Anda di halaman 1dari 26

AUTISME, PSORIASIS, SISTEMIK LUPUS ERITEMATOUS

Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Makanan
Formula Dan Modifikasi Kuliner

Disusun Oleh :

Amalia Chairunnisa (P23131116041)

Dewi Resti Setiani (P23131116046)

Made Rexvi D.C (P23131116055)

Rizal Maulana (P23131116064)

Dosen Pembimbing :

Dr. Marudut, M.PS

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN II JAKARTA
2018
Kata Pengantar

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena hanya dengan Rahmat dan
Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul autisme, psoriasis, sistemik
lupus eritematous. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengembangan Makanan Formula Dan Modifikasi Kuliner.

Dalam penyelesaian makalah, penulis banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan oleh
kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak, terutama Bapak
Dr.Marudut, M.PS selaku dosen mata kuliah Pengembangan Makanan Formula Dan Modifikasi
Kuliner Politeknik Kesehatan Kementerian Jakarta II Jurusan Gizi, akhirnya makalah ini dapat
diselesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materill sehingga
makalah ini tersusun.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan pihak
– pihak yang memerlukannya.
BAB I

AUTISME

1.1 Pengertian

Menurut Handajo, autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang
autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan sejak
tahun 1943 oleh Leo Kenner
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang kompleks, biasanya
muncul pada anak-anak terutama usia 1 – 3 tahun akibat adanya kelainan biologis dan
neurologis pada otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan
kekebalan tubuh. Ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Pada umumnya penderita
autisme mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka.
Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial baik pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya
Autisme adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi
cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain.
Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti karena
antara lain ketidak mampuannya untuk berkomunikasi verbal maupun non-verbal
Anak-anak autisme tidak mampu membentuk jalinan emosi dengan orang lain. Ada
banyak hal yang sulit dimengerti oleh pikiran, perasaan dan keinginan orang lain.
Seringkali bahasa maupun pikiran mereka mengalami kegagalan sehinga sulit komunikasi
dan sosialisasi. Para peneliti kemudian menyatakan bahwa autisme bukan hanya gangguan
fungsional, tetapi didasari adanya gangguan organik dalam perkembangan otak
Menurut Mujiyanti (2011), ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam anak autis
dan ada 4 gejala yang selalu muncul yaitu :
1. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari kontak sosial kedalam suatu keadaan
yang disebut extreme autistic alones. Hal ini akan semakin terlihat pada anak
yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak ada.
2. Kelemahan kognitif
Anak autis sebagian besar (±70%) mengalami retardasi mental (IQ<70) disebut
dengan autis dengan tuna grahita
3. Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh,
merengek, atau menunjukkan ecocalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan
orang lain.
4. Tingkah laku stereotif
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus
menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan
lain sebagainya. Gerakan ini dilakukan berulangulang disebabkan karena
kerusakan fisik, misalnya ada gangguan neurologis.

1.2 Jenis-jenis Autis

Menurut McCandless (2003) autis dibagi menjadi dua, yaitu :


1) Autisme Klasik
Autis sebelum lahir merupakan bawaan yang diturunkan dari orang tua ke anak
yang dilahirkan atau sering disebut autis yang disebabkan oleh genetika (keturunan).
Kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena saat hamil ibu terinfeksi virus seperti
rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang
berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel otak janin.
2) Autisme Regresif
Muncul saat anak berusia 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak
relatif normal, namun sejak usia anak 2 tahun perkembangannya merosot. Anak yang
tadinya sudah bisa membuat kalimat beberapa kata berubah menjadi diam dan tidak
lagi berbicara. Anak menjadi acuh dan tidak ada lagi kontak mata. Beberapa ahli
menganggap autism regresif karena anak terkontaminasi langsung faktor pemicu.
Paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan merupakan faktor
yang paling diperhatikan.
1.3 Etiologi dan Patofisiologi

Menurut Sari (2009) autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori
mengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Faktor Genetika
Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus dilakukan. Sampai saat ini
ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme. Namun kejadian autisme
baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja gejala autisme tidak
muncul meskipun anak tersebut membawa gen autisme (Budhiman, M; Shattock, P;
Ariani, E, 2002).
2) Kelainan Anatomis Otak
Menurut Winarno (2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan dengan laju
kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki puzzling sign
of inflammation (peradangan yang membingungkan). Bagian corpus callosum,
biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus callosum merupakan pita
tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere otak kanan dan otak kiri. Kegiatan
crossing bagian otak yang berbeda menjadi kurang terkoordinir sehingga lalu lintas
stimulus tidak harmonis.
Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada nervus ke VI
dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar
berbahasa dan proses atensi (perhatian). Kelainan khas juga ditemukan pada sistem
limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan
kelainan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.
3) Disfungsi Metabolik
Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan memecah
komponen asam amino phenolik. Amino phenolik dapat menyebabkan terjadinya
gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari lembaga psikiatri
biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk
menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu
memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen animo phenolik merupakan
bahan baku pembentukan neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak
dimetabolisme dengan baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi
syaraf. Makanan yang mengandung amino phenolitik itu adalah : terigu (gandum),
jagung, gula, coklat, pisang dan apel (Mujiyanti, 2011).
4) Infeksi Kandidiasis
Anak-anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan usus yang meradang
sangat mudah diserang oleh jamur khususnya jamur dari spesies Candida.
Infeksi Candida Albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena
dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh dengan subur. Makanan ini
dilaporkan dapat menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan
adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida Albicans dengan gejala-gejala
menyerupai autis seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan
kontak mata (Mujiyanti, 2011).
5) Teori Kelebihan Opioid dan Hubungannya Dengan Diet Protein Kasein dan
Protein Gluten
Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi dan emosi
penyandang autis. Peptide tersebut berasal dari pencernaan makanan yang tidak
sempurna khususnya gluten dan kasein. Gluten berasal dari gandum dan biji-bijian
(sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein berasal dari susu dan
produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut) maka terjadi peningkatan
jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena adanya peningkatan jumlah peptide yang
terbentuk diusus sehingga yang masuk ke aliran darah pun relative lebih banyak,
demikian juga yang melewati sawar darah otak. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan
perilaku yang tampak secara klinis (Nugraheni, 2008).
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua potein ini
hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap
dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak
lazim kebanyakan ditemukan di membrane saluran cerna pasien autis, yang
menyebabkan masuknya peptide didalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah
protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor
tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten
dan casein menurunkan kadar peptide opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis
pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik
untuk memperoleh kesembuhan pasien (Mujiyanti, 2011).

1.4 Patofisiologi Autisme

Autisme dianggap sebagai gangguan otak yang menggambarkan bahwa gangguan


ini dimulai dan berakhir di otak yang dikenal dengan whole body disorder (bahwa otak
dipengaruhi oleh biokimia yang dihasilkan dalam tubuh), beberapa faktor yang
mempengaruhi, yaitu :

1) Defisiensi Gizi
Karena masalah sensorik, sebagian besar anak autisme tidak menyukai rasa dan
tekstur dari makanan tertentu, sehingga seringkali terjadi kekurangan gizi. Zat gizi
khusus diperlukan untuk proses biokimia yang kompleks, dan zat gizi hanya dapat
dicerna dan diserap dari makanan dan suplemen ketika saluran pencernaan berfungsi
dengan baik. Beberapa cara untuk meningkatkan asupan meliputi: meningkatkan
kualitas dan kemampuan mencerna makanan dengan menambah jumlah makanan
padat gizi, seperti sayuran, menyisipkan sayuran dalam makanan yang biasa dimakan
dan memberikan suplemen (Matthews 2010).

2) Pertumbuhan Jamur yang Berlebih


Jamur adalah organisme berbahaya yang dapat mempengaruhi energi,
kejernihan pikiran dan kesehatan usus. Jamur berlebih sering dipicu oleh penggunaan
antibiotik, dan sebaiknya hindari gula karena mengakibatkan pertumbuhan jamur yang
berlebih, hindari makanan yang mengandung ragi, mengurangi atau menghindari
tepung kanji, memberikan makanan yang kaya probiotik (Matthews 2010).

3) Teori Metallothionein
Metallothionein merupakan suatu protein yang memiliki banyak fungsi,
diantaranya diperlukan untuk pengaturan kadar zinc dan tembaga di dalam darah,
detoksifikasi merkuri dan logam beracun lainnya karena kemampuannya mengikat
logam berat, membentuk sistem imun tubuh dan neuron otak, dan memproduksi
enzim-enzim yang dapat memecah gluten dan casein. Selain itu metallothionein juga
berperan di daerah hipokampus otak yang memodulasi pengaturan tingkah laku,
memori, emosi, dan sosialisasi. Pada anak autisme didapatkan kadar metallothionein
yang rendah (Candless 2005 ; Dufault 2009).

4) Toxicity Logam Berat dan Gangguan Proses Detoksifikasi


Logam berat dapat menembus blood-brain barrier, sehingga dapat
menimbulkan gangguan pada perkembangan anak, fungsi kognitif, atensi dan
konsentrasi, impulsifitas serta kemampuan dalam berespon dan berinteraksi. Logam
berat dapat memasuki tubuh melalui makanan, pernafasan, maupun diserap melalui
kulit. Anak autisme tidak dapat mengeluarkan secara efisien zat-zat beracun yang
memasuki tubuh mereka.
Penyebab proses detoksifikasi natural menjadi rusak pada anak autisme masih
belum terdapat penjelasan yang jelas. Akumulasi dari logam berat ini juga secara
alami akan menyebabkan penekanan jumlah 4 antioksidan glutation dalam tubuh
selain itu juga dapat mengakibatkan gangguan neurobehaviour maupun kognitif
(Candless 2005 ; Blaurock-Busch et al. 2012).

5) Gangguan Proses Biokimia Sulfasi, Metilasi, Glutation dan Stress Oksidatif


Sulfasi
Sulfat termasuk salah satu mineral penting yang banyak dijumpai dalam tubuh,
sekitar 80% diproduksi secara in vivo melalui oksidasi metionin atau cystein,
keduanya mengandung sulfur asam amino yang diperoleh dari protein makanan.
Sulfasi diperlukan untuk banyak fungsi terutama untuk proses detoksifikasi, inaktivasi
katekolamin, sintesis jaringan otak, dan sulfasi protein musin yang melapisi saluran
pencernaan. Bahan kimia berbahaya yang dikenal sebagai fenol melekat pada sulfat
dan dikeluarkan dari tubuh. Ketika kadar sulfat dalam aliran darah berkurang, senyawa
fenolik dapat tertimbun dalam tubuh sehingga dapat mengganggu fungsi
neurotransmitter. Pada anak autisme dijumpai kadar sulfat plasma yang rendah (James
et al. 2009 ; Newman 2009).
6) Glutation
Glutathione (Lγ-glutamyl-L-cysteinyl-glisin) adalah peptida intraseluler yang
memiliki berbagai fungsi termasuk detoksifikasi xenobiotik dan metabolitnya,
menjaga keseimbangan redoks intraseluler, dan antioksidan endogen utama yang
dihasilkan untuk melawan radikal bebas. Glutation sangat berperan dalam proses
detoksifikasi sehingga defisiensi glutation dapat n menyebabkan akumulasi bahan
toksik lingkungan dan logam-logam berat. Jika hal ini terjadi pada awal
perkembangan anak akan dapat mempengaruhi ekspresi gen yang berfungsi mengatur
perkembangan saraf (James et al. 2004; Kałużna-Czaplińska et al. 2011; Main et al.
2012).
7) Stres Oksidatif
Di dalam tubuh anak autisme didapatkan kadar stres oksidatif yang tinggi.
Ditandai dengan meningkatnya nitric oxide yang dapat merusak blood brain barrier
dan menyebabkan demyelinasi, merusak reseptor kolinergik, penurunan fungsi GABA
reseptor sehingga konsentrasi glutamic acid decarboxylase (GAD) yang berfungsi
untuk mengubah excitotonin 5 glutamate menjadi GABA menurun yang akan
mengakibatkan menurunnya resistensi terjadinya apoptosis neuron dan juga dapat
merusak mucin usus sehingga menyebabkan meningkatnya permeabilitas usus (
Bernhoft & Buttar 2008; James et al. 2009; Newman 2009 ). Glutation termasuk
antioksidan utama dan didapatkan sangat rendah pada anak autisme. Defisiensi
glutation ini dapat disebabkan karena pemakaian glutation yang berlebih pada anak
autisme atau akibat defisiensi asam amino yang diperlukan sebagai prekursor glutation
(Warsiki 2012).

1.5 Mekanisme Terjadinya Autis- Defisiensi Nutrisi

1) Mekanisme Racun Logam Berat


Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna, sistem imun
tubuh, sistem syaraf dan sistem endokrin. Logam berat mengubah fungsi seluler dan
sejumlah proses metabolisme dalam tubuh, termasuk yang berhubungan dengan sistem
syaraf pusat dan sekitarnya. Sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh logam
berat disebabkan oleh perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Produksi radikal
bebas yang berlebihan dapat terjadi apabila seseorang terpapar logam berat atau anak-
anak memiliki defisiensi antioksidan secara genetis. Radikal bebas akan dapat merusak
jaringan diseluruh tubuh , termasuk otak. Antioksidan seperti vitamin A,C,dan E
melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat 18 tertentu memperbaiki
kerusakan akibat radikal bebas (McCandless, 2003).
2) Imun Tubuh dan Saluran Cerna Berinteraksi
Banyak anak autisme mempunyai semacam imun yang malfungsi. Seringkali
kerusakan fungsi ini menyebabkan tubuh salah mengidentifikasi sel-sel diri sendiri
(self) dan menduganya sebagai molekul asing (foreign). Pada tipe disfungsi seperti ini,
sistem imun akan menyerang tubuh itu sendiri. Ini adalah salah satu tipe proses yang
antara lain dapat menyebabkan peradangan saluran cerna. Saluran cerna merupakan
penghalang penting antara pathogen yang datang dari luar dan organ-organ dalam
dimana sejumlah mekanisme imun terdapat pada ephitalium. Lapisan usus ini bertugas
memblokir patogen luar agar tidak melakukan perusakan (McCandless, 2003).
3) Pertumbuhan Jamur Berlebih Dapat Melukai Sistem Saluran Cerna
Karena terjadi imunodefisiensi anak sering terkena penyakit dan diberikan obat
antibiotik. Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bakteri yang
resisten terhadap antibiotik dan menyebabkan terbunuhnya bakteri lactobacillus
akibatnya terjadi yeast growt. Diare kronis atau sembelit pada anak dapat menunjukkan
pertumbuhan pada jamur yang berlebihan pada banyak individu. Pertumbuhan jamur
yang berlebihan dapat melukai sistem saluran cerna dan merupakan salah satu
penyebab spectrum autis (McCandless, 2003).
4) Peningkatan Permeabilitas Mukosa Usus “Leaky Gut”
Adanya mikro organisme di usus halus dapat menyebabkan permukaan sel epitel
mensekresi suatu protein yang dikenal sebagai zonulin (regulator utama dari
permeabilitas usus). Zonulin akan membawa cairan keluar dari sel dan menghanyutkan
bakteri patogen pada permukaan sel untuk dikeluarkan dari tubuh. Ini merupakan
mekanisme pertahanan tubuh pada intestine. Sekitar 80% anak dengan autisme
menderita autistic enterocolitis. Pada autisme zonulin/ zonula accludens toxin (Zot)
memberi signal agar tight junction membuka. Zonulin dan zot akan berinteraksi
dengan reseptor yang sama dipermukaan sel usus dengan jumlah yang bervariasi.
Dalam interaksi ini terjadi polimerisasi yang menyebabkan pembentukan kembali
filamen actin dan protein dari junctional complex. Akibat yang ditimbulkan dari
polimerisasi ini tight junction menjadi semakin longgar, sehingga terjadi
hipermeabilitas pada mukosa intestine yang dapat menyebabkan sejumlah toksin,
antigen, molekul besar yang belum sempurna dicerna (seperti peptide dari gluten dan
kasein) dan zat-zat yang tidak berguna lainnya diabsorbsi oleh epitel mukosa usus
(Nugraheni, 2008).
Penyerapan protein yang tidak cukup atau tidak sesuai oleh usus dapat
menyebabkan kelainan sistem pencernaan. Sistem pencernaan yang sehat akan mampu
mencerna makanan yang kompleks dan memecahnya kedalam bentuk yang dapat
diserap oleh sel-sel tubuh yang kemudian menjadi energi melalui metabolisme tubuh.
Pada anak autis protein dan peptida yang tidak dapat dicerna berasal dari kasein dan
gluten. Peptida yang tidak bisa diterima oleh tubuh dapat memasuki aliran darah dan
apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid. Lubang- lubang yang
abnormal diantara dinding-dinding lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-
zat beracun lainnya merembes memasuki lairan darah. Substansi racun ini dapat
melukai atau merusak sawar darah otak yang menyebabkan 21 rusaknya kesadaran,
kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah laku (Mujiyanti, 2011).

1.6 Diet Untuk Penderita Autis

a. Diet CFGF ( Gluten Free Casein Free )


Makanan yang mengandung gluten dan kasein, protein yang terkandung di dalam
susu dicurigai dapat mempengaruhi kesehatan usus pada penderita autis. Gluten dan
kasein dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim
untuk mencerna kedua jenis protein ini. Akibatnya protein yang tidak tercerna ini akan
diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid yang bersifat seperti morfin,
opium dan heroin yang bekerja sebagai toksik (racun) yang dapat mengganggu fungsi
otak, imunitas serta menimbulkan gangguan perilaku. Diet non gluten non kasein ini
dapat membantu penderita autis untuk mengendalikan reaksi alergi pada sistem
pencernaan sekligus bermanfaat untuk mengendalikan “keaktifan” penderita autis
(Abata, 2014)

Diet Makanan yang tidak Makanan Pengganti


diberikan
Bebas gluten Biscuit, mie, roti, kue, Tepung beras, tepung
snack dan segala jenis tapioca, singkong, ubi,
makanan lain yang talas, jagung, beras, bihun.
mengandung tepung terigu
dan beras ketan
Bebas Casein Makanan atau minuman Susu kedelai, daging, dan
yang mengandung susu ikan segar (tidak
seperti: keju, mozzarella, diawetkan), unggas, telur,
butter, permen susu, es udang, kerang, cumi, tahu,
krim, yoghurt. kacang hijau, kacang
merah, kacang tolo,
kacang mede, kacang
kapri.

b. Membatasi Asupan Gula


Gula yang tidak direkomendasikan Gula alternatif
Gula pasir, syrup, minuman yang Jus buah alami tanpa gula, gula palem
berkarbonasi dan jus buah dalam namun dengan jumlah yang sedikit dan
kemasan. hanya untuk dicampur kedalam pembuatan
kue, gula buah (fruktosa)
Gula dari saccharine, aspartame seperti Gula jagung (gula sorbitol)
Tropicana slim dan equal.
c. Diet bebas jamur
Semua jenis makanan yang diolah dengan proses fermentasi. Jenis makanan
tersebut seperti : semua jenis jamur segar maupun kering, kecap, tauco, keju, kue yang
dibuat dengan menggunakan soda pengembang, fermipan, atau sejenisnya, makanan
yang sudah lama disimpan atau buah-buahan yang dikeringkan, hindarkan makanan
yang dibuat melalui peragian (tempe, roti, dan lain-lain)

d. Gangguan Gizi Yang Dialami Anak Autis


Menurut Abata (2014) anak autis mengalami gangguan gizi diantaranya yaitu :
1) Kekurangan Asam Lemak Omega-3
Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak essensial yang dibutuhkan
tubuh, sementara tubuh tidak dapat mensintesisnya. Sumber asam lemak omega-3
yaitu minyak biji-bijian, kacang-kacangan dan minyak ikan.
2) Kekurangan Zink
Zink diperlukan untuk perkembangan mukosa usus yang sehat,
pengembangan sistem imun yang sempurna, dan metabolisme tulang. Kebutuhan
zink untuk bayi 3-5 mg/ hari, untuk anak usia 1-9 tahun 8-10 mg/ hari. Kekurangan
zink kronis dapat menyebabkan gangguan fungsi pencernaan, sistem imun dan
dapat mengganggu sistem syaraf dan otak. Sumber zink antara lain protein hewani
: daging, hati, kerang dan telur.
3) Kelebihan Tembaga
Zat tembaga yang berlebihan dapat meningkatkan penghancuran asam
lemak dalam sel terutama sel otak dan juga dapat menyebabkan sirosis hati. Hal ini
dapat terjadi karena suplemen tembaga atau menggunakan alat masak dari tembaga
untuk masak yang bersifat asam.
4) Kekurangan Kalsium dan Magnesium
Fungsi kalsium untuk pembentukan tulang, gigi dan kontraksi otot.
Kekurangan kalsium dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan mudah
terjadi kejang otot. Sumber kalsium antara lain susu, teri, udang, telur dan kacang-
kacangan. Magnesium berfungsi sebagai katalisator reaksi-reaksi biologis didalam
sel jaringan. Didalam cairan ekstra seluler berperan di transmisi syaraf, kontraksi
otot atau mengendurkan otot dan pembentukan darah. Kekurangan magnesium
dapat menyebabkan gangguan sistem syaraf pusat, kurang nafsu makan, gugup dan
mudah tersinggung. Sumber magnesium yaitu sayuran hijau, biji-bijian, serealia,
kacang-kacangan, daging, susu dan coklat.
BAB II

PSORIASIS

2.1 Pengertian
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit menahun. Penyakit ini umumnya yang
ditandai dengan ruam memerah, kulit terkelupas, menebal, terasa kering, dan bersisik.
Tanda-tanda tersebut juga terkadang disertai rasa gatal atau perih.
Semua bagian tubuh bisa terserang gejala psoriasis. Namun, kondisi ini biasanya muncul
pada lutut, punggung bagian bawah, siku, atau kulit kepala.

2.2 Patofisiologi
Patofisiologi psoriasis masih belum diketahui pasti karena akar penyebab utamanya
masih belum diketahui secara jelas. Psoriasis merupakan penyakit kulit inflamasi kronis,
dengan dasar genetik yang kuat, ditandai dengan perubahan yang kompleks pada
pertumbuhan dan diferensisasi epidermal, biokimia, sistem imun, kelainan vaskuler, dan
fungsi sistem saraf.

Pada orang normal, produksi sel kulit berlangsung sekitar 3-4 minggu, dimana sel
kulit baru tumbuh di bagian terbawah dan secara perlahan naik ke permukaan kulit dan
kulit yang berada di atasnya akan apoptosis sehingga berkurang dengan sendirinya. Pada
penderita psoriasis, proses tersebut hanya berlangsung sekitar 3-7 hari menyebabkan
peningkatan produksi sel.Percepatan dari siklus hidup sel kulit menyebabkan produksi
yang meningkat dan terus menerus, sehingga sel kulit tersebut terdorong dan menumpuk
ke permukaan kulit sehingga menunjukkan gambaran plak keras pada area yang terkena.

Proses genetik dan kelainan sistem imun berperan penting dalam terjadinya
psoriasis.Beberapa orang mewarisi gen yang menyebabkan mereka cenderung lebih
mudah terkena psoriasis. Sampai saat ini telah ditemukan setidaknya 8 lokus kromosom
yang berkaitan dengan psoriasis. Lokus tersebut dikenal dengan nama PSORS I-VIII.
Penelitian mendetail tentang pemetaan gen telah menemukan bahwa HLA-Cw6 allele
yang juga dikenal sebagai PSORS1 merupakan gen utama yang berperan pada kejadian
psoriasis.

Pada penderita psoriasis terdapat kelainan sistem imun dimana leukosit sel-T
menerima sinyal yang salah yang menyebabkan penyerangan terhadap sel kulit. Secara
spesifik, epidermis diinfiltrasi oleh sejumlah besar sel-T teraktivasi, dimana sel-T yang
teraktivasi mampu menginduksi proliferasi keratinosit. Pada akhirnya, proses inflamasi
dengan produksi besar dari sitokin (TNF- α, interferon-ᵞ, interleukin-12) , menyebabkan
munculnya gambaran klinis dari psoriasis.

Perubahan respon imun dan kelainan genetik menyebabkan hiperplasia sel


epidermal dan dilatasi pembuluh darah superfisial yang akan membuat peningkatan
kecepatan turnover atau pergantian siklus hidup sel kulit, menyebabkan maturasi sel yang
tidak baik.

2.3 Penyebab

Etiologi psoriasis masih belum diketahui pasti. Penyebab timbulnya penyakit ini
diduga adalah penyebab genetik dan kelainan pada sistem imun. Orang-orang yang
mewarisi gen PSORS I-VIII diduga memiliki risko lebih tinggi untuk menderita penyakit
ini. Keberadaan sel T yang overreaktif juga berperan dalam menyebabkan psoriasis.

Tidak semua orang yang memiliki risiko terkena psoriasis akan memiliki
manifestasi. Ada beberapa faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya gejala
psoriasis. Faktor pencetus yang diduga terlibat diantaranya adalah infeksi (seperti
infeksi Streptococcus), cedera jaringan kulit (seperti luka bakar), stres, merokok,
konsumsi alkohol berlebihan, defisiensi vitamin D, dan beberapa jenis obat (seperti obat
antimalaria dan lithium).

2.4 Hormon Yang Berperan

Beberapa orang mewarisi gen yang menyebabkan mereka cenderung lebih mudah
terkena psoriasis. Sampai saat ini telah ditemukan setidaknya 8 lokus kromosom yang
berkaitan dengan psoriasis. Lokus tersebut dikenal dengan nama PSORS I-VIII. Penelitian
mendetail tentang pemetaan gen telah menemukan bahwa HLA-Cw6 allele yang juga
dikenal sebagai PSORS1 merupakan gen utama yang berperan pada kejadian psoriasis.

Pada penderita psoriasis terdapat kelainan sistem imun dimana leukosit sel-T
menerima sinyal yang salah yang menyebabkan penyerangan terhadap sel kulit. Secara
spesifik, epidermis diinfiltrasi oleh sejumlah besar sel-T teraktivasi, dimana sel-T yang
teraktivasi mampu menginduksi proliferasi keratinosit. Pada akhirnya, proses inflamasi
dengan produksi besar dari sitokin (TNF- α, interferon-ᵞ, interleukin-12) , menyebabkan
munculnya gambaran klinis dari psoriasis.

Orang-orang yang mewarisi gen PSORS I-VIII diduga memiliki risko lebih tinggi
untuk menderita penyakit ini. Keberadaan sel T yang overreaktif juga berperan dalam
menyebabkan psoriasis

2.5 Zat Gizi Yang Baik Untuk Penyakit Psoriasis

Sampai saat ini belum di temukan sebuah bukti ilmiah yang menunjukan bahwa
makanan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mengatasi psoriasis

Namun ada bukti menunjukan bahwa kehilangan berat badan akan mampu
meredakan gejalanya. Menurut heather mangieri, RD seorang ahli gizi merekomendasikam
agar penderita psoriasis melakukan gerakan diet sehat dan seimbang untuk dapat
mengontrol berat badan dan penyakit psoriasis itu sendiri

Dasar pola makan yang dianjurkan untuk penderita psoriasis ialah makanan sehat
yang mengandung protein tanpa kulit, gandum, buah dan sayur.

2.6 Makanan Yang Dianjurkan

1. Ikan dan makanan laut


2. Wortel dan labu
3. Biji bijian
4. Daging tanpa lemak
5. Kacang kacangan dan alpukat
6. Blueberi
7. Kunyit
8. Bawang putih
9. Selada
10. Sayuran hijau brokoli
11. Ikan salmon dan minyak ikan
12. Ubi jalar
BAB II

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOUS

3.1 Pengertian
Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang
menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan
tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi-sistem
dimana banyak manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan
mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ apa yang
diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan
nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trombositopenia.

` Faktor Risiko Penyakit SLE

1. Faktor genetik: Faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko SLE. Sekitar 7%
pasien SLE memiliki keluarga yang juga terdiagnosis SLE.
2. Faktor Lingkungan: infeksi, stres, makanan, antibiotik (khusunya kelompok sulfa dan
penisilin), cahaya ultraviolet dan obat-obatan tertentu.
3. Faktor hormonal: perempuan lebih sering terkenan SLE dibandingkan dengan laki-laki.
Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit SLE sebelum periode menstruasi/selama
kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon, khusunya estrogen menjadi pencetus
penyakit SLE. Namun, belum diketahui secara pasti tentang peran hormon yang menjadi
penyebabnya.

3.2 Patogenesis

Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase puncak
(flares).
1. Fase inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang
sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE.
2. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera
jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke
sel hidup.
3. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan
sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama
pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE.
Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

3.3 Penyebab

SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel


HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun yang
abnorma
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLADRB1,
IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen, pengaruh
hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun abnormal. Respons imun
mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi antigen dan
respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan
peningkatan ekspresi molekul permukaan seperti HLA-D dan CD40L, menunjukkan
bahwa sel mudah teraktivasi oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan
oleh molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir
anomali ini adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating
cells; (2)
fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan kemotaksin, peptida
vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE
yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom,
beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen bermigrasi
ke permukaan dan fosfolipid membran berubah orientasi sehingga bagian antigen menjadi
dekat dengan permukaan. Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi atau kerusakan
sel bermigrasi ke permukaan sel.

Antigen yang dekat dengan atau terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi
sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu dengan SLE, fagositosis dan
penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak mumpuni.

Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh
sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka waktu
yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada titik kritis. Sejak
hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan konstituen sel
normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan lupus. Serum pasien
dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di serum terhadap antigen nukleus
(antinuclearantibodies, atau ANA). Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang
dapat dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro,
dan lain-lain. Daftar berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE,
prevalensi, antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut. Pada
kasus ini ditemukan tes antinuclearantibodies, atau ANA yang positif.

3.4 Faktor Lingkungan


Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan faktor yang
paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop antigen didermis atau
epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau disregulasi
sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam lupus. Pengobatan
seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan lupus eritematosus
yang diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE. Mungkin yang paling menarik
adalah beberapa obat antirematik dapat menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan
serologisnya mirip SLE. Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal
sebagai penyebab lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang
diinduksi obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai
pengaruh geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan ini. Asam
amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan terhadap asam
amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada manusia,seperti juga telah
terbukti pada kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan sebagai penjelasan untuk peningkatan
kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.
Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien mengidap SLE,
infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau saluran kemih seringkali diikuti dengan
cetusan aktivitas penyakit. Studi pada hewan menunjukkan bahwa retrovirus dapat
menginduksi fenomena autoimun mirip SLE. Kasus SLE meningkat sejalan dengan
pajanan kimiawi, kecelakaan, atau trauma fisik dan psikologis. Belum ada pola yang jelas
dalam kemunculan SLE, dan kausalitas hubungan ini masih spekulatif. Pada kasus ini, sinar
ultraviolet merupakan faktor pencetus yang jelas karena menurut anamnesis, pasien
mengeluh ruam atau kemerahan pada mukanya menjadi berat dengan paparan pada sinar
matahari. Pada pasien ini juga terjadi infeksi yaitu pneumonia. Sesuai dengan teori, antara
infeksi yang sering terjadi adalah infeksi yang melibatkan salur pernafasan, yaitu
pneumonia.

3.5 Pengaruh Hormonal


Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif, peningkatan
aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi pada wanita
pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks
steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk
menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko
terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita SLE yang penyakitnya
stabil.
Sumber Zat Gizi untuk Penderita SLE
1. Asam Lemak Tak Jenuh Ganda
Asam lemak omega-3, seperti asam eikosapentanoat dan asam docosaheksanoat,
menimbulkan efek anti-inflamasi dengan mengurangi tingkat protein reaktif C (CRP) dan
mediator inflamasi lainnya. Pembatasan kalori dan suplementasi diet yang baik dengan
omega-3 PUFA, asam eikosapentanoat dan asam docosahexanoic (dengan perbandingan 3:
1), mengatur kadar kolesterol total, LDL-C dan TG. Terlepas dari efek anti-inflamasi,
menambahkan omega-3 PUFA dalam diet pasien SLE melindungi terhadap radikal bebas
dan membantu mempertahankan perubahan kardiovaskular dengan mengurangi tingkat
antibodi (anti-dsDNA), interleukin (IL-1α, IL-1β, IL- 2) dan TNF-α, dan mengatur
proteinuria dan tekanan darah. Asam omega-3 lainnya seperti asam α-linolenat dan asam
lin-linolenat juga memiliki efek menguntungkan dengan membatasi sekresi TNF-α dan IL-
2. Sumber utama untuk omega-3 PUFA adalah minyak krill, minyak ikan, minyak zaitun,
minyak canola, minyak biji rami, ikan (salmon, tuna, sarden, herring). Minyak krill yang
diekstraksi dianggap lebih unggul daripada minyak ikan karena mengandung jumlah
omega-3 PUFA yang lebih tinggi dan memiliki efek antioksidan dan mengurangi infiltrat
sendi radang. Dengan konsentrasi 70% omega-3 PUFA dan kaya akan asam α-linolenat,
asupan harian minyak biji rami 30 g dapat menurunkan kreatinin serum pada pasien SLE
dengan disfungsi ginjal. Dosis tinggi minyak ikan (18 g / hari) juga bermanfaat dalam
mengurangi kadar TG hingga ~ 40%, sementara meningkatkan HDL-C sepertiga.

2. Protein
Asupan protein moderat 0,6 g / kg / hari berguna untuk meningkatkan fungsi ginjal pada
pasien SLE. Sumber utama protein adalah daging dan telur.

3. Serat
Asupan harian serat yang ditemukan dalam sereal utuh, buah-buahan dan sayuran, harus
sekitar 38 g untuk pria dan 25 g untuk wanita, untuk mengurangi kadar glikemia dan lipid
pasca-prandial, mengatur hiperlipidemia, dan menurunkan tekanan darah dan protein
reaktif C.
4. Vitamin D
Vitamin D adalah hormon steroid dengan peran penting pada metabolisme mineral dan
homeostasis sistem kekebalan tubuh, dan kekurangannya telah dikaitkan dengan
kerentanan yang lebih tinggi dari SLE dan aktivitas penyakit yang lebih parah, terutama
pada pasien dengan kulit gelap. bentuk aktif vitamin D (kalsitriol) dapat meningkatkan
respon imun bawaan, mengatur respon sel T dan B. Oleh karena itu, tingkat vitamin D yang
lebih rendah dapat menjadi faktor risiko untuk memicu tidak hanya SLE, tetapi juga
penyakit autoimun lainnya.

5. Vitamin E
terutama dikombinasikan dengan omega-3 PUFA dari minyak ikan, menurunkan kadar
sitokin inflamasi, IL-2, IL-4 dan TNF-α

6. Vitamin C
Vitamin C merupakan antioksidan penting, mencegah stres oksidatif, mengurangi
peradangan dan menurunkan tingkat antibodi (anti-dsDNA, IgG), juga mencegah
komplikasi kardiovaskular. Oleh karena itu, vitamin C harus ditambahkan dalam diet
pasien SLE dengan dosis maksimum 1 g / hari, atau dalam kombinasi dengan vitamin E
(vitamin C; 500 mg dan vitamin E; 800 IU), karena tindakan sinergisnya. Jus jeruk, jeruk
keprok, pepaya, dan brokoli adalah sumber vitamin C yang sangat baik.

7. Vitamin A
Asam retinoat, metabolit vitamin A, memiliki efek antineoplastik, menghambat Th-17 dan
mengurangi tingkat antibodi dan oleh karena itu suplementasi diet harus mencakup 100.000 IU
vitamin A setiap hari. Sumber alami vitamin A meliputi terutama wortel dan labu, tetapi dapat
ditemukan dalam bayam, ubi jalar dan hati.

8. Mineral
Perhatian khusus harus diberikan pada asupan mineral karena yang terbaik adalah
membatasi konsumsi beberapa mineral seperti seng dan natrium. Itu menekankan bahwa
penurunan seng dapat meningkatkan gejala pada pasien SLE dan juga mengurangi kadar
antibodi (anti-dsDNA). Seng terutama ditemukan dalam moluska, tetapi juga dalam susu,
kedelai, dan bayam. Asupan natrium tidak hanya tidak memiliki efek menguntungkan
tetapi juga memperburuk disfungsi ginjal pada pasien SLE, yang harus disarankan untuk
mengurangi garam dan bumbu dari makanan mereka. Untuk pasien ini, asupan natrium
harus kurang dari 3 g/hari. Selenium memiliki efek antioksidan dan anti-inflamasi dan
dapat ditambahkan ke diet pasien dari konsumsi kacang-kacangan, sereal utuh dan telur.
Kadar kalsium dapat ditingkatkan dengan asupan susu, bayam, sarden atau kedelai untuk
membantu mencegah kehilangan massa tulang. . Zat besi hanya boleh digunakan pada
pasien anemia, untuk menjaga keseimbangan, karena kelebihan zat besi dapat
memperburuk gangguan ginjal pada pasien SLE dan defisiensi memperburuk gejala klinis.
DAFTAR PUSTAKA

García-Carrasco M, Mendoza Pinto C, Solís Poblano JC, et al. Systemic lupus erythematosus. In:
Anaya JM, Shoenfeld Y, Rojas-Villarraga A, et al., editors. Autoimmunity: From Bench to
Bedside [Internet]. Bogota (Colombia): El Rosario University Press; 2013 Jul 18. Chapter
25. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459474/

Constantin, Maria-Magdalena et al. “Significance and impact of dietary factors on systemic lupus
erythematosus pathogenesis.” Experimental and therapeutic medicine vol. 17,2 (2018): 1085-
1090. doi:10.3892/etm.2018.698

Higeia Journal Of Public Health Research And Development Faktor Risiko Kejadian Autisme.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia
Zulfa Zahra, Endang Warsiki. GASPEK BIOMEDIK PADA AUTISME FOKUS PADA DIET
DAN NUTRISI. http://journal.unair.ac.id

Anda mungkin juga menyukai