. Jenis-jenis Autisme
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Sering
kali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat
diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah
sebagai berikut (Wardani, 2014):
a. Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak
berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil
namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah
meskipun terjadinya hanya sesekali.
b. Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata namun tidak
memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif,
menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak
sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
c. Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang
sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke
tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua
berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya,
bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-
mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian
langsung tertidur
Sementara menurut Lisinus & Sembiring dalam Atmaja (2020) dalam berinteraksi sosial
anak autis dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Kelompok Menyendiri
1) Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungan sekitarnya
2) Bertedensi kurang menggunakan kata-kata
3) Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalau berbuat sesuatu anak
autis akan melakukannya berulang-ulang
4) Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-bunyi aneh, gerakan
tangan, mudah marah, melukai diri sendiri, menyerang teman sendiri, merusak
dan menghancurkan mainannya
b. Kelompok Anak Autis yang Pasif
1) Lebih bisa bertahan pada kontak fisik dan sedikit mampu bermain dengan teman
sebaya nya, tetapi jarang sekali mencari teman sendiri
2) Mempunyai kata yang lebih banyak meskipun masih agak terlambat bisa
berbicara dibandingkan sengan anak sebaya nya
3) Kadang anak autis lebih cepat merangkai kata
4) Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan dengan anak autis
yang menyendiri.
c. Kelompok Autis yang Aktif tetapi Menurut Kemauannya Sendiri
1) Kelompok ini bertolak belakang dengan kelompok anak autis yang menyendiri
karena lebih cepat bisa berbicara dan memiliki kata yang paling banyak
2) Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja ada kata yang aneh
dan kurang dimengerti
3) Kurang mampu berbicara dengan teman sebayanya meskipun masih ada
kemampuan berbicara
4) Selalu mengulang-ulang kata atau kalimat
5) Tidak bisa spontan mempercayai teman bermainnya

3. Proses Terjadinya Autisme


a. Faktor Predisposisi
Penyebab autisme belum banyak diketahui dan hanya terbatas pada faktor
psikologis saja. Tetapi sekarang ini penelitian mengenai autisme semakin maju dan
menunjukkan bahwa autisme mempunyai penyebab neurobiologist yang sangat
kompleks. Gangguan neurobiologist ini dapat disebabkan oleh interaksi faktor
genetik dan lingkungan seperti pengaruh negatif selama masa perkembangan otak.
Banyak faktor yang menyebabkan pengaruh negatif selama masa perkembangan
otak, antara lain, penyakit infeksi yang mengenai susunan saraf pusat, trauma,
keracunan logam berat dan zat kimia lain baik selama masa dalam kandungan
maupun setelah dilahirkan, gangguan imunologis, gangguan absorpsi protein tertentu
akibat kelainan di usus.
Gangguan perkembangan autisme dapat disebabkan karena beberapa hal
antara lain (Hardojo, 2013):
1) Genetik, abnormalitas genetic dapat menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel-
sel saraf dan sel otak. Orang tua yang mengidap kelainan ini berisiko memiliki
anak dengan kelainan yang sama.
2) Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam
pertumbuhan otak tidak mencukupi ini terjadi karena nutrisi tidak terpenuhi
karena factor ekonomi.
3) Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan perkembangan tubuhnya
sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri penyakit, sedangkan
autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh penderita itu sendiri
yang justru kebal terhadap zat-zat penting dalam tubuh dan menghancurkannya.

b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya autism, yaitu (Sitompul, 2017):
1) Keracunan logam seperti mercury yang banyak terdapat dalam vaksin imunisasi
atau pada makanan yang dikomsumsi yang sedang ibu hamil, misalnya ikan
dengan kandungan logam berat yang tinggi, sehingga para peneliti membuktikan
bahwa didalam tubuh anak atisme terkandung timah hitam dan mercury dalam
kadar yang relative tinggi.
2) Kelahiran premature. Pada bayi yang lahir premature khususnya bayi yang lahir
pada masa kehamilan 26 minggu atau kurang.
3) Penularan selama dalam kandungan. Contohnya, efek samping terhadap minuman
beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi untuk ibu hamil) selama
dalam kandungan.

c. Sumber Koping
Sumber koping (coping resources) untuk anak dengan autis bisa bervariasi tergantung
pada kebutuhan dan preferensi individu. Beberapa sumber koping yang dapat
membantu anak autis meliputi (Atmaja, 2020):
1) Terapi: Terapi perilaku terapan (Applied Behavior Analysis/ABA), terapi bicara,
terapi okupasi, dan terapi fisik dapat membantu anak autis mengembangkan
keterampilan sosial, komunikasi, dan keterampilan hidup sehari-hari.
2) Dukungan keluarga: Keluarga yang memberikan dukungan emosional dan praktis
sangat penting. Ini termasuk pemahaman, kesabaran, dan pengetahuan tentang
autisme.
3) Pendidikan khusus: Program pendidikan khusus dan dukungan pendidikan
individual dapat membantu anak autis mengatasi tantangan akademik mereka.
4) Lingkungan yang mendukung: Menciptakan lingkungan yang ramah autisme
dengan meminimalkan sensory overload dan memberikan rutinitas yang
konsisten bisa sangat membantu.
5) Kelompok dukungan: Bergabung dengan kelompok dukungan orang tua atau
anak-anak autis lainnya dapat memberikan dukungan emosional dan informasi
berguna.
6) Terapi alternatif: Beberapa keluarga juga mencari terapi alternatif seperti musik,
seni, atau terapi hewan peliharaan untuk membantu anak autis mengatasi stres
atau gangguan sensorik.
7) Kesehatan fisik dan nutrisi: Memastikan anak mendapatkan nutrisi yang
seimbang dan kegiatan fisik yang sesuai dapat membantu dalam manajemen
autisme.
Selalu penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan dan pendidikan
yang berpengalaman dalam autisme untuk merancang sumber koping yang sesuai
dengan kebutuhan anak autism.
d. Mekanisme Koping
Anak dengan autisme mungkin memiliki berbagai cara untuk mengatasi stres atau
situasi yang menantang. Namun, perlu diingat bahwa setiap anak dengan autisme
adalah individu yang unik dan mekanisme koping mereka bisa berbeda-beda.
Beberapa cara umum yang dapat digunakan oleh anak autis untuk mengatasi stres
atau ketidaknyamanan termasuk (Setyaningsih, 2015) :
1) Stimulasi sensorik: Beberapa anak autis merasa nyaman dengan stimulasi
sensorik tertentu, seperti memegang mainan favorit, berayun, atau meremas
benda-benda tertentu untuk meredakan stres.
2) Komunikasi alternatif: Beberapa anak dengan autisme mungkin menggunakan
metode komunikasi alternatif, seperti komunikasi berbasis gambar atau perangkat
komunikasi tertentu, untuk mengungkapkan kebutuhan atau perasaan mereka.
3) Rutinitas yang terstruktur: Anak-anak autis sering merasa nyaman dengan
rutinitas yang terstruktur dan konsisten. Ini dapat membantu mereka merasa lebih
aman dan dapat meminimalkan stres.
4) Pemahaman visual: Beberapa anak autis mungkin merespons lebih baik terhadap
panduan visual daripada verbal. Ini bisa berupa panduan dalam bentuk gambar
atau papan jadwal harian.
5) Pemahaman sosial: Anak-anak autis mungkin perlu belajar keterampilan sosial
dan strategi pemahaman sosial untuk mengatasi situasi sosial yang sulit.
6) Menarik diri: Beberapa anak autis mungkin menarik diri dari situasi yang
menantang atau berlebihan dengan cara mengisolasi diri mereka untuk beberapa
saat.
Penting untuk mengamati dan mendukung anak dengan autisme dalam
mengidentifikasi mekanisme koping yang efektif untuk mereka sendiri. Kolaborasi
dengan profesional kesehatan yang berpengalaman dalam autisme, seperti terapis
wicara, terapis okupasi, atau psikolog, juga dapat membantu mengembangkan
strategi koping yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut.
e. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Dapat memahami perintah  Kurang interaksi  Agresi


 Komunikasi secara sosial dan emosi  Tantrum
ekspresif/tulisan  Kurang  Melukai diri
 Mampu menciptakan komunikasi sendiri
hubungan interpersonal timbal balik  Perilaku
dengan orang lain  Perilaku disertai internalisasi
 Mampu menggunakan (Apriany,gerakan
2021) berulang (ketakutan,
anggota gerak tubuh dan tanpa tujuan penarikan diri,
4. Penatalaksanaan
koordinasiAutisme
gerakan kecemasan)
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin
ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi
medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi bicara/ okupasi/ fisik,
pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk mengurangi masalah perilaku dan
meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya terutama dalam penguasaan
bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang
sesuai yang tepat waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari
perkembangan anak dengan autisme. Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua
yaitu non medikamentosa dan medika mentosa (Apriany, 2021).
a. Non Medikamentosa
1) Terapi edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan sehari-hari
agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode penganjaran antara lain
metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related
Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu program
yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual,
metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata
khusus.
2) Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun metodenya
sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yang dilakukan terpadu
dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah ABA (Applied
Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat
terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2 – 5 tahun).
3) Terapi wicara
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, mengingat tidak
semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara verbal. Terapi ini
harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-terapi yang lain.
4) Terapi okupasi/fisik
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukan
gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur sesuai
kebutuhan saat itu.
5) Sensori integras
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan, sentuhan,
penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk menghasilkan respon
yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak menerima informasi
mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya, sehingga diharapkan semua
gangguan akan dapat teratasi.
6) AIT (Auditory Integration Training)
Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran
dengan audimeter. Lalu diikuti dengan seri terapi yang mendengarkan suara-suara
yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya
dilakukan desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.
7) Intervensi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik
perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat tercapainya
perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapat bersosialisai
dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat berinteraksi satu
sama lain (antar anggota keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu
pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi menjadi sangat
penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan
terapi apapun pada individu dengan autisme.
8) Medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang bagi
lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya. Kondisi ini
seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang mempunyai potensi
untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-sama dengan intervensi
edukational, perilaku dan sosial.
Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik adalah
dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga dengan agonis alfa
adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai alternatif.
a) Neuroleptik
(1) Neuroleptik tipikal potensi rendah Thioridazin dapat menurunkan
agresifitas dan agitasi.
(2) Neuroleptik tipikal potensi tinggi Haloperidol dapat menurunkan
agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
(3) Neuroleptik atipikal Risperidon akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.
b) Agonis reseptor alfa adrenergic
(1) Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas dan
hiperaktifitas.
(2) Beta adrenergik blocker
(3) Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas.
Jika perilaku repetitif menjadi target terapi, maka: Neuroleptik (Risperidon) dan
SSRI dapat dipakai untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti melukai diri
sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan
anxietas tinggi.
Jika inatensi menjadi target terapi, maka: Methylphenidat (Ritalin, Concerta)
dapat meningkatkan atensi dan mengurangi destruksibilitas. Jika insomnia
menjadi target terapi, maka: Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik
(Tioridazin) dapat mengatasi keluhan ini.
Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama, maka: Ganguan
metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan pencernaan, alergi
makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan logam berat yang terjadi
akibat ketidak mampuan anak-anak ini untuk membuang racun dari dalam
tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan setelah hasil tes laboratorium diperoleh.
Semua gangguan metabolisme yang ada diperbaiki dengan obat-obatan maupun
pengaturan diet.

C. Asuhan Keperawatan Teoritis


1. Pengkajian
Pengkajian pada anak autism terdiri dari beberapa hal yang perlu dilakukan pengkajian,
seperti berikut ini (Apriany dan Yanti, 2021):
a. Identitas Klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa, keterlambatan atau
sama sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak senang atau
menolak dipeluk. Saat bermain bila didekati akan menjauh. Ada kedekatan
dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang
dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan
lainnya. Sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu
pada tempatnya. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau bend apa saja.
Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ dibawah 70 dari
70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5% mempunyai IQ
diatas 100.
2) Riwayat partum dan post partum
Sering terpapar zat toksik, seperti timbal, cidera otak.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan. Biasanya
pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.
c. Status Perkembangan Anak
1) Anak kurang merespon orang lain.
2) Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
3) Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
4) Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
5) Keterbatasan kognitif.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/sentuhan).
2) Terdapat ekolalia.
3) Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
4) Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
5) Peka terhadap bau.
e. Psikososial
1) Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
2) Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
3) Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
4) Perilaku menstimulasi diri
5) Pola tidur tidak teratur
6) Permainan stereotip
7) Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
8) Tantrum yang sering
9) Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
10) Kemampuan bertutur kata menurun
11) Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
f. Neurologis
1) Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
2) Refleks mengisap buruk
3) Tidak mampu menangis ketika lapar
g. Gastrointestinal
1) Penurunan nafsu makan
2) Penurunan berat badan
h. Gangguan komunikasi verbal dan nonverbal. Contoh: sulit bicara atau bicara
berulang-ulang.
i. Gangguan pola bermain, contohnya tidak suka bermain dengan teman sebaya
j. Gangguan sensori, seperti tidak sensitive terhadap rasa sakit/takut
k. Gangguan respon emosi, contohnya sering marah-marah dan tertawa tanpa alas an.
l. Gangguan interaksi sosial.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan kebutuhan khusus menurut
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017), yaitu :
a. Gangguan interaksi sosial (D.0118)
b. Gangguan komunikasi verbal (D.0119)
c. Gangguan tumbuh kembang (D.0106)
d. Gangguan proses keluarga (D.0120)
e. Ketegangan peran pemberi asuhan (D.0124)
f. Defisit pengetahuan tentang stimulasi bayi dan anak (D.0111)

3. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1 Gangguan Setelah dilakukan meningkatkan kemampuan
interaksi sosial tindakan keperawatan 3 x untuk berinteraksi dengan orang
(D.0118) 24 jam, diharapkan lain (l.13498):
kuantitas dan/atau Observasi
kualitas hubungan sosial a. Identifikasi kemampuan
yang cukup, dengan untuk berinteraksi dengan
kriteria hasil (L.13115): orang lain
a. Perasaan nyaman b. Identifikasi hambatan
dengan situasi sosial melakukan interaksi dengan
b. Perasaan mudah orang lain
menerima atau Terapeutik
megkomunikasikan a. Motivasi meningkatkan
perasaan keterlibatan dalam suatu
c. Responsive pada hubungan
orang lain b. Motivasi kesabaran dalam
d. Minat melakukan mengembangkan suatu
kontak emosi hubungan
e. Minat melakukan c. Motivasi berpartisipasi
kontak fisik dalam aktivitas baru dan
kegiatan kelompok
d. Motivasi berinteraksi di luar
lingkungan (mis. Jalan-
jalan, ke toko buku)
e. Diskusikan kekuatan dan
keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan
orang lain
f. Diskusikan perencanaan
kegiatan di masa depan
g. Berikan umpan balik positif
dalam perawatan diri
h. Berikan umpan balik positif
pada setiap peningkatan
kemampuan
Edukasi
a. Anjurkan berinteraksi
dengan orang lain secara
bertahap
b. Anjurkan ikut serta kegiatan
sosial dan kemasyarakat
c. Anjurkan berbagi
pengalaman dengan orang
lain
d. Anjurkan meningkatkan
kejujuran diri dan
menghormati hak orang lain
e. Anjurkan penggunaan alat
bantu (mis. Kacamata dan
alat bantu dengar)
f. Anjurkan membuat
perencanaan kelompok kecil
untuk kegitan khusus
g. Latih bermain peran untuk
meningkatkan keterampilan
komunikasi
h. Latih mengekspresikan
marah dengan tepat
2 Gangguan Setelah dilakukan menggunakan Teknik
komunikasi tindakan keperawatan 3 x komunikasi tambahan pada
verbal (D.0119) 24 jam, diharapkan individu dengan gangguan
kemampuan menerima, bicara (l.13492) :
merespon, mengirim, Observasi
dan/atau menggunakan a. Monitor kecepatan, tekanan,
sistemsimbol (L.13118) : kuantitas, volume, dan diksi
a. Kemampuan berbicara bicara
b. Kemampuan b. Monitor proses kognitif,
mendengar anatomis, dan fisiologis
c. Kesesuaian ekspresi yang berkaitan dengan
wajah/tubuh bicara (mis. Memori,
pendengaran, dan Bahasa)
c. Monitor frustasi, marah,
depresi, atau hal lain yang
mengganggu bicara
d. Identifikasi perilaku
emosional dan fisik sebagai
bentuk komunikasi
Terapeutik
a. Gunakan metode
komunikasi alternatif (mis.
Menulis, mata berkedip,
papan komunikasi dengan
gambar dan huruf, isyarat
tangan, dan computer)
b. Sesuaikan gaya komunikasi
dengan kebutuhan (mis.
Berdiri didepan pasien,
sengarkan dengan seksama,
tunjukan suatu gagasan atau
pemikiran sekaligus,
bicaralah dengan perlahan
sambal menghindari
teriakan, gunakan
komunikasi tertulis, atau
meminta bantuan keluarga
untuk memahami ucapan
pasien)
c. Modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
bantuan
d. Ulangi apa yang
disampaikan pasien
e. Beri dukungan psikologis
f. Gunakan juru bicara, jika
perlu
Edukasi
a. Anjurkan bicara perlahan
b. Anjurkan pasien dan
keluarga proses kognitif,
anatomis, dan fisiologis
yang berhubungan dengan
kemampuan berbicara
Kolaborasi
a. Rujukan ke ahli patologi
bicara atau terapis

3 Gangguan Setelah dilakukan Meningkatkan dan


tumbuh tindakan keperawatan 3 x memfasilitasi kemampuan
kembang 24 jam, diharapkan orang tua/ pengasuh untuk
(D.0106) kemampuan untuk mengoptimalkan perkembangan
berkembang sesuai motoric kasar, motoric halus,
dengan kelompok usia, bahasa, kognitif, sosial dan
kemampuan untuk emosional pada anak (I.10340):
bertumbuh sesuai dengan Observasi
kelompok usia (L. a. Identifikasi kebutuhan
10102): khusus anak dan
a. Keterampilan/perilaku kemampuan adaptasi anak
sesuai usia Terapeutik
b. Kemampuan a. Fasilitasi hubungan anak
melakukan perawatan dengan teman sebaya
diri b. Dukung anak berinteraksi
c. Berat badan sesuai dengan anak lain
usia c. Dukung anak
d. Panjang/tinggi badan mengespresikan
sesuai usia perasaannya secara positif
d. Dukung anak dalam
bermimpi dan berfantasi
sewajarnya
e. Dukung partisipasi anak di
sekolah dan aktifitas
komunitas
f. Berikan mainan yang sesuai
usia anak
g. Bernyanyi bersama anak
lagu-lagu di sukai anak
h. Bacakan cerita/dongeng
untuk anak
i. Sediakan kesempatan dan
alat-alat untuk menggambar,
melukis, dan mewarnai
j. Sediakan mainan berupa
puzzle dan maze
Edukasi
a. Jelaskan nama-nama benda
obyek yang ada di
lingkungan sekitar
b. Ajarkan pengasuh
perkembangan dan perilaku
yang di bentuk
c. Ajarkan sikap kooperatif,
bukan kompetisi diantara
anak
d. Ajarkan anak cara meminta
bantuan dari anak lain, jika
perlu
e. Ajarkan Teknik asertif pada
anak dan remaja
f. Demonstrasikan kegiatan
yang meningkatkan
perkembangan pada
pengasuh
Kolaborasi
a. Rujuk untuk konseling, jika
perlu
4 Gangguan Setelah dilakukan Memberikan pengetahuan untuk
proses keluarga tindakan keperawatan 3 x meminimalkan efek gangguan
(D.0120) 24 jam, diharapkan pola proses keluarga (l. 12443) :
fungsi keluarga untuk Observasi
mendukung kesejahteraan a. Identifikasi kesiapan dan
anggota keluaga (L. kemampuan menerima
131123) : informasi
a. Adaptasi keluarga Terapeutik
terhadap situasi a. Sediakan materi dan media
b. Kemampuan keluarga Pendidikan Kesehatan
berkomunikasi secara b. Jadwalkan Pendidikan
terbuka di antara Kesehatan sesuai
anggota keluarga kesepakatan
c. Berikan kesempatan untuk
bertanya
Edukasi
a. Anjurkan mengidentifikasi
dan menggunakan dukungan
sosial yang ada
b. Anjurkan orang tua terlibat
dalam perawatan saat anak
di rawat
c. Anjurkan keluarga agar
tetap terhubung dengan
anggota keluarga lain (mis.
telepon, email, foto, gambar
rekaman suara dan video)
d. Anjurkan meminimalkan
gangguan rutinitas keluarga
dengan memfasilitasi
aktifitas rutin keluarga (mis.
makan bersama, diskusi
keluarga, pembuatan
keputusan)
e. Ajarkan cara
mengidentifikasi tipe dan
gangguan proses keluarga
f. Ajarkan cara
mengidentifikasi perubahan
peran pada proses keluarga
g. Ajarkan straregi normalisasi
masalah keluarga Bersama
dengan anggota keluarga
5 Ketegangan Setelah dilakukan Memfasilitasi orang tua,
peran pemberi tindakan keperawatan 3 x anggota dan/atau pengasuh
asuhan (D.0124) 24 jam, diharapkan dalam memberikan dukungan
kemampuan berperan dan perawatan yang
memberikan asuhan komprehensif bagi keluarga
dalam keluarga (L. yang mengalami atau berisiko
131121) : mengalami masalah keseatan
a. Kemampuan memberi (l.13495):
asuhan Observasi
b. Kemampuan merawat a. Identifikasi keluarga risiko
pasien tinggi dalam tindak lanjut
b. Monitor status Kesehatan
anak dan status imunisasi
anak
Terapeutik
a. Dukung ibu menerima dan
melakukan perawatan pre
natal secara teratur dan
sedini mungkin
b. Lakukan kunjungan rumah
sesuai dengan tingkat resiko
c. Fasilitasi orang tua dalam
memiliki harapan yang
realistis sesuai tingkat
kemampuan dan
perkembangan anak
d. Fasilitasi orang tua dalam
menerima transisi peran
e. Berikan bimbingan
antisipasi yang diperlukan
sesuai dengan tahapan usia
perkembangan anak
f. Fasilitasi orang tua dalam
mengidentifikasi
temperamen unik bayi
g. Tingkatkan interaksi orang
tua-anak dan berikan contoh
h. Fasilitasi orang tua dalam
mendapatkan dukungan, dan
berpartisipasi dalam parent
group programs
i. Fasilitasi orang tua dalam
mengembangkan dan
memelihara system
dukungan sosial.
j. Sediakan media untuk
mengembangkan
keterampilan sosial dan
koping
k. Fasilitasi mengatur
penitipan anak, jika perlu
l. Fasilitasi penggunaan
kontrasepsi
Edukasi
b. Ajarkan orang tua untuk
menanggapi isyarat bayi/
anak
6 Deficit Setelah dilakukan Menyediakan informasi dan
pengetahuan tindakan keperawatan 3 x dukungan stimulasi yag tepat
tentang stimulasi 24 jam, diharapkan ditiap tahapan usia bayi/anak
bayi dan anak kecukupan informasi (l.12448) :
(D.0111) kognitif yang berkaitan Observasi
dengan topik tertentu c. identifikasi kesiapan orang
(L.12111) : tua dalam menerima
a. Perilaku sesuai informasi
anjuran d. identifikasi factor yang
b. Verbalisasi minat menghambat keberhasilan
dalam belajar edukasi
c. Kemampuan Terapeutik
menjelaskan tentang a. sediakan materi dan media
suatu topik Pendidikan Kesehatan
d. Kemampuan b. jadwalkan Pendidikan
menggambarkan Kesehatan sesuai
pengalaman kesepakatan
sebelumnya yang c. berikan kesempatan untuk
sesuai dengan topik bertanya
e. Priaku sesuai dengan d. berikan pujian atas
pengetahuan keberhasilan orang tua
f. Pertanyaan tentang Edukasi
masalah yang di a. jelaskan bayi memberikan
hadapi isyarat perilaku yang
g. persepsi yang keliru menunjukkan kebutuhnnya
terhadap masalah b. jelaskan stimulus yang
dapat membantu
mengoptomalkan
perkembangan bayi/anak
(mis. Lapar, tidak nyaman)
c. ajarkan cara stimulasi
perkembangan motoric
kasar, motoric halus, dan
bahasa sesuai tahapan usia
bayi/anak
BAB III
APLIKASI KASUS

A. Kasus
Seorang anak laki-laki 12 tahun dibawa orang tua nya ke RSJ, dengan keluhan saat dirumah
anaknya sering asik dengan dirinya sendiri, tanpa mau berkomunikasi dengan orang lain. Sulit
bersosialisasi dengan orang lain. Anak tersebut hanya focus dengan apa yang dia sukai dan di
senangi. Saat di diagnosa medis anak tersebut merupakan anak dengan kebutuhan khusus yaitu
Autisme, saat ini perawat akan mengajaknya untuk bercakap-cakap, dan belajar
berinteraksi dengan orang lain
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan interaksi sosial
2. Gangguan proses kluarga

C. Rencana Keperawatan
1. Modifikasi perilaku keterampilan social (I. 13484)
2. Edukasi proses keluarga (I.12443)
D. Strategi Pelaksaanaan (SP) komunikasi
SP 1 : Pada fase ini melakukan persiapan diri, Mencari dan Mengumpulkan data mengenai
klien, Penetapan tahapan hubungan/Interaksi, menentukan rencana Interaksi,
Mempersiapkan Alat, Memperkenalkan diri, Melakukan kontrak waktu, dan
Mempersiapkan Lingkungan
1. Fase Orientasi :
a. Salam terapeutik
“Assallamualaikum wr,wb , selamat pagi.”
“Perkenalkan ibu, nama saya suster Felisia, biasa di panggil Feli. Saya akan membantu
anak Ibu untuk belajar berinteraksi sosial.

b. Evaluasi
“Hayyyy… adek?”
“Wah adek suka sekali bermain susun gelang yaaa?
“Boleh kakak ikut bermain? kalo yang ini warnanya apa….merah yaaa”
“Nama adek siapa? “Senang dipanggil apa?
(tidak ada respon)

c. Kontrak waktu dan tempat


“Sekarang, kita latihan mengenal alat-alat makan, tempatnya disini aja ya, tidak lama
cukup 10 menit aja ya?

2. Fase Kerja :
Bayu, kakak lihat kamu senang memainkan alat - alat makan, bagaimana kalo hari ini
kakak ajari Bayu mengenal alat - alat makan?”
Nah kalo ini namanya sendok gunanya untuk makan…kalo ini Namanya gelas…dan ini
namanya mangkok”
Coba sekarang Bayu beri tahu kakak mana yang namanya sendok? Oh kalo yang hijau ini
namanya gelas dek, cobaa mana yang namanya sendok, wah Bayu pintar sekali, iya itu
namanya sendok bisa digunakan untuk mengambil air dalam gelas seperti yang Bayu
peragakan”
Sekarang coba Bayu ikuti gerakan ibu ( memutar sendok di dalam gelas), luar biasa
Bayu sangat pintar bisa mengikuti gerakan kakak memutar sendok yaaaa”

3. Fase Terminasi :
 Evaluasi subjektif
“ Bagaimana perasaan Bayu setelah kita bermain mengenal alat makan ?”
“ Bayu tadi sudah mempraktekannya dengan baik sekali “ selanjutnya Bayu
dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama kakak tidak ada, sehingga
Bayu dapat bermain dengan kawan-kawan Bayu nanti”
RTL:
“Bagaimana kalau jadwal kegiatan Bayu yaitu kegiatan berkenalann dengan
kakak apa Bayua mau?. Mau jam berapa Bayu latihan? Oo ketika
makan pagi dan makan siang.”
 Kontrak yang akan datang
Waktu :“untuk pertemuan selanjutnya, akan kita praktekan lagi ya Bayua ? Mau jam
berapa besok untuk mencobanya?”
Tempat : “Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan hariannya . “ besok pagi saya
akan datang kesini
Topik :” nah besok kakak akan mengajak Bayu berkenalan”
“ Baik lah Sampai jumpa besok pagi ya Bayu.
waasallamualikum wr.wb.

SP 1 keluarga :
Memberikan Penyuluhan Kepada Keluarga Tentang Masalah Gangguan Interaksi, Penyebab,
dan Cara Merawat Anak dengan gangguan interaksi

1. Fase Orientasi:
“Assalamu’alaikum Bu”
”Perkenalkan saya perawat Feli , saya yang membantu menangani anak Ibu Bayu di praktek
Dokter ini.
”Nama Ibu siapa? Senang dipanggil apa?”
”Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Bagaimana keadaan anak Bayu sekarang?”
“Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang masalah anak Ibu dan cara perawatannya”
”Kita diskusi di sini saja ya? Berapa lama Ibu punya waktu? Bagaimana kalau 1/2 jam?”
2. Fase Kerja:
“Apa masalah yang Ibu hadapi dalam merawat Bayu? Apa saja yang sudah dilakukan?”
“Anak B termasuk anak dengan kebutuhan khusus: Autis, Masalah yang dialami oleh anak
Bayu adalah gangguan interaksi sosial. Ini adalah salah satu gejala penyakit yang juga
dialami oleh pasien-pasien dengan anak kebutuhan khusus”.
”Tanda-tandanya antara lain tidak mau bergaul dengan orang lain, kalaupun berbicara hanya
sebentar dengan wajah menunduk, asik dengan dunianya sendiri dan sulit untuk di ajak
berinteraksi”
”masalah ini memang salah satu tanda gejala pasien dengan kebutuhan khusus: autis, dan ada
tingkatan autis”
“Apabila masalah ini tidak diatasi dengan baik dan benar maka seseorang bisa mengalami
halusinasi, yaitu mendengar suara atau melihat bayangan yang sebetulnya tidak ada.”
Untuk menghadapi keadaan yang demikian Ibu dan anggota keluarga harus sabar
menghadapi dan merawat Bayu, maka dari itu keluarga perlu melakukan beberapa hal.
Pertama keluarga harus membina hubungan saling percaya dengan Bayu yang caranya
adalah bersikap peduli dengan Bayu dan jangan ingkar janji. Kedua, keluarga perlu
memberikan semangat dan dorongan kepada Bayu untuk bisa melakukan kegiatan bersama-
sama dengan orang lain. Berilah pujian yang wajar dan jangan mencela kondisi Bayu.”
Selanjutnya jangan biarkan Bayu sendiri. Buat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan
Bayu. Misalnya, makan bersama, bermain bersama, melakukan kegiatan rumah bersama-
sama.”
Bagaimana ibu, apakah sudah dapat dimengerti? Baiklah.
” Bagaimana kalau sekarang kita latihan untuk melakukan semua cara itu”
” Begini contoh komunikasinya: Bayu, Ibu lihat kamu suka bermain dengan alat alat makan,
bagaiamana kalo hari ini ibu ajari Bayu nama nama alat makan ini?”
Nah kalo ini namanya sendok gunanya untuk makan…kalo ini Namanya gelas…dan ini
Namanya mangkok”
Coba sekarang Bayu beri tahu ibu mana yang namanya sendok…. Oh kalo yang hijau ini
Namanya gelas Bayu.. cobaa mana yang namanya sendok... wah Bayua pintar sekali..iya itu
namanya sendok bisa digunakan untuk mengambil air dalam gelas seperti yang B peragakan”
Sekarang Bayu coba ikuti gerakan ibu ( memutar sendok di dalam gelas) ... luar biasa B
sangat pintar bisa mengikuti gerakan ibu memutat sendok yaaaa”
”Nah coba sekarang Ibu peragakan cara komunikasi seperti yang saya contohkan”
”Bagus, Bu. Ibu telah memperagakan dengan baik sekali”
”Sampai sini ada yang ditanyakan Bu”

3. Fase Terminasi:
Baiklah waktunya sudah habis. Bagaimana perasaan Ibu setelah kita latihan tadi?”
“Coba Ibu ulangi lagi apa yang dimaksud dengan gangguan interaksi sosial dan tanda-tanda
orang yang mengalami interaksi sosial
Selanjutnya bisa Ibu sebutkan kembali cara-cara merawat anak bapak yang mengalami
masalah interaksi sosial
Bagus sekali Bu, Ibu bisa menyebutkan kembali cara-cara perawatan tersebut
Nanti kalau ketemu coba Ibu lakukan. Dan tolong ceritakan kepada semua keluarga agar
mereka juga melakukan hal yang sama.
Bagaimana kalau kita betemu tiga hari lagi untuk latihan lagi kepada Bayu ?
Kita ketemu disini saja ya Bu, pada jam yang sama
Assalamu’alaikum wr. wb
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, yaitu :
1. Anak kebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami penyimpangan atau perbedaan
dari rata-rata anak normal lainnya. Pada proses pertumbuhan atau perkembangannya
terjadi kelainan seperti kelainan fisik, intelektual, mental, sosial dan emosi. Anak
berkebutuhan khusus juga memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya
atau memiliki perbedaan sesuai dengan jenis kelainan yang dialami oleh anak.
2. Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang (anak) sejak lahir atau balita, yang
membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang tidak
normal. Proses terjadinya autis memiliki beberapa factor mulai dari factor predisposisi,
factor presipitasi, sumber koping, mekanisme koping, hingga rentang respon.
3. Asuhan keperawatan pada anak autis meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan
perencanaan keperawatan yang memiliki kriteria hasil serta rencana intervensi. Dari hasil
pengkajian anak autis ditemukan diagnosa gangguan interaksi sosial, gangguan
komunikasi verbal, gangguan tumbuh kembang, perubahan proses keluarga, ketegangan
peran pemberi asuhan, defisit pengetahuan tentang stimulasi bayi dan anak. Masing-
masing diagnosa diberikan perencanaan asuhan keperawatan seperti mengobservasi
pasien, memberikan terapeutik, perawatan juga harus memberikan edukasi kepada pasien
dan keluarga, serta kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya.
4. Pelaksanaan aplikasi kasus pada anak dengan autism terkadang memiliki kendala di
dalam pelaksanaannya. Tidak semua anak dapat mengikuti langkah-langkah pelaksanaan
kegiatan dengan kooperatuf. Disinilah perawat dituntut untuk dapat meningkatkan
kemampuan dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus terutama anak dengan
autime.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran :
1. Bagi Perawat
Perawat dapat mengikuti langkah-langkah proses pelaksanaan asuhan keperawatan pada
anak dengan kebutuhan khusus secara sistematis dari pengkajian hingga evaluasi
keperawatan. Perawat juga dapat mengajukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan
dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada anak dengan kebutuhan khusus :
autisme.
2. Bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan perlu menetapkan suatu kebijakan dalam penanganan
kasus pada anak dengan kebutuhan khusus. Fasilitas pelayanan Kesehatan juga dapat
mengajukan pelatihan bagi perawat untuk membantu meningkatkan kemampuan dan
keterampilan dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan
khusus. Makalah ini dapat menjadi referensi dalam memahami serta dapat menerapkan,
mengaplikasikan dan menambah pengalaman serta memperluas pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus : autisme.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Penulisan makalah ini membutuhkan banyak literatur, diharapkan adanya dukungan oleh
instansi Pendidikan untuk memperbanyak literatur khususnya di bidang keperawatan
psikiatri dan anak. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat digunakan sebagai
literatur tambahan bagi peserta didik lainnya tentang asuhan keperawatan pada anak
dengan kebutuhan khusus terutama autisme.
4. Bagi Keluarga
Keluarga merupakan orang yang terdekat dengan pasien, sehingga proses perawatan dan
pengasuhan anak yang terdekat adalah keluarga itu sendiri. Maka dari itu, perlu adanya
dukungan dan perhatian dari pihak keluarga terhadap anak dengan kebutuhan khusus.
Diharapkan keluarga dapat lebih memperhatikan kondisi anak sehingga meminimalkan
risiko-risiko masalah yang mungkin terjadi kepada anak. Keluarga juga dapat melakukan
konsultasi kepada tenaga kesehatan yang menurut keluarga dapat membantu dan
memberikan masukan tentang perawatan anak dengan kebutuhan khusus terutama anak
dengan autisme.
Daftar Pustaka

Apriany, Dyna dan Yanti Cahyati. 2021. Buku Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Kebutuhan Khusus (Pendekatan SDKI, SLKI dan SIKI). Yogyakarta : Deepublish.
Atmaja, Jati Rinakri. 2020. Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Remaja Rosdakarya.
Agustina, Ica. 2022. Problematika Orang Tua dalam Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus.
Diakses tanggal 4 Oktober 2023.
Erawati, Meira. 2016. Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Handojo, Y. 2013. Autisma. Jakarta : PT Buana Ilmu Populer.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2013.
Pitaloka, Asyharinur, dkk. 2022. Jurnal Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus. Diakses
tanggal 4 Oktober 2023.
Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Setyaningsih, W. 2015. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Sosial Anak
Autisme Di Sekolah Luar Biasa Harmoni Surakarta. Jurnal Kesehatan.
Sitompul, D.R. 2017. Pola Perawatan Ibu Dengan Anak Penyandang Autisme Di Rumah.
Thesis. Cimahi: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jendral Achmad Yani.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2022. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Wardani. 2014. Pengantar Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus. Jakarta : Universitas Terbuka

Anda mungkin juga menyukai