“ASSALAMUALAIKUM BEIJING”
DISUSUN OLEH :
DHIYA SHADRINA
12 IPA 5
Unsur Intrinsik
Tema
Amanat
Alur
Sudut Pandang
Gaya Bahasa
Latar Tempat
Latar Waktu
Latar Suasana
Tokoh
Penokohan
b) Konflik awal
Satu kekhilafan Dewa bersama Anita, rekan kerjanya yang memang
telah lama jatuh hati pada Dewa, membuat rencana indah itu harus hancur
kandas di tengah jalan dan Dewa terpaksa menikahi Anita yang hamil akibat
kekhilafan tersebut.
c) Komplikasi
Lewat pertemanannya dengan Asma, Zhongwen banyak mendapat
pencerahan tentang Islam dan hidayah akhirnya menuntunnya menjadi
mualaf, meski konsekuensinya ia terusir dari keluarga.
d) Klimaks
Kemudian musibah menimpa Asma, ia divonis menderita APS Primer
(Antiphospholipid Syndrome). Penyakit yang berhubungan dengan
pengentalan darah, yang membuatnya harus mengalami kesakitan yang luar
biasa seperti stroke, serangan jantung, pingsan berkali-kali, tuli sementara,
bahkan nyaris buta. Dokter juga mnyarankan kepadanya untuk tidak hamil
dan melahirkan.
e) Anti Klimaks
Sudah sekitar 6 bulan Zhongwen setia menemani Asma keluar masuk
rumah sakit dan saat itu ia juga memantapkan hati untuk melamar Asma.
Asma pun mengangguk kecil sebagai jawabannya bahwa ia menerima
lamaran tersebut. Semua yang melihat peristiwa itu haru bahagia tak
terkecuali Mama, Sekar, dan Zhongwen
Pernikahan pun dilaksanakan secara sederhana, hanya mengundang
sahabat dan sanak saudara. Dan ketika itu pula Asma kembali pingsan dan
ia divonis mengalami stroke kedua.
f) Penyelesaian
Tahun ketiga pernikahan Asma mengandung tetapi selama itu pula
obat pengencer darah harus disuntikkan ke bagian perut dan melawan rasa
sakit. Kesehatan Asma kembali memburuk dan harus menjalani operasi
penanaman tulang belakang, operasi berlangsung selama lima jam dan
berjalan lancer. Kehadiran Mama dan Sekar dari dulu merupakan nikmat
yang luar biasa dalam hidupnya. Dan kini, bersama sang suami dan dua
buah hatinya, hari-hari penuh duri seolah berselimut pelangi.
Setiap malam Zhongwen mendaratkan kecupan di keningnya sambil
mengucapkan, “Wo Xiang Ni” dan jawaban yang keluar dari mulut istrinya
secara tulus dan reflex, “Wo Ye Xiang Ni”. Setelah ungkapan kasih setiap
malam, keduanya akan saling bertatapan dan menunggu untuk tak
memejamkan mata lebih dulu.
D. Sudut Pandang
Orang ketiga serba tahu (dia).
E. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dominan digunakan dalam novel
“Assalamualaikum Beijing” ialah gaya hiperbola. Hiperbola adalah semacam
gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan
memperbesar-besarkan suatu hal. Berikut beberapa kutipannya:
- ”Anita berlalu membawa air mata yang tumpah seperti curah hujan.” (Hal.
170)
- “Air mata tiga hari tiga malam yang mengguncangkan surga. Membuat
langit mendadak gelap dan angina bertiup kencang.” (Hal. 267)
Pada kutipan pertama, kalimat “air mata yang tumpah seperti curah
hujan” merupakan bentuk hiperbola yang menggambarkan kesedihan
seseorang yang teramat dalam sehingga air mata digambarkan seperti air
yang tumpah. Padahal kita tahu sesedih apapun seseorang menangis, air
matanya hanya akan menetes dari matanya, tidak sampai seperti air yang
tumpah.
Begitu pula pada kalimat “air mata tiga hari tiga malam yang
mengguncangkan surga” pada data kedua merupakan bentuk hiperbola
untuk menggambarkan kesedihan seorang wanita yang mendalam sehingga
dikatakan bahwa air mata tersebut dapat mengguncangkan surga.
F. Latar Tempat
1) Halte bus
“Dewa mengerti jika Ra terheran-heran. Ini bukan hari mereka jadian,
kenapa pemuda itu membawanya ke halte, tidak jauh dari kampusnya
dulu? Ra sudah akan duduk, tetapi Dewa mengajak gadisnya berjalan
sedikit lebih jauh. Suasana halte saat akhir pekan tidak terlalu ramai.
Hanya satu-dua mahasiswa tampak menunggu bus.” (Hal. 1)
2) Penginapan (Youth Hostel)
“Kenyataannya, begitu selesai dengan urusan bagasi, dia memerlukan
waktu hampir empat puluh menit dan enam orang bermata sipit, hanya
untuk menemukan bus yang akan membawanya ke youth hostel
sederhana yang telah dipesan.” (Hal. 9)
3) Rumah Anita
“Hujan deras mencegahnya segera angkat kaki dari rumah Anita.
Mereka duduk menikmati kopi panas buatan gadisitu, yang harus diakui
Dewa, tak hanya menghangatkan, tetapi juga terasa enak melewati
kerongkongan. Menit demi menit berlalu hingga Anita berhasil menjebak
Dewa untuk berbuat kekhilafan.” (Hal. 33)
4) Tembok China (The Great Wall)
“Perjalanan ke The Great Wall dilaluinya hanya berteman kamaera,
setelah Sunny (sebagai guide-nya) memaksa Asma meninggalkan tripod
dan ransel.” (Hal. 55)
5) Masjid Raya Xi’an
“Sejak kecil, Zhongwen dan keluarga sering melintasi bahkan
menikmati arsitektur masjid yang bangunannya tidak seperti kebanyakan
masjid di Timur Tengah atau Negara-negara Arab lainnya. Masjid Raya
Xi’an akrab di mata dan hatinya, karena memiliki konstruksi dan gaya
arsitektur yang lebih mendekati kuil China, tanpa kubah atau menara yang
bergaya tradisional” (Hal. 41)
6) Tiananmen Square
“Ketika harapan semakin menipis, disela-sela meeting dan
kesibukannya, Zhongwen sengaja mengunjungi tempat demi tempat yang
menurutnya biasa menjadi incaran turis. Mula-mula langkah lebarnya
menelusuri Tiananmen Square, terus memasuki gerbang di mana foto
besar tokoh Revolusi China, Mao Tse-tung, terpampang di tembok
raksasa bercat merah bata.” (Hal. 69)
7) The Forbidden City
“Namun, betapa pun dia membuka mata lebar-lebar, bayangan gadis
itu tak melintas dalam pandangan. Tetap tidak terlihat sekalipun dia
meneruskan pencarian ke The Forbidden City. Kota yang menjadi simbol
tirani dan kediktatoran.” (Hal. 69)
8) Masjid Niujie
“Setelah selama dua hari nyaris tak cukup tidur, terus mendata, lalu
mendatangi tempat-tempat yang mungkin dikunjungi gadis itu, Zhongwen
merasa memperoleh kemenangan besar saat mereka akhirnya bertemu.
Niujie, salah satu masjid tertua di Xuanwu Distrik, yang terkenal, dan
menjadi tempat tujuan wisata, tak hanya bagi turis, tetapi penduduk China
dari berbagai pelosok.” (Hal.95)
9) Rumah Sakit
“Ruangan rumah sakit terasa dingin, setelah Sekar pulang dan Mama
berjaga di luar. Hanya terdengar bunyi tetes cairan infus, serta monitor
jantung yang dipasangkan kepadanya.” (Hal. 158)
10) Candi Borobudur
“Langit biru hanya dihiasi sedikit awan ketika mereka tiba di pelataran
candi. Di rerumputan, tak begitu jauh dari area Borobudur, keduanya
duduk beralaskan tikar sambil memandang bangunan megah berbentuk
punden yang terdiri dari sepuluh tingkat. Asma menyandarkan tubuhnya
pada bahu Zhongwen yang tegak kukuh.” (Hal. 324)
G. Latar Waktu
1) Pagi hari
- “… Paginya, dengan wajah lesu Dewa berjalan meninggalkan rumah
Anita. Sebuah botol plastik yang tergeletak tak jauh dari motornya
terparkir, dengan cepat menjadi sasaran kekesalannya ...” (Hal. 36)
- “… Kenyataannya, hingga pagi muncul, tak ada satu SMS pun, kecuali
tentang meeting dan hal-hal lain dari daftar kontak pemuda itu di
Beijing ...” (Hal. 39)
2) Siang hari
- “… Lelaki itu terus berjalan menyusuri Hutong, gang-gang sempit yang
menjadi ikon kota Beijing…” (Hal. 71)
- “… Langit biru hanya dihiasi sedikit awan ketika mereka tiba di
pelataran candi …” (Hal. 324)
3) Sore hari
- “… Senja mulai turun. Sekitar halte makin sepi ...” (Hal. 4)
- “… Sebelumnya, sepulang dari Masjid Niujie, sore-sore mereka
menyusuri hutong …” (Hal. 112)
- “… Sekar hanya mengibaskan tangan. Asma bangkit dan menarik
sandal. Adzan Ashar baru terdengar …” (Hal. 127)
4) Malam hari
- “… meletakan kamera DSLR yang lensanya baru dia bersihkan di sisi
ranjang, lalu membuka netbook, Sekar sudah menghilang dari
monitor ...” (Hal. 29)
- “… Jarum jam terus bergerak. Namun, orangtua gadis itu belum
muncul juga. Dewa resah. Melirik ponselnya berkali-kali. Sudah lewat
pukul satu malam, Ra mungkin sudah tidur ...” (Hal. 35)
- “… Mimpi-mimpi buruk yang tak bosan mengunjunginya setiap
malam. Hujan dan penglhianatan, lalu wajah Ra yang retak-retak.
Tidur pemuda tampan itu tak nyenyak lagi …” (Hal. 103)
H. Latar Suasana
1) Gembira
- “… Wajah Ra yang biasanya tenang, saat itu sedikit tersipu. Semburat
samar di pipi yang kemudian menjelma tawa, melihat betapa kocak
kelakuan Dewa yang langsung melonjak dan berputar-putar
kegirangan seperti anak kecil, setelah mendengar jawaban Ra …”
(Hal. 1)
- “… Pemuda itu membalas dengan senyum hangat. Ada sesuatu di
tarikan ujung-ujung bibirnya. Sosok tampan dengan tubuh menjulang
itu tak hanya tersenyum dengan bibir, tetapi juga matanya …” (Hal. 10)
- “… Jika Sekar di sini, dia pasti sudah berteriak dan melompat-
melompat kegirangan …” (Hal. 15)
- “… Namun, dia tak bisa berlama-lama menjauh, sebab Ra sumber
kebahagiaannya …” (Hal. 51)
- “… Ketika perjalanan berakhir dan dia mencapai anak tangga paling
atas, Asma nyaris bersorak. Bahagianya mungkin mengalahkan para
pendaki gunung …” (Hal. 58)
- “… Mereka berjalan bersisian. Zhongwen dengan cepat mengontrol
dirinya, berusaha terlihat lebih tenang. Napasnya yang tadi sedikit
memburu karena rasa senang yang luar biasa …” (Hal. 96)
- “… Wo tiantian xiang ni- I miss you everyday. Pagi tadi dia terlalu
gembira menerima pesan lelaki bermata sipit itu. Lupa dengan kondisi
fisik …” (Hal. 161)
2) Kesal
- “… Sebuah botol minuman plastic yang tergeletak tak jauh dari
motornya terparkir, dengan cepat menjadi sasaran kekesalannya …”
(Hal. 36)
3) Penasaran
- “... Kadang terselip rasa penasaran pemuda itu akan interior masjid,
khususnya praying area. Sayang, nonmuslim dilarang masuk ke area
sholat …” (Hal. 41)
4) Sedih
- “… Suara itu bercampur isak tertahan. Bulir air mata itu pun menetes
…” (Hal. 47)
- “… Sementara dalam diam, gadis itu berusaha mengumpulkan
keeping demi keeping hati yang bertebaran …” (Hal. 63)
- “… Wajah gadisnya tidak pernah terlihat seterluka itu …” (Hal. 65)
- “… Hari-hari awal tanpa Dewa adalah kepedihan, yang nyaris
membuat gadis itu merasa tak sanggup menjalani segala rutinitasnya.
Rasanya tak pantas mengurung diri …” (Hal. 76)
- “… Beberapa hari terpuruk di kamar, bermandi air mata …” (Hal. 76)
- “… Jangan panggil dia sekarang ya Allah, kami belum siap, bisiknya.
Tidak sanggup membayangkan seperti apa hari-harinya tanpa
keberadaan Asma di rumah …” (Hal. 130)
- “… Sorot mata sayu yang cahaya kehidupannya memudar oleh titik air
mata, memandang Mama dengan tatapan yang sulit diartikan …” (Hal.
130)
- “… Dia harus logis. Tidak boleh berlama-lama dalam kesedihan.
Karenanya, sejak pertama seorang lelaki memecahkan hatinya
berkeping-keping, gadis dengan mata indah itu belajar bersikap keras
terhadap diri sendiri …” (Hal. 134)
- “… Perasaan sedih tiba-tiba menyelusup. Bukan. Dia tidak sedih
karena mungkin tak akan merasakan menjadi perempuan seutuhnya,
tidak dalam definisi banyak orang. Kesedihan yang ada adalah jika hal
itu akan mengurangi kebahagiaan Mama …” (Hal. 227)
- “… Asma memejamkan mata. Setitik air jatuh dari sana. Dia bukan
gadis yang cengeng. Lapis demi lapis ketegaran telah dibangunnya
susah payah …” (Hal. 268)
- “… Dewa menangis, terisak hingga bahunya berguncang. Seperti anak
kecil, meringkuk tanpa daya …” (Hal. 293)
- “… Dewa mengusap air mata dengan punggung tangan. Apa yang
harus dia lakukan? Ra sakit, inilah saat gadisnya benar-benar
membutuhkan seseorang …” (Hal. 295)
-
5) Kecewa
- “… Adakah yang lebih sakit daripada dikhianati? Pemuda yang dikira
akan mengiringi langkahnya ke pelaminan, ternyata harus menjauh
dari hidupnya …” (Hal. 75)
- “… Benar dirinya patah, terluka, sakit. Namun rasa sakit akan
menguatkan seseorang menapaki hidup …” (Hal. 77)
6) Resah
- “… Jarum jam terus bergerak. Namun, orangtua gadis itu belum
muncul juga. Dewa resah. Melirik ponselnya berkali-kali. Sudah lewat
pukul satu malam …” (Hal. 35)
7) Canggung
- “… Lelaki di sisinya sekonyong-konyong menyodorkan tangan. Asma
merespon dengan senyum sambil mendekapkan tangan di depan
dada …” (Hal. 12)
8) Cemburu
- “… Cemburu berat menguras kesabaran Anita, semakin akut seiring
kandungan yang kian tua. Dia tak tahan lagi kehilangan sosok tulus
Dewa yang siap membantu siapa pun …” (Hal. 120)
- “… Sempat juga dia memandang iri beberapa gadis yang berjalan
dibantu teman lelaki, hingga bebas melenggang tanpa beban …” (Hal.
57)
9) Marah
- “Kamu meminta banyak hal untuk dimengerti, dan sejauh ini aku selalu
mencoba mengalah. Cuma satu kali ini aja, tolong Ra mengerti, dong.”
Ucap Dewa marah. (Hal. 21)
- “… Wajah Papa yang biasanya tak terusik apa pun, kini merah padam
bak kumpulan lukisan kemarahan …” (Hal. 75)
- “… Dewa mengangguk. Kilat kemarahan tampak di matanya …” (Hal.
277)
10) Tergesa-gesa
- “… Lelaki itu tergesa-gesa menggeleng …” (Hal. 5)
- “… Pemuda itu mengangguk santun sambil tergesa-gesa
menyodorkan kartu nama sebagai pelengkap janji untuk menuntaskan
kisah cinta Ashima … “ (Hal. 14)
11) Takut
- “... Namun, selain kondisi fisik yang drop, dan beberapa serangan,
Asma tak ingin kehilangan hal-hal lain dalam hidup. Tetap menjadi
pribadi periang yang senang bercanda. Makin gila membaca, didera
ketakutan kehilangan kenikmatan itu …” (Hal. 187)
- “… Dewa bahkan kehilangan keberanian untuk bertanya, bagaimana
kabar Ra sekarang? Apakah kebutaan yang mendadak menimpanya
tadi permanen atau hanya sementara …” (Hal. 294)
12) Khawatir
- “… Namun lagi, jika saja dia cukup bisa menahan diri, tidak perlu
memikirkan yang tidak-tidak, dan mengkhawatirkan gadis itu yang
sendirian di rumah … “ (Hal. 79)
- “… Seandainya Mama tahu apa yang paling dicemaskan putrinya saat
itu. Bukan kematian. Namun, kemungkinan pergi dari dunia sebelum
bisa membahagiakan perempuan yang paling dikasihinya …” (Hal.
130)
- “… Realitas mengantar Asma pada sebuah perenungan. Masih
mungkinkah menemukan kesetiaan di abad ini? Keresahan dan
kekhawatiran yang bukan hanya miliknya, tetapi juga menggerakkan
pasangan-pasangan diberbagai dunia untuk meninggalkan jejak
harapan …” (Hal. 202)
13) Sabar
- “… Rutinitas berulang yang membosankan dan melelahkan, tetap
diikuti lelaki tampan itu dengan kesabaran dan kesetiaan seorang
prajurit …” (Hal. 319)
14) Toleransi
- “… Kadang terselip rasa penasaran pemuda itu akan interior masjid,
khususnya praying area. Sayayng, nonmuslim dilarang masuk ke area
shalat. Menurut temannya yang beragama Islam, ada sebuah catatan
pada kayu yang terletak di bagian dalam masjid, yang menyebutkan
bahwa masjid Xi’an didirikan tahun 742 M atau sekitar 13 abad yang
lalu …” (Hal. 41).
I. Tokoh
- Asmara/Ra
- Zhongwen
- Dewa
- Anita
- Sekar
- Ridwan
- Mama Ra
- Sunny
J. Penokohan
- Asmara/Ra, seorang gadis yang sangat enerjik, cerdas, punya prinsip
yang tegas, pandai mengambil sikap, dan memiliki sifat ayu, berkulit
sawo matang, dan bermata besar. Ra adalah mantan kekasihnya
Dewa
- Zhongwen, seorang pemuda China yang ditemui Asma saat ia
melakukan perjalanan kerja ke Beijing. Sekaligus laki-laki yang
mempunyai kesetiaan luar biasa itu.
- Dewa, laki-laki yang sebenarnya setia tetapi nasib membawa jalan
hidupnya pada sebuah pernikahan yang menjadi mimpi buruk. Dewa
ini terlalu ambisius dan egois.
- Anita, perempuan cantik yang menjadi istri Dewa.
- Sekar, teman perempuan Ra yang baik hati. Sekar selalu berbagi
banyak hal kepada Ra. Penggemar drama korea
- Ridwan, Suaminya Sekar, suka menolong, dan humoris
- Mama Ra, seorang Ibu rumah tangga yang sayang terhadap putrinya
(Asmara/Ra), selalu menemani putrinya dalam keadaan apapun
- Sunny, guide-nya Asma saat ia berada di Beijing, baik hati sehingga
mereka menjadi teman baik.
Pengembangn Unsur-Unsur Ekstrinsik Novel “Assalamualaikum Beijing”
A. Latar Belakang Pengarang
Asmarani Rosalba adalah nama asli dari Asma Nadia yang lahir di
Jakarta, tanggal 20 Maret 1972. Anak dari pasangan Amin Usman dan Maria
Eri Susianti ini mulai berkecimpung di dunia tulis menulis ketika dia mencipta
lagu di sekolah dasar.
Harian Repubika memberikan anugrah tokoh Perubahan 2010, kepada
penulis produktif yang telah menulis 49 buku ini. Sementara IKAPI
menyematkan penghargaan sebagai Tokoh Perbukuan Islam di tahun 2011.
Perempuan kelahiran tahun 1972 ini juga masuk dalam daftar The 500 Most
Influential Muslim di dunia pada tahun 2012. Sementara Tupperware She Can
memberikan penghargaan terhadap Nadia sebagai salah satu perempuan
Indonesia paling inspiratif. Asma Nadia pernah pula mendapatkan
penghargaan sebagai peserta terbaik Majlis Sastra Asia Tengggara, tahun
2005.
Perempuan energik ini telah menyusun puluhan buku lain
berkolaborasi bersama pembacanya, sebagian besar perempuan antara lain
yang tergabung dalam: pembacaasmanadia@yahoogropus.com, Komunitas
Bisa Menulis di Facebook, maupun alumni Asma Nadia Writing Workshop,
program menulis yang dipandu bersama sang suami, Isa Alamsyah.
Ibunda dari Putri Salsa dan Adam Putra Firdaus yang pernah menjadi
pengarang terbaik Adikarya IKAPI tahun 2001, 2002, dan 2005. Serta novelis
IBF terbaik lewat novelnya Istana Kedua (2008), aktif memberikan workshop
dan dialog kepenulisan serta berbagai ceramah keislaman, ke berbagai
pelosok tanah air, hingga beberapa kota di Jepang (Tokyo, Kyoto, Nagoya,
Fukuoka), Amerika juga beberapa kota di benua Eropa (Roma, Jenewa,
Berlin, Manchestet, New Castle, Wina, Paris, Stockholm, dan lain-lain).
Sejak 2009, Asma Nadia memulai AsmaNadia Publishing House yang
telah menerbitkan buku-buku best seller seperti Sakinah Bersamamu, Tink
Dinar!, No Excusee, Catatan Hati Seorang Istri, Twitografi, dan Ketika Mas
Gagah Pergi dan Kembali.
Beberapa karya Asma Nadia telah difilmkan, di antaranya Emak Ingin
Naik Haji (film yang meraih 5 penghargaan di Festival Film Bandung, salah
satunya sebagai Film Terpuji), Rumah Tanpa Jendela, dan 17 Catatan Hati
Ummi (judul filmnya Ummi Aminah). Selain itu, Asma Nadia juga menulis
scenario: Pintu Surga (seri Ramadhan di Trans TV), dan Anak Matahari
(SCTV). Sayap Asma Nadia selain dilebarkan di dunia perfilman Indonesia,
sejak tahun 2012 Asma Nadia merupakan pengisi tetap rubric Resonansi di
harian nasional Republika, setiap Sabtu.
Kesibukan lain, bersama para relawan yang mencintai buku dan anak-
anak, Asma Nadia menggagas Rumah Baca Asma Nadia. Sebanyak 68
perpustakaan gratis bagi dhuafa saat ini telah berdiri di Pulau Jawa, Sumatra,
Kalimantan, dan Irian Jaya, sampai Hongkong.
Saat novel “Assalamualaikum Beijing” ini diproses cetak, Asma Nadia
tengah berada di Lowa, setelah terpilih untuk mengikuti Internasional Writing
Program, fall residency, bersama lebih dari 30 penulis lain dari berbagai
Negara di dunia.