Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Austisme
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata
yaitu aut yang berarti diri sendiri dan ism yang secara tidak
langsung menyatakan orientasi atau arah atau keadaan (state).
Autisme bisa didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa
asik dengan dirinya sendiri (Trevarthen et all, 1998).
Menurut Sadock (2007), autisme merupakan salah satu kelompok
gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya gangguan dan
keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada
interaksi sosial, dan perilakunya.

1.2 Epidemiologi
Penyandang autisme di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000
anak dengan rasio laki-laki dan perempuan 4:1 (Lubis, 2009).
Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa prevalensi autisme
mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150 kelahiran
(Fombonne, 2009).

1.3 Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori
yang menjelaskan tentang autisme infantil yaitu :
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967)
menyatakan bahwa autisme terjadi karena ada penolakan orangtua
terhadap anaknya. Anak meolak orangtuanya dan mampu
merasakan perasaan negatif mereka. Anak tersebut meyakini
bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga
menciptakan benteng kekosongan untuk melindungi dirinya sendiri
dari penderitaaan dan kekecewaan (Lubis, 2009).

2

2. Teori genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali
beresiko lebih tinggi dari wanita. Sementara resiko autis jika
memiliki saudara kandung yang juga mengidap autis sekitar 3%
(Kasran, 2003). Kelainan dari gen pembentuk metalotianin juga
berpengaruh terhadap kejadian autis. Metalotianin adalah
kelompok protein yang merupakan mekanisme kontrol tubuh
terhadap tembaga dan deng. Fungsi metalotianin lainnya yaitu
untuk membantu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam
berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem imun.
Disfungsi melatotionin akan menyebabkan penurunan produksi
asam lambung, ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam
berat dan kelainan sistem imun yang sering ditemukan pada orang
autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab lebih
beresikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan
karena sintesis metalotionin ditingkatkan oleh esterogen dan
pregesteron (Kasran, 2003).
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita
autis menunjukkan adanya dua daerah dalam sistem limbik yang
kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua
daerah ini bertanggungjawab atas emosi, agresi, sensory input, dan
belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel
Purkinje di serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance
Imaging (MRI), telah ditemukan dua daerah serebelum, lobulus VI
Ddan VII, yang pada individu autis secara nyata lebih kecil daripada
orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat
yang bertanggung jawab atas perhatian. Dari segi biokimia jaringan
otak, banyak penderita-penderita autis menunjukkan kenaikan dari
serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan
dengan orang normal (Kasran, 2003).


3

1.4 Patogenesis
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam namun tidak
ada satu pun yang spesifik apa penyebab utama dari autisme. Ada
indikasi bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam
suatu studi yang melibatkan anak kembar terlihat bahwa dua kembar
monozigot (kembar identik) kemungkinan 90% akan sama-sama
mengalami autisme, kemungkinan pada dua kembar dizigot (kembar
framental) hanya sekitar 5-10% saja (Kasran, 2003).
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang
teridentifikasi meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat
keterkaitan antara gen serotonin-transporter. Selain itu adanya teori
opioid yang mengemukaan bahwa autisme timbul dari beban yang
berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat usia dini.
Opioid kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid merupakan
perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein makanan.
Meskipun kebenarnnya diragukan, teori ini menarik banyak perhatian.
Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang defisien
dalam mukosa usus, di darah otak (blood-brain) atau oleh karena
adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam
darah untuk mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat
racun dan menimbulkan penyakit (Kasran, 2003).
Terdapat hasil penelitian yang memaparkan adanya hubungan
antara gangguan pencernaan dan gejala autisme. Ternyata lebih dari
60% penyandang autisme ini mempunyai sistem pencernaan yang
kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi (casein) dan
tepung terigu (gluten) yang tidak tercerna dengan sempurna. Protein
dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino
tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino
yang seharusnya dibuang lewat urine. Ternyata pada penyandang
autisme, peptida ini diserap oleh reseptor opioid menjadi morfin yaitu
casomorfin dan gliadorphin yang mempunyai efek merusak sel-sel dan

4

membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena adalah
fungsi kognitif, reseptif, atensi, dan perilaku (Kasran, 2003).
Barrier yang detektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder
karena suatu kelainan. Berbagai uraian tentang abnormalitas neural
pada autisme telah menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyakit
ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satu pun baik teori anatomis yang
sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes diagnostik biologik
yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab utama
autisme. Beberapa peneliti telah mengamati abnormalitas jaringan otak
pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari abnormalitas
ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap perilaku
(Kasran, 2003).
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi
dalam struktur neural dalam jaringan otak dan abnormalitas biokimia
jaringan otak . Dalam kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan
post-mortem otak dari beberapa penderita autisme menunjukkan
adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang
yaitu amygdala dan hypocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab
atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Peneliti ini menemukan
adanya defisiensi sel Purkinje di serebelum. Dengan menggunakan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah ditemukan dua daerah di
serebelum, lobulus VI dan VII yang pada individu autisme secara nyata
lebih kecil daripada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami
sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh
studi empiris neurofarmakologis dan neurokimia pada autisme,
perhatian banyak dipusatkan pada neurotransmitter dan
neuromodulator, pertama sistem dopamine mesolimbik, kemudia
sistem opioid endogen dan oksitosin, selanjutnya pada serotonin, dan
ditemukan adanya hubungan antara autisme dengan kelainan-kelainan
pada sistem tersebut (Kasran, 2003).
Sedangkan dari segi jaringan biokimia jaringan otak, banyak
penderita autisme menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah

5

dan cairan cerebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu
disinggung bahwa abnormalitas serotonin ini juga tampak pada
penderita down syndrome, kelainan hiperaktifitas, dan depresi
unipoler. Juga terbukti bahwa pada individu autisme juga terdapat
kenaikan betaendorphins yang merupakan suatu substansi di dalam
badan mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu
terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar
betaendorphins ini (Kasran, 2003).

1.5 Gejala Autisme
Anak-anak dengan autisme pada umumnya memiliki gangguan
dalam tiga bidang yang sangat penting, yaitu interaksi sosial, bahasa,
dan perilaku.
Tetapi karena gejala dan tingkat keparahan autisme sangat
bervariasi, maka dua anak dengan diagnosa yang sama bisa memiliki
tingkah laku yang cukup berbeda. Pada kebanyakan kasus, anak-anak
dengan autisme berat memiliki gangguan yang sangat jelas atau
ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang
lain.
Beberapa anak menunjukkan tanda-tanda autisme sejak awal
masa bayi. Sebagian lainnya mungkin tampak normal untuk beberapa
bulan atau tahun pertama kehidupan, tetapi kemudian tiba-tiba menjadi
menarik diri atau bersikap agresif atau kehilangan kemampuan
berbahasa yang sebelumnya dimiliki.
Gejala-gejala adanya gangguan dalam interaksi sosial :
- Tidak merespon saat dipanggil namanya
- Tidak ada kontak mata dengan orang yang berbicara dengannya
- Kadang kala tampak tidak mendengarkan orang yang berbicara
dengannya
- Tidak mau dipegang atau dipeluk
- Tampak tidak menyadari perasaan orang lain

6

- Tampak lebih suka bermain sendiri dan lebih asik dengan dunianya
sendiri
- Tidak meminta bantuan atau meminta sesuatu

Gejala-gejala adanya gangguan dalam berbahasa :
- Tidak berbicara atau adanya keterlambatan dalam berbicara
- Kehilangan kemampuan untuk mengucapkan kata-kata atau
kalimat yang sebelumnya telah ada
- Tidak melakukan kontak mata saat meminta sesuatu
- Berbicara dengan nada atau irama yang abnormal, mungkin seperti
menyanyikan lagu atau seperti robot
- Tidak dapat memulai pembicaraan atau mengikuti percakapan
- Bisa mengulang-ulang kata tapi tidak mengerti bagaimana
menggunakan kata-kata tersebut
- Tampaknya tidak mengerti akan pertanyaan atau intruksi yang
sederhana

Gejala-gejala adanya gangguan dalam perilaku :
- Melakukan gerakan-gerakan yang repetitif (diulang-ulang),
misalanya mepak-ngepakkan tangan, bergoyang-goyang, atau
memutar-mutar sesuatu
- Melakukan hal-hal yang rutin atau kebiasaan yang spesifik dan
menjadi terganggu jika ada sedikit saja perubahan
- Terus-menerus bergerak
- Bisa tertarik atau detail akan suatu objek
- Bisa sangat sensitif terhadap cahaya, suara, dan sentuhan
sehingga tidak menyadari ada rasa nyeri
- Bisa melakukan tindkan yang membahayakan diri sendiri, misalnya
membenturkan kepala (Medicastore, 2010).




7

1.6 Diagnosis
Autisme tidak dapat langsung diketahui pada saat anak lahir atau
pada skrining prenatal (tes penyaringan yang dilakukan ketika anak
masih berada dalam kandungan). Tidak ada tes medis yang dilakukan
untuk mendiagnosis autisme.Diagnosis yang akurat harus didasarkan
pada hasil pengamatan terhadap kemampuan komunikasi, perilaku,
dan tingkat perkembangan anak.
Karakteristik kelainan ini sangat bervariasi, maka sebaiknya anak
dievaluasi oleh tim multidisipliner yang terdiri dari ahli saraf, psikolog
anak, ahli perkembangan anak, terapis bahasa dan ahli lain yang
berpengalaman dalam bidang autisme.
Pengamatan singkat dalam satu kali pertemuan tidak dapat
menampilkan gambaran kemampuan dan perilaku anak. Masukan dari
orangtua dan riwayat perkembangan anak merupakan komponen yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis yang akurat
(Medicastore, 2010).

Kriteria autisme menurut DSM IV (Diagnostic Statistical Manual of
Mental Dissorder):
DSM IV : Kriteria Diagnosis untuk 299.00 Gangguan Autisme

A. Enam atau lebih gejala dari (1), (2), dan (3), dengan paling sedikit 2
dari (1) dan 1 dari masing-masing (2) dan (3).
I. Gangguan kualitatif interaksi sosial, yang terlihat sebagai
paling sedikit 2 dari gejala berikut :
1.1 Gangguan yang jelas dalam perilaku non-verbal (perilaku
yang dilaukan tanpa bicara) misalnya kontak mata,
ekspresi wajah, posisi tubuh, dan mimik untuk mengatur
interaksi sosial.
1.2 Tidak bermain dengan teman seumuran dengan cara
yang sesuai.

8

1.3 Tidak berbagi kesenangan, minat, atau kemampuan
mencapai sesuatu hal dengan orang lain, misalnya tidak
memperlihatkan mainan pada orang tua, tidak menunjuk
ke suatu benda yang menarik, tidak berbagi kesenangan
terhadap orangtua.
1.4 Kurangnya interaksi sosial timbal balik, misalnya tidak
berpartisipasi aktif dalam bermain, lebih senang bermain
sendiri.
II. Gangguan kualitatif komunikasi yang terlihat sebagai paling
tidak satu dari gejala berikut :
2.1 Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-
kata berbicara, tanpa disertai usaha kompensasi dengan
cara lain misalnya mimik dan bahasa tubuh.
2.2 Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan
memulai atau mempertahankan komunikasi dengan
orang lain.
2.3 Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau
bahasa yang tidak dapat dimengerti.
2.4 Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan,
atau bermain meniru secara sosial yang sesuai dengan
umur perkembangannya.
III. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang
dan tidak berubah (stereotipik), yang ditunjukkan dengan
adanya 2 dari gejala berikut :
3.1 minat yang terbatas, stereotipik dan menetap dan
abnormla dalam intensitas dan fokus.
3.2 Keterikatan pada ritual yang spesifik dan berulang,
misalnya flapping tangan dan jari, gerakan tubuh yang
kompleks.
3.3 Preokupasi terhadap bagian dari benda.


9

B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada keterampilan berikut,
yang muncul sebelum umur 3 tahun.
I. Interaksi sosial.
II. Bahasa yang digunakan sebagi komunikasi sosial.
III. Bermain simbolik atau imajinatif.

C. Bukan lebih merupakan gejala sindrom Rett atau Childhood
Disintegrative Disorder.

1.7 Terapi
1. APPLIED BEHAVIORAL ANALYSIS (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan
penelitian dan didesain khusus untulk anak dengan autisme.
Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak
dengan memberi hadiah atau pujian. Saat ini jenius terapi ini yang
paling banyak dipakai di Indonesia.

2. TERAPI WICARA
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam
bicara dan berbahasa. Hal inilah yang paling menonjol, banyak pula
individu austic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat
kurang. Dalam hal ini terapi wicara sangat menolong.

3. TERAPI OKUPASI
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan motorik
halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk
memegang pensil dengan cara yang benar, memegang sendok dan
menyuap, dan l;ain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih otot-ototnya dengan benar.




10

4. TERAPI FISIK
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak
diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan
dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek dan
keseimbanganb tubuhnya kurang bagus. Maka terapi inilah yang
banyak menolong.

5. TERAPI SOSIAL
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah
dalam bidang komunikasi dan berinteraksi. Banyak anal-anak ini
membutuhkan pertolongan dalam berkomunikasi dua arah, mencari
teman, dan bermain bersama. Seorang terapis sosial membantu
dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dan
mengajarkan caranya.

6. TERAPI BERMAIN
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autis membutuhkan
pertolongan dalam hal belajar bermain. Berteman dengan teman
sebaya berguna untuk belajar bicara, berkomunikasi, dan
berinteraksi sosial.

7. TERAPI PERILAKU
Anak autistik seringkali merasa frustasi. Teman-temannya
seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit
mengekspresikan kebutuhannya. Mereka banyak hipersensitivitas
terhadap suara, cahaya, dan sentuhan. Tak heran bila mereka
sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari
latar belakang perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya
dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutinitas
anak tersebut.



11

8. TERAPI PERKEMBANGAN
Floortime, Son-Rise, dan RDI (Relationship Developmental
Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak
dipelajari minatnya, kekuatannya, dan tingkat perkembangannya,
kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional, dan
intelektualnya.

9. TERAPI VISUAL
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat. Hal inilah
yang dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi
melalui gambar-gambar. Beberapa video games bisa juga dipakai
untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi.

10. TERAPI BIOMEDIK
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang
tergabung dalam DANI (Defeat Autism Now). Banyak dari para
perintisnya mempunyai anak autis. Mereka sangat percaya bahwa
gejala autisme diperparah olehj adanya gangguan metabolik. Oleh
karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif darah, urin, feses,
dan rambutnya. Ternyata banyak anak menngalami kemajuan
setelah diterapi secara komprehensif, yaitu dari luar dan dari dalam
tubuh sendiri (Triananda et all, 2011).

Terapi-terapi terkini :
a. Diet susu sapi dan terigu
b. Terapi kartun
c. Terapi lumba-lumba
d. Terapi oksigen
e. Terapi antidepresan
f. Terapi pijat kaki (Medical-hypotesis.com, 2010)



12

1.8 Prognosis
Autisme cenderung menjadi kurang berat dengan usia tetapi
kebanyakan pasien dengan autisme parah tidak mungkin bisa hidup
mandiri. Beberapa anak dengan autisme pada usia 4-6 tahun
terutama dengan autisme ringan yang telah diobati pada usia dini
akan mengalami peningkatan bila dikaitkan dengan prognosis
autisme. Hasil dari survei menunjukan 49% orang dewasa dengan
autisme masih tinggal dengan orang tua dan hanya sekitar 12% yang
memiliki pekerjaan paruh waktu (Terapicalistung.com, 2013)
























13

BAB II
TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
2.1 Pendahuluan
Terapi oksigen hiperbarik di negara-negara maju telah berkembang
dengan pesat. Terapi ini digunakan untuk menangani berbagai macam
penyakit, baik penyakit akibat penyelaman maupun penyakit bukan
penyelaman. Di Indonesia, kesehatan hiperbarik telah mulai
dikembangkan oleh kesehatan TNI AL pada tahun 1960 dan terus
berkembang sampai saat ini. Kesehatan TNI AL mempunyai ruang udara
bertekanan tinggi di 4 lokasi, yaitu Tanjung Pinang, Jakarta, Surabaya,
dan Ambon. Terapi oksigen hiperbarik pada beberapa penyakit dapat
sebagai terapi utama maupun terapi tambahan. Namun tidak boleh
dilupakan, meskipun banyak keuntungan yang dperoleh penderita, cara ini
juga mengandung risiko. Sebab itu terapi oksigen hiperbarik harus
dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang telah ditetapkan,
sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan risiko yang minimal.
Terapi oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen tekanan tinggi
untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam ruang udara bertekanan
tinggi. Dasar-dasar terapi oksigen hiperbarik memiliki berbagai macam
pengaruh seperti pengaruh oksigen hiperbarik terhadap mikroorganisme,
pengaruh oksigen hiperbarik terhadap obat-obatan, pengaruh oksigen
hiperbarik terhadap sel jaringan tubuh, dan pengaruh oksigen hiperbarik
terhadap proses penyembuhan luka.
2.2 Efek Oksigen Hiperbarik
Efek terapi oksigen hiperbarik terhadap mikroorganisme adalah
merusak jasad renik tanpa merugikan host. Oleh karena itu prinsipnya
untuk mencapai tingkat tekanan parsial oksigen dalam jaringan yang
dapat merusak jasad renik, bukan malah membantu pertumbuhannya,
tanpa adanya efek negatif terhadap tuan rumah. Sebagai zat antimikroba,

14

oksigen tidak bersifat selektif, nampaknya oksigen menghambat bakteri
gram positif maupun gram negatif dengan kekuatan yang sama. Jadi
dengan demikian oksigen dapat dianggap obat antimikroba yang
berspektrum luas. Terhadap kuman anaerob oksigen hiperbarik bersifat
bakterisid sedangkan terhadap kuman aerob bersifat bakteriostatik. Infeksi
anaerob seperti clostridium penyebab gas gangrene, clostridium tetani,
non-spore forming anaerobes, flora usus, dan flora mulut. Sedangkan
untuk infeksi aerob seperti mycobacterium leprae, mycobacterium
tuberculosis, mycobacterium ulserans, pneumococcus, dan
staphylococcus.
Tujuan dari terapi oksigen hiperbarik terhadap sel jaringan tubuh
adalah mempunyai efek yang baik terhadap aliran darah dan
kelangsungan hidup jaringan yang iskemik. Penggunaan oksigen
hiperbarik dalam klinik meningkat dengan cepat dimana perbaikan
jaringan yang hipoksia dan pengurangan pembengkakan merupakan
faktor utama dalam mekanismenya. Namun sampai saat ini pembenaran
pemakaian oksigen hiperbarik untuk memperbaiki kelangsungan hidup
jaringan didasarkan pada pengamatan klinis belaka, meskipun begitu
diadakan penyempurnaan-penyempurnaan dalam metode penelitian untuk
dapat menentukan dengan tepat pengaruh oksigen hiperbarik terhadap
kelangsungan hidup jaringan.
Dasar-dasar terapi oksigen hiperbarik secara umum adalah
sebagai berikut :
a. pemakaian tekanan akan memperkecil volume gelembung gas
dan penggunaan oksigen hiperbarik juga akan mempercepat
resolusi gelembung gas
b. daerah-daerah yang iskemik atau hipoksik akan menerima
oksigen secara maksimal
c. di daerah yang iskemik, oksigen hiperbarik mendorong atau
merangasang pembentukan pembuluh darah kapiler baru

15

d. penekanan pertumbuhan kuman-kuman baik gram positif
maupun gram negatif dengan pemberian oksigen hiperbarik
e. oksigen hiperbarik mendorong pembentukan fibroblas dan
meningkatkan efek fagositosis dari leukosit.
2.3 Indikasi Oksigen Hiperbarik
Kelainan atau penyakit yang merupakan indikasi terapi oksigen
hiperbarik diklasifikasikan menurut kategorisasi yang dibuat oleh The
Committee of Hyperbaric Oxygenation of the Undersea and Hyperbaric
Medical Society ialah sebagai berikut:
Aktinomikosis, emboli udara, anemia karena kehilangan banyak darah,
insufisiensi arteri perifer akut, infeksi bakteri, keracunan
karbonmonoksida, crush injury and reimplanted appendages, keracunan
sianida, penyakit dekompresi, gas gangren, skin graft, infeksi jaringan
lunak, osteoradinekrosis, radionekrosis jaringan lunak, sistitis akibat
radiasi, ekstraksi gigi pada pada rahang yang diobati dengan radiasi,
mukomikosis, osteomielitis, ujung amputasi yang tidak sembuh, ulkus
diabetik, ulkus statis refraktori, tromboangitis obliterans, luka tidak sembuh
akibat hipoperfusi, inhalasi asap, luka bakar, dan ulkus yang terkait
dengan vaskulitis.
2.4 Kontraindikasi Oksigen Hiperbarik
Kontraindikasi penggunaan Oksigen hiperbarik
a. Absolut : Pneumothoraks yang belum dirawat
b. Relatif : ISPA, sinusitis kronik, penyakit kejang, emfisema
yang disertai retensi karbondioksida, panas tinggi yang tak
terkontrol, riwayat pneumotoraks yang spontan, riwayat operasi
dada, riwayat operasi telinga, kerusakan paru asimptomatik, infeksi
virus, spherositosis kongenital, dan riwayat neuritis optik.


16



Gambar 3.1 Tabung (Chamber) Terapi Oksigen Hiperbarik



















17

BAB III
STATUS PASIEN

IDENTITAS
Nama : GF
Usia : 2,5 tahun
Alamat : Semolowaru, Surabaya.

SUBJEKTIF
KU : Terlambat bicara
RPS :
Autisme sejak lahir, sebelum usia 1 tahun sempat bisa
berbicara namun kemudian kemampuan bicaranya hilang.
Pasien sebelumnya tidak bisa tidur nyenyak dan sering
marah, pasien sudah 2 kali terapi HBO dan ada perubahan
yaitu tidurnya merasa tenang dan perilakunya sudah tidak
agresif lagi. Pasien merupakan anak kedua, usia ibu saat
pertama kali melahirkan anak pertama adalah 32 tahun,
sedangkan usia ibu saat melahirkan pasien adalah 37
tahun.
RPD :
Ibu pasien mengalami pengapuran plasenta saat
mengandung, diketahui saat usia kandungan berumur 8
bulan.
RPK : Autis (+) sepupu
RPO : Ebilivi
Terapi Hiperbarik Oksigen

OBJEKTIF
Keadaan Umum : Tampak Sehat
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 4-5-6

18

TB : 98 cm ; BB : 25 kg ; BMI : 26.031 (Overweight)

PEMERIKSAAN FISIK :
Kepala
A/I/C/D = -/-/-/-
Normochepal
Pupil Isokhor, Refleks cahaya (+)
Membran timpani Intak, sekret (-)

Leher
Deviasi trakea (-) , Pembesaran KGB (-), Bendungan vena (-)

Thoraks
Jantung :
Inspeksi Normochest, Ictus cordis tak tampak
Palpasi Ictus cordis tak teraba
Perkusi Batas Jantung jelas, tidak ada pelebaran
Auskultasi S
1
S
2
Tunggal, murmur (-)

Paru :
Inspeksi Gerak nafas normal
Palpasi Fremitus Raba Normal
Perkusi Sonor
Auskultasi Wheezing (-), Rhonki (-)

Abdomen
Inspeksi Cembung, Simetris
Palpasi Hepar dan Lien tak teraba
Perkusi Tymphani
Auskultasi Bising Usus Normal



19

Ekstremitas
Oedema (-), akral hangat (+)

ASSESSMENT
Diagnosa = Autism Spectrum Disorder (ASD)

PLANNING
Planning Diagnosis :
- MRI
- Tes Saliva

Planning Terapi :
- Terapi Wicara
- Terapi Okupasi
- Terapi Fisik
- Terapi Sosial
- Terapi Hiperbarik

Planning Monitoring :
- Memantau perkembangan perilaku

Planning Edukasi :
- Pengawasan oleh orang tua secara intensif pada penderita
- Terapi rutin
- Kontrol rutin








20

BAB IV
PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK DENGAN AUTISME
Autisme merupakan gangguan perkembangan syaraf dan psikis
pada manusia, bisa terjadi sejak masih dalam kandungan (janin), lahir,
hingga mereka dewasa. Gangguan perkembangan ini ditandai dengan
adanya keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi, serta interaksi sosial. Autisme tidak dapat disembuhkan atau
dihilangkan 100 persen. Tetapi penyandang autisme dapat kembali
normal layaknya anak pada umumnya apabila terapi dan penanganannya
dilakukan dengan baik. Anak yang menderita autisme bisa hidup normal
bila mendapat terapi tepat.
Autisme tidak dapat dikategorikan sebagai penyakit. Sebab, autis
belum dapat disembuhkan, tetapi dapat dibantu dengan terapi, bantuan
guru khusus, dan peran serta orang tua yang turut aktif membantu (Danny
Tania, 2008).
Pada penderita autisme, terjadi gangguan pada fungsi otak, salah
satunya karena kekurangan oksigen sejak lahir atau bahkan selama
dalam kandungan.
Dengan terapi oksigen inilah kerusakan pada otak bisa
diminimalisasi. Menurut penelitian yang diungkap di jurnal Bio Medical
Centre (BMC) Pediatrics, oksigen murni bisa mengurangi inflamasi atau
pembekakan di otak dan meningkatkan asupan oksigen di sel-sel otak.
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan dengan sebuah alat berupa
tabung dekompresi. Penderita autisme masuk ke dalam tabung itu lalu
dialiri oksigen murni dan tekanan udara ditingkatkan menjadi 1,4 atmosfer.
Pemberian terapi oksigen hiperbarik secara rutin menunjukkan perbaikan
pada kondisi saraf dan mengatasi cerebral palsy. Terapi ini banyak dipilih
di beberapa negara dan para peneliti terus mengembangkannya. Dan
Rossignol dari International Child Development Resource Centre, Florida,
AS, melakukan penelitian terhadap 62 penderita autisme berusia 2-7

21

tahun. Responden diberi terapi oksigen selama 40 menit setiap hari
selama sebulan dengan asupan oksigen 24% dan tekanan udara 1,4
atmosfer. Hasilnya, terjadi peningkatan hampir di seluruh fungsi organ
tubuh, seperti sensor gerak, kemampuan kognitif, kontak mata,
kemampuan sosial, dan pemahaman bahasa (Irma Kurniati, 2012).
Sebuah penelitian terkontrol, double-blind, multicenter pernah
dilakukan di Amerika pada tahun 2008. Ada 62 anak autis berusia 2-7
tahun yang dilibatkan. Mereka mendapat terapi hiperbarik dengan tekanan
1,4 atmosfer dan oksigen 24%. Sebagai pembanding, digunakan terapi
dengan tekanan 1,03 atmosfer, dan oksigen 21%. Penilaian setelah 40
kali terapi menunjukkan lebih dari 50% anak dalam 7 kelompok pertama
mengalami kemajuan yang bagus dalam segala bidang dibandingkan
kelompok kontrol (Melly Budiman, 2009).
Di Jakarta, penelitian juga sudah dilakukan meski tanpa kelompok
kontrol. Penelitian dilakukan RS MMC Jakarta dengan peserta 25 anak
berumur antara 2-14 tahun. Terapi hiperbarik diberikan dengan tekanan
1,5 atmosfer, oksigen 24% selama 40 kali. Menurut Melly, ditemukan
kemajuan yang sangat baik di segala bidang (9 anak), kemajuan baik (12
anak), kemajuan minimal (2 anak) dan 2 lainnya tidak mengalami
kemajuan ataupun kemunduran. Bidang yang dinilai adalah komunikasi,
interaksi, perilaku, sensoris, emosi, dan metabolisme (Melly Budiman,
2009). Selain memperbaiki fungsi otak, secara umum ekstra oksigen yang
didapat dari terapi oksigen hiperbarik juga berguna untuk meningkatkan
kemampuan sel darah putih untuk melawan infeksi, meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit, membentuk pembuluh darah kapiler baru,
membunuh kuman-kuman anaerob dalam usus, dan membantu setiap
organ dalam tubuh berfungsi dengan lebih baik (Eni Kartinah, 2012).
Pemberian terapi oksigen hiperbarik secara rutin menunjukkan
perbaikan pada kondisi saraf dan mengatasi cerebral palsy. Hasil dari
beberapa penelitian terkait dengan pemanfaatan terapi oksigen hiperbarik
bagi penderita autis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hampir di

22

seluruh fungsi organ tubuh, seperti sensor gerak, kemampuan kognitif,
kontak mata, kemampuan sosial, dan pemahaman bahasa.































23

DAFTAR PUSTAKA

1. Kasran, Suharko, 2003, Autisme : Konsep yang Sedang
Berkembang. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Universitas
Trisakti. Jurnal Kedokteran Trisakti, Vol 22 No. 1;24-30.
2. Sadock, B. J dan Alot, V. 2007. Kaplan and Sadocks Synopsis
of Psychiatry Behavioural Sciences/Clinical Psyciatry. 10th
Edition. University School of Medicine New York; Chapter 42.
3. Triananda, Teguh dkk 2011, Efek Terapi Hiperbarik Oksigen
terhadap Penurunan Kadar Mediator Inflamasi dan Penurunan
Angka Kejadian Disfungsi Mitokondrial pada Penderita Autis,
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah, Surabaya
4. http://www.medical-hypoteses.com/article/S0306-
9877%2806%2900119-8/abstract
5. http://www.terapicalistung.com/prognosis-autisme/
6. http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=20003251115
32
7. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Widiyanto,%20
M.Kes./Makalah%20OLK%20Solo%203-12-12.pdf
8. http://assets.kompas.com/data/photo/2013/03/12/1911378-
tabung-terapi-oksigen-hiperbarik-620X310.JPG
9. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. Juni,
2013.

Anda mungkin juga menyukai