Anda di halaman 1dari 27

MEMBACA, MENGANALISIS, DAN MENULIS SINOPSIS NOVEL

“ASSALAMUALAIKUM BEIJING”

DISUSUN OLEH :
DHIYA SHADRINA
12 IPA 5

SMA NEGERI 11 KABUPATEN TANGERANG


Jl. K. H Hasyim Asyari KM. 1 Kec. Sepatan Kab. Tangerang Kode Pos 15520
Tahun Ajaran 2019/2020

 Tujuan Pengarang Membuat Novel Tersebut


Assalamualaikum Beijing merupakan novel karya Asma Nadia yang ditulisnya
tahun 2012. Ada banyak hal menarik tentang novel Assalamualaikum Beijing terkait
penulis dan teknik kepenulisannya. Yang pertama adalah bahwa beberapa bagian
dalam cerita merupakan potongan-potongan yang dialami Asma Nadia selaku
penulisnya. Misalnya perkenalannya dengan Mark Wu yang banyak membantunya
saat di Beijing, termasuk memperkenalkan Asma pada legenda Ashima, tahun 2008.
Perkenalan ini terjadi dengan cara yang serupa benar adegan Zhong Wen dan
Asma di bus. Namun tentu saja Mark Wu bukan Zhong Wen, dan Asma Nadia
bukanlah Asma dalam novel tersebut. Nama Zhong Wen sendiri diberikan oleh Putri
Salsa (Caca), anak Asma Nadia, saat sang ibu membuat novel tersebut. Konon
Zhong Wen berarti “yang terpelajar”. Tokoh lain, misalnya Sunny, juga merupakan
tokoh nyata dengan nama sebenarnya. Sunny adalah seorang gadis cerdas asal
Beijing yang menguasai empat bahasa dan pernah menemani perjalanan Asma
Nadia di Beijing.
Hal menarik lainnya, “Asma” dalam novel tersebut justru ditemukan
penulisnya sebelum ia bertemu Mark Wu, tahun 2005; seorang muslimah pengidap
penyakit langka: APS (Anti Phospolipid Syndrome), penyakit sindrom kekentalan
darah yang beresiko stroke, keguguran berulang kali, lumpuh, buta, dan lain
sebagainya. Namun dalam kondisi demikian ada seorang lelaki tulus yang kemudian
melamar perempuan tersebut menjadi istrinya. Jadi tokoh Asma dalam cerita benar-
benar ada. Sosok ala Zhong Wen juga bukan fiktif semata.
Situasi tersebut menginspirasinya dalam menciptakan karakter Asmara,
tokoh utama dalam novel “Assalamualaikum Beijing” yang menderita Syndrome
APS. Judul “Assalamualaikum Beijing” dipilih Asma berdasarkan pengalamannya
saat berjalan-jalan ke kota Beijing. “Ada bapak-bapak Tiongkok menyapa saya
dengan ‘Assalamualaikum’ karena melihat saya berjilbab, kata Asma.
Asma melakukan riset tentang latar peristiwa dan sejarah muslim di Cina,
tentang penyakit APS, dan lain sebagainya. Tak berhenti di situ, ia juga
menggunakan teknik penulisan berbeda terkait penggunaan point of view (sudut
pandang) tokoh utama (Ra dan Asma). Sebagai pembaca kita baru tahu bahwa Ra
dan Asma merupakan satu tokoh baru menjelang akhir cerita. Keping-keping
peristiwa disebar dalam novel dengan alur yang tarik ulur- maju mundur,
penggunaan flashback. Cantiknya lagi, novel ini membuka tiap bab-nya dengan
semacam quote, kutipan kata-kata bermakna yang diksinya indah dan langsung
mengena ke hati pembaca. Kutipan-kutipan tersebut menjembatani pembaca masuk
ke tiap bab-nya.

 Unsur Intrinsik
 Tema
 Amanat
 Alur
 Sudut Pandang
 Gaya Bahasa
 Latar Tempat
 Latar Waktu
 Latar Suasana
 Tokoh
 Penokohan

Pengembangan Unsur-Unsur Intrinsik Novel “Assalamualaikum Beijing”


A. Tema
Hijrah sebagai suatu proses menemukan cinta sejati. Berikut kutipan
yang mendeskripsikan proses hijrah dari tokoh Zhongwen, “Sepekan sudah
dia menjadi muslim. Menyembunyikan identitasnya beberapa hari, terpaksa
shalat sembunyi-sembunyi di rumah maupun kantor, sambil memilih hari
yang tepat untuk menyampaikan ke keluarganya.” (Hal. 256)
Berdasarkan kutipan di atas mendeskripsikan bahwa Zhongwen
menjadi mualaf secara sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Dia melakukan
itu karena orang tuanya terutama ayahnya sangat tidak menginginkan anak-
anaknya memeluk agama Islam. Oleh karena itu, Zhongwen membutuhkan
waktu yang tepat untuk memberitahu keluarganya bahwa dia sudah menjadi
mualaf.
B. Amanat
Novel ini dapat memberikan pembacanya untuk selalu kuat dan tidak
pernah putus asa dalam menghadapi semua cobaan dalam hidupnya. Dan
memberikan apa itu makna cinta sejati.
C. Alur
Alur dalam novel adalah alur maju.
a) Pengenalan
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut, “I’m Zhongwen.”, lelaki di
sebelahnya sekonyong-konyong menyodorkan tangan. Asma merespon
dengan senyum sambil mendekapkan tangan di depan dada, “Asma”.
Lelaki itu cepat menarik tangan yang disodorkan. “Your name is Asma?”.
Sebenarnya masih ada embel-embel setelah itu, tetapi apa pentingnya?
Asma mengangguk. Seketika ada keriangan kanak-kanak dicercah
senyum Zhongwen.” (Hal. 12)

b) Konflik awal
Satu kekhilafan Dewa bersama Anita, rekan kerjanya yang memang
telah lama jatuh hati pada Dewa, membuat rencana indah itu harus hancur
kandas di tengah jalan dan Dewa terpaksa menikahi Anita yang hamil akibat
kekhilafan tersebut.
c) Komplikasi
Lewat pertemanannya dengan Asma, Zhongwen banyak mendapat
pencerahan tentang Islam dan hidayah akhirnya menuntunnya menjadi
mualaf, meski konsekuensinya ia terusir dari keluarga.
d) Klimaks
Kemudian musibah menimpa Asma, ia divonis menderita APS Primer
(Antiphospholipid Syndrome). Penyakit yang berhubungan dengan
pengentalan darah, yang membuatnya harus mengalami kesakitan yang luar
biasa seperti stroke, serangan jantung, pingsan berkali-kali, tuli sementara,
bahkan nyaris buta. Dokter juga mnyarankan kepadanya untuk tidak hamil
dan melahirkan.
e) Anti Klimaks
Sudah sekitar 6 bulan Zhongwen setia menemani Asma keluar masuk
rumah sakit dan saat itu ia juga memantapkan hati untuk melamar Asma.
Asma pun mengangguk kecil sebagai jawabannya bahwa ia menerima
lamaran tersebut. Semua yang melihat peristiwa itu haru bahagia tak
terkecuali Mama, Sekar, dan Zhongwen
Pernikahan pun dilaksanakan secara sederhana, hanya mengundang
sahabat dan sanak saudara. Dan ketika itu pula Asma kembali pingsan dan
ia divonis mengalami stroke kedua.
f) Penyelesaian
Tahun ketiga pernikahan Asma mengandung tetapi selama itu pula
obat pengencer darah harus disuntikkan ke bagian perut dan melawan rasa
sakit. Kesehatan Asma kembali memburuk dan harus menjalani operasi
penanaman tulang belakang, operasi berlangsung selama lima jam dan
berjalan lancer. Kehadiran Mama dan Sekar dari dulu merupakan nikmat
yang luar biasa dalam hidupnya. Dan kini, bersama sang suami dan dua
buah hatinya, hari-hari penuh duri seolah berselimut pelangi.
Setiap malam Zhongwen mendaratkan kecupan di keningnya sambil
mengucapkan, “Wo Xiang Ni” dan jawaban yang keluar dari mulut istrinya
secara tulus dan reflex, “Wo Ye Xiang Ni”. Setelah ungkapan kasih setiap
malam, keduanya akan saling bertatapan dan menunggu untuk tak
memejamkan mata lebih dulu.
D. Sudut Pandang
Orang ketiga serba tahu (dia).
E. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dominan digunakan dalam novel
“Assalamualaikum Beijing” ialah gaya hiperbola. Hiperbola adalah semacam
gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan
memperbesar-besarkan suatu hal. Berikut beberapa kutipannya:
- ”Anita berlalu membawa air mata yang tumpah seperti curah hujan.” (Hal.
170)
- “Air mata tiga hari tiga malam yang mengguncangkan surga. Membuat
langit mendadak gelap dan angina bertiup kencang.” (Hal. 267)
Pada kutipan pertama, kalimat “air mata yang tumpah seperti curah
hujan” merupakan bentuk hiperbola yang menggambarkan kesedihan
seseorang yang teramat dalam sehingga air mata digambarkan seperti air
yang tumpah. Padahal kita tahu sesedih apapun seseorang menangis, air
matanya hanya akan menetes dari matanya, tidak sampai seperti air yang
tumpah.
Begitu pula pada kalimat “air mata tiga hari tiga malam yang
mengguncangkan surga” pada data kedua merupakan bentuk hiperbola
untuk menggambarkan kesedihan seorang wanita yang mendalam sehingga
dikatakan bahwa air mata tersebut dapat mengguncangkan surga.
F. Latar Tempat
1) Halte bus
“Dewa mengerti jika Ra terheran-heran. Ini bukan hari mereka jadian,
kenapa pemuda itu membawanya ke halte, tidak jauh dari kampusnya
dulu? Ra sudah akan duduk, tetapi Dewa mengajak gadisnya berjalan
sedikit lebih jauh. Suasana halte saat akhir pekan tidak terlalu ramai.
Hanya satu-dua mahasiswa tampak menunggu bus.” (Hal. 1)
2) Penginapan (Youth Hostel)
“Kenyataannya, begitu selesai dengan urusan bagasi, dia memerlukan
waktu hampir empat puluh menit dan enam orang bermata sipit, hanya
untuk menemukan bus yang akan membawanya ke youth hostel
sederhana yang telah dipesan.” (Hal. 9)
3) Rumah Anita
“Hujan deras mencegahnya segera angkat kaki dari rumah Anita.
Mereka duduk menikmati kopi panas buatan gadisitu, yang harus diakui
Dewa, tak hanya menghangatkan, tetapi juga terasa enak melewati
kerongkongan. Menit demi menit berlalu hingga Anita berhasil menjebak
Dewa untuk berbuat kekhilafan.” (Hal. 33)
4) Tembok China (The Great Wall)
“Perjalanan ke The Great Wall dilaluinya hanya berteman kamaera,
setelah Sunny (sebagai guide-nya) memaksa Asma meninggalkan tripod
dan ransel.” (Hal. 55)
5) Masjid Raya Xi’an
“Sejak kecil, Zhongwen dan keluarga sering melintasi bahkan
menikmati arsitektur masjid yang bangunannya tidak seperti kebanyakan
masjid di Timur Tengah atau Negara-negara Arab lainnya. Masjid Raya
Xi’an akrab di mata dan hatinya, karena memiliki konstruksi dan gaya
arsitektur yang lebih mendekati kuil China, tanpa kubah atau menara yang
bergaya tradisional” (Hal. 41)
6) Tiananmen Square
“Ketika harapan semakin menipis, disela-sela meeting dan
kesibukannya, Zhongwen sengaja mengunjungi tempat demi tempat yang
menurutnya biasa menjadi incaran turis. Mula-mula langkah lebarnya
menelusuri Tiananmen Square, terus memasuki gerbang di mana foto
besar tokoh Revolusi China, Mao Tse-tung, terpampang di tembok
raksasa bercat merah bata.” (Hal. 69)
7) The Forbidden City
“Namun, betapa pun dia membuka mata lebar-lebar, bayangan gadis
itu tak melintas dalam pandangan. Tetap tidak terlihat sekalipun dia
meneruskan pencarian ke The Forbidden City. Kota yang menjadi simbol
tirani dan kediktatoran.” (Hal. 69)
8) Masjid Niujie
“Setelah selama dua hari nyaris tak cukup tidur, terus mendata, lalu
mendatangi tempat-tempat yang mungkin dikunjungi gadis itu, Zhongwen
merasa memperoleh kemenangan besar saat mereka akhirnya bertemu.
Niujie, salah satu masjid tertua di Xuanwu Distrik, yang terkenal, dan
menjadi tempat tujuan wisata, tak hanya bagi turis, tetapi penduduk China
dari berbagai pelosok.” (Hal.95)
9) Rumah Sakit
“Ruangan rumah sakit terasa dingin, setelah Sekar pulang dan Mama
berjaga di luar. Hanya terdengar bunyi tetes cairan infus, serta monitor
jantung yang dipasangkan kepadanya.” (Hal. 158)
10) Candi Borobudur
“Langit biru hanya dihiasi sedikit awan ketika mereka tiba di pelataran
candi. Di rerumputan, tak begitu jauh dari area Borobudur, keduanya
duduk beralaskan tikar sambil memandang bangunan megah berbentuk
punden yang terdiri dari sepuluh tingkat. Asma menyandarkan tubuhnya
pada bahu Zhongwen yang tegak kukuh.” (Hal. 324)
G. Latar Waktu
1) Pagi hari
- “… Paginya, dengan wajah lesu Dewa berjalan meninggalkan rumah
Anita. Sebuah botol plastik yang tergeletak tak jauh dari motornya
terparkir, dengan cepat menjadi sasaran kekesalannya ...” (Hal. 36)
- “… Kenyataannya, hingga pagi muncul, tak ada satu SMS pun, kecuali
tentang meeting dan hal-hal lain dari daftar kontak pemuda itu di
Beijing ...” (Hal. 39)
2) Siang hari
- “… Lelaki itu terus berjalan menyusuri Hutong, gang-gang sempit yang
menjadi ikon kota Beijing…” (Hal. 71)
- “… Langit biru hanya dihiasi sedikit awan ketika mereka tiba di
pelataran candi …” (Hal. 324)
3) Sore hari
- “… Senja mulai turun. Sekitar halte makin sepi ...” (Hal. 4)
- “… Sebelumnya, sepulang dari Masjid Niujie, sore-sore mereka
menyusuri hutong …” (Hal. 112)
- “… Sekar hanya mengibaskan tangan. Asma bangkit dan menarik
sandal. Adzan Ashar baru terdengar …” (Hal. 127)
4) Malam hari
- “… meletakan kamera DSLR yang lensanya baru dia bersihkan di sisi
ranjang, lalu membuka netbook, Sekar sudah menghilang dari
monitor ...” (Hal. 29)
- “… Jarum jam terus bergerak. Namun, orangtua gadis itu belum
muncul juga. Dewa resah. Melirik ponselnya berkali-kali. Sudah lewat
pukul satu malam, Ra mungkin sudah tidur ...” (Hal. 35)
- “… Mimpi-mimpi buruk yang tak bosan mengunjunginya setiap
malam. Hujan dan penglhianatan, lalu wajah Ra yang retak-retak.
Tidur pemuda tampan itu tak nyenyak lagi …” (Hal. 103)
H. Latar Suasana
1) Gembira
- “… Wajah Ra yang biasanya tenang, saat itu sedikit tersipu. Semburat
samar di pipi yang kemudian menjelma tawa, melihat betapa kocak
kelakuan Dewa yang langsung melonjak dan berputar-putar
kegirangan seperti anak kecil, setelah mendengar jawaban Ra …”
(Hal. 1)
- “… Pemuda itu membalas dengan senyum hangat. Ada sesuatu di
tarikan ujung-ujung bibirnya. Sosok tampan dengan tubuh menjulang
itu tak hanya tersenyum dengan bibir, tetapi juga matanya …” (Hal. 10)
- “… Jika Sekar di sini, dia pasti sudah berteriak dan melompat-
melompat kegirangan …” (Hal. 15)
- “… Namun, dia tak bisa berlama-lama menjauh, sebab Ra sumber
kebahagiaannya …” (Hal. 51)
- “… Ketika perjalanan berakhir dan dia mencapai anak tangga paling
atas, Asma nyaris bersorak. Bahagianya mungkin mengalahkan para
pendaki gunung …” (Hal. 58)
- “… Mereka berjalan bersisian. Zhongwen dengan cepat mengontrol
dirinya, berusaha terlihat lebih tenang. Napasnya yang tadi sedikit
memburu karena rasa senang yang luar biasa …” (Hal. 96)
- “… Wo tiantian xiang ni- I miss you everyday. Pagi tadi dia terlalu
gembira menerima pesan lelaki bermata sipit itu. Lupa dengan kondisi
fisik …” (Hal. 161)
2) Kesal
- “… Sebuah botol minuman plastic yang tergeletak tak jauh dari
motornya terparkir, dengan cepat menjadi sasaran kekesalannya …”
(Hal. 36)
3) Penasaran
- “... Kadang terselip rasa penasaran pemuda itu akan interior masjid,
khususnya praying area. Sayang, nonmuslim dilarang masuk ke area
sholat …” (Hal. 41)
4) Sedih
- “… Suara itu bercampur isak tertahan. Bulir air mata itu pun menetes
…” (Hal. 47)
- “… Sementara dalam diam, gadis itu berusaha mengumpulkan
keeping demi keeping hati yang bertebaran …” (Hal. 63)
- “… Wajah gadisnya tidak pernah terlihat seterluka itu …” (Hal. 65)
- “… Hari-hari awal tanpa Dewa adalah kepedihan, yang nyaris
membuat gadis itu merasa tak sanggup menjalani segala rutinitasnya.
Rasanya tak pantas mengurung diri …” (Hal. 76)
- “… Beberapa hari terpuruk di kamar, bermandi air mata …” (Hal. 76)
- “… Jangan panggil dia sekarang ya Allah, kami belum siap, bisiknya.
Tidak sanggup membayangkan seperti apa hari-harinya tanpa
keberadaan Asma di rumah …” (Hal. 130)
- “… Sorot mata sayu yang cahaya kehidupannya memudar oleh titik air
mata, memandang Mama dengan tatapan yang sulit diartikan …” (Hal.
130)
- “… Dia harus logis. Tidak boleh berlama-lama dalam kesedihan.
Karenanya, sejak pertama seorang lelaki memecahkan hatinya
berkeping-keping, gadis dengan mata indah itu belajar bersikap keras
terhadap diri sendiri …” (Hal. 134)
- “… Perasaan sedih tiba-tiba menyelusup. Bukan. Dia tidak sedih
karena mungkin tak akan merasakan menjadi perempuan seutuhnya,
tidak dalam definisi banyak orang. Kesedihan yang ada adalah jika hal
itu akan mengurangi kebahagiaan Mama …” (Hal. 227)
- “… Asma memejamkan mata. Setitik air jatuh dari sana. Dia bukan
gadis yang cengeng. Lapis demi lapis ketegaran telah dibangunnya
susah payah …” (Hal. 268)
- “… Dewa menangis, terisak hingga bahunya berguncang. Seperti anak
kecil, meringkuk tanpa daya …” (Hal. 293)
- “… Dewa mengusap air mata dengan punggung tangan. Apa yang
harus dia lakukan? Ra sakit, inilah saat gadisnya benar-benar
membutuhkan seseorang …” (Hal. 295)
-
5) Kecewa
- “… Adakah yang lebih sakit daripada dikhianati? Pemuda yang dikira
akan mengiringi langkahnya ke pelaminan, ternyata harus menjauh
dari hidupnya …” (Hal. 75)
- “… Benar dirinya patah, terluka, sakit. Namun rasa sakit akan
menguatkan seseorang menapaki hidup …” (Hal. 77)
6) Resah
- “… Jarum jam terus bergerak. Namun, orangtua gadis itu belum
muncul juga. Dewa resah. Melirik ponselnya berkali-kali. Sudah lewat
pukul satu malam …” (Hal. 35)
7) Canggung
- “… Lelaki di sisinya sekonyong-konyong menyodorkan tangan. Asma
merespon dengan senyum sambil mendekapkan tangan di depan
dada …” (Hal. 12)
8) Cemburu
- “… Cemburu berat menguras kesabaran Anita, semakin akut seiring
kandungan yang kian tua. Dia tak tahan lagi kehilangan sosok tulus
Dewa yang siap membantu siapa pun …” (Hal. 120)
- “… Sempat juga dia memandang iri beberapa gadis yang berjalan
dibantu teman lelaki, hingga bebas melenggang tanpa beban …” (Hal.
57)
9) Marah
- “Kamu meminta banyak hal untuk dimengerti, dan sejauh ini aku selalu
mencoba mengalah. Cuma satu kali ini aja, tolong Ra mengerti, dong.”
Ucap Dewa marah. (Hal. 21)
- “… Wajah Papa yang biasanya tak terusik apa pun, kini merah padam
bak kumpulan lukisan kemarahan …” (Hal. 75)
- “… Dewa mengangguk. Kilat kemarahan tampak di matanya …” (Hal.
277)
10) Tergesa-gesa
- “… Lelaki itu tergesa-gesa menggeleng …” (Hal. 5)
- “… Pemuda itu mengangguk santun sambil tergesa-gesa
menyodorkan kartu nama sebagai pelengkap janji untuk menuntaskan
kisah cinta Ashima … “ (Hal. 14)
11) Takut
- “... Namun, selain kondisi fisik yang drop, dan beberapa serangan,
Asma tak ingin kehilangan hal-hal lain dalam hidup. Tetap menjadi
pribadi periang yang senang bercanda. Makin gila membaca, didera
ketakutan kehilangan kenikmatan itu …” (Hal. 187)
- “… Dewa bahkan kehilangan keberanian untuk bertanya, bagaimana
kabar Ra sekarang? Apakah kebutaan yang mendadak menimpanya
tadi permanen atau hanya sementara …” (Hal. 294)
12) Khawatir
- “… Namun lagi, jika saja dia cukup bisa menahan diri, tidak perlu
memikirkan yang tidak-tidak, dan mengkhawatirkan gadis itu yang
sendirian di rumah … “ (Hal. 79)
- “… Seandainya Mama tahu apa yang paling dicemaskan putrinya saat
itu. Bukan kematian. Namun, kemungkinan pergi dari dunia sebelum
bisa membahagiakan perempuan yang paling dikasihinya …” (Hal.
130)
- “… Realitas mengantar Asma pada sebuah perenungan. Masih
mungkinkah menemukan kesetiaan di abad ini? Keresahan dan
kekhawatiran yang bukan hanya miliknya, tetapi juga menggerakkan
pasangan-pasangan diberbagai dunia untuk meninggalkan jejak
harapan …” (Hal. 202)
13) Sabar
- “… Rutinitas berulang yang membosankan dan melelahkan, tetap
diikuti lelaki tampan itu dengan kesabaran dan kesetiaan seorang
prajurit …” (Hal. 319)
14) Toleransi
- “… Kadang terselip rasa penasaran pemuda itu akan interior masjid,
khususnya praying area. Sayayng, nonmuslim dilarang masuk ke area
shalat. Menurut temannya yang beragama Islam, ada sebuah catatan
pada kayu yang terletak di bagian dalam masjid, yang menyebutkan
bahwa masjid Xi’an didirikan tahun 742 M atau sekitar 13 abad yang
lalu …” (Hal. 41).
I. Tokoh
- Asmara/Ra
- Zhongwen
- Dewa
- Anita
- Sekar
- Ridwan
- Mama Ra
- Sunny
J. Penokohan
- Asmara/Ra, seorang gadis yang sangat enerjik, cerdas, punya prinsip
yang tegas, pandai mengambil sikap, dan memiliki sifat ayu, berkulit
sawo matang, dan bermata besar. Ra adalah mantan kekasihnya
Dewa
- Zhongwen, seorang pemuda China yang ditemui Asma saat ia
melakukan perjalanan kerja ke Beijing. Sekaligus laki-laki yang
mempunyai kesetiaan luar biasa itu.
- Dewa, laki-laki yang sebenarnya setia tetapi nasib membawa jalan
hidupnya pada sebuah pernikahan yang menjadi mimpi buruk. Dewa
ini terlalu ambisius dan egois.
- Anita, perempuan cantik yang menjadi istri Dewa.
- Sekar, teman perempuan Ra yang baik hati. Sekar selalu berbagi
banyak hal kepada Ra. Penggemar drama korea
- Ridwan, Suaminya Sekar, suka menolong, dan humoris
- Mama Ra, seorang Ibu rumah tangga yang sayang terhadap putrinya
(Asmara/Ra), selalu menemani putrinya dalam keadaan apapun
- Sunny, guide-nya Asma saat ia berada di Beijing, baik hati sehingga
mereka menjadi teman baik.
Pengembangn Unsur-Unsur Ekstrinsik Novel “Assalamualaikum Beijing”
A. Latar Belakang Pengarang
Asmarani Rosalba adalah nama asli dari Asma Nadia yang lahir di
Jakarta, tanggal 20 Maret 1972. Anak dari pasangan Amin Usman dan Maria
Eri Susianti ini mulai berkecimpung di dunia tulis menulis ketika dia mencipta
lagu di sekolah dasar.
Harian Repubika memberikan anugrah tokoh Perubahan 2010, kepada
penulis produktif yang telah menulis 49 buku ini. Sementara IKAPI
menyematkan penghargaan sebagai Tokoh Perbukuan Islam di tahun 2011.
Perempuan kelahiran tahun 1972 ini juga masuk dalam daftar The 500 Most
Influential Muslim di dunia pada tahun 2012. Sementara Tupperware She Can
memberikan penghargaan terhadap Nadia sebagai salah satu perempuan
Indonesia paling inspiratif. Asma Nadia pernah pula mendapatkan
penghargaan sebagai peserta terbaik Majlis Sastra Asia Tengggara, tahun
2005.
Perempuan energik ini telah menyusun puluhan buku lain
berkolaborasi bersama pembacanya, sebagian besar perempuan antara lain
yang tergabung dalam: pembacaasmanadia@yahoogropus.com, Komunitas
Bisa Menulis di Facebook, maupun alumni Asma Nadia Writing Workshop,
program menulis yang dipandu bersama sang suami, Isa Alamsyah.
Ibunda dari Putri Salsa dan Adam Putra Firdaus yang pernah menjadi
pengarang terbaik Adikarya IKAPI tahun 2001, 2002, dan 2005. Serta novelis
IBF terbaik lewat novelnya Istana Kedua (2008), aktif memberikan workshop
dan dialog kepenulisan serta berbagai ceramah keislaman, ke berbagai
pelosok tanah air, hingga beberapa kota di Jepang (Tokyo, Kyoto, Nagoya,
Fukuoka), Amerika juga beberapa kota di benua Eropa (Roma, Jenewa,
Berlin, Manchestet, New Castle, Wina, Paris, Stockholm, dan lain-lain).
Sejak 2009, Asma Nadia memulai AsmaNadia Publishing House yang
telah menerbitkan buku-buku best seller seperti Sakinah Bersamamu, Tink
Dinar!, No Excusee, Catatan Hati Seorang Istri, Twitografi, dan Ketika Mas
Gagah Pergi dan Kembali.
Beberapa karya Asma Nadia telah difilmkan, di antaranya Emak Ingin
Naik Haji (film yang meraih 5 penghargaan di Festival Film Bandung, salah
satunya sebagai Film Terpuji), Rumah Tanpa Jendela, dan 17 Catatan Hati
Ummi (judul filmnya Ummi Aminah). Selain itu, Asma Nadia juga menulis
scenario: Pintu Surga (seri Ramadhan di Trans TV), dan Anak Matahari
(SCTV). Sayap Asma Nadia selain dilebarkan di dunia perfilman Indonesia,
sejak tahun 2012 Asma Nadia merupakan pengisi tetap rubric Resonansi di
harian nasional Republika, setiap Sabtu.
Kesibukan lain, bersama para relawan yang mencintai buku dan anak-
anak, Asma Nadia menggagas Rumah Baca Asma Nadia. Sebanyak 68
perpustakaan gratis bagi dhuafa saat ini telah berdiri di Pulau Jawa, Sumatra,
Kalimantan, dan Irian Jaya, sampai Hongkong.
Saat novel “Assalamualaikum Beijing” ini diproses cetak, Asma Nadia
tengah berada di Lowa, setelah terpilih untuk mengikuti Internasional Writing
Program, fall residency, bersama lebih dari 30 penulis lain dari berbagai
Negara di dunia.

B. Nilai- Nilai yang Terkandung Dalam Novel “Assalamualaikum Beijing”


1) Nilai Religius
Dalam novel “Assalamualaikum Beijing” karya Asma Nadia, nilai
religious tersebut dapat dilihat dari tindakan dan perilaku tokoh dalam
menjalani kehidupannya. Iman kepada Allah SWT. berarti meyakini
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT. adalah satu-satunya yang wajib
disembah, patuh, dan taat dalam menjalani perintahnya serta menjauhi
larangannya. Berikut kutipan novel “Assalamualaikum Beijing” yang
mengandung nilai religius: “Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan,
kesedihannya tak seujung kuku dibandingkan dengan nestapa yang harus
dipanggul banyak manusia lain di bumi ini. Bersyukur, bersyukur. Berpikir
begitu, dia meneruskan perjuangan untuk menutup lembaran hati yang
dulu sempat terisi oleh lelaki bernama Dewa.” (Hal. 77)
2) Nilai Moral
Perilaku moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Berikut kutipan
novel “Assalamualaikum Beijing” yang mengandung nilai moral: “Pemuda
itu mengangguk santun sambil tergesa-gesa menyodorkan kartu nama
sebagai pelengkap janji untuk menuntaskan kisah cinta Ashima”. Kutipan
tersebut mengandung nilai kesantunan yang dilakukan oleh seorang
pemuda sekalipun dengan perempuan yang baru dikenalnya.
3) Nilai Sejarah
Nilai sejarah juga beberapa kali diungkap Asma dalam novelnya
dengan menyuguhkan cerita sejarah dinasti dan beberapa tempat
bersejarah di Beijing. Berikut ini beberapa kutipannya :
“Mengingat Xi’an yang terletak di provinsi Shaanxi, merupakan salah
satu kota dengan perkampungan muslim cukup besar yang dikenal
dengan nama Hui Min Jie. Dalam sejarah, suku Hui merupakan
perpaduan dan keturunan suku Han dengan bangsa Persia dan Arab,
sejak masa Dinasti Tang.”
“Masjid Raya Xi’an merupakan masjid tertua dan terbesar di China dan
menjadi jejak sejarah aktivitas para pedagang Arab dan Persia yang
berlayar melalui jalur sutra”.
Kedua kutipan di atas menjelaskan tentang keberadaan masjid tertua
di China yang menjadi jejak sejarah para pedagang Arab dan Persia sejak
masa Dinasti Tang.
4) Nilai Budaya
Dari segi nilai budaya dalam novel “Assalamualaikum Beijing” dapat
dijadikan pembelajaran oleh kita semua dalam memahami perbedaan budaya
pada kutipan berikut ini: “Pasaran Jawa. Tetap. Ibunya belum berubah.
Sebelumnya, terkait pilihan jurusan, bahkan dalam hal pekerjaan pun, ibu
tetap menghitung kelahiran dan mengelompokkan. Kemudian, mengacu pada
primbon. Misalnya, bagi orang kasadasa yang lahir pada tanggal dan bulan
tertentu maka pekerjaan yang paling cocok adalah pekerjaan “Wirasembada”
tanpa campur tangan orang lain. Ini belum seberapa rumit, sebab para pakar
kejawen dalam hal ini Astrologi, lalu membagi kelompok hari orang kelahiran
Kasadasa menjadi tiga; eka, dwi dan tri, berdasarkan hari kelahiran.” (Hal. 48)
Contoh nilai budaya pada kutipan di atas kebanyakan masih dipercaya
dibudaya Jawa dengan sebutan Pasaran Jawa. Di Jawa sebelum melakukan
pernikahan melakukan hitung tanggal kelahiran antara calon pengantin laki-
laki dan calon pengantin perempuan untuk menentukan tanggal pernikahan.
Nilai budaya pada kutipan di atas termasuk pada mitologi dan pemikiran
masyarakat Jawa.
5) Nilai Politik
Dalam novel “Assalamualaikum Beijing”, tokoh Asma digambarkan
sebagai sosok yang cerdas dan mengetahui berbagai bidang termasuk politik.
Pengetahuan itu merupakan hasil tuntutan profesinya sebagai penulis. Berikut
kutipan yang mengandung nilai politik: “Peperangan dan penjajahan terjadi
bukan hanya karena agama. Orang-orang menyalakan api peperangan dan
mendududki sebuah Negara untuk rempah-rempah.” (Hal. 148)
Berdasarkan kutipan di atas yang menggambarkan situasi politik
negara pada umumnya yang melakukan peperangan dengan landasan selain
untuk memperluas wilayah adalah untuk menguasai sumber rempah-rempah
yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
6) Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan Asma lebih condong pada nilai pendidikan Islam dan
moral. Untuk pendidikan secara umum, berikut kutipannya: “Entah dari mana
Anita mendapatkan nuansa blasteran. Berbeda dengan adiknya, walaupun
berpendidikan modern, tetapi berpenampilan juga cara berpikir dan
perilakunya benar-benar Jawa tulen.” (Hal. 49)
Berdasarkan kutipan di atas mengungkap bahwa berpendidikan
modern tidak harus mengikuti perilaku zaman modern yang dipengaruhi
pergaulan global. Akan lebih baik jika seseorang tetap mempertahankan
budaya positif ditengah arus modernisasi. Namun tetap mengikuti taraf
pendidikan yang berkembang
Sinopsis
Berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang wanita untuk bangkit dari
patah hati? Apakah wanita yang terluka masih sanggup menerima kembali
kehadiran cinta setelah cintanya dikhianati? Ketika ujian bertubi-tubi
menyapa, masihkan tersisa keberanian untuk kembali berharap?
Novel ini mengisahkan Dewa dan Ra/Asmara yang terpaksa
membatalkan pernikahannya sehari menjelang hari pernikahan karena Dewa
menghianatinya.
Dewa termasuk sosok lelaki yang populer di kampus. Ia terkenal tak
acuh dan seakan-akan tidak membutuhkan siapa pun. Dulu dewa sempat
bertanya-tanya kenapa Asma begitu sering menemukan Dewa, teman SMA
dan kemudian satu kampus dan sering menunggu di halte bus yang sama.
Dewa dan Ra menjalin hubungan kasih sejak duduk di bangku kuliah,
dan tinggal selangkah lagi menuju gerbang pernikahan. Namun satu
kekhilafan Dewa dan Anita, rekan kerjanya yang memang telah lama jatuh
hati padanya, membuat rencana indah itu harus buyar selamanya, dan Dewa
terpaksa menikahi Anita yang hamil akibat kekhilafan tersebut.
Anita adalah gadis yang paling cantik dan teman sekantornya. Hingga
terang-terangan Anita meminta tolong untuk diantar pulang. Sejauh ini Dewa
mempunyai alasan untuk menolak. Godaan cerita sudah sering menghampiri
Dewa. Anita tahu bahwa Dewa telah memiliki kekasih namun dia
berkehendak akan menghalalkan cara untuk mendapatkan Dewa.
Sehingga kejadian malam yang berlatar hujan deras itu awal
permasalahan yang mau tidak mau harus Dewa pikul. Kemudian Dewa
merasa bersalah dan sekitar tiga hari dia benar-benar menghindar dari Asma,
perasaan bersalah, jijik terhadap diri sendiri. Kemudian, ketakutan lain
membayangi.
Beberapa hari kemudian pada bulan November Asma pergi ke
Hongkong, Asma menerima tugas sebagai penulis kolom di Beijing bersama
sahabat setianya Sekar dan suaminya sekar (Ridwan). Asma menikmati
tugas barunya di Beijing dan berusaha melupakan Dewa.
Ketika bus mengantarnya hendak mencari penginapan, dada ia
berdebar, ia khawatir karena kendala bahasa yang membuat ia belum bisa
menguasai tempat ia bersinggah. Akhirnya pertolongan Allah datang juga
lewat pemuda itu yang bernama Zhongwen, yang mengerti dengan Bahasa
Inggris.
Bus yang mulai melaju, beberapa menit berikutnya Zhongwen
menyodorkan tangannya dan memperkenalkan diri, Asma hanya merespon
dengan senyuman sambil mendekapkan tangan didada. Lelaki yang
berpenampilan terlalu rapi dan tak cocok dengan ransel tua yang dibawanya,
mengajak Asma untuk memperkenalkan pada legenda Ashima dari Yunnan.
Lalu ia cerita dengan Sekar sahabatnya yang berkerudung panjang,
sahabatnya benarbenar romantis parah. Padahal ia sudah menikah,
sementara suaminya sendiri merupakan tipe yang berbanding terbalik
dengannya.
Asma bercerita semua terhadap Sekar, dan sempat menghilangkan
kontak nomer Zhongwen berikan pada malam itu. Emosi gemas terhadap
sahabatnya Asma yang mengatakan cinta sejati tidak pernah ada, akan tetapi
Asma tetap bersikeras mangatakan aku kesini untuk meliput, bukan mencari
jodoh. Lagi pula mustahil menjalin hubungan dengan lelaki non-muslim.
Setelah mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Sekar
dengan lugas, teratur, dan lebih terkesan sebagai penyemangat segala
sesuatu jadi lebih mudah untuk dijalani. Begitu sulitnya merasa yakin inilah
teman sejiwa yang Allah berikan. Asma menghembuskan nafas. Ia tidak
punya waktu yang lama mendengar nasehat temannya tentang kartu nama
Zhongwen yang hilang. Karena besok pagi akan berangkat meliput
menggunakan travel. Awalnya ia ingin mencapai Tembok China dipusat kota
Beijing.
Di kota kelahiran Zhongwen, berdiri Masjid Raya Xi’an yang
merupakan masjid tertua dan menjadi jejak sejarah aktivitas dakwah para
pedagang Arab dan Persia yang berlayar melalui jalur sutra dan kemudian
menetap dibeberapa kota seperti Ghoangzhou, Qoanzhou, HangZhou,
Yangzhou, dan Xi’an. Sejak kecil, Zhongwen dan keluarga sering melintasi
bahkan menikmati arsitektur Masjid yang bangunannya tidak seperti
kebanyakan Masjid di Timur Tengah atau Negara-negara Arab lainnya.
Masjid Raya Xi’an lebih akrab dimata dan hatinya, karena memiliki
konstruksi dan gaya arsitektur yang lebih mendekati kuil China, tanpa kubah
atau menara tradisional. Jikapun ada nuansa Arab hanya terlihat dari
beberapa huruf dan dekorasi yang terdapat pada bangunan Masjid.
Terkadang Zhongwen penasaran akan interior masjid khususnya
praying area. Sayang, non-muslim dilarang masuk ke area shalat. Menurut
temannya yang beragama Islam, ada sebuah catatan pada kayu yang terletak
di bagian dalam Masjid Raya Xi’an didirikan tahun 742 M atau sekitar 13 abad
lalu. Baik di sekitar Masjid Xi’an maupun kota, Zhongwen sering berpapasan
dengan penganut agama Islam termasuk perempuan muslim yang sebagian
mereka mengenakan kerudung.
Cinta ada melalui serangkaian proses: perkenalan, adaptasi,
kesamaan selera, kebersamaan melewati berbagai ujian, yang kesemuanya
mensyaratkan tahapan dan waktu.
Cinta tidak tumbuh semalam.
Dengan semua pemahaman itu, seharusnya ada penjelasan logis
kenapa dia ingin bertemu gadis yang namanya mengingatkan akan Ashima.
Dan, waktunya tidak banyak. Dia harus bergerak cepat. Hanya tiga
hari, sebelum gadis itu kembali ke Indonesia. Jika itu terjadi, dia akan
kehilangan bayang yang semalam diam-diam menimbulkan debar halus di
dadanya.
Zhongwen sengaja mengunjungi tempat demi tempat yang menurutnya
biasa menjadi incaran turis, ia menelusuri Tiananmen Square, terus
memasuki gerbang dimana foto besar tokoh Revolusi China, Mao Tse-tung,
terpampang ditembok raksasa bercat merah bata.
Namun, betapa pun dia membuka mata lebar-lebar, bayangan gadis itu
tak melintas dalam pandangan. Tetap tidak terlihat sekalipun dia meneruskan
pencarian ke The Forbidden City. Kota yang menjadi symbol tirani dan
kediktatoran.
Dia sudah hampir menyerah, saat dengan langkah melewati
pemberhentian bus yang tidak jauh dari gerbang Tiananmen Square, ia
melihat sosok Asma yang sedang ia cari yang tampak di balik jendela bus.
Zhongwen terkesiap. Berlari mendekati dan mulai berteriak dari jendela bus.
Namun, headset yang dikenakan gadis dengan penutup kepala itu
benar-benar mengasingkannya dari sekitar.
Bus mulai bergerak. Tidak menyerah, Zhongwen melambaikan tangan
di jendela bus. Namun, bukan Ashima-nya yang merespon, melainkan
beberapa ibu tua, bermata sipit seperti matanya, yang ramai-ramai balas
melambaikan tangan. Seorang di antara mereka bahkan ada yang
mengedipkan sebelah matanya.
Belum pernah ada seorang gadis yang membuatnya begitu ingin
mengejar bus yang melaju makin cepat.
Namun hingga berpeluh, langkah lebar lelaki bertubuh tinggi itu tak
mampu mengejar.
Sedekat itu …
Zhongwen tidak percaya, dia gagal menyapa sosok dengan kelopak
mata indah yang beberapa hari ini menggayuti pikirannya.
Bukan, sekali lagi, ini sama sekali bukan cinta. Terlalu dini untuk
membicarakan kata yang paling sering dikutip banyak manusia itu, sekarang.
Lelaki itu merindukan kenyamanan.
Dia ingin menyelesaikan kisah yang sudah dimulai, tetapi belum
diselesaikannya. Dan, dari begitu kecilnya kesempatan, dunia
mempertemukan mereka kembali.
Ia pun gagal menyapa Asma, harapannya berganti obsesi dengan
sedikit ketakutan. Bagaimana jika pertemuan sepihak tadi adalah yang
terakhir dan mereka tak pernah tatapan lagi?
Apa yang tengah ia rasakan, dia yakin bukan keresahan orang yang
jatuh cinta. Namun, jika mungkin, ia hanya ingin sekali mengenal Asma lebih
dekat.
Rindunya mendapatkan kesempatan.
Ya, sebelum Asma kembali ke tanah air, apa yang diinginkannya
terwujud. Setelah selama dua hari nyaris tak cukup tidur, terus mendata, lalu
mendatangi tempat-tempat yang mungkin dikunjungi gadis itu, Zhongwen
merasa memperoleh kemenangan besar saat mereka akhirnya bertemu.
Niujie, salah satu masjid tertua di Xuanwu Distrik, yang terkenal, dan
menjadi tempat tujuan wisata, tak hanya bagi turis, tetapi juga penduduk
China dari berbagai pelosok. Di depan pintu gerbang area masjid, dia
menemukan gadis yang dicarinya.
Suatu berkah tersendiri jika saat travelling bisa berjalan bersama
warga lokal, seperti hari terakhir ini. Banyak detail yang memperkuat
reportase perjalanan untuk majalah tempat Asma bekerja. Hal-hal ynag tidak
diperoleh hanya dengan riset komputer atau pustaka, dan biasanya dimiliki
penduduk setempat.
Dia menikmati kebersamaan mereka, walaupun singkat. Bersyukur
bisa bertemu kembali, walaupun tidak disengaja. Lelaki itu dijumpainya
sedang berdiri di area Masjid Niujie, satu di antara masjid tertua di Beijing,
yang memang menjadi incaran sejak hari pertama Asma tiba.
Dialog dengan Zhongwen berlanjut setelah Asma kembali ke tanah air.
Mereka masih rutin bercakap-cakap melalui instant messenger dan Skype.
Sesekali Zhongwen mengejutkannya dengan kiriman teks di ponsel. Atau
menelepon.
Asma bercerita kepada Sekar. Mulai bercerita dengan kalimat-kalimat
teratur. Zhongwen yang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat religius,
tetapi semakin lama menurut lelaki itu, semakin tidak rasional ketika
berhadapan dengan kehidupan modern yang menuntut tinggi perjuangan akal
sehat.
Seorang gadis menatap layar ponsel. Tercenung. Patah hati yang
dialami dan berusaha dilupakan perlahan merangkak kembali, menyisakan
nyeri. Dia tahu, setiap yang patah hati harus segera mencari obat oenawar
luka. Dan, bahwa mustahil hati terobati, tanpa berusaha move on,
melanjutkan hidup sesegera mungkin, betapa pun sulit.
Hijrah dari air mata kepada sukacita. Hijrah dari masa lalu dengan
menutupnya rapat-rapat, memberi tanda “selesai” hingga tak menjadi beban
ketika melangkah menuju masa depan.
Hijrah dari kenangan kepada kenyataan. Bersiap mengganti memori
yang usang dengan serangkaian kejadian baru. Hijrah dari kekecewaan
dengan memaafkan. Tidak ada gunanya bertahan pada kenangan yang
menyakitkan. Hanya menambah lama penderitaan dan kesedihan.
Gadis itu tak suka perasaan tersuruk pada sumur kegelapan akibat
luka hati yang dideritanya.
Orang-orang yang sudah membuang kepercayaan yang kamu berikan,
apalagi memberi akibat yang fatal, berarti telah keluar dari lingkaran hidupmu.
You’ve done with him or her.
Dia harus logis. Tidak boleh berlama-lama dalam kesedihan.
Karenanya, sejak pertama seorang lelaki memecahkan hatinya berkeping-
keping, gadis dengan mata indah itu belajar bersikap keras terhadap diri
sendiri.
Patah hati perkara manusiawi, tetapi tidak boleh berlarut-larut. Sebab
ketika seseorang berlama-lama dalam perasaan nelangsa, dia kehilangan
focus pada semesta kebaikan yang Allah limpahkan.
Perasaan kecewa, marah, dan sedih yang berkelanjutan bisa membuat
diri lupa akan begitu banyak hal yang perlu disyukuri.
Orangtua, saudara, atap tempat berteduh, kesehatan, sahabat, panca
indra: kemampuan melihat, mendengar, merasa, membaui sesuatu.
Kemudian, kesanggupan untuk berjalan, kelengkapan anggota tubuh, benda-
benda yang dimiliki … udara yang masih bisa dihirup. Terlalu banyak nikmat
Allah yang seharusnya tidak tenggelam dari penglihatan hanya karena putus
cinta.
Sejauh ini semua berjalan seperti yang dia inginkan. Tidak mudah.
Sesekali godaan untuk mengenang masa-masa indah muncul. Namun,
dengan cepat dialihkannya focus, agar kenangan tak bermuara pada
mencuatnya perasaan nelangsa.
Hidup dengan segala persoalan dan ujian-Nya membutuhkan
kehadiran seseorang secara utuh. Bukan hanya jasad, tetapi lengkap dengan
akal, hati, dan ruh. Nelangsa dan patah hati yang mendorong seseorang pada
kegalauan, harus ditepis sebab mengurangi kekuatan yang dibutuhkan untuk
bertahan hidup.
Asma tidak mengerti apa yang diinginkan Dewa. Apa maksudnya
dengan terus menyapa lewat SMS atau media sosial. Apa yang diinginkannya
dengan bertahan pada kenangan, ketika lelaki itu justru menjadi orang yang
telah merusak semua keindahan yang pernah mereka miliki.
Tidakkah dia mengerti sikapnya itu mengganggu? Tidakkah dia paham
bahwa sebagai gadis yang terluka sedemikian dalam, tidak mudah baginya
melupakan semua dan melanjutkan hidup.
Sungguh, Asma tidak mengerti apa yang diinginkan makhluk bernama
Dewa ini. Memporakporandakan ketenangan yang selama beberapa bulan
sedemikian sulit dibangunnya. Membangkitkan kenangan dan cinta,
begitukah?
Masalah yang dihadapinya sudah terlalu banyak. Perjuangan susah
payah untuk sampai pada titik saat ini. Luka yang ditorehkan lelaki itu begitu
dalam, sehingga perlu waktu lama sebelum dia berdamai dengan segudang
kemarahan, kekecewaan, dan begitu banyak “why” yang tak menemukan
jawaban.
Belum kerugian karena pernikahan yang dibatalkan, sementara biaya
sudah dikeluarkan. Benar Dewa menanggung kerugian iu. Menganggap
bagian yang belum dia lunasi sebagai utangnya kepada Ra.
Asma mencintai Dewa teramat dalam. Tak pernah ada lelaki lain
selama empat tahun hubungan mereka. Hanya Dewa. Dengan lelaki itu pula
dia selama ini melukis masa depan.
Mereka sudah membicarakan rencana setelah pernikahan. Di mana
keduanya akan tinggal, apakah mereka sama-sama akan bekerja. Dia bahkan
sudah mencatat resep-resep kesukaan pemuda itu. Menyusun daftar hal-hal
yang disukai dan disukai. Sesekali mereka berdua membahas beberapa
masalah yang mungkin akan menimbulkan pertengkaran. Dari yang serius
sampai sekadar pertanyaan iseng yang diluncurkannya untuk menggoda.
Begitu banyak kenangan. Begitu sulit untuk meneruskan hidup, setelah
seorang gadis merasa sebelah sayap yang selama ini menunjangnya patah.
Bahkan sekadar untuk berjalan tegak tanpa oleng pun sukar: Dewa adalah
sayapnya yang sebelah. Keseimbangan yang dia butuhkan.
Mereka berdua memiliki banyak persamaan. Keduanya tergila-gila
membaca dan berdebat. Sama-sama senang naik motor ngebut. Dewa
senang mengendarai, gadis itu menikmati berada di boncengan cowok itu
dalam kecepatan tinggi.
Mereka memiliki kesukaan yang sama terhadap jenis music dan genre
film. Dan, sederet persamaan lain yang tak habis jika disebut satu per satu.
Namun, semua persamaan danperasaan pemuda itu, jika belum
berubah terhadapnya, tak berarti apa-apa. Tidak boleh membuat resah.
Seperti kegalauannya saat ini.
Tidak ketika satu sosok lain mulai dekat dan memberi harapan.
Tak lama lagi, Anita mungkin akan melahirkan. Keluarga kecil yang
bahagia.
Allah …
Betapa sulit ikut bergembira untuk kebahagiaan pihak lain ketika hati
berdarah-darah. Wajah tampan Dewa dengan celana jeans dan kemeja
gombrong, serta rambut ikal melewati bahu mendekat. Halusinasinya kah,
atau lelaki itu memang datang?
Gadis yang terluka mengerjapkan mata.
Suasana gelap, di ruangan tempat dia terbaring taka da siapa-siapa.
Tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Namun di luar itu, setiap
mengingat Dewa ada perih yang menjalar hingga melahirkan pening di
kepalanya.
Satu kesadaran tiba-tiba menyentaknya.
Rasa sembilu ini, jika benar; mungkin pertanda. Dia belum benar-benar
melupakan pemuda tampan dengan penampilan sedikit urakan itu.
Untuk satu dan lain hal, Asma tak ingin berita sakitnya diketahui siapa
pun. Cukup dia membagi kecemasan ini bersama orang-orang yang dia
cintai. Meskipun sulit karena Sekar sedikit-sedikit tergoda untuk meng-update
status di Twitter atau Facebook.
Bukan tak memerlukan banyak doa. Namun, setelah serangan stroke
mendadak, dan kondisi yang masih belum pulih, dia ingin secepatnya merasa
normal. Dan pertanyaan yang mungkin timbul, atau tatapan kasihan dari
orang lain, bukan sesuatu yang dibutuhkannya saat ini. Dia masih
memerlukan banyak terapi, sambil berdoa, agar benar-benar bisa melangkah
seperti dulu. Tidak terseret-seret seperti sekarang.
Zhongwen merasa untuk urusan cinta, dia cukup sabar. Obsesinya
menemukan Ashima yang sempat membuatnya seperti kehilangan akal,
adalh pengecualian.
Namun, setelah penemuan di masjid sore itu, lalu hubungan yang terus
berlangsung, dia cukup tenang mengatur langkah. Seperti menyiapkan
sebuah strategi bertahan dan menyerang dalam permainan catur. Lelaki
bermata sipit itu memikirkan betul setiap perkataan dan tindakan yang akan
diambilnya.
Sebab memberikan harapan kepada seorang gadis, sebelum lelaki
tahu persis apa yang diinginkannnya, adalah sebuah kejahatan.
Zhongwen memegang teguh prinsip itu. Laki-laki dipegang dari
perkataannya. Seorang lelaki menurutnya telah kehilangan kehormatan ketika
kata-katanya tak bisa lagi dipertanggungjawabkan.
Dan, Ashima-nya seakan mengerti. Seperti yang dilakukannya,
perempuan itu mungkin juga mengatur setiap langkahnya. Tidak ada tuntutan,
kemanjaan, atau hal-hal berlebihan. Asma dan Zhongwen pun sedang
menata perasaan, juga kalimat dan sikapnya dengan sangat hati-hati.
Perbincangan mereka, lalu berkisar kepada hal-hal yang lebih serius.
Seperti tentang agama, yang awalnya menurut Zhongwen merupakan pemicu
peperangan dan berbagai persoalan buruk di dunia.
Namun, Ashima-nya yang cerdas berkilah, peperangan dan penjajahan
terjadi bukan karena agama. Orang-orang menyalakan api peperangan dan
menduduki sebuah Negara untuk rempah-rempah, minyak, juga emas.
Mereka yang menganggap agama-lah penyebab peperangan, dengan
logika paling sederhana harusnya memahami, sama seperti, emas ataupun
minyak. Tidak berarti kedua tambang itu harus dilenyapkan dari bumi karena
menjadi alasan peperangan.
Banyak hal dalam diskusi mereka yang membawa perenungan.
Ashima yang dikenalnya memberi sederet pekerjaan rumah untuk dipikirkan.
Peperangan terjadi antara penganut agama yang sama. Bahkan Negara-
negara yang tak percaya pada Tuhan, pun berperang juga.
Lelaki itu termangu. Dia tidak benar-benar sedang mencari. Namun,
logikanya sulit menerima misalnya, satu keyakinan yang dalam kehidupan
menerapkan kelas-kelas yang menurutnya terasa diskriminatif dan tidak
rasional, sebab menempatkan manusia pada kedudukan tidak setara. Seolah
tidak memiliki hak yang sama ketika dilahirkan. Rasanya aneh manusia harus
menjalani “hukuman status sosial” yang bukan karena perbuatan atau
keputusannya.
Tidak ada manusia bisa menentukan dari keluarga mana, dengan latar
belakang seperti apa mereka kelak dilahirkan. Masih panjang percakapannya
dengan gadis itu. Rangkaian dialog yang pernah tercipta, lalu kian mendorong
Zhongwen menghampiri masjid.
Awalnya hanya Masjid Niujie setiap ke Beijing. Sebab dia dan Ashima-
nya pernah berada di sana suatu ketika. Di pelataran masjid itu dia mulai
meneruskan dongeng Ashima, bercampur dengan obrolan lain, sebelum
kemudian tamat saat mereka makan malam di cafetaria tempat gadis itu
menginap.
The Legend of Ashima.
Kisah yang menjadi favoritnya dari semua legenda China kuno tentnag
cinta. Ashima dari Yunnan, dan laki-laki yang tak pernah berhenti
mempersembahkan cinta. Kesetiaan, sesuatu yang semakin hari kian mahal.
Dulu dikiranya keinginan untuk menyempatkan mampir ke masjid
tertua di Beijing ini, semata-mata demi kenangan. Namun kemudian, dia
menyadari sesuatu yang sukar dijelaskan. Dorongan kuat yang tak bisa
ditolak, untuk mulai menghampiri lagi halaman luas Masjid Xi’an, di kotanya.
Dan, dorongan kuat yang sukar dia definisikan itu tak berhenti. Semakin
meringankan langkahnya memburu masjid, hampir disetiap kota yang dia
kunjungi.
Dan, hal ini sudah berlangsung nyaris lima bulan.
Ada rasa teduh yang didapatnya hanya dengan memandang bangunan
yang menjadi pusat ibadah umat islam di sana. Banyak di antaranya memiliki
struktur mirip pagoda-pagoda yang tersebar di daratan China. Hingga
terkesan akrab.
Kemudian, kunjungan berbuah percakapan. Satu dua imam masjid
yang menandai kehadirannya yang berulang, menawarkan keramahan.
Percakapan yang kemudian membuka wawasan. Tak hanya mendekat ke
masjid dan ngobrol dengan beberapa imam, kini Zhongwen mulai membaca
buku.
Apa yang dia baca, akan mengalirkan diskusi-diskusi lain dengan gadis
berkerudung dari Indonesia, Ashima-nya. Ashima-nya yang cerdas tidak
pernah kehabisan penjelasan. Hingga sebuah peristiwa yang tertangkap
mata, menggetarkan hati lelaki bermata sipit itu.
Suatu hari, di pelataran Masjid Niujie, disaksikan banyak orang.
Seorang bapak dan ibu tua menyatakan masuk islam. Keduanya
mengucapkan kalimat dalam bahasa Arab dengan terpatah-patah. Ada
ketulusan dan kesungguhan dari adegan sederhana, tetapi entah bagaimana
begitu menyentuh ruang batin Zhongwen.
Pulang dari peristiwa itu, dia terserang rindu yang meresahkan. Rindu
yang kemudian ingin dia tuliskan dalam pesan-pesan singkat untuk Ashima.
Dengan itu dia siap membuka ruang bagi satu fase baru dalam hubungan
mereka. Meskipun rindu bukan cinta.
Namun kemudia, lelaki itu menyadari, rindu yang dirasakannya begitu
menyiksa bukan saja kepada Ashima-nya seperti yang selama ini dirasakan,
tetapi awalnya tak ingin dia akui.
Kebersamaan dengan gadis bermata lebar itu adalah bagian dari
keseharian yang dia nikmati. Meskipun beberapa bulan terakhir ini, Ashima-
nya kadang menghilang, dan menyisakan kerinduan yang menusuk. Begitu
menusuk hingga ketika mereka kemudian bertemu kembali di dunia maya,
lelaki itu harus berjuang melawan keinginan untuk mengatakan sesuatu yang
lebih mewakili perasaannya. Kali ini cinta, bukan rindu.
Namun, kata cinta menuntut konsekuensi. Tidak mudah diucapkan.
Alasan lain, dia khawatir jika Ashima-nya telah memiliki tambatan hati, dan
apa yang dia ungkapkan hanya merusak persahabatan indah yang mereka
miliki.
Zhongwen masih berhitung, perlukah semua perasaannya dinyatakan?
Bahwa gadis itu berhasil menghilangkan keinginannya untuk mendekati atau
memerlukan perempuan lain, itu benar.
Namun kerinduan yang sekarang mengental, kebutuhannya yang
menguasainya saat ini, lambat laun tidak lagi hanya kepada Ashima, tetapi
terhadap kekuatan Mahabesar; yang sejak lahir tak pernah dihiraukan. Dan,
gadis itu yang menuntunnya.
Zhongwen larut dalam satu pusaran magnetis yang sulit dijelaskan. Dia
hanya ingin mendekat dan lebih dekat. Semakin dekat, rasanya ada
keteduhan yang selama ini tak pernah diperolehnya di mana pun.
Lelaki berkulit kuning itu makin rajin ke perpustakaan. Menyibukkan diri
dengan membaca buku-buku kajian tentang Islam, bahkan membeli Al-Quran
dengan terjemahan bahasa China. Semata-mata ingin memahami apa yang
berabad-abad lalu, Tuhan (sepertinya dia mulai percaya keberadan-Nya)
katakan kepada utusan-Nya.
Tuhan itu satu, Allah. Tidak sama dengan manusia. Dialah kekuatan
yang menghadirkan, dan memberi penjelasan akan apa yang telah Dia
hadirkan lewat Al-Quran, kitab suci umat Islam.
Namun, terlalu dini untuk mengatakan bahwa dia akan memeluk
agama ini. Persoalan keislaman menjadi sensitive, sebab ini bukan hanya
soal kemauan pribadi.
Kondisi Asma terus menurun. Puncaknya pagi ini gadis itu merasakan
dadanya sakit. Rasa nyeri yang menjalar sampai ke pergelangan tangan.
Bahkan untuk berjalan ke kamar mandi yang tak begitu jauh, Asma merasa
letih luar biasa.
Sekar yang sedang menonton drama Korea di kamar gadis itu, kaget
menemukan sahabatnya terduduk di lantai kamar mandi, tampak kesakitan
sambil terus memegangi dada sebelah kiri.
Dunia seakan runtuh. Asma yang biasa optimis dan memiliki semangat
tinggi untuk sembuh mendadak melihat masa depannya mulai menghilang
dari pandangan. Stroke, pingsan berkali-kali, sekarang serangan jantung.
Seakan ditelan bumi harapan akan hari-hari cerah yang dikiranya
menjelang. Sejak Zhongwen mengungkapkan perasaan rindunya kepada
gadis itu, lewat pesan singkat di ponsel, beberapa waktu lalu.
Kabar yang disambut gempita oleh Sekar. Menurutnya rindu adalah
awal dari cinta dan cinta merupakan gerbang keinginan untuk menikah dan
menghabiskan hidup bersama seseorang.
Dan, sekarang. Asma menarik napas. Nyeri itu … seperti ada sesuatu
mengganjal di dadanya. Ruangan rumah sakit terasa dingin, setelah Sekar
pulang dan Mama berjaga di luar. Hanya terdengar bunyi tetes cairan infus,
serta monitor jantung yang dipasangkan kepadanya.
Kasihan Mama. Tubuhnya yang jauh dari muda, bagaimana bisa
bertahan menghadapi penyakit anak satu-satunya yang bertubi? Lembut
suara Mama, setiap kali Asma mengulang permintaan maaf, karena terus
merepoti perempuan terkasih itu.
Dan hidupnya, untuk Mama. Draf novel yang ditulisnya menjelang
selesai. Asma tidak merasa perlu menulis sebuah pengantar dari penulis,
atau semacam itu. Hanya puisi kecil, ungkapan kasihnya untuk Mama.
Perempuan yang menanggung semua beban kehidupan mereka saat ini.
Seminggu setelah sadar dari pingsannya, Asma mendengar
percakapan Mama dan Papa, yang bahkan tak menunjukkan wajah sama
sekali ketika anak tunggal mereka terkena serangan stroke. Asma tidak tahu
apa yang dikatakan Papa. Yang jelas kalimatnya telah menyulut kekesalan
Mama.
Ah, kasihan Mama. Beban ini mungkin akan sedikit ringan jika Papa
menyediakan ruang untuk berbagi, hingga Mama tak perlu melaluinya sendiri.
Laki-laki baik pasti ada. Hanya tak semua beruntung menemukan seseorang
yang siap mendampingi dalam susah dan senang, dalam sehat dan sakit,
dalam rentang hidup hingga kematian menjemput.
Sekar termasuk dari yang sedikit itu. Suaminya masih sama, bukan
pribadi romantic, seperti aktor-aktor drama Korea yang digandrungi
sahabatnya. Namun, dia baik dan peduli. Selama Asma sakit, Mas Ridwan
pula yang bertindak sebagai abang tertua, mengantarkan Mama, lalu
menjemputnya dari rumah sakit setelah stroke atau pingsan kemarin.
Bahkan dalam keadaan sehat, sulit menemukan sosok yang bisa
menjadi sandaran mengarungi kehidupan.Teman-temannya yang sudah
menikah, beberapa bercerita dengan air mata atau kemarahan, tentang
perselingkuhan suami mereka. Pengkhianatan dengan berbagai skandalnya.
Dari yang hanya sekali hingga berkali-kali.
Sekali dua termaafkan. Namun, jika sudah menjadi kebiasaan, bagi
Asma, laki-laki yang demikian telah sakit. Kalau tidak, seharusnya mereka
memiliki kehormatan, untuk malu jika tidak bisa menjaga bukan hanya fisik
istri, tetapi juga hati.
Namun, akankah berbeda laki-laki, yang belum lama ini mengatakan
rindu padanya? Pagi tadi dia terlalu gembira menerima pesan lelaki bermata
sipit itu. Lupa dengan kondisi fisik. Seharusnya dia memberitahu Zhongwen
hingga tidak membiarkan lelaki itu membangun harapan akan sesuatu yang
mungkin sulit diwujudkan. Namun, benarkah dia perlu memberikan
penjelasan? Bukankah Zhongwen hanya mengatakan rindu, bukan cinta?
Selama beberapa hari di ICCU, pemeriksaan intensif dilakukan. Mama
sulit menerima bahwa anaknya ynag masih berusia 25 tahun bisa terkena
stroke, lalu sekarang terkena serangan jantung. Para dokter yang merasa
heran juga terus berupaya menemukan penjelasan. Serangkaian tes darah
dan laboratorium pun dilakukann.
Ketika hasil pemeriksaan darah diketahui, Mama dan Sekar malah
tidak tahu bagaimana harus menyampaikannya kepada Asma yang terbaring
lemah di ranjang.
Namanya APS, Antiphospholipid Syndrome. Sindrom darah kental.
Sederhananya, darah yang terlalu cepat mengental. Penyebab yang sama
yang mengakibatkan serangan stroke beberapa bulan lalu. APS, istilah itu
masih terdengar sangat asing ditelinga. Baru dari seorang professor, ahli
hematologi yang menanganinya, Asma mendapatkan lebih banyak
penjelasan.
Beliau menjelaskan. APS Primer artinya sindrom tersebut akan
selamanya berada di dalam tubuh. Tidak dapat diobati hanya bisa dicegah
agar darah tidak menyumbat di bagian tubuh yang lain. Dan, penjelasan
dalam bahasa paling sederhana ynag bisa mereka mengerti, terdengar cukup
mengerikan. Jika darah menyumbat di ginjal, yang terjadi adalah penderita
APS akan terkena penyakit ginjal. Jika penggumpalan darah terjadi di mata,
mata akan mengalami gangguan penglihatan sampai kebutaan.
Berbeda dengan APS Sekunder, yang sindromnya akan hilang jika
penderita rutin meminum obatnya. Kemudian, APS manakah yang diderita
Asma? Tanpa profesor itu menjawab pun Asma bisa menebak. APS Primer.
Teman baru yang harus dia kenal lebih baik mulai saat ini.
Tubuhnya terlalu lemah, setelah kepanikan tiba-tiba saat telinganya
mendadak tak bisa mendengar apa-apa. Syukurlah Mama segera
membawanya ke rumah sakit. Setelah heparin disuntikkan untuk
mengencerkan penggumpalan darah yang menyumbat di telinga, setidaknya
begitulah penjelasan sederhana dokter, dia bisa mendengar kembali.
Perlu waktu, tetapi Asma bersyukur hanya mengalami tuli semantara.
Betapa sepi dunia bagi mereka yang tak bisa mendengar. Kejadian tadi pagi
membawanya ke jenjang syukur lain. Memberikan penghargaan kepada para
tuna rungu, yang memiliki kekuatan untuk mengisi kesunyian yang mereka
lalui setiap hari.
Stroke pertama yang dia alami, lalu serangan jantung hanya awal dari
rantai ujian yang harus dihadapi, karena APS. Jauh sebelum stroke, mungkin
sebenarnya sudah ada tanda-tanda yang mengarah ke sana. Namun, Asma
terlalu aktif dan riang untuk merasa tidak sehat, hingga serangan stroke lalu
menjadi titik balik yang menyentakkan.
Setelah itu hidup tak lagi terasa normal. Asma sering cepat lelah, sakit
kepala, tensi yang mendadak tinggi, padahal biasa rendah. Kemudian,
tampak bercak biru di kulit. Kata dokter itu karena pembuluh darahnya yang
rapuh.
Namun kenapa, apa sebenarnya penyebab APS ini? Profesor berusia
enam puluhan yang memeriksanya tak bisa memberi jawaban persis. Sampai
sekarang penyakit autoimun yang dideritanya belum bisa dijelaskan
penyebabnya secara pasti. Ada yang menduga ini karena factor genetik.
Penyebab lainnya yaitu merokok, mobilitas tinggi, seperti perjalanan panjang
dengan pesawat lebih dari 6 jam, dehidrasi, dan pil KB.
Pertama mengetahui vonis dokter, Sekar menangis dan mereka
berpelukan lama. Sementara Mama berjuang menahan air mata. Saat itu
Asma masih bisa bercanda dan menenangkan. Selama rutin meminum obat
pengencer darah dan kesehatan terjaga, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun sejujurnya, ada masa di mana dia berada pada titik-titik
terlemah. Saat tiba-tiba Asma merasa masa depannya dilipat hingga kecil-
kecil, lalu menghilang dari pandangan, seperti kartu di tangan pesulap.
Kondisi telah mengubah gadis lincah dan aktif itu menjadi begitu
ringkih dan pesakitan. Antiphospholipid Syndrome. Hal pertama yang
dilakukannya setelah keluar dari ICCU adalah mencari dat asebanyak-
banyaknya di internet tentang APS. Meskipun awalnya Mama tidak
mengizinkan, khawatir serangan jantung gadis itu kambuh lagi.
Namun, data yang kemudian diperoleh, membuat gadis itu tertegun.
APS tidak hanya beresiko stroke seperti ynag telah dialami, kebutaan, atau
serangan jantung yang mematikan. Juga kemungkinan keguguran berulang.
Allah …
Asma memerlukan waktu untuk benar-benar ikhlas menerima skenario
nasib yang disodorkan secara tiba-tiba oleh Pemilik dirinya. Allah Yang
Mahabaik sudah memberinya pilihan, pikir gadis itu. Namun, dia masih
beruntung sebab memiliki waktu dan kemungkinan semua akan baik-baik
saja, selama rutin menjaga agar tidak terjadi kekentalan dalam darah.Dia juga
beruntung, karena memiliki waktu berarti memiliki banyak kesempatan untuk
semakin mendekat kepada-Nya dan melakukan hal yang bermanfaat untuk
orang lain. Namun, menyadari betapa semakin kaburnya jarak yang tercipta
antara dia dan kematian, memacu semangat gadis itu.
Kematian begitu dekat, Allah. Jika saat itu tiba, dia ingin meninggalkan
sesuatu untuk Mama. Ungkapan cinta yang lebih abadi. Namun, selain
kondisi fisik yang drop, dan beberapa serangan, Asma tak ingin kehilangan
hal-hal lain dalam hidup. Tetap menjadi pribadi periang yang senang
bercanda. Makin gila membaca, didera ketakutan kehilangan kenikmatan itu.
Diskusinya dengan Zhongwen tentang Islam masih berlangsung. Lelaki
yang tetap memanggilnya Ashima.
Ada kalanya Asma ingin menyampaikan gambaran akan kondisinya
saat ini. Namun, tidak yakin tindakan itu perlu.
Selama ini bulan-bulan berlalu, tak satu pun kata cinta terlontar dari
lelaki Xi’an yang dikenalnya. Hanya perhatian berlimpah. Satu-dua kalimat
rindu. Dan, obrolan rutin. Asma tak ingin merusak hubungan akrab yang
terjalin dengan menebar kecemasan. Dia bisa merasakan kepedulian lebih
yang dimiliki lelaki itu padanya, tetapi tidak bisa mendeteksi lebih jauh.
Dan, setelah hidupnya divonis dengan APS, Asma makin tak berani
bermimpi. Malah terpikir untuk menghilangkan perasaan suka yang mulai
tumbuh, agar tak perlu lagi patah hati jika mendadak mendapatkan berita
lelaki itu dijodohkan orangtuanya, atau menikah dengan gadis pilihan.
Beberapa bulan saling mengenal, lelaki yang berasal dari Xi’an itu
masih memberinya kejutan. Setelah e-mail menggantikan surat. Dan e-card
menggantikan berbagai kartu yang bisa dikirim melalui pos. Asma tak
mengenal banyak orang masih melakukan itu.
Pemikiran yang menyenangkan. Keinginan Zhongwen untuk berbagi
lebih banyak tentang China padanya. Menjadi penjelasan kenapa lelaki itu
menanyakan alamat rumah, sementara banyak orang sekarang merasa
cukup memiliki kontak e-mail atau pin BB dan nomor ponsel.
Dia tidak tahu apakah Zhongwen memerhatikan, betapa lambatnya
Asma balas mengetik ketika mereka chatting. Atau kenapa gadis itu sekarang
menghindari bertatap muka dengan video chat atau Skype. Biarlah lelaki itu
mengenangnya sebagai Asma yang dinamis dan bersemangat. Bukan sosok
pucat yang selama beberapa waktu ini, walaupun sudah melalui terapi, masih
berjuang untuk pulih.
Mimpinya untuk mempersembahkan cinta dalam bentuk buku kepada
Mama, entah kapan terwujud. Jari-jari yang dulu lincah menari di keyword,
sekarang tertatih.
Zhongwen yang baik dan penuh perhatian, tidak pernah berubah. Baik
dan perhatian. Peduli, tetapi tak lebih. Kebahagiaan adalah warna yang ingin
gadis itu tebar ke banyak orang. Namun, APS? Asma tak perlu merusak
suasana hati siapa pun, termasuk Zhongwen dengan berbagi dongeng
tentang syndrome yang beberapa kali melemparkannya pada
ketidakberdayaan.
Asma yang saat ini kembali terbaring di rumah sakit beberapa minggu,
mengira-ngira. Jika hanya rindu yang dimiliki seorang pria, akankah cukup
untuk membuatnya setia? Rindu yang tertuang dalam pesan-pesan singkat
melalui ponsel, beberapa postcard yang dikirim lelaki dengan hidung bangir
itu dari berbagai daerah di China, dan teks saat mereka chatting.
Kemudian, bagaimana jika gadis yang dia persembahkan kata-kata
rindu, lalu tak bisa ditemukan, bahkan untuk sekadar sapa sederhana?
Perasaan yang dimilikinya semakin meresahkan. Dan, alangkah tidak
produktifnya jika ternyata ini hanya sepihak.
Di ranjang putih, Asma menatap Mama ynag terlelap di sisinya, terus
menunggui. Pemandangan yang menguatkan pemikiran lain. Tentang
Zhongwen, mungkin, perasaan ini lebih baik dilenyapkan sebelum semakin
tumbuh dan akan terlalu menyakitkan ketika harapan tak seiring kenyataan.
Masih banyak mimpi yang ingin dicapainya, terutama untuk memberikan
kebanggaan kepada Mama sebelum usianya berakhir. Satu draf buku yang
ditulisnya susah payah, kadang dibantu Sekar mengetik, sudah siap
dikirimkan ke penerbit.
Dia tak memiliki kesempatan untuk bermalas-malas. Meratapi masa
lalu atau digundahkan masa depan yang tak pasti. Antara dia dan kematian,
kompetisi sebenarnya dimulai. Waktu sedikit yang dia punya untuk Mama, tak
boleh dikurangi hal-hal tak penting yang sentimental seperti itu.
Dan sekarang, ada kesadaran lain yang harus terus dibangun: rasa
syukur. Sebab Allah juga memberinya karunia APS ini. Asma tak ingin
kehilangan keyakinan, walaupun berulang-ulang suntikan heparin harus dia
terima, hingga kulitnya berlebam biru di mana-mana.
Allah memilihnya karena dia kuat. Lebih kuat dari gadis-gadis lain.
Dan, satu penyakit tak seharusnya memadamkan semangat kehidupan.
Begitu pula perasaan patah hati. Sebab begitu manusia mengangkat wajah
dan melihat ke diri serta sekeliling, maka ada berlimpah karunia yang
mustahil dihitung, dan tak seharusnya terluput dari rasa syukur.
Ashima menghilang, kali ini lebih lama dari yang pernah terjadi
sebelumnya. Kemana gadis itu? Bosankah dengan percakapan mereka? Atau
diam-diam perempuan bermata indah itu menginginkan sesuatu yang lrebih
dari hubungan mereka, dan tak bisa menanti lebih lama.
Dia mungkin terlalu percaya diri hingga tidak pernah benar-benar
serius memikirkan kemungkinan Ashima-nya memilih kepastian dari lelaki
lain. Seharusnya dia peka. Bukankah gadis itu beberapa kali menyebutkan
tentang temanya bernama Sekar yang sudah menikah. Mungkinkah itu
syarat? Cinta atau rindu? Rindu atau cinta? Kenapa dia harus kehilangan
gadis yang perlahan membawanya pada satu kedamaian, pada cahaya yang
membuat sesuatu yang sebelumnya gelap menjadi lebih jelas? Mungkin ini
hanya sementara. Mungkin … seperti yang sudah-sudah gadis itu akan
kembali. Barangkali hanya sibuk dengan tugas-tugas di kantor. Atau sibuk
menyiapkan … pernikahan? Bayangan Ashima-nya terlihat di mana-mana. Di
langit-langit rumah, dinding kamar, dapur, dan berbagai tempat.
Menguntitnya dengan pancaran kebaikan yang tulus. Dan, hal-hal sederhana
dengan mudah akan membawanya pada kenangan. Pertemuan singkat
mereka.
Ke mana Ashima-nya, siapa yang telah membawa pergi hingga dia
kehilangan jejak gadis itu lagi? Satu bulan tidak ada kabar. Dia menunggu.
Dua bulan? Zhongwen masih menenangkan diri. Dia sendiri terlibat dalam
pertempuran dahsyat. Pertentangan, hati yang terus terbolak-balik. Memasuki
bulan ketiga. Seperti baru kemarin, dia menikmati mata besar dan indah dari
gadis di sisinya, saat bercerita tentang Ashima putri dari keluarga Yi yang
miskin.
Ruangan dingin, tetapi tubuhnya berkeringat. Untuk alas an yang tidak
bisa dia mengerti, perasaan kehilangan itu kembali menyergap dan
merongrongnya. Melemparkan pada kesendirian panjang yang aneh. Ini
bukan lagi sekadar rindu.
Namun sekarang, ke manakah gadis itu pergi? Mendadak Zhongwen
dihentakkan pada kesadaran, betapa rentan hubungan yang mereka miliki.
Bagaimana jika Ashima-nya membutuhkan sesuatu? Seperti ketika Azhi
menculik dan menyekap kekasih Ahei dalam dongeng kuno yang dia hafal
sejak kecil? Tidak seperti Ahei, dia tidak berada di sisi gadis itu. Dalam
keadaan berjauhan seperti ini, mustahil untuk secepat kilat hadir jika gadisnya
membutuhkan.
Hanya dengan cara itu dia akan tenang, dan bisa terus menatap gadis
yang dicintainya. Jadi, positif? Ini cinta, bukan rindu. Sebab rindu tidak
menimbulkan perasaan kosong yang menggigit, jauh lebih parah dari yang
pernah diakrabinya dulu saat kehilangan jejak Ashima-nya pertama kali.
Ketika dia mengira akan mendapatkan pesan atau sapa singkat, yang
kemudian tak kunjung hadir. Ketika dia harus berjuang menemukan gadis itu.
Mendatangi berbagai tujuan turis, hingga menemukan sosok mungil dengan
kerudung merah muda sedang menatap Masjid Niujie dari balik lensanya.
Terpaku, terhipnotis.
Apakah perjuangan yang sama kini harus dia lakukan? Meniadakan
jarak yang membentang antara Xi’an dan Indonesia. Melipat lautan yang
memisahkan? Lelaki itu menatap langit-langit kamar yang terasa sepi.
Barusan wajah gadis mungil dalam kerudung itu mengintip di sana.
Kondisi Asma terus memburuk. Mama sebenarnya tidak tega, terpaksa
menyuntikkan heparin terus-menerus. Rasanya pedih menyaksikan anak
gadis satu-satunya harus berkali-kali menerima hunjaman jarum suntik untuk
bertahan hidup. Uniknya apa yang terjadi tidak melemahkan gadis hitam
manis itu. Meskipun sekarang ruang geraknya semakin terbatas, tidak se

Anda mungkin juga menyukai