Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Makanan
Formula Dan Modifikasi Kuliner
Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing :
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena hanya dengan Rahmat dan
Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul autisme, psoriasis, sistemik
lupus eritematous. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengembangan Makanan Formula Dan Modifikasi Kuliner.
Dalam penyelesaian makalah, penulis banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan oleh
kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak, terutama Bapak
Dr.Marudut, M.PS selaku dosen mata kuliah Pengembangan Makanan Formula Dan Modifikasi
Kuliner Politeknik Kesehatan Kementerian Jakarta II Jurusan Gizi, akhirnya makalah ini dapat
diselesaikan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materill sehingga
makalah ini tersusun.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan pihak
– pihak yang memerlukannya.
BAB I
AUTISME
1.1 Pengertian
Menurut Handajo, autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang
autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan sejak
tahun 1943 oleh Leo Kenner
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang kompleks, biasanya
muncul pada anak-anak terutama usia 1 – 3 tahun akibat adanya kelainan biologis dan
neurologis pada otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan
kekebalan tubuh. Ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Pada umumnya penderita
autisme mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka.
Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial baik pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya
Autisme adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi
cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain.
Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti karena
antara lain ketidak mampuannya untuk berkomunikasi verbal maupun non-verbal
Anak-anak autisme tidak mampu membentuk jalinan emosi dengan orang lain. Ada
banyak hal yang sulit dimengerti oleh pikiran, perasaan dan keinginan orang lain.
Seringkali bahasa maupun pikiran mereka mengalami kegagalan sehinga sulit komunikasi
dan sosialisasi. Para peneliti kemudian menyatakan bahwa autisme bukan hanya gangguan
fungsional, tetapi didasari adanya gangguan organik dalam perkembangan otak
Menurut Mujiyanti (2011), ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam anak autis
dan ada 4 gejala yang selalu muncul yaitu :
1. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari kontak sosial kedalam suatu keadaan
yang disebut extreme autistic alones. Hal ini akan semakin terlihat pada anak
yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak ada.
2. Kelemahan kognitif
Anak autis sebagian besar (±70%) mengalami retardasi mental (IQ<70) disebut
dengan autis dengan tuna grahita
3. Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh,
merengek, atau menunjukkan ecocalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan
orang lain.
4. Tingkah laku stereotif
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus
menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan
lain sebagainya. Gerakan ini dilakukan berulangulang disebabkan karena
kerusakan fisik, misalnya ada gangguan neurologis.
Menurut Sari (2009) autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori
mengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Faktor Genetika
Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus dilakukan. Sampai saat ini
ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme. Namun kejadian autisme
baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja gejala autisme tidak
muncul meskipun anak tersebut membawa gen autisme (Budhiman, M; Shattock, P;
Ariani, E, 2002).
2) Kelainan Anatomis Otak
Menurut Winarno (2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan dengan laju
kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki puzzling sign
of inflammation (peradangan yang membingungkan). Bagian corpus callosum,
biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus callosum merupakan pita
tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere otak kanan dan otak kiri. Kegiatan
crossing bagian otak yang berbeda menjadi kurang terkoordinir sehingga lalu lintas
stimulus tidak harmonis.
Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada nervus ke VI
dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar
berbahasa dan proses atensi (perhatian). Kelainan khas juga ditemukan pada sistem
limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan
kelainan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.
3) Disfungsi Metabolik
Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan memecah
komponen asam amino phenolik. Amino phenolik dapat menyebabkan terjadinya
gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari lembaga psikiatri
biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk
menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu
memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen animo phenolik merupakan
bahan baku pembentukan neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak
dimetabolisme dengan baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi
syaraf. Makanan yang mengandung amino phenolitik itu adalah : terigu (gandum),
jagung, gula, coklat, pisang dan apel (Mujiyanti, 2011).
4) Infeksi Kandidiasis
Anak-anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan usus yang meradang
sangat mudah diserang oleh jamur khususnya jamur dari spesies Candida.
Infeksi Candida Albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena
dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh dengan subur. Makanan ini
dilaporkan dapat menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan
adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida Albicans dengan gejala-gejala
menyerupai autis seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan
kontak mata (Mujiyanti, 2011).
5) Teori Kelebihan Opioid dan Hubungannya Dengan Diet Protein Kasein dan
Protein Gluten
Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi dan emosi
penyandang autis. Peptide tersebut berasal dari pencernaan makanan yang tidak
sempurna khususnya gluten dan kasein. Gluten berasal dari gandum dan biji-bijian
(sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein berasal dari susu dan
produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut) maka terjadi peningkatan
jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena adanya peningkatan jumlah peptide yang
terbentuk diusus sehingga yang masuk ke aliran darah pun relative lebih banyak,
demikian juga yang melewati sawar darah otak. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan
perilaku yang tampak secara klinis (Nugraheni, 2008).
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua potein ini
hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap
dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak
lazim kebanyakan ditemukan di membrane saluran cerna pasien autis, yang
menyebabkan masuknya peptide didalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah
protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor
tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten
dan casein menurunkan kadar peptide opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis
pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik
untuk memperoleh kesembuhan pasien (Mujiyanti, 2011).
1) Defisiensi Gizi
Karena masalah sensorik, sebagian besar anak autisme tidak menyukai rasa dan
tekstur dari makanan tertentu, sehingga seringkali terjadi kekurangan gizi. Zat gizi
khusus diperlukan untuk proses biokimia yang kompleks, dan zat gizi hanya dapat
dicerna dan diserap dari makanan dan suplemen ketika saluran pencernaan berfungsi
dengan baik. Beberapa cara untuk meningkatkan asupan meliputi: meningkatkan
kualitas dan kemampuan mencerna makanan dengan menambah jumlah makanan
padat gizi, seperti sayuran, menyisipkan sayuran dalam makanan yang biasa dimakan
dan memberikan suplemen (Matthews 2010).
3) Teori Metallothionein
Metallothionein merupakan suatu protein yang memiliki banyak fungsi,
diantaranya diperlukan untuk pengaturan kadar zinc dan tembaga di dalam darah,
detoksifikasi merkuri dan logam beracun lainnya karena kemampuannya mengikat
logam berat, membentuk sistem imun tubuh dan neuron otak, dan memproduksi
enzim-enzim yang dapat memecah gluten dan casein. Selain itu metallothionein juga
berperan di daerah hipokampus otak yang memodulasi pengaturan tingkah laku,
memori, emosi, dan sosialisasi. Pada anak autisme didapatkan kadar metallothionein
yang rendah (Candless 2005 ; Dufault 2009).
PSORIASIS
2.1 Pengertian
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit menahun. Penyakit ini umumnya yang
ditandai dengan ruam memerah, kulit terkelupas, menebal, terasa kering, dan bersisik.
Tanda-tanda tersebut juga terkadang disertai rasa gatal atau perih.
Semua bagian tubuh bisa terserang gejala psoriasis. Namun, kondisi ini biasanya muncul
pada lutut, punggung bagian bawah, siku, atau kulit kepala.
2.2 Patofisiologi
Patofisiologi psoriasis masih belum diketahui pasti karena akar penyebab utamanya
masih belum diketahui secara jelas. Psoriasis merupakan penyakit kulit inflamasi kronis,
dengan dasar genetik yang kuat, ditandai dengan perubahan yang kompleks pada
pertumbuhan dan diferensisasi epidermal, biokimia, sistem imun, kelainan vaskuler, dan
fungsi sistem saraf.
Pada orang normal, produksi sel kulit berlangsung sekitar 3-4 minggu, dimana sel
kulit baru tumbuh di bagian terbawah dan secara perlahan naik ke permukaan kulit dan
kulit yang berada di atasnya akan apoptosis sehingga berkurang dengan sendirinya. Pada
penderita psoriasis, proses tersebut hanya berlangsung sekitar 3-7 hari menyebabkan
peningkatan produksi sel.Percepatan dari siklus hidup sel kulit menyebabkan produksi
yang meningkat dan terus menerus, sehingga sel kulit tersebut terdorong dan menumpuk
ke permukaan kulit sehingga menunjukkan gambaran plak keras pada area yang terkena.
Proses genetik dan kelainan sistem imun berperan penting dalam terjadinya
psoriasis.Beberapa orang mewarisi gen yang menyebabkan mereka cenderung lebih
mudah terkena psoriasis. Sampai saat ini telah ditemukan setidaknya 8 lokus kromosom
yang berkaitan dengan psoriasis. Lokus tersebut dikenal dengan nama PSORS I-VIII.
Penelitian mendetail tentang pemetaan gen telah menemukan bahwa HLA-Cw6 allele
yang juga dikenal sebagai PSORS1 merupakan gen utama yang berperan pada kejadian
psoriasis.
Pada penderita psoriasis terdapat kelainan sistem imun dimana leukosit sel-T
menerima sinyal yang salah yang menyebabkan penyerangan terhadap sel kulit. Secara
spesifik, epidermis diinfiltrasi oleh sejumlah besar sel-T teraktivasi, dimana sel-T yang
teraktivasi mampu menginduksi proliferasi keratinosit. Pada akhirnya, proses inflamasi
dengan produksi besar dari sitokin (TNF- α, interferon-ᵞ, interleukin-12) , menyebabkan
munculnya gambaran klinis dari psoriasis.
2.3 Penyebab
Etiologi psoriasis masih belum diketahui pasti. Penyebab timbulnya penyakit ini
diduga adalah penyebab genetik dan kelainan pada sistem imun. Orang-orang yang
mewarisi gen PSORS I-VIII diduga memiliki risko lebih tinggi untuk menderita penyakit
ini. Keberadaan sel T yang overreaktif juga berperan dalam menyebabkan psoriasis.
Tidak semua orang yang memiliki risiko terkena psoriasis akan memiliki
manifestasi. Ada beberapa faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya gejala
psoriasis. Faktor pencetus yang diduga terlibat diantaranya adalah infeksi (seperti
infeksi Streptococcus), cedera jaringan kulit (seperti luka bakar), stres, merokok,
konsumsi alkohol berlebihan, defisiensi vitamin D, dan beberapa jenis obat (seperti obat
antimalaria dan lithium).
Beberapa orang mewarisi gen yang menyebabkan mereka cenderung lebih mudah
terkena psoriasis. Sampai saat ini telah ditemukan setidaknya 8 lokus kromosom yang
berkaitan dengan psoriasis. Lokus tersebut dikenal dengan nama PSORS I-VIII. Penelitian
mendetail tentang pemetaan gen telah menemukan bahwa HLA-Cw6 allele yang juga
dikenal sebagai PSORS1 merupakan gen utama yang berperan pada kejadian psoriasis.
Pada penderita psoriasis terdapat kelainan sistem imun dimana leukosit sel-T
menerima sinyal yang salah yang menyebabkan penyerangan terhadap sel kulit. Secara
spesifik, epidermis diinfiltrasi oleh sejumlah besar sel-T teraktivasi, dimana sel-T yang
teraktivasi mampu menginduksi proliferasi keratinosit. Pada akhirnya, proses inflamasi
dengan produksi besar dari sitokin (TNF- α, interferon-ᵞ, interleukin-12) , menyebabkan
munculnya gambaran klinis dari psoriasis.
Orang-orang yang mewarisi gen PSORS I-VIII diduga memiliki risko lebih tinggi
untuk menderita penyakit ini. Keberadaan sel T yang overreaktif juga berperan dalam
menyebabkan psoriasis
Sampai saat ini belum di temukan sebuah bukti ilmiah yang menunjukan bahwa
makanan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mengatasi psoriasis
Namun ada bukti menunjukan bahwa kehilangan berat badan akan mampu
meredakan gejalanya. Menurut heather mangieri, RD seorang ahli gizi merekomendasikam
agar penderita psoriasis melakukan gerakan diet sehat dan seimbang untuk dapat
mengontrol berat badan dan penyakit psoriasis itu sendiri
Dasar pola makan yang dianjurkan untuk penderita psoriasis ialah makanan sehat
yang mengandung protein tanpa kulit, gandum, buah dan sayur.
3.1 Pengertian
Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang
menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan
tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi-sistem
dimana banyak manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan
mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ apa yang
diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan
nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trombositopenia.
1. Faktor genetik: Faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko SLE. Sekitar 7%
pasien SLE memiliki keluarga yang juga terdiagnosis SLE.
2. Faktor Lingkungan: infeksi, stres, makanan, antibiotik (khusunya kelompok sulfa dan
penisilin), cahaya ultraviolet dan obat-obatan tertentu.
3. Faktor hormonal: perempuan lebih sering terkenan SLE dibandingkan dengan laki-laki.
Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit SLE sebelum periode menstruasi/selama
kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon, khusunya estrogen menjadi pencetus
penyakit SLE. Namun, belum diketahui secara pasti tentang peran hormon yang menjadi
penyebabnya.
3.2 Patogenesis
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase puncak
(flares).
1. Fase inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang
sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE.
2. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera
jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke
sel hidup.
3. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan
sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama
pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE.
Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.
3.3 Penyebab
Antigen yang dekat dengan atau terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi
sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu dengan SLE, fagositosis dan
penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak mumpuni.
Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh
sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka waktu
yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada titik kritis. Sejak
hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan konstituen sel
normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan lupus. Serum pasien
dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di serum terhadap antigen nukleus
(antinuclearantibodies, atau ANA). Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang
dapat dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro,
dan lain-lain. Daftar berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE,
prevalensi, antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut. Pada
kasus ini ditemukan tes antinuclearantibodies, atau ANA yang positif.
2. Protein
Asupan protein moderat 0,6 g / kg / hari berguna untuk meningkatkan fungsi ginjal pada
pasien SLE. Sumber utama protein adalah daging dan telur.
3. Serat
Asupan harian serat yang ditemukan dalam sereal utuh, buah-buahan dan sayuran, harus
sekitar 38 g untuk pria dan 25 g untuk wanita, untuk mengurangi kadar glikemia dan lipid
pasca-prandial, mengatur hiperlipidemia, dan menurunkan tekanan darah dan protein
reaktif C.
4. Vitamin D
Vitamin D adalah hormon steroid dengan peran penting pada metabolisme mineral dan
homeostasis sistem kekebalan tubuh, dan kekurangannya telah dikaitkan dengan
kerentanan yang lebih tinggi dari SLE dan aktivitas penyakit yang lebih parah, terutama
pada pasien dengan kulit gelap. bentuk aktif vitamin D (kalsitriol) dapat meningkatkan
respon imun bawaan, mengatur respon sel T dan B. Oleh karena itu, tingkat vitamin D yang
lebih rendah dapat menjadi faktor risiko untuk memicu tidak hanya SLE, tetapi juga
penyakit autoimun lainnya.
5. Vitamin E
terutama dikombinasikan dengan omega-3 PUFA dari minyak ikan, menurunkan kadar
sitokin inflamasi, IL-2, IL-4 dan TNF-α
6. Vitamin C
Vitamin C merupakan antioksidan penting, mencegah stres oksidatif, mengurangi
peradangan dan menurunkan tingkat antibodi (anti-dsDNA, IgG), juga mencegah
komplikasi kardiovaskular. Oleh karena itu, vitamin C harus ditambahkan dalam diet
pasien SLE dengan dosis maksimum 1 g / hari, atau dalam kombinasi dengan vitamin E
(vitamin C; 500 mg dan vitamin E; 800 IU), karena tindakan sinergisnya. Jus jeruk, jeruk
keprok, pepaya, dan brokoli adalah sumber vitamin C yang sangat baik.
7. Vitamin A
Asam retinoat, metabolit vitamin A, memiliki efek antineoplastik, menghambat Th-17 dan
mengurangi tingkat antibodi dan oleh karena itu suplementasi diet harus mencakup 100.000 IU
vitamin A setiap hari. Sumber alami vitamin A meliputi terutama wortel dan labu, tetapi dapat
ditemukan dalam bayam, ubi jalar dan hati.
8. Mineral
Perhatian khusus harus diberikan pada asupan mineral karena yang terbaik adalah
membatasi konsumsi beberapa mineral seperti seng dan natrium. Itu menekankan bahwa
penurunan seng dapat meningkatkan gejala pada pasien SLE dan juga mengurangi kadar
antibodi (anti-dsDNA). Seng terutama ditemukan dalam moluska, tetapi juga dalam susu,
kedelai, dan bayam. Asupan natrium tidak hanya tidak memiliki efek menguntungkan
tetapi juga memperburuk disfungsi ginjal pada pasien SLE, yang harus disarankan untuk
mengurangi garam dan bumbu dari makanan mereka. Untuk pasien ini, asupan natrium
harus kurang dari 3 g/hari. Selenium memiliki efek antioksidan dan anti-inflamasi dan
dapat ditambahkan ke diet pasien dari konsumsi kacang-kacangan, sereal utuh dan telur.
Kadar kalsium dapat ditingkatkan dengan asupan susu, bayam, sarden atau kedelai untuk
membantu mencegah kehilangan massa tulang. . Zat besi hanya boleh digunakan pada
pasien anemia, untuk menjaga keseimbangan, karena kelebihan zat besi dapat
memperburuk gangguan ginjal pada pasien SLE dan defisiensi memperburuk gejala klinis.
DAFTAR PUSTAKA
García-Carrasco M, Mendoza Pinto C, Solís Poblano JC, et al. Systemic lupus erythematosus. In:
Anaya JM, Shoenfeld Y, Rojas-Villarraga A, et al., editors. Autoimmunity: From Bench to
Bedside [Internet]. Bogota (Colombia): El Rosario University Press; 2013 Jul 18. Chapter
25. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459474/
Constantin, Maria-Magdalena et al. “Significance and impact of dietary factors on systemic lupus
erythematosus pathogenesis.” Experimental and therapeutic medicine vol. 17,2 (2018): 1085-
1090. doi:10.3892/etm.2018.698
Higeia Journal Of Public Health Research And Development Faktor Risiko Kejadian Autisme.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia
Zulfa Zahra, Endang Warsiki. GASPEK BIOMEDIK PADA AUTISME FOKUS PADA DIET
DAN NUTRISI. http://journal.unair.ac.id