PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
b. Tujuan
a. Mahasiswa memahami tentang konsep gangguan autism.
b. Mahasiswa memahami tentang konsep gangguan hiperaktif.
c. Mahasiswa memahami tentang konsep gangguan down sindrom.
d. Mahasiswa memahami tentang konsep gangguan retardasi mental.
e. Mahasiswa memahami tentang asuhan keperawatan pada anak yang mengalami
autism.
f. Mahasiswa memahami tentang asuhan keperawatan pada anak yang mengalami
hiperaktif.
g. Mahasiswa memahami tentang asuhan keperawatan pada anak yang mengalami
down sindrom.
h. Mahasiswa memahami tentang asuhan keperawatan pada anak yang mengalami
down retardasi mental.
BAB II
KONSEP GANGGUAN SISTEM
A. Definisi
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan penanganan khusus
yang berkaitan dengan kekhususanya.(Fadhli, 2010). Anak yang memiliki gangguan
kognitif juga termasuk anak yang berkebutuhan khusus. Gangguan kognitif adalah
sebuah istilah umum yang mencakup setiap jenis kesulitan atau defisiensi mental (Wong,
2008).
Anak yang berkebutuhan khusus antara lain autisme, hiperaktif, down sindrom dan
retardasi mental. Penatalaksanaan terapi pada anak yang berkebutuhan khusus paling
efektif dilakukan pada usia sebelum lima tahun. Setelah lima tahun hasilnya berjalan lebih
lambat. Pada usia 5-7 tahun perkembangan otak melambat menjadi 25% dari usia
sebelum 5 tahun. Meski tidak secepat anak normal, kita harus member kesempatan pada
anak berkebutuhan khusus ini untuk berkembang, dia masih dapat menguasai beberapa
kemampuan seperti halnya anak normal yang lain. (Monika & Waruwu, 2006)
a. Penyebab Autisme
Beberapa tahun yang lalu, penyebab autisme masih merupkan suatu misteri,
oeh karena itu banyak hipotesis yang berkembang mengenai penyebab autisme.
Salah satu hipotesis yang kemudian mendapat tanggapan yang luas adalah teori “ibu
yang dingin”. Menurut teori ini dikatakan bahwa anak masuk ke dalam dunianya
sendiri oleh karena merasa ditolak oleh ibu yang dingin. Teori ini banyak yang
menentang karena banyak ibu yang bersifat hangat tetap mempunyai anak yang
menunjukkan ciri - ciri autisme. Teori tersebut tidak memberi gambaran secara pasti,
sehingga hal ini mengakibatkan penanganan yang diberikan kurang tepat bahkan
tidak jarang berlawanan dan berakibat kurang menguntungan bagi pekembangan
individu autisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang
kedokteran akhir-akhir ini telah menginformasikan individu dengan gangguan autisme
mengalami kelainan neurobiologis pada susunan saraf pusat. Kelainan ini berupa
pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada beberapa bagian otak. Gangguan
pertumbuhan sel otak ini, terjadi selama kehamilan, terutama kemahilan muda dimana
sel-sel otak sedang dibentuk.
Pemeriksaan dengan alat khusus yang disebut Magnetic Resonance Imaging
(MRI) pada otak ditemukan adanya kerusakan yang khas di dalam otak pada daerah
apa yang disebut dengan limbik sistem (pusat emosi). Pada umumnya individu
autisme tidak dapat mengendalikan emosinya, sering agresif terhadap orang lain dan
diri sendiri, atau sangat pasif seolah -olah tidak mempunyai emosi. Selain itu muncul
pula perilaku yang berulang - ulang (stereotipik) dan hiperaktivitas. Kedua peilaku
tersebut erat kaitannya dengan adanya gangguan pada daerah limbik sistem di otak.
Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak yang
menimbulkan gangguan autisme di antaranya adanya pertumbuhan jamur Candida
yang berlebihan di dalam usus. Akibat terlalu banyak jamur , maka sekresi enzim ke
dalam usus berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tak dapat dicerna
dengan sempurna. Beberapa protein jika tidak dicerna secara sempurna akan menjadi
“racun” bagi tubuh. Protein biasanya suatu rantai yang terdiri dari 20 asam amino. Bila
pencernaan baik, maka rantai tersebut seluruhnya dapat diputus dan ke - 20 asam
amino tersebut akan diserap oleh tubuh. Namun bila pencernaan kurang baik, maka
masih ada beberapa asam amino yang rantainya belum terputus. Rangkaian yang
terdiri dari beberapa asam amino disebut peptida. Oleh karena adanya kebocoran
usus, maka peptida tersebut diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam aliran
darah, menembus ke dalam otak. Di dalam otak peptide tersebut ditangkap oleh
reseptor oploid, dan ia berfungsi seperti opium atau morfin. Melimpahnya zat-zat yang
bekerja seperti opium ini ke dalam otak menyebabkan terganggunya kerja susunan
saraf pusat. Yang terganggu biasanya seperti persepsi, kognisi (kecerdasan), emosi,
dan perilaku. Dimana gejalanya mirip dengan gejala yang ada pada individu autisme.
Tentu masih terdapat dugaan-dugaan lain yang menimbulkan keruskan pada otak
seperti adanya timbal , mercury atau zat beracun lainnya yang termakan bersama
makanan yang dikonsumsi ibu hamil, yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan
otak janin yang dikandungnya. Apapun yang melatarbelakangi penyebab gangguan
pada individu autisme, yang jelas bukan karena ibu yang frigit (ibu yang tidak memberi
kehangatan kasih sayang), seperti yang dianut dahulu, akan tetapi gangguan pada
autisme terjadi erat kaitannya dengan gangguan pada otak.
b. Karakteristik autisme
Karakteristik gangguan autisme pada sebagian individu sudah mulai muncul
sejak bayi. Kciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan reaksi yang
sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya.Ciri ini semakin jelas dengan
bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari individu penyandang autisme,
perkembangannya sudah terjadi secara “.relatif normal”. Pada saat bayi sudah
menatap, mengoceh, dan cukup menunjukkan reaksi pada orang lain, tetap kemudian
pada suatu saat sebelum usia 3 tahun ia berhenti berkembang dan terjadi
kemunduran. Ia mulai menolak tatap mata, berhenti mengoceh, dan tidak bereaksi
terhdap orang lain.
Oleh karena itu kemudian diketahui bahwa seseorang baru dikatakan
mengalami gangguan autisme , jika ia memiliki gangguan perkembangan dalam tiga
aspek yaitu kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang
dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas disertai gerakan
- gerakan berulang tanpa tujuan Ciri-ciri tersebut harus sudah terlihat sebelum anak
berumur 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek gangguan perkemb
angan di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, dapat disimpulkan
bahwa autism sesungguhnya adalah sekumpulan gejala/ciri yang melatar-belakangi
berbagai factor yang sangat bervariasi, berkaitan satu sama lain dan unik karena tidak
sama untuk masing-masing anak. Dengan demikian, maka sering ditemukan ciri-ciri
yang tumpang tindih dengan beberapa gangguan perkembangan lain. Gradasi
manifestasi gangguan juga sangat lebar antara yang berat hingga yang ringan. Di satu
sisi ada individu yang memiliki semua gejala, dan di sisi lain ada individu yang memiliki
sedikit gejala.
Adapun tanda-tanda awal autism anak usia 0-5 tahun menurut Harris (1989) sebagai
berikut:
1. Bayi lahir – usia 6 bulan
a. Anak “ terlalu tenang atau baik”
b. Mudah terangsang (irritable) banyak menangis terutama malam, susah
ditenangkan
c. Jarang menyodorkan kedua tangan untuk minta diangkat
d. Jarang mengoceh
e. Jarang menunjukkan senyuman social
f. Jarang menunjukkan kontak mata
g. Perkembangan gerakan kasar tampak normal
c. Pertimbangan Keperawatan
Intervensi terapeutik untuk anak penderita autism merupaka wilayah khusus yang
melibatkan profesioal terlatih. Meskipun tidak ada penyembuhan utuk autism,
berbagai terapi telah digunakan. Hasil yang paling menjanjikan adalah melalui
program modifikasi perilaku yang dilakukan secara intensif dan terstruktur. Secara
umum, tujuan penanganan adalah meningkatkan penguatan positif, enigkatkan
kesadaran social terhadap orang lain, mengajari keterampilan komunikasi verbal, dan
mengurangi perilaku yag tidak dapat diterima. Memberikan rutinitas terstruktur untuk
diikuti anak merupakan kunci dalam penatalaksanaan autism.
Apabila anak ini di rawat di rumah sakit, orang tua sangat penting merencanakan
asuhan dan idealnya harus tinggal bersama anak sesering mungkin. Perawat harus
memahami bahwa tidak semua anak penderita autism sama dan bahwa mereka akan
memerlukan pengkajian dan penatalaksanaan individual. Mengurangi stimulasi
dengan menggunakan ruang pribadi, menghindari distraksi suara dan visual yang
berlebihan, dan mendorong orag tua untuk membawakan barang-barang yang sangat
enting bagi anak dapat mengurangi gangguan akibat rawat inap. Karea kontak fisik
sering menjengkelkan anak ini maka menggendong dan kontak mata perlu dibatasi
untuk menghindaari ledakan perilaku. Harus hati-hati saat melakukan prosedur,
member obat, atau member makan anak, karea mereka susah makan sampai
kelaparan sendiri atau melakukan muntah untuk meghidari makan anak atau
mengulum makanan, menelan semua benda yang bisa atau tidak bisa dimakan,
seperti thermometer.
Mereka perlu diperkenalkan dengan situasi baru secara perlahan, kunjungan
pemberi asuhan dibuat singkat jika mugkin. Karena anak ini mengalami kesulitan
mengatur perilaku dan mengarahkan kembali energy mereka, maka segala sesuatu
yang harus dikerjakan mereka perlu diperintah secara langsung. Komunikasi harus
sesuai dengan tingkat perkembangan anak, singkat dan konkret. Hanya satu
permintaan diberikan pada satu kesempatan, seperti “duduk di tempat tidur”.
Orang tua memerlukan ahli untuk konsultasi dini dalam riwayat penyakitnya dan
harus dirujuk ke Autism Society of America (ASA). ASA menyediakan informasi
mengenai edukasi, program dan teknik penanganan, serta fasilitas seperti berkemah
dan rumah kelompok. Ada juga kelompok sibling yang dinamakan SHARE
(SiblingsHelping Persons with Autism Through Resources and Energy). Sumber
daya yang sangat membantu lainnya adalah departemen kesehatan mental local dan
nasional serta hendaya (desabilitas) perkembangan; organisasi ini menyediakan
program penting untuk anak autistic dan program dalam sekolah seluruh wilayah
Amerika Serikat. Ketika anak mendekati masa dewasa dan orang tua menjadi
semakin tua, keluarga mungkin memerlukan bantuan untuk mencari fasilitas
penempatan jangka panjang.
c. Manifestasi Klinis
Ukuran objektif tidak memperlihatkan bahwa anak yang terkena gangguan
ini memperlihatkan aktivitas fisik yang lebih banyak, juka dibandingkan dengna
anak-anak kotrol yang normal, tetapi gerakan-gerakan yang mereka lakukan
kelihatan lebih kurang bertujuan serta mereka selalu gelisah dan resah. Mereka
mempunyai rentang perhatian yang pendek, mudah dialihkan serta bersifat
impulsive dan mereka cenderung untuk bertindak tanpa mempertimbangkan atau
merenungkan akibat tindakan tersebut. Mereka mempunyai toleransi yang rendah
terhadap perasaan frustasi dan secara emosional mereka adalah orang-orang
yang labil serta mudah terangsang. Suasana perasaan hati mereka cenderung
untuk bersifat netral atau pertenangan, mereka kerap kali berkelompok, tetapi
secara social mereka bersikap kaku. Beberapa orang di antara mereka bersikap
bermusuhan dan negative, tetepi ciri ini sering terjadi secara sekunder terhadap
permasalahan-permasalahan psikososial yang mereka alami. Beberapa orang
lainnya sangat bergantung secara berlebih-lebihan, namun yang lain lagi bersikap
begitu bebas dan merdeka, sehingga kelihatan sembrono.
Kesulitan-kesulitan emosional dan tingkah laku lazim ditemukan dan
biasanya sekunder terhadap pengaruh social yang negative dari tingkah laku
mereka. Anak-anak ini akan menerima celaan dan hukuman dari orang tua serta
guru dan pengasingan social oleh orang-orang yang sebaya dengan mereka.
Secara kronik mereka mengalami kegagalan di dalam tugas-tugas akademik
mereka dan banyak diantara mereka tidak cukup terkoordinasi serta cukup mampu
mengendalikan diri sediri untuk dapat berhasil di dalam bidang olahraga. Mereka
mempunyai gambaran mengenai diri mereka sendiri yang buruk serta mempunyai
rasa harga diri yang rendah dan kerap kali mengalami depresi. Terdapat angka
kejadian tinggi mengenai ketidakmampuan belajar membaca matematika,
mengeja serta tulis tangan. Prestasi akademik mereka dapat tertinggal 1-2 tahun
dan lebih sedikit daripada yang sesungguhnya diharapkan dari kecerdasan
mereka yang diukur.
d. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang akan menegakkan diagnosis
gangguan kekurangan perhatian. Anak yang mengalami hiperaktivitas dilaporkan
memperlihatkan jumlah gelombang-gelombang lambat yang bertambah banyak
pada elektroensefalogram mereka, tanpa disertai dengan adanya bukti tentang
penyakit neurologic ata epilepsy yang progresif, tetapi penemuan ini mempunyai
makna yang tidak pasti. Suatu EEG yang dianalisis oleh computer akan dapat
membantu di dalam melakukan penilaian tentang ketidakmampuan belajar pada
anak itu.
e. Komplikasi
1. Diagnosis sekuder, gangguan konduksi, depresi dan penyakit ansietas.
2. Pencapaian akademik kurag, gagal di sekolah, sulit membaca dan
mengerjakan aritmatika (sering kali akibat abnormalitas konsentrasi)
3. Hubungan dengan teman sebaya buruk (sering kaliakibat perilaku agresif dan
kata-kata yang diungkapkan)
f. Penatalaksanaan Medis
Rencana pengobatan bagi anak dengan gangguan ini terdiri atas
penggunaan psikostimulan, modifikasi perilaku, pendidikan orang tua, dan
konseling keluarga. Orang tua mungkin mengutarakan kekhawatirannya tentang
penggunaan obat. Resiko dan keuntungan dari obat harus dijelaskan pada orang
tua, termasuk pencegahan skolastik dan gangguan social yang terus menurus
karena penggunaan obat-obat psikostimulan. Ratting scale conners dapat
digunakan sebagai dasar pengobatan dan untuk memantau efektifitas dari
pengobatan.
Psikostimulan-metilfenidat (ritalin), amfetamin sulfat (benzedrine), dan
dekstroamfetamin sulfat (dexedrine)- dapat memperbaiki rentang perhatian dan
konsentrasi anak dengan meningkatkan efek paradoksikal pada kebanyakan anak
dan sebagian orang dewasa yang menderita gangguan ini.
1. Genetik
Karena menurut hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya
peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan
syndrome.
2. Radiasi
Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30 % ibu yang melahirkan anak
dengan syndrome down pernah mengalami radiasi di daerah sebelum terjadi
konsepsi.
3. Infeksi dan Kelainan Kehamilan
4. Autoimun dan Kelainan Endokrin pada Ibu
Terutama autoimun tiroid atau atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.
5. Umur Ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun diperkirakan terdapatperubahanhormonal
yang dapat menyebabkan “non disjunction” pada kromosom. Perubahan
endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar
hidroepiandrosteron, menurunnya konsentransi estradiolsistemik, perubahan
konsentrasi reseptor hormone dan peningkatan kadar LH dan FSH secara
tiba-tiba sebelum dan selama menopause. Selain itu kelainan kehamilan juga
berpengaruh
6. Umur Ayah
Selain itu ada faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi
nucleolus, bahan kimia dan frekuensi koitus.
c. Manifestasi Klinis
Berat badan waktu lahirdari bayi dengan syndrome down umumnya
kurang dari normal.
Beberapa Bentuk Kelainan Pada Anak Dengan Syndrom Down :
1. Sutura Sagitalis Yang Terpisah
2. Fisura Palpebralis Yang Miring
3. Jarak yang lebar antara kaki
4. Fontanela Palsu
5. “Plantar Crease”
6. Hyperfleksibilitas
7. Peningkatan Jaringan Sekitar Leher
8. Bentuk Palatum Yang Abnormal
9. Hidung Hipoplastik
10. Kelainan otot dan hipotonia
11. Bercak Brushfield pada Mata
12. Mulut terbuka dan lidah terjulur
13. Lekukan epikantus (Lekukan kulit yang berbentuk bundar) pada sudut mata
sebelah dalam
14. Single palmar crease pada tangan kiri dan kanan
15. Jarak pupil yang lebar
16. Oksiput yang datar
17. Tangan dan kaki yang pendek serta lebar
18. Bentuk / struktur telinga yang abnormal
19. Kelainan mata , tangan, kaki, mulut, sindaktili
20. Mata sipit
d. Patofisiologi
Factor penyebab: Abnormalitas kromosom
genetic, umur, radiasi, infeksi, toksik (kelebihan kromosom x)
Non disjungtional translokasi Post
zigotik non
kromosom21&15 disjungtional
Defisiensi
Pertumbuhan
Resiko pengetahuan
infeksi palatum abnormal
Ketidakseimbang
an nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
f. Discharge Planning
1. Konseling genetic maupun amniosentesis pada kehamilan
yangdicurigaiakan sangat membantu mengurangi angka kejadian syndrome
down
2. Dengan biologi molekuler, misalnya dengan “gene targeting” atau yang
dikenal sebagai “homologous recombination” sebuah gen yang dapat di
nonaktifkan
3. Pencegahan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagiibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan, ibu
hamil pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau hamil diatas usia
40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena
mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi
4. Fisioterapi pada down sindrom adalahmembantuanak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya dengan cara/gerakan yang tepat (appropriate
ways). (NIC-NOC, 2013)
4.Konsep Dasar Retardasi Mental
Retardasi Mental menerangkan keadaan fungsi intelektual umum bertara
subnormal yang dimulai dalam masa perkembangan individu dan yang
berhubungan dengan terbatasnya kemampuan belajar maupun penyesuaian diri
proses pendewasaan individu tersebut atau kedua –duanya (Nelson,2000). Angka
kejadian pada retardasi mental ini cukup banyak terutama di Negara yang sedang
berkembang dan merupakan dilemma atau penyebab kecemasan keluarga,
masyarakat, dan Negara. Diperkirakan kejadian retardasi mental berat di Negara
yang sedang berkembangsekitar 0,3% dari seluruh populasi dan dan hamper 3%
mempunyai IQ dibawah 70. Sebagai sumber daya tentunya mereka tidak bisa
dimanfaatkan karena 0,1 % dari kelompok anak ini memerlukan perawatan,
bimbingan, serta pengawasan sepanjang hidupnya (Swaiman dalam Tumbang
Anak, Soetjiningsih, 1994)dalam (Muttaqin,2008).
Hasil penelitian Triman Prasedio (1980) mengemukakan angka prevalensi
retardasi mental di Indonesia adalah 3 % hasil penelitian ini diperkirakan suatu
angka yang tinggi. Sebagai perbandingan di Prancis angka Prevalensinya adalah
1,5-8,6% dan di Inggris 1-8% (laporan WHOyang dikutip Triman Prasedio). Statistik
menunjukkan bahwa di Indonesia didapatkan 10-30 dari 1000 penderita yang
mengalami tuna grahita, terdapat 1.750.000-5.250.000 jiwa menderita tuna grahita.
Melalui data demologi dilaporkan bahwa 34,39% pengunjung Pukesmas berusia 5-
15 tahun menunjukkan gangguan mental emosional.
Pengertian retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai intelegensi
yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan
beradaptasi terhadap tuntutan masyarakatatas kemampuan yang dianggap normal
(Soetjiningsih, 1994)dalam (Muttaqin,2008).
Anak tidakmampu belajardan beradaptasi karena intelegensinya rendah,
biasanya IQ di bawah 70. Retardasi mental memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Fungsi intelektual umum di bawah normal (umumnya dibawah 70)
2. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial.
3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan, yaitu di bawah usia 18 tahun.
a. Etiologi
Secara garis besarnya faktor penyebab dapat dibagi empat golongan, yaitu
(Soetjiningsih, 1994)dalam (Muttaqin,2008):
1. Faktor genetic
a. Akibat kelainan jumlah kromosom, misalnya trisomi 21 atau dikenal
dengan syndrome down.
b. Kelainan bentuk kromosom
2. Faktor Prenatal
Dimaksudkan adalah keadaan tertentu yang telah diketahui ada sebelum atau
pada saat kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan sebabnya.
3. Faktor Perinatal
a. Proses kelahiran yang lama misalnya placenta previa, rupture tali umbilicus
b. Posisi janin abnormal seperti letak bokong atau melintang, anomaly uterus,
dan kelainan bentuk jalan lahir.
c. Kecelakaan pada waktu lahir dan distress fatal
4. Faktor pascanatal
a. Akibat infeksi (meningitis, ensefalitis, meningoencefalitis, dan infeksi).
b. Trauma kapitis dan tumor otak.
c. Kelainantulang tengkorak
d. Kelainan endokrin dan metabolic, keracunan pada otak, serta faktor sosio-
budaya. (Muttaqin, 2008)
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Nama
Harus lengkap dan jelas, umur perlu dipertanyakan untuk interpretasi tingkat
perkembangan anak yang sudah sesuai dengan umur, jenis kelamin.
b. Nama orang tua
c. Alamat
d. Umur
e. Pendidikan
f. Agama
g. Pekerjaan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya diawali dari pengalaman dan perasaan cemas ibu klien yang melihat
pertumbuhan dan perkembangan anaknya yangterlambat tidak sesuai dengan
kelompok seusianya.
9. Pemeriksaan Diagnostik
Penatalaksanaan pada anak down sindrom meliputi:
1. Radiologi
2. Pemeriksaan EEG
3. Pemeriksaan CT scan
4. Thoraks AP/PA
5. Laboratorium : SE (serum elektrolit), FL, UL, DL, BUN, LED, serum protein,IgG,
IgM.
6. Konsultasi bidang THT, jantung, paru, bidang mata, rehabilitasi medis
7. Program terapi:gizi seimbang , multivitamin, AB sesuai dengan infeksi penyerta.
10. Intervensi
1. Tujuan: Peningkatan perkembangan anak sesuai tingkatannya, keluarga dan anak
mampu menggunakan koping terhadap tantangan karena adanya
ketidakmampuan, keluarga mampu mendapatsumber sumber sarana komunitas,
status nutrisi seimbang, berat badan normal.
Rencana:
a. Peningkatan perkembangan anak dan remaja
a) Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak.
b) Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi
perkembangan anak yang optimal.
c) Berikan instruksiberulang dan sederhana
d) Berikan reinforcement positifatas hasil yang dicapai anak
e) Doronganak melakukan perawatan sendiri
f) Manajemen perilakuanak yang sulit
g) Dorong anak melakukan sosialisasi dengan kelompok
h) Ciptakan lingkungan yang aman
b. Manajemen nutrisi
a) Kaji keadekuatan asupan nutrisi (misalnya kalori zat gizi).
b) Tentukan makanan yang disukai anak
c) Pantau kecenderungan kenaikan dan penurunan berat badan
c. Nutrition theraphy
a) Menyelesaikan penilaian gizi
b) memantau kesesuaian perintah diet, untuk memenuhi kebutuhan
gizi sehari-hari
c) kolaborasi dengan ahli gizi, jumlah,jenis nutrisi yang sesuai
d) pilih suplemen yang sesuai
e) dorong pasien memakan makanan semisoft jika air liur kurang
2. Tujuan: klien bebas dari tanda dan gejala infeksi, mendeskripsikan proses
penularan penyakit ,faktor yang mempengaruhi penularan serta
penatalaksanaannya, menunjukkan kemampuan untuk mencegah infeksi, jumlah
leukosit dalam batas normal, menunjukan perilaku hidup sehat
Rencana:
Infection control
a) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
b) Pertahankan teknik isolasi
c) Batasi pengunjung bila perlu
d) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung
meninggalkan pasien
e) Gunakan sabun untuk cuci tangan
f) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
g) Pertahankan lingkungan aseptic
h) Tingkatkan intake nutrisi
i) Dorong masukan cairan
j) Dorong istirahat
3. Tujuan: adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tinggi badan , mampu
mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan yang
berarti
Rencana:
Nutrition managemen
a) Kaji adanya alergi makanan
b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
c) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin-c
d) Berikan substansi gula
e) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
f) Berikan makanan yang terpilih
g) Ajarkan pasien membuatcatatan makanan
h) Beri informasi tentang kebutuhan nutrisi
i) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang diperlukan
j) Monitoring BB dan intake makanan.
4. Tujuan: Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis dan program pengobatan, pasien dan keluarga mampu melaksanakan
prosedur yang dijelaskan secara benar
Rencana :
a) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
b) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat
c) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyaki, dengan
cara yang tepat
d) Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
e) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
f) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang
tepat
g) Hindari jaminan yang kosong
h) Sediakanbagikeluarga atau SO informasi tantang kemajuan pasien
dengan cara yang tepat
i) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan dating dan atau proses
pengontrolan penyakit
j) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
k) Dukung pasien untuk mengeksplorasiatau mendapatkan second
opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
l) Rujuk pasien pada grup atau agensidi komunitas local, dengan cara
yang tepat atau diindikasikan
m) Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas local, dengan cara
yang tepat
n) Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada
pemberik perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.
11. Implementasi
Melakukan implementasi berdasarkan perencanaan dan sesuaikan dengan keadaan
pasien.
12. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Nama
Harus lengkap dan jelas, umur perlu dipertanyakan untuk interpretasi tingkat
perkembangan anak yang sudah sesuai dengan umur, jenis kelamin.
b. Nama orang tua
c. Alamat
d. Umur
e. Pendidikan
f. Agama
g. Pekerjaan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya diawali dari pengalaman dan perasaan cemas ibu klien yang melihat
pertumbuhan dan perkembangan anaknya yangterlambat tidak sesuai dengan
kelompok seusianya.
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan antenatal, kemana
serta kebiasaan minum jamu-jamuan dan obat yang pernah diminum serta
kebiasaan selama hamil.
b. Natal
c. Pascanatal
Lama dirawat di rumah sakit , masalah-masalah yang berhubungan dengan
gangguan system, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit,pola
eliminasi, dan respons lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya asfiksia,
trauma, dan infeksi.
8. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien saat dikaji , kesan kesadaran, tanda-tanda vital
(perubahan suhu, frekuensi pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi jaringan).
Kepala dan lingkar kepala hendaknya diperiksa sampai anak usia 2 tahun dengan
pengukuran diameter oksipito-frontalis terbesar. Ubun-ubun normal : besarrata atau
sedikit cekung sampai anak usia 18 bulan.
Mata, reflex mata baik, sclera adakah ikterus, konjungtiva adakah anemis,
penurunan penglihatan (visus).
Telinga, simetris, fungsi pendengaran baik.
Mulut/leher , keadaan faring, tonsil (adakah pembesaran, hyperemia), adakah
pembesaran kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak, adakah kelainan, bengkak,
dan gangguan fungsi). Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok) yang dapat
mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kulit, keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan infeksi.
Thorak, bentuk simetris, gerakan
Paru, normal vesicular, adakah kelainan pernapasan (ronkhi ,wheezing).
Jantung, pembesaran, irama, suara jantung, dan bising.
Genitalia, testis, jenis kelamin, apakah labia mayor menutupi labia minor pada
perempuan.
Ekstremitas, reflek fisiologis, reflek patologis, reflek memegang, sensibilitas,
tonus, dan motorik.
9. Pemeriksaan Diagnostik
Penatalaksanaan pada anak retardasi mental meliputi:
a. Radiologi
b. Pemeriksaan EEG
c. Pemeriksaan CT scan
d. Thoraks AP/PA
e. Laboratorium : SE (serum elektrolit), FL, UL, DL, BUN, LED, serum
protein,IgG, IgM.
f. Konsultasi bidang THT, jantung, paru, bidang mata, rehabilitasi medis
g. Program terapi:gizi seimbang , multivitamin, AB sesuai dengan infeksi
penyerta.
5. Implementasi
Melakukan implementasi berdasarkan perencanaan dan sesuaikan dengan keadaan
pasien.
6. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil
ASUHAN KEPERAWATAN HIPERAKTIVITAS
A. Pengkajian
a. Pengkajian anak yang mengalami Attention Deficyt Hiperactivity Disorder (ADHD) antara
lain:
1. Pengkajian riwayat penyakit
a) Orang tua mungkin melaporkan bahwa anaknya rewel dan mengalami masalah
saat bayi atau perilaku hiperaktif hilang tanpa disadari sampai anak berusia todler
atau masuk sekolah atau daycare.
b) Anak mungkin mengalami kesulitan dalam semua bidang kehidupan yang utama,
seperti sekolah atau bermain dan menunjukkan perilaku overaktif atau bahkan
perilaku yang membahayakan di rumah.
c) Berada diluar kendali dan mereka merasa tidak mungkin mampu menghadapi
perilaku anak.
d) Orang tua mungkin melaporkan berbagai usaha mereka untuk mendisplinkan
anak atau mengubah perilaku anak dansemua itu sebagian besar tidak berhasil.
2. Penampilan umum dan perilaku motorik
a) Anak tidak dapat duduk tenang di kursi dan mengeliat dan bergoyang-goyang saat
mencoba melakukannya.
b) Anak mungkin lari mengelilingi ruang dari satu benda ke benda lain dengan sedikit
tujuan atau tanpa tujuan yang jelas.
c) Kemampuan anak untuk berbicara terganggu, tetapi ia tidak dapat melakukan
suatu percakapan, ia menyela, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan
berakhir dan gagal memberikan perhatian pada apa yang telah dikatakan.
d) Percakapan anak melompat-lompat secara tiba-tiba dari satu topik ke topik yang
lain. Anak dapat tampak imatur atau terlambat tingkat perkembangannya
3. Mood dan afek
a) Mood anak mungkin labil, bahkan sampai marah-marah atau tempertantrum.
b) Ansietas, frustasi dan agitasi adalah hal biasa.
c) Anak tampak terdorng untuk terus bergerak atau berbicara dan tampak memiliki
sedikit kontrol terhadap perilaku tersebut.
d) Usaha untuk memfokuskan perhatian anak dapat menimbulkan perlawanan dan
kemarahan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang biasanya ditemukan pada anak dengan gangguan hiperaktif
mencakup :
a. Rambut yang halus
b. Telinga yang salah bentuk
c. Lipatan-lipatan epikantus
d. Langit-langit yang melengkung tinggi serta
e. Kerutan-kerutan telapak tangan yang hanya tunggal saja
f. Terdapat gangguan keseimbangan, astereognosis, disdiadokhokinesis serta
permasalahan-permasalahan di dalam koordinasi motorik yang halus.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang akan dapat menegakan diagnosis gangguan
hiperaktif. Anak yang mengalami hiperaktivitas dilaporkan memperlihatkan jumlah
gelombang lambat yang bertambah banyak pada elektroensefalogram (EEG).
Suatu EEG yang dianalisis oleh komputer akan dapat membantu di dalam melakukan
penilaian tentang ketidakmampuan belajar pada anak.
2. Alat-alat berikut ini dapat untuk mengidentifikasi anak-anak dengan gangguan ini.
a. Bebas dari distraksibilitas (aritmatika, rentang anka, dan pengkodean)
b. Daftar periksa gangguan (misal: Copeland symptom checklist for attention. Defisit
Disorders, attention Deficit Disorders Evaluation Scale)
3. Wechsler Intelligence Scale for Children, edisi 3 (WISC_III) juga sering digunakan, sering
terlihat kesulitan meniru rancangan.
d. Diagnosa
1. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan disabilitas perkembangan
(hiperaktivitas).
2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan gangguan kepribadian.
3. Resiko perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan anak dengan gangguan
pemusatan perhatian hiperaktivitas.
4. Resiko cedera berhubungan dengan psikologis (orientasi tidak efektif)
5. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan penyakit mental
(hiperaktivitas), kurang konsentrasi.
e. Intervensi
1. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan disabilitas perkembangan
(hiperaktivitas).
NOC : Ketrampilan interaksi social
Tujuan : Pasien mampu menunjukan interaksi social yang baik.
Kriteria Hasil :
1) Menunjukan perilaku yang dapat meningkatkan atau memperbaiki interaksi social
2) Mendapatakan atau meningkatkan ketrampilan interaksi social (misalnya: kedekatan,
kerja sama, sensitivitas dan sebagainya).
3) Mengungkapkan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain.
4) Indicator skala :
1. Tidak ada
2. Terbatas
3. Sedang
4. Banyak
NIC : Peningkatan sosialisasi, aktivitas keperawatan :
1. Berikan informasi kepada orang tua tentang bagaimana cara mengatasi perilaku anak
yang hiperaktif
2. Ajarkan pada orang tua tentang tahapan penting perkembangan normal dan perilaku
anak.
3. Bantu orang tua dalam mengimplementasikan program perilaku anak yang positif.
4. Bantu keluarga dalam membuat perubahan dalam lingkungan rumah yang dapat
menurunkan perilaku negative anak.
4. Resiko cedera berhubungan dengan psikologis (orientasi tidak efektif)
NOC : Pengendalian Resiko
Tujuan : Klien dapat terhindar dari resiko cedera
Kriteria Hasil :
1) Mengubah gaya hidup untuk mengurangii resiko.
2) Pasien/keluarga akan mengidentifikasikan resiko yang dapat meningkatkan
kerentanan terhadap cedera.
3) Orang tua akan memilih permainan, memberi perawatan dan kontak social
lingkungannya dengan baik.
4) Indikator skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Konsisten
f. Evaluasi
A. Pengkajian
a. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga.
b. Riwayat keluarga yang terkena autisme.
c. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan.
1) Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
2) Cedera otak
d. Status perkembangan anak.
1) Anak kurang merespon orang lain.
2) Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
3) Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
4) Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
5) Keterbatasan Kongnitif.
B. Pemeriksaan fisik
a. Tidak ada kontak mata pada anak.
b. Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh).
c. Terdapat Ekolalia.
d. Tidak ada ekspresi non verbal.
e. Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
f. Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
g. Peka terhadap bau.
C. Diagnosa Keperawatan
a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada
orang lain.
b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan ransangan sensori
tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan
perasaan.
c. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan kurang pengawasan.
d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak.
D. Intervensi
a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada
orang lain.
Tujuan : Klien mau memulai interaksi dengan pengasuhnya
Intervensi: :
1) Batasi jumlah pengasuh pada anak.
2) Tunjukan rasa kehangatan/keramahan dan penerimaan pada anak.
3) Tingkatkan pemeliharaan dan hubungan kepercayaan.
4) Motivasi anak untuk berhubungan dengan orang lain.
5) Pertahankan kontak mata anak selama berhubungan dengan orang lain.
6) Berikan sentuhan, senyuman, dan pelukan untuk menguatkan sosialisasi.
b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan ransangan sensori
tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan
perasaan.
Tujuan : Klien dapat berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan kepada orang lain.
Intervensi :
1) Pelihara hubungan saling percaya untuk memahami komunikasi anak.
2) Gunakan kalimat sederhana dan lambang/maping sebagai media.
3) Anjurkan kepada orang tua/pengasuh untuk melakukan tugas secara konsisten.
4) Pantau pemenuhan kebutuhan komunikasi anaksampai anak menguasai.
5) Kurangi kecemasan anak saat belajar komunikasi.
6) Validasi tingkat pemahaman anak tentang pelajaran yang telah diberikan.
7) Pertahankan kontak mata dalam menyampaikan ungkapan non verbal.
8) Berikan reward pada keberhasilan anak.
9) Bicara secara jelas dan dengan kalimat sederhana.
10) Hindari kebisingan saat berkomunikasi.
ABSTRAK Sekolah reguler yang memberikan pendidikan khusus kepada Anak Berkebutuhan
Khusus ini dikenal dengan nama Sekolah Inklusi. Di sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus
mendapatkan program pengajaran khusus yang menyesuaikan dengan kondisi anak, yaitu Program
Pengajaran Individual (PPI). Penelitian ini ingin memberikan salah satu desain PPI yang bisa
digunakan untuk mendampingi siswa dengan Kesulitan Belajar Khusus. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Subjek penelitian ini adalah satu orang
siswa kelas 3 di sekolah inklusi di kota Kediri. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara, observasi, dokumentasi dan tes kecerdasan Stanford-Binet. Data yang sudah
terkumpul kemudian dianalisa guna memastikan kondisi subjek saat ini. Guna memastikan
keabsahan data maka dilakukan ketekunan pengamatan dan triangulasi sumber data. Dari
penelitian ini diperoleh gambaran bahwa prestasi akademik yang rendah pada subjek disebabkan
karena siswa mengalami kesulitan belajar khusus yaitu disleksia dan disgrafia. Berdasarkan hasil
identifikasi ini maka disusunlah Program Pengajaran Individual (PPI) untuk meningkatkan
kemampuan membaca, menulis dan psikomotorik siswa. Metode yang digunakan untuk
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis adalah metode Fernaid yaitu metode pengajaran
membaca multisensoris yang diberikan dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
saintifik dimana siswa terlibat aktif dalam menentukan kata yang akan dipelajari. Untuk
meningkatkan keterampilan psikomotor maka diberikan senam otak, seperti brain buttock, cross
crawl, lazy 8’s, double doodle, arm activation,dan alphabeth 8’s. Diharapkan desain ini lebih
mudah dipahami dan dijadikan contoh dalam pembuatan PPI oleh Guru Pendamping Khusus.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus.
Subjek N penelitian ini adalah satu orang siswa kelas 3 di salah satu sekolah inklusi di kota Kediri.
Subjek N merupakan salah satu siswa yang memiliki permasalahan di bidang akademik. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi,
dokumentasi dan tes kecerdasan Stanford-Binet. Wawancara dilakukan kepada terapis, wali kelas,
subjek, dan teman subjek. Observasi dilakukan dengan menggunakan cheklist kesulitan belajar
yang diisi oleh beberapa observer. Observasi dilakukan pada saat subjek membaca, menulis, dan
mengerjakan tugas. Untuk tes kecerdasan yang digunakan adalah tes kecerdasan Standford-Binet
yang terdiri dari beberapa soal ditingkat usianya. Sedang data dokumentasi berupa hasil tulisan
subjek, hasil raport siswa dan hasil kerja siswa sebelumnya. Data yang sudah terkumpul kemudian
akan dianalisa dengan melakukan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Guna
memastikan keabsahan data maka dilakukan ketekunan pengamatan dan triangulasi sumber data.
HASIL Berdasarkan asesmen dengan menggunakan metode wawancara diperoleh data sebagai
berikut:
Hasil wawancara dengan terapis diketahui bahwa subjek N diduga slow learner karena kurangnya
keberhasilan dalam belajar membaca dan menulis. Karena itulah subjek N mendapatkan terapi
Calistung (baca, tulis hitung) karena hal yang menonjol dalam diri subjek N adalah kurangnya
keberhasilan dalam proses pembelajaran di kelas. Hasil wawancara dengan wali kelas diketahui
bahwa ananda berusia 9 tahun 8 bulan. Ananda merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Menurut wali kelas 3, subjek N merupakan siswa yang lamban dalam belajar. Subjek N mampu
melakukan operasi hitung jenis perkalian sederhana sampai angka 6. Subjek N juga bisa operasi
hitung + dan – dengan baik. Subjek N termasuk siswa yang memiliki daya ingat yang lemah.
Subjek N kesulitan untuk memahami dan menyusun cerita meskipun menggunakan kalimat yang
sederhana. Subjek N juga lemah dalam hal mengerjakan tugas-tugas yang dikerjakan dirumah
maupun di sekolah. Namun, menurut wali kelas subjek N merupakan sosok siswa yang cukup bisa
berinteraksi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Saat wali kelas membawa buku yang
banyak, subjek N mengajukan diri untuk membantu. Subjek N mampu berkomunikasi dengan
sopan dan banyak mengajukan pertanyaan terkait pelajaran maupun hal yang lain. Namun saat
dengan teman-temannya, Subjek N jarang ikut bermain bersama teman-temanya. Subjek N lebih
sering melihat teman-temannya bermain dan mengomentari permainan mereka. Subjek N kadang
juga di bully sama temen-temennya dan pernah disuruh beli jajan ke kantin oleh temennya. Saat
piket, subjek N tidak pernah absen untuk terlibat membersihkan kelas. Subjek N dahulu pernah
mendapat Guru Pendamping Khusus (GPK), tapi hal itu membuatnya tergantung kepada GPK.
Akhirnya subjek N belajar tanpa didampingi GPK. Hasil wawancara dengan subjek N diperoleh
data bahwa subjek N mengalami kesulitan dalam menulis, membaca terkadang juga keliru. Subjek
N bercerita biasanya kalau dirumah ia belajar sendiri karena ibu sibuk mengurus adiknya yang
berusia 1 tahun. Subjek N mengatakan bahwa ingin didampingi saat belajar sehingga ia akan
mendapat bantuan dan ada yang mengingatkannya saat malas mengerjakan tugas. Berdasarkan
observasi yang dilakukan diketahui bahwa subjek N sering menguap di dalam kelas dan saat
ditanya, subjek N mengatakan bahwa ia sering menguap kalau tidak minum. Subjek N tampak
kurang bersemangat dan tampak lesu. Saat belajar di kelas, posisi duduk subjek N membungkuk
dan konsentrasinya mudah teralihkan oleh kondisi sekitar, misalnya saat ada orang lewat. Di kelas,
subjek N menjadi korban bully temannya.
KESIMPULAN Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa setiap prestasi akademik yang
rendah belum tentu disebabkan karena anak memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata.
Namun ada juga anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau di atasnya yang
menunjukkan prestasi akademik yang rendah seperti mereka dengan tingkat kecerdasan di bawah
rata-rata. Anak-anak dengan tingkat kecerdasan rata-rata namun prestasinya rendah perlu
mendapatkan asesmen lanjutan juga memastikan apakah anak yang bersangkutan memiliki
kesulitan belajar khusus. Karena itulah, untuk mampu mengidentifikasi kondisi anak dengan baik
maka diperlukan proses asesmen yang melibatkan pihak-pihak profesional guna memastikan
tingkat kecerdasan anak. Proses asesmen yang komprehensif akan memudahkan kita mendapatkan
data anak saat ini yang nantinya akan digunakan untuk menyusun Program Pengajaran Individual
(PPI). PPI yang disusun diharapkan mampu mengoptimalkan potensi anak. Penyusunan PPI sangat
dipengaruhi oleh hasil asesmen yang dilakukan. Semakin baik proses asesmen maka diharapkan
akan semakin baik pula PPI yang disusun. Dalam penyusunan PPI, pihak profesional, guru, kepala
sekolah, orangtua dan anak perlu bekerja sama agar pelaksanaan PPI bisa optimal.
SARAN
1. Teknik pengajaran dalam Program Pengajaran Individual perlu pula diajarkan ke orangtua agar
proses belajar anak di rumah juga mengikuti teknik yang digunakan di sekolah. konsistensi
pembelajaran di sekolah dan di rumah diharapkan mampu meningkatkan kemampuan anak lebih
baik daripada hanya dilakukan di sekolah saja. 2. Guna mendukung kelancaran belajar maka,
kondisi lingkungan yang mau menerima siswa berkebutuhan khusus akan sangat membantu dalam
membangun rasa percaya dan motivasi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Fadhli, A. (2010). Buku pintar kesehatan anak. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Anggrek.
Monika, & Waruwu, F. E. (2006). Jurnal Provitae Volume 2 ,Nomor 2. Anak Berkebutuhan
Khusus: Bagaimana Mengenal dan Menanganinya , 15.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Wong, D. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
Hidayat, Aziz Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba
Medika.