Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan suatu individu-individu yang


mempunyai karakteristik yang berbeda dari individu lainnya yang dipandang normal
oleh masyarakat pada umumnya. Secara khusus anak berkebutuhan khusus
menunjukan krakteristik fisik, intelektual, dan emosional yang lebih rendah atau
lebih tinggi dari anak normal sebayanya atau berada diluar standar normal yang
berlaku di masyarakat. Sehingga mengalami kesulitan dalam meraih sukses baik dari
segi sosial, personal, maupun aktivitas pendidikan (Bachri, 2010).

Anak berkebutuhan khusus salah satunya adalah tuna netra dimana tuna netra
merupakan seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak
berfungsinya indera penglihatan. Dimana Mata adalah organ sensorik yang
mentransmisikan rangsang melalui jaras pada otak ke lobus oksipital dimana rasa
penglihatan ini diterima, maka yang di sebut tuna netra adalah seseorang yang
memiliki indra penglihatan yang tidak berfungsi atau terganggu sehingga
menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif
tanpa menggunakan alat khusus, material khusus.

Tuna netra umumnya disebabkan oleh penyakit dan malnutrisi. Menurut perkiraan
WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan yang paling sering diantaranya adalah
katarak (47,9%), glaukoma (12,3%), degenerasi makular akibat usia (8,7%), opasitas
kornea (5,1%), dan diabetes retinopati (4,8%).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian anak berkebutuhan khusus dan sebutkan salah satu contoh anak
berkebutuhan khusus?
2. Apa penyebab anak berkebutuhan khusus?
3. Apa saja klasifikasi tuna netra ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
Mahasiswa mampu menerapkan teori dan konsep asuhan keperawatan anak dengan
berekebutuhan khusus: Tuna netra.

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan suatu individu-individu yang
mempunyai karakteristik yang berbeda dari individu lainnya yang dipandang normal
oleh masyarakat pada umumnya. Secara khusus anak berkebutuhan khusus
menunjukan krakteristik fisik, intelektual, dan emosional yang lebih rendah atau
lebih tinggi dari anak normal sebayanya atau berada diluar standar normal yang
berlaku di masyarakat. Sehingga mengalami kesulitan dalam meraih sukses baik dari
segi sosial, personal, maupun aktivitas pendidikan (Bachri, 2010).

Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam


penglihatan ataupun menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan
kebutaan (Quigley dan Broman, 2006).

Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak dapat
melihat, buta. Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang
dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena adanya hambatan
dalam penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan (Heward & Orlansky, 1988
cit Akbar 2011).

B. Etiologi Tuna Netra

Dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor internal yaitu faktor keturunan atau genetik dan faktor yang erat
hubungannya selama bayi masih dalam kandungan seperti: kurang gizi, terkena
infeksi, keracunan, aborsi yang gagal, ataupun adanya penyakit kronis.
2. Faktor eksternal adalah faktor ketika lahir atau maupun faktor setelah lahir.
Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat
dilahirkan, kelahiran yang lama sehingga kehabisan cairan, kelahiran yang
dibantu alat yang mengenai syaraf, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus
trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena
penyakit, bakteri ataupun virus.

2
C. Klasifikasi Tuna Netra
Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for Disability
and Health (ICF) dalam Marjuki (2009), Penyandang Cacat Penglihatan
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

Tuna netra golongan buta (total blind), dimana terbagi lagi menjadi :
3 kelompok yakni :

1. Mereka yang sama sekali tidak memiliki persepsi visual:


2. Mereka yang hanya memiliki persepsi cahaya dan
3. Mereka yang memiliki persepsi sumber cahaya. Pada golongan ini, mereka
memerlukan sistem Braille sebagai alat bantu.

Tuna netra golongan kurang lihat (low vision) yang terbagi lagi
menjadi 3 kelompok , yakni:
1. Mereka yang memiliki persepsi benda-benda yang berukuran besar sehingga
mereka masih membutuhkan sistem Braille
2. Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran sedang dimana ada
diantaranya yang membutuhkan sistem Braille dan ada juga yang dapat
menggunakan huruf dan tanda visual yang diperbesar;
3. Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran kecil dimana mereka
pada umunya mampu menggunakan huruf dan tanda visual sebagai media baca
dan pengajaran.

Tuna netra golongan ganguan Persepsi Cahaya (Light Perception) yaitu seseorang
hanya dapat membedakan terang dan gelap namun tidak dapat melihat benda
didepannya.

D. Dampak kondisi Tuna Netra


1. Secara kognitif:
a. Pengenalan/pengertian terhadap dunia luar tidak diperoleh secara lengkap dan
utuh, shg perkembangan kognitif cenderung terhambat dibandingkan orang
normal pada umumnya.

3
b. Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya dengan
kecerdasan atau kemampuan inteligensi, tetapi juga kemampuan indera
penglihatan.
c. Fungsi sistem neuromuskularnya tidak bermasalah tetapi fungsi psikis tidak
mendukung shg menjadi hambatan dalam perkembangan motorik.
d. Secara fisik, tuna netra biasanya: berjalan dengan posisi tegak, kaku, lamban,
dan penuh kehati-hatian dimana tangan mereka selalu berada di depan dan
sedikit tersendat pada saat berjalan
2. Secara Motorik:
a. Segi intelegensi, anak-anak tunanetra hampir sama dengan anak normal pada
umumnya,dimana ada anak yang cerdas, ada yang rata-rata dan ada yang
rendah. Menurut Kirley (1975), berdasarkan tes intelegensi dengan
menggunakan Hayes-Binet Scale ditemukan bahwa rentang IQ anak tunanetra
berkisar antara 45- 160, dengan distribusi12,5% memiliki IQ kurang dari 80,
kemudian 37,5% dengan IQ diatas 120 dan 50% dengan IQ antara 80-120.
b. Segi perkembangan emosi, anak tunanetra sedikit mengalami hambatan
dibandingkan dengan anak yang normal.
c. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dalam
proses belajar. Pada awal masa kanak- kanak, akan melakukan proses belajar
untuk mencoba menyatakan emosinya, hal ini tetap dirasakan tidak efisien
karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungan
secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri sendiri maupun
lingkungannya.
d. Segi perkembangan sosial, tunanetra memiliki lebih banyak hambatan.
e. Hal tersebut muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
ketunanetraannya.
f. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas
atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap masyarakat yang
seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak
acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya kesempatan bagi anak
untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan

4
kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya
amenjadi terhambat.
g. Jadi, perkembangan sosial dari penderita tunanetra sangat tergantung pada
bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan
keluarga terhadap penderita tunanetra itu sendiri manusia pada umumnya.

Pada dasarnya setiap prilaku manusia tertuju pada motif pemenuhan kebutuhan,
yang berarti kebutuhan mempengaruhi prilaku manusia. Menurut teori Maslow
tentang motivasi atau perilaku yang dipengaruhi kebutuhan digambarkan seperti
piramida yang tersusun dari lima tingkat dan setiap tingkatnya mengandung satu
unsur kebutuhan.
1. Kebutuhan fisiologis Kepuasan dari haus, lapar dan sex.
Kepuasan Fisiologis ini harus terpenuhi lebih dulu apabila menginginkan
kebutuhan berikutnya terpenuhi.
2. Kebutuhan akan rasa aman Bagi tunanetra perasaan aman sulit diperoleh.
Kerusakan penglihatan menyebabkan gangguan di dalam menerima informasi
lewat mata, sedangkan indera lainnya kurang memberikan kejelasan. Akibat
ketidakjelasan ini tunanetra selalu bertanya-tanya apa yang ada dihadapannya.
Akibat ketidakpastian ini juga menyebabkan tunanetra selalu ada rasa curiga.
3. Kebutuhan akan kasih sayang
Rasa memiliki dan rasa kasih sayang itu akan ada pada seseorang apabila
seseorang sudah merasakan kebutuhan fisiologisnya terpenuhi dan kebutuhan
akan rasa amannya juga terpenuhi.
4. Kebutuhan Tuna netra
Kebutuhan sebagai manusia tidak berbeda dengan kebutuhan khusus.
Kecenderungan rasa kasih sayang pada seseorang timbul apabila kehadiran
seseorang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Kehadiran
seorang tunanetra di tengah keluarga dan lingkungan pasti tidak diharapkan.
Tidak ada orang tua yang mengharapkan kelahiran anaknya menderita tunanetra.
Karena itu kehadirannya menimbulkan kekecewaan. Biasanya kekecewaan orang
tua dan lingkungan dimunculkan dalam bentuk sikap tidak menyayangi dan tidak
memiliki.

5
5. Kebutuhan akan penghargaan
Setiap manusia membutuhkan penghargaan atau rasa dihargai oleh lingkungan.
Penghargaan tidak hanya berbentuk materi tapi juga berbentuk penghargaan
phsikologis. Seseorang akan dihargai apabila ia dapat berbuat sesuatu baik bagi
dirinya maupun pada lingkungan, begitu juga penderita tuna netra.
6. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Ketidaktergantungan pada pertolongan orang lain merupakan perwujudan dari
kemampuan tunanetra dalam mengaktualisasikan dirinya ditengah-tengah
lingkungannya. Seorang tunanetra yang mampu mewujudkan dan merealisasikan
aktualisasi dirinya, berarti ia telah memperoleh kebebasan. Kebebasan dan
kemandirian inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang termasuk tunanetra.
E. Kebutuhan Khusus Tuna netra
1. Fisiologis: Membutuhkan perawatan dan pemeriksaan medis, pengobatan dan
evaluasi medis secara umum. Sebagai kegiatan diperlukan latihan gerak dan
ekspresi tubuh.
2. Personal: Akibat ketunanetraan sebagai pengalaman personal, maka timbul
beberapa kebutuhan yang bersifat personal pula. Kebutuhan tersebut antara lain
adalah latihan Orientasi dan Mobilitas, minat untuk berinteraksi dengan
lingkungan,
F. Kebutuhan Pengembangan Motorik Tuna netra

Tuna Netra memiliki keterbatasan, yaitu:

1. Keterbatasan dalam lingkup keaneka ragaman pengalaman.


2. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
3. Keterbatasan dalam mobilitas.
4. Pengalaman yang diperoleh tuna netra sangat dibutuhkan untuk melakukan
interaksi dengan lingkungan.
5. Interaksi dapat berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara tunanetra
dengan lingkungannya.
6. Hubungan timbal balik akan aktif bila tunanetra memiliki sumber informasi
didalam mentalnya yang berbentuk konsep-konsep.
7. Konsep sesuatu akan dikuasai anak menjadi suatu data yang benar sesuai dengan
realitas bila strategi pengajaran dengan baik.

6
G. Cara membantu anak Tuna netra
Berikut beberapa cara untuk membantu anak tuna netra, antara lain:
1. Karena anak-anak yang buta tidak dapat menangkap informasi melalui
penglihatan mereka, guru harus menggunakan indra pendengar, peraba, pengecap,
dan pembau saat menyampaikan pelajaran. Guru harus semaksimal mungkin
menggunakan kesempatan mengajar melalui indera-indera tersebut. Guru harus
dapat melibat semua indera untuk membantu indera penglihatan.
2. Guru sebaiknya mengingat bahwa humor dan intonasi suara merupakan hal yang
penting ketika mengajar anak yang memiliki kelemahan pada penglihatan ini.
3. Penjelasan verbal yang diberikan guru harus jelas dan tidak berbelit-belit. Guru
harus spesifik dalam memberikan perintah atau meminta tanggapan. Hindarilah
penjelasan atau pertanyaan yang tidak jelas. Karena beberapa anak yang memiliki
kelemahan dalam penglihatan menggunakan braille, harus disediakan semua
bahan pembelajaran dalam bentuk braille.
4. Guru harus menggunakan musik yang dapat memberikan rasa aman, merangsang
pikiran, dan membantu murid yang buta untuk membangun konsep pebelajaran.
Musik juga dapat memberikan kesempatan pertumbuhan mental, spiritual, dan
sosial.
5. Krayon, kertas, pensil, tanah liat, dan cat air semuanya dapat membantu anak
yang memiliki kelemahan pada penglihatan untuk mengekspresikan emosi
mereka. Bantulah mereka untuk mengekspresikannya melalui seni dan
keterampilan. Meskipun untuk melakukannya mereka membutuhkan bimbingan
yang lebih daripada anak-anak lain.
6. Bermainperanmembantuanakmengingatperistiwa,ide-ide,dan situasi. Kegiatan ini
juga dapat membantu mereka mengingat kejadian-kejadian di rumah mereka dan
situasi lainnya. Berbagai pengalaman dapat diperagakan, bahkan pengalaman-
pengalaman dari situasi nyata yang dialami oleh anak.

H. Alat Bantu Baca dan Tulis Anak Tuna netra


Tuna netra memiliki kelebihan berupa sensasi taktil dan pendengaran yang tajam.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tunanetra umumnya menggunakan sistem
Braille untuk membaca informasi baru. Sistem Braille adalah salah satu metode yang

7
diperkenalkan secara luas bagi masyarakat tunanetra yang digunakan untuk
membaca dan menulis.

Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1821 oleh Louis Braille, seorang tunanetra yang
berasal dari Prancis. Setiap karakter atau sel didirikan dari 6 posisi titik, yang
disusun segitiga dan mencakup 2 kolom setiap tiga titik. Huruf Braille dibaca dari
kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik,
simbol matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah
dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam
sel sebesar 2.5 mm.

I. Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat kesehatan
2. Keadaan umum
3. Riwayatsosial
4. Kemampuankemandiria
5. Padapemeriksaanberfocuspadamata

J. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan (persepsi sensori) penglihatan total berhubungan cacat sejak lahir.
2. Defisit kemandirian berhubungan dengan keterbatasan aktifitas fisik

LAPORAN KASUS

8
Pada hari Kamis Tanggal 21 April 2016, kami mengunjungi SLB Kota S, Hasil
pengamatan terhadap perilaku anak tuna netra dan cara bimbingan guru SLB
terhadap siswa dengan tunanetra. Pada saat berkunjung sedang di adakan kegiatan
membuat sate dan cara memanggang sate. Asuhan keperawatan yang dilakukan pada
anak dengan tunanetra, meliputi: pengkajian, diagnose keperawatan, rencana
tindakan, implementasi dan evaluasi.

A. Pengkajian
1. Identitas klien: Umur: 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki kelas: 5 SD.
2. Riwayat kesehatan: menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan oleh ibunya,
dia menderita kelainan mata dimana kedua kelopak matanya tidak bisa membuka
dan bola mata kecil dari sejak lahir, mejelang besar anak tidak mampu mnelihat
apa-apa.
3. Keadaan umum: tampak berpenampilan gempal, tinggi 90 cmm dengan berat
badan 40 kg dan berpakaian bersih.
4. Riwayat sosial: Kedua orang tua masih hidup dan hidup bersama dengan kedua
orang tuanya. Saat kesekolah di antar jemput oleh ibunya. Sejak kecil selalu di
bantu ibunya untuk melakukan aktifitas sehari hari, saat ini klien mampu
mengganti pakaian sendiri, dan mandiri terhadap kebutuhan eliminasi.
Kebutuhan makan disediakan oleh ibunya, klien mampu makan dan minum
sendiri.
5. Kemampuan kemandirian: Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, klien bisa
memakai baju sendiri. Klien masih minta bantuan untuk mengenali tempat
eliminasi yang ada di samping kelas. klien mampu mengganti pakaian sendiri,
dan mandiri terhadap kebutuhan eliminasi.
6. Pada pemeriksaan berfocus pada mata: tampak kedua bola mata kecil, kelopak
mata atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan, kedua kornea mata tampak
keputihan, tidak bisa mengidentifikasi objek di depan matanya.

B. Analisa Data
No Data Masalah Etiologi

9
1. DS: Menurut cerita klien ini seperti Gangguan Cacat sejak lahir
yang dibicarakan oleh ibunya, (persepsi sensori)
penglihatan total
dia menderita kelainan mata
dimana kedua kelopak
matanya tidak bisa membuka
dan bola mata kecil dari sejak
lahir, mejelang besar anak
tidak mampu mnelihat apa-
apa.
DO : Anak ber umur 13 tahun, jenis
kelamin: laki-laki kelas: 5 SD
tampak kedua bola mata kecil,
kelopak mata atas tidak bisa di
buka hanya ada kernyitan,
kedua kornea mata tamak
keputihan, tidak bisa
mengidentifikasi objek di
depan matanya.

2. DS: Sejak kecil selalu di bantu


ibunya untuk melakukan Defisit Keterbatasan
aktifitas sehari hari. kemandirian aktifitas fisik
Kebutuhan menuju tempat
eliminasi masih di bantu guru.
DO: - Ketersedian baju ganti oleh
orang tuanya, klien bisa
memakai baju sendiri.
- Klien mampu mengganti
pakaian sendiri.
Klien masih minta bantuan untuk
mengenali tempat eliminasi yang ada
di samping kelas, secara umum
mandiri terhadap kebutuhan

10
eliminasi.

C. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


keperawatan
1. Gangguan persepsi Vision compensation Pencapaian Komunikasi: Defisit
sensori: ganguan behavior Penglihatan
penglihatan cacat Kriteria hasil: - Kaji reaksi pasien terhadap
lahir. - Memakai huruf gangguan penglihatan.
braile - Ajak pasien untuk
- Memakai menentukan tujuan dan
penyinaran/cahaya belajar melihat dengan cara
yang sesuai. yang lain.
- Deskripsikan lingkungan
disekitar pasien.
- Jangan memindahkan sesuatu
di ruangan pasien tanpa
memberi informasi pada
pasien.
- Sediakan huruf braile.
- Informasikan benda-benda
sering pasien letak yang
diperlukan
Manajemen Lingkungan
- Ciptakan lingkungan yang
aman bagi pasien.
- Pindahkan benda- benda.
berbahaya dari lingkungan
pasien
- Tempatkan benda-benda

11
pada tempat yang dapat
dijangkau pasien.

2. Defisit Mandiri dalam self Self Care assistance : ADLs


kemandirian care; Activity of Daily - Monitor kemampuan klien
berhubungan Living (ADLs) untuk perawatan diri yang
dengan Kriteria Hasil : mandiri.
keterbatasan - Menyatakan - Monitor kebutuhan klien
aktifitas fisik. kenyamanan untuk alat-alat bantu untuk
terhadap kebersihan diri, berpakaian,
kemampuan untuk berhias, toileting dan makan.
melakukan ADLs. - Sediakan bantuan sampai
- Dapat melakukan klien mampu secara utuh
ADLS dengan untuk melakukan self-care.
bantuan. - Dorong klien untuk
melakukan aktivitas sehari-
hari yang normal sesuai
kemampuan yang dimiliki.
- Dorong klien melakukan
mandiri, bantuan ketika klien
tidak mampu melakukannya.
- Ajarkan klien / keluarga
untuk mendorong
kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu
untuk melakukannya.

BAB III

PENUTUP

12
A. Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan suatu individu-individu yang
mempunyai karakteristik yang berbeda dari individu lainnya yang dipandang
normal oleh masyarakat pada umumnya. Secara khusus anak berkebutuhan
khusus menunjukan krakteristik fisik, intelektual, dan emosional yang lebih
rendah atau lebih tinggi dari anak normal sebayanya atau berada diluar
standar normal yang berlaku di masyarakat. Sehingga mengalami kesulitan
dalam meraih sukses baik dari segi sosial, personal, maupun aktivitas
pendidikan (Bachri, 2010).
Anak berkebutuhan khusus salah satunya adalah tuna netra dimana tuna netra
merupakan seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak
berfungsinya indera penglihatan. Dimana Mata adalah organ sensorik yang
mentransmisikan rangsang melalui jaras pada otak ke lobus oksipital dimana
rasa penglihatan ini diterima, maka yang di sebut tuna netra adalah seseorang
yang memiliki indra penglihatan yang tidak berfungsi atau terganggu
sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan
aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus.

B. Saran
Diharapkan agar mahasiswa keperawatan dapat memamahi, menambah
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang asuhan keperawatan
berkebutuhan khusus:tuna netra.

Daftar Pustaka

13
Hallahan, DP., Kauffman, J.M. (1991). Exceptional Children: Introduction to
Special Education. Fifth Edition. New Prentice Hall International. Inc.

Irham Hosni. (1995). Buku Ajar Orientasi Mobilitas. Ditjen Dikti, Depdikbud.
Ishartiwi. (1991). Keefektifan Penggunaan Media Audio (Tolking Book)

Kirk Horton. (1986). Comunity-Based Rehabilitataition of the Rural Blind: a


Trainingng Guide for Field Workers. Helen Keller International. New York.

Knededler, Rebecca D. (1984). Special Education To Day. Prentice-Hall. Inc.


Engglewood.New Jersey.

Ramawati, D (2011) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan


perawatan diri anak tuna netra di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah.

Sunardi (2000). Pengembangan PLB di Indonesia: Makalah Seminar Nasional.


Disampaikan dalam rangka Konaspi di Hotel Indonesia Jakarta, tangga 19-22
September 2000.

Sutjihati, T., Somantri (2006). Psikologi Anak luar Biasa. Refika Aditama.
Bandung.

Widiastuti, SH (2010) Pengaruh terapi kelompok suportif terhadap kemampuan


keluarga dalam melatih “self care” anak tunanetra ganda di SLB G Rawinala di
Jakarta. Tesis. Depok: UI.

14

Anda mungkin juga menyukai