Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa-masa awal kehidupan, anak mengenal dirinya sendiri terutama melalui
tanggapannya terhadap dunia nyata yang didengar, dilihat maupun rangsangan-
rangsangan lainnya. Tanggapan anak terhadap apa yang dilihat dan didengarnya
ditunjukkan baik dari tingkah laku maupun suara yang timbul dari diri anak sendiri.
Pola-pola gerakan dan suara tersebut sulit untuk dipahami orang dewasa. Dalam aspek-
aspek perkembangan anak akan tumbuh baik secara fisik, intelegensi, bahasa, sosial dan
moral. Perkembangan fisik merupakan hal yang menjadi dasar bagi kemajuan
perkembangan berikutnya yang juga mempengaruhi perkembangan intelegensi, bahasa,
sosial dan moral anak. Menurut Hurlock (2000:34) Perkembangan berlangsung secara
berkesinambungan sejak saat pembuahan hingga kematian namun tidak terjadi secara
bersamaan. Anak dapat melalui tahap perkembangan dengan baik apabila lingkungan
memberikan dukungan dan stimulasi yang baik pada anak. Anak yang berkembang
dengan lingkungan yang baik akan lebih cepat melalui tahap perkembangan
dibandingkan dengan anak yang berkembang dengan lingkungan yang kurang baik.
Angka insidensi yang disebutkan dalam laporan penelitian di California yang
diterbitkan tahun 1999 adalah 1 diantara 250 anak, merupakan suatu angka yang sangat
besar bila dibandingkan dengan angka insidensi 10 - 15 per 10.000 anak yang ditulis
oleh Wong baru-baru ini (Wong & Hughes, 2000). Hal ini disanggah oleh beberapa
pihak oleh para ahli yang kompeten di bidang ini seperti Eric Frombonne seorang
psikiater di Maudsley Hospital London, dalam penelitiannya dengan Chakrabarti (2001)
memperkirakan bahwa insiden autisme di antara anak-anak prasekolah adalah sekitar 60
per 10.000 anak. Hasil ini sesuai dengan angka yang disebutkan oleh Centers for
Disease Control and Prevention di Amerika Serikat. Demikian juga Autism Research
Centre dari Cambridge University merekomendasikan di Negara Cambridge terdapat 1

1
kasus per 175 anak dengan prevalensi rata-rata 58 anak autis per 10.000 anak (Marion,
2000). Meskipun demikian apabila masih menggunakan data 15 - 20 per 10.000 anak,
dengan jumlah anak Indonesia kurang lebih 40 juta maka terdapat sekitar 60.000 anak
penyandang autisme (Widyawati, 1999). Apabila kelahiran anak setiap tahun 4,6 juta
maka setiap tahun jumlah anak autis akan bertambah sekitar 6900 anak (Sunartini,
2000).
Pada tahun 1964 Bernard Rimland seorang psikolog yang mempunyai anak autis
menulis buku yang menyatakan bahwa anak autistic dilandasi adanya gangguan
Susunan Syaraf Pusat (SSP). Buku yang cukup revolusioner ini merubah pandangan
tentang penyebab autisme. Para peneliti kemudian beralih meneliti tentang SSP
(Budhiman, 2001). Demikian juga Hartono (2002) menyatakan bahwa autisme bukan
hanya gangguan fungsional. Artinya autisme tidak terjadi akibat salah asuh atau salah
didik ataupun salah dalam ‘setting’ sosial, tetapi didasari adanya gangguan organik
dalam perkembangan otak. Dilaporkan insiden autisme tinggi pada mereka yang
mempunyai riwayat prenatal seperti premature, post-matur, perdarahan antenatal pada
trimester I - II serta usia ibu lebih dari 35 tahun. Autisme juga banyak dialami oleh
anak-anak yang riwayat persalinannya tidak spontan serta mengalami respiratory
distress syndrome.
Anak berkebutuhan khusus yang tergolong anak luar biasa memiliki karakteristik
yang sangat beragam. Akhir-akhir ini dalam layanan pendidikannya telah diupayakan
lebih menekankan kepada kebutuhan khususnya dari pada kecacatannya. Hal ini
menuntut penyelenggaraan layanan pendidikan yang mempersyaratkan kepada
pentingnya mengetahui perilaku awl anak (entry behavior) sebagai komponen yang
dipertimbangkan dalam pengembangan program pembelajaran. Perilaku awal ini akan
memberikan informasi kepada pengembang program tentang berbagai jenis kemampuan
yang sudah dikuasai anak, sehingga berdasarkan informasi tersebut dapat ditetapkan
berbagai komponen program, seperti tingkat kemampuan yang ingin dicapai, materi
yang akan disajikan, serta strategi penyampaiannya. Untuk mengembangkan program
pembelajaran anak berkebutuhan khusus, informasi tentang perilaku awal ini menjadi

2
semakin penting karena program yang dikembangkan harus bertitik tolak dari berbagai
perilaku awal anak, termasuk di antaranya jenis kesulitan yang dihadapi, kemampuan
yang dikuasai serta kekuatan dan kelemahan anak dalam bidang tertentu.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Autis?
2. Bagaimana etiologi dari Autis?
3. Apa saja klasifikasi dari Autis?
4. Bagaimana patofisiologi dari Autis?
5. Bagaimana manifestasi dari Autis?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada Autis?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada Autis?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari Autis
2. Untuk mengetahui etiologi bagaimana Autis bisa terjadi
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari Autis
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari Autis
5. Untuk mengetahui manifestasi dari Autis
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Autis
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Autis

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Autisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti “sendiri”. Istilah ini
pertama kali digunakan oleh Leo Kanner, seorang psychiatrist anak di Universitas
Johns Hopkins di Baltimore. Kanner (Ozonoff, Dawson, & McPartland, 2002 : 5)
dalam tulisannya menjelaskan mengenai 11 orang anak yang menunjukkan
ketidaktertarikan terhadap orang lain, bersikeras dalam suatu rutinitas dan gerakan
tubuh yang tidak biasa, seperti melambai-lambaikan tangan. Hampir semua anak-anak
tersebut dapat berbicara, beberapa dari anak tersebut dapat menyebutkan nama barang
di sekitar mereka, anak lainnya dapat menyebutkan angka dan huruf, bahkan beberapa
dapat menguraikan sebuah buku kata per kata, berdasarkan ingatan mereka. Namun,
anak-anak tersebut tidak menggunakan suara atau kemampuan mereka tersebut untuk
berkomunikasi dengan orang sekitarnya. Akibat dari tingkah laku yang tidak biasa ini,
anak-anak tersebut mengalami berbagai hambatan dalam mempelajari hal baru.
Betts dan Pattrick (2009 : 11) mengatakan bahwa gangguan spektrum Autisme
adalah gangguan dalam hal komunikasi, kemampuan dalam berhubungan sosial, dan
kemampuan untuk belajar dalam diri suatu invidu. Selanjutnya, Betts dan Pattrick juga
mengatakan bahwa anak dengan Autisme sering menunjukkan masalah dalam fungsi
eksekutif (executive function). Fungsi eksekutif (executive function) dalam hal ini
dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menghubungkan pengalaman atau kejadian
yang telah berlalu dengan perilaku selanjutnya dan untuk memperhatikan sekitarnya,
mengurutkan sesuatu, berstrategi, mengingat, mengorganisir, dan mengingat kembali
informasi yang pernah di terima sebelumnya. Anak yang memiliki gangguan dalam
fungsi eksekutif (executive function) akan mengalami kesulitan dalam mengorganisir
dan mengurutkan sesuatu, merencanakan suatu proyek, berkonsentrasi dalam suatu hal
dan juga mengubah konsentrasinya, mengetahui waktu dan juga memonitori dirinya
sendiri.

5
2.2 Etiologi
Penyebab autis sangat kompleks, yang telah diketahui sekarang adalah karena
adanya gangguan pada fungsi susunan syaraf pusat. Gangguan fungsi ini diakibatkan
karena kelainan struktur otak yang mungkin terjadi pada saat janin usia dibawah 3
bulan. Ibu mungkin mengidap virus TORCH (tokso, rubella, cytomegali, herpes),
mengkonsumsi makanan yang mengandung zat kimia yang mengganggu pertumbuhan
sel otak, menghirup udara beracun, mengalami perdarahan hebat. Faktor genetik juga
memegang peran terhadap munculnya autism. Diperkirakan kehidupan manusia yang
terlalu banyak memakai zat kimia beracun dapat menyebabkan murasi kelainan genetik.
Pencernaan yang buruk juga memegang peran yang penting, seringkali adanya jamur
yang terlalu banyak di usus sehingga menghambat sekresi enzim. Usus tidak dapat
menyerap sari-sari mkanan tetapi berubah menjadi “morfin” yang mempengaruhi
perkembangan anak.
Beberapa gejala yang dapat diamati dan perlu diwaspadai menurut usia adalah:
1) Usia 0-6 bulan
a. Bayi nampak terlalu tenang
b. Terlalu sensitife, cepat terganggu/ terusik
c. Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
d. Tidak pernah terjadi kontak mata atau senyum secara social
e. Bila digendong mengepal tangan atau menegangkan kaki secara
berlebihan.
2) Usia 6-12 bulan
a. Kalau digendong kaku atau tegang
b. Tidak tertarik pada mainan
c. Tidak bereaksi terhadap suara atau kata

6
d. Selalu memandang suatu benda atau tanganya sendiri secara lama
(akibat terlambat dalam perkembangan motorik halus dan kasar).
3) Usia 2-3 tahun
a. Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak lain
b. Tidak ada kontak mata
c. Tidak pernah focus
d. Kaku terhadap orang lain
e. Senang digendong dan malas menggerakkan tubuhnya.
4) Usia 4-5 tahun
a. Suka berteriak-teriak
b. Suka menirukan suara orang
c. Gampang marah atau emosi apabila rutinitasnya diganggu dan
kemauanya tidak dituruti
d. Agresif dan mudah menyakiti diri sendiri.

Gangguan yang dialami anak Autis adalah gangguan dalam bidang komunikasi
(verbal-non verbal), gangguan dalam bidang perilaku, gangguan bidang
perasaan/emosi, dan gangguan dalam bidang persepsi-sensorik.

1. Gangguan dalam bidang interaksi sosial ditunjukkan dengan:


a. Tidak adanya kontak mata dengan lawan bicara.
b. Ekspresi wajah tidak sesuai dengan perasaan misalnya ketika
seharusnya anak mengekspresikan kesedihan namun anak
menunjukkan ekspresi gembira misalnya tersenyum.
c. Gerakan atau sikap tubuh tidak sesuai dengan pembicaraan yang
sedang berlangsung misalnya anak tersebut seharusnya menolak
dengan menggelengkan kepala, namun anak melakukan gerakan
menggangguk.
d. Mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan dengan teman sebaya
yang sesuai dengan usianya, mengalami kesulitan dalam aktivitas dan

7
minat yang melibatkan orang lain, mengalami kesulitan dalam
melakukan hubungan timbal balik dengan orang lain.
e. Menolak untuk dipeluk, disentuh, dan digendong.
f. Tidak mau menengok apabila dipanggil.
2. Gangguan dalam bidang komunikasi (verbal-non verbal)
a. Mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara, atau
kemampuan bicara.
b. Merancau dengan bahasa aneh.
c. Bicara tetapi tidak digunakan untuk komunikasi.
d. Echolalia/ membeo/ meniru.
e. Menarik tangan orang dewasa untuk minta tolong.
3. Gangguan dalam bidang perilaku
a. Mengalami gangguan perilaku berlebihan, hiperaktivitas motorik,
misal tidak bisa diam, lari tidak terarah, melompat-lompat, berputar-
putar, mengibas-ngibaskan tangan, gerakan diulang-ulang. Duduk
diam, bengong,
b. tatapan mata kosong, terpaku pada benda yang berputar dan tidak
beranjak.
4. Gangguan dalam bidang perasaan/ emosi
a. Tidak ada atau kurang empati, misalnya melihat anak menagis ia tidak
merasa kasihan melainkan terganggu dengan suaranya dan justru
tutup telinga, atau anak itu didatangi dan dipukuli.
b. Tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah-marah tanpa sebab yang
jelas.
c. Sering mengamuk atau tantrum apabila tidak mendapat yang
diinginkan, bisa menjadi agresif dan destruktif atau merusak.
5. Gangguan dalam bidang persepsi sensori
a. Mencium-cium, menggigit atau menjilati mainan atau benda apa saja.
b. Bila mendengar suara keras langsung tutup telinga.

8
c. Tidak suka disentuh/ sangat agresif.
d. Merasa sangat tidak nyaman apabila memakai baju atau celana dari
bahan kasar.
2.3 Klasifikasi
Menurut Galih A. Veskarisyanti dalam bukunya “12 Terapi autis” (2008:26).
Menjelaskan bahwa Autisme dapat diklasifikasikan kedalam tipe yaitu: Sindrom Rett,
Gangguan disintegrasi masa kanak-kanak dan Sindrom Asperger dan ini sejalan dengan
apa yang dikemukakan oleh Andri Priyatna dalam Amazing Autism (2010:2) dan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Sindrom Rett (Rett”s Syndrome)
Gangguan Rett (Rett”s Syndrome) merupakan gangguan yang ditandai
adanya keadaan abnormal pada fisik, perilaku, kemampuan kognitif, dan motorik,
yang normal. Gangguan ini hanya dialami oleh anak perempuan. Anak-anak yang
mengalami gangguan ini biasanya kehilangan kemampuan pada gerakan tangan
yang mempunyai tujuan keterampilan manipulatif dari kemampuan motorik halus
yang telah terlatih. Selain itu, terjadi hambatan pada seluruh ataupun sebagian
perkembangan berbahasa anak.
2. Gangguan Disintergratif Masa Kanak (Childhood Disintegrative Disorder)
Gangguan Disintergratif Masa Kanak (Childhood Disintegrative Disorder)
merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilan yang telah dikuasai
anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun pertama. Gangguan ini
biasa muncul pada anak laki-laki. Perkembangan normal anak hanya terjadi pada
tahun pertama, setelah itu secara signifikan keterampilan yang telah dimiiki seperti
pemahaman, penggunaan bahasa, dan yang lainnya menghilang. Selain itu juga
terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada gangguan komunikasi, serta minat
dan aktivitas yang sempit.
3. Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome)
Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) adalah bentuk yang lebih ringan
dari gangguan perkembangan pervasif. Ditunjukkan dengan penarikan diri dari

9
interaksi sosial serta perilaku stereotip, namun tanpa disertai keterlambatan yang
signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asparger mirip dengan autisme infantil
dalam hal interaksi sosial yang kurang.

Dari ketiga klasifikasi autis tersebut dapat digolongkan kedalam tiga tipe yaitu:
1. Aloof adalah anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik
diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
2. Passive adalah anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan
kontak sosial melainkan hanya menerima saja.
3. Active but odd adalah anak melakukan pendekatan namun hanya besifat satu
sisi yang bersifat repetitif dan aneh.

2.4 Patofisiologi
Saat ini telah diketahui bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan,
yaitu sutu gangguan terhadap cara otak berkembang. Akibat perkembangan otak yang
salah maka jaringan otak tidak mampu mengatur pengamatan dan gerakan, belajar dan
merasakan serta fungsi-fungsi vital dalam tubuh.
Penelitian post partum menunjukkan adanya abnormalitas di daerah-daerah yang
berbeda pada otak anak-anak dan orang dewasa penyandang autisme yang berbeda-beda
pula. Pada beberapa bagian dijumpai adanya abnormalitas berupa substansi grisea yang
walaupun volumenya sama seperti anak normal tetapi mengandung lebih sedikit
neuron.
Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada anak autis adalah
serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai neurotransmitter yang bekerja
sebagai pengantar sinyal di sel-sel saraf. Anak-anak penyandang autisme dijumpai 30-
50% mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah. Perkembangan norepinefrine
(NE), dopamin (DA), dan 5-HT juga mengalami gangguan.
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls
listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat

10
lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama
mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain
melalui sinaps. Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada
trimester keriga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson,
dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar 2 tahun. Setelah anak
lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya
struktur akson, dendrit, dan sinaps.
Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal
sebagai brain growth factors dan proses belajar anak. Semakin banyak sinaps terbentuk,
anak semakin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada
stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan
pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tidak digunakan
menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps. Kelainan genetik,
keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pada proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel saraf. Pada pemeriksaan darah bayi yang baru lahir, diketahui
pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neorotropin dan
neuropeptida otak yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk
mengatur penambahan sel saraf, pertumbuhan dan perkembangan jalinan sel saraf.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan
abnormal pada daerah tertentu. Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan
pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua peniliti melaporkan berkurangnya sel
purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemprosesan indera dan impuls saraf) di otak
kecil pada autisme. Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel purkinye
merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan. Gangguan pada
otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau
membedakan target, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.
2.5 Manifestasi
Gejala Klinis yang sering dijumpai pada anak autis ( Sunartini, 2000):

11
1. Gangguan Fisik:
a. Kegagalan lateralisasi karena kegagalan atau kelainan maturasi otak sehingga
terjadi dominasi serebral.
b. Adanya kejadian dermatoglyphics yang abnormal.
c. Insiden yang tinggi terhadap infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi telinga,
sendawa yang berlebihan, kejang demam dan konstipasi.
2. Gangguan Perilaku:
a. Gangguan dalam interaksi sosial: anak tidak mampu berhubungan secara normal
baik dengan orang tua maupun orang lain. Anak tidak bereaksi bila dipanggil,
tidak suka atau menolak bila dipeluk atau disayang. Anak lebih senang
menyendiri dan tidak responsif terhadap senyuman ataupun sentuhan.
b. Gangguan komunikasi dan bahasa: kemampuan komunikasi dan bahasa sangat
lambat dan bahkan tidak ada sama sekali. Mengeluarkan gumaman kata-kata
yang tidak bermakna, suka membeo dan mengulang-ulang. Mereka tidak
menunjukkan atau memakai gerakan tubuhnya, tetapi menarik tangan orang
tuanya untuk dipergunakan mengambil objek yang dimaksud.
c. Gangguan perilaku motorik: terdapat gerakan yang stereotipik seperti bertepuk
tangan, duduk sambil mengayun-ayunkan badan kedepan kebelakang.
Koordinasi motoris terganggu, kesulitan mengubah rutinitas, terjadi
hiperaktifitas atau justru sangat pasif, agresif dan kadang mengamuk tanpa
sebab.
d. Gangguan emosi, perasaan dan afek: rasa takut yang tiba-tiba muncul terhadap
objek yang tidak menakutkan. Seringkali timbul perubahan perasaan secara tiba-
tiba seperti tertawa tanpa sebab atau mendadak menangis.
e. Gangguan persepsi sensorik: seperti suka mencium atau menjilat benda, tidak
merasa sakit bila terluka atau terbentur dan sebagainya.
2.6 Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat memperbaiki struktur otak atau jaringan
syaraf yang kelihatannya mendasari autis. Gejala yang timbul pada anak autis sangat

12
bervariasi, oleh karena itu terapinya sangat individual dan tergantung keadaan dan
gejala yang timbul dan harus ditangani secara holistik oleh tim ahli.
Beberapa terapi untuk anak autis diantaranya adalah:
1. Terapi wicara yaitu terapi yang membantu anak melancarkan otot-otot mulut
sehingga membantu anak berbicara lebih baik.
2. Terapi biomedik yaitu penanganan biomedis melalui perbaikan kondisi tubuh agar
terlepas dari faktor-faktor yang merusak misalnya keracunan logam berat, allergen
dan lain-lain. Terapi biomedik ini mencari semua gangguan tersebut, apabila
ditemukan maka harus diperbaiki. Sehingga diharapkan bahwa fungsi susunan saraf
pusat bisa bekerja lebih baik sehingga gejala-gejala autis berkurang atau bahkan
menghilang. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorik yang
meliputi pemeriksaan darah, urin, rambut dan feses. Terapi biomedik melengkapi
terapi yang telah ada dengan memperbaiki dari dalam dengan harapan perbaikan
akan lebih cepat terjadi.
3. Terapi makanan, beberapa anak dengan gangguan autis pada umumnya alergi
terhadap beberapa makanan. Pengalaman dan perhatian orang tua dalam
menyiapkan dan mengatur menu makanan serta mengamati gejala yang timbul
akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam menentukan terapi selanjutnya.
Terapi diet disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak.
4. Terapi perilaku yaitu terapi yang agar perilaku anak menjadi terkendali dan
mengerti norma sosial yang berlaku bertujuan agar perilaku anak menjadi terkendali
dan mengerti norma social yang berlaku. Fokus penanganan dalam terapi perilaku
adalah pemberian reinforcement positif setiap kali anak merespon dengan benar
sesuai dengan instruksi yang diberikan. Dalam terapi perilaku ini tidak menerapkan
hukuman punishment bila anak merespon negatif atau salah atau tidak tepat atas
instruksi yang diberikan. Perlakuan ini diharapkan dapat meningkatkan respon
positif anak dan mengurangi kemungkinan ia merespon negatif terhadap instruksi
yang diberikan. Prinsip terapi ini adalah Atencendent yang diikuti Behavior, dan
diikuti Consequence. Atencendent adalah hal yang mendahului perilaku berupa

13
instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui metode
pembelajarannya yang terstruktur maka autis diharapkan dapat memahami perilaku
apa yang diharapkan dilakukan oleh anak setelah mendapat instruksi, dan perilaku
tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak autis memeproleh Consequence
yang menyenangkan.
Terapi untuk anak autis harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada
hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak
misalnya komunikasi dan persoalan-persoalan perilaku. Adanya berbagai jenis
terapi ini dapat dipilih orang tua, maka sangat penting bagi orang tua penyandang
autis untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas
anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autis. Tidak ada satu jenis terapi
yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan denagn kebutuhan anak
berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat
anak sendiri.

14
BAB III

KONSEP ASKEP

AUTIS

3.1. Pengkajian Keperawatan Di Tinjau Dari Keperawatan Anak

Pengkajian data fokus pada anak dengan gangguan perkembangan pervasive


menurut Isaac (2005) dan Towsend, M.C (1998) antara lain :

a. Tidak suka dipegang


b. Rutinitas yang berulang
c. Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukkan
d. Terpaku pada benda mati
e. Sulit berbahasa dan berbicara
f. 50% diantaranya mengalami retardasi mental
g. Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri sendiri
dengan orang lain
h. Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan orang lain
i. Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan orang
lain
j. Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain atau
gerakkan-gerakkan mimik orang lain.
k. Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan ketidakmatangan
struktur gramatis, ekolali, pembalikan pengucapan, ketidakmampuan untuk
menamai benda-benda, ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan
abstrak, tidak adanya ekspresi nonverbal seperti kontak mata, sifat responsif pada
wajah, gerak isyarat.

15
3.2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Townsend, M.C (1998) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan


pada pasien/anak dengan gangguan perkembangan pervasive autis antara lain:

1. Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan:


a. Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya
terhadap rasa tidak percaya
b. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
c. Sejarah perilaku mutilatif/melukai diri sebagai respon terhadap ansietas yang
meningkat.
2. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan:
a. Gangguan konsep diri
b. Tidak adanya orang terdekat
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan:
a. Ketidakmampuan untuk mempercayai
b. Penarikan diri

3.3.Rencana Intervensi

Menurut Townsend, M.C (1998) perencanaan untuk masalah keperawatan pada


anak dengan gangguan perkembangan pervasife autis antara lain:

1. Resiko tinggi terhadap mutilasi diri


Tujuan: pasien dapat melakukan perilaku alternative, dengan memulai interaksi
antara diri dengan perawat sebagai respon terhadap kecemasan dengan kriteria hasil:
1. Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan
perilaku mutilatif diri.
2. Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas.
Intervensi :

16
1. Jamin keselamatan anak dengan memberi rasa aman, lingkungan yang
kondusif untuk mencegah perilaku merusak diri.
2. Kaji dan tentukan penyebab perilaku mutilatif sebagai respon kecemasan.
3. Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu meningkatnya
kecemasan agar tidak terjadi tindakan mutilatif.
2. Kerusakan interaksi sosial
Tujuan: anak akan melakukan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan yang
ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata dalam waktu yang
ditentukan dengan kriteria hasil:
1. Anak mulai berinteraksi dengan orang lain.
2. Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsive pada wajah dan perilaku
non verbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain.
3. Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain.
Intervensi
1. Jalin hubungan dengan anak untuk meningkatkan kepercayaan.
2. Berikan benda yang dikenal seperti mainan kesukaan atau selimut untuk
memberikan rasa aman dalam waktu tertentu agar anak tidak mengalami
distress.
3. Berikan sikap yang hangat, dukungan, dan kebersediaan ketika anak
berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasarnya untuk meningkatkan
pembentukan dan mempertahankan hubungan saling percaya.
4. Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan interaksi, mulai
dengan penguatan yang postif pada kontak mata, perkenalkan dengan
perlahan-lahan dengan sentuhan, senyuman, dan pelukan.
5. Berikan dukungan pada anak yang berusaha untuk membentuk hubungan
dengan orang lain dilingkungannya.
3. Kerusakan komunikasi verbal

17
Tujuan: anak akan melakukan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan yang
ditandai dengan sikap responsive dan kontak mata dalam waktu yang ditentukan
dengan kriteria hasil:
1. Pasien mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh orang lain.
2. Pesan nonverbal pasien sesuai dengan pengungkapan verbal.
3. Pasien memulai berinteraksi verbal dan nonverbal dengan orang lain.
Intervensi
1. Pertahankan sikap perawat untuk mamahami tindakan dan komunikasi anak.
2. Antisipasi dan penuhi kebutuhan anak sampai kepuasan pola komuniasi
terbentuk.
3. Gunakan pendekatan tatap muka berhadapan untuk menyampaikan ekspresi
nonverbal yang benar dengan menggunakan contoh.

18
BAB IV

PENUTUP

4.1.Kesimpulan
Autisme adalah gangguan dalam hal komunikasi, kemampuan dalam berhubungan
sosial, dan kemampuan untuk belajar dalam diri suatu invidu. Penyebab autis sangat
kompleks, yang telah diketahui sekarang adalah karena adanya gangguan pada fungsi
susunan syaraf pusat. Gangguan fungsi ini diakibatkan karena kelainan struktur otak
yang mungkin terjadi pada saat janin usia dibawah 3 bulan.
Saat ini telah diketahui bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan,
yaitu sutu gangguan terhadap cara otak berkembang. Akibat perkembangan otak yang
salah maka jaringan otak tidak mampu mengatur pengamatan dan gerakan, belajar dan
merasakan serta fungsi-fungsi vital dalam tubuh. Gangguan yang dialami anak Autis
adalah gangguan dalam bidang komunikasi (verbal-non verbal), gangguan dalam
bidang perilaku, gangguan bidang perasaan/emosi, dan gangguan dalam bidang
persepsi-sensorik. Terapi untuk anak autis harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan
pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak
misalnya komunikasi dan persoalan-persoalan perilaku.

19
DAFTAR PUSTAKA

Cahyati, Anisa. 2015. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Autisme. Diambil dari:
https://karyatulisilmiah.com/asuhan-keperawatan-autisme/ (2 Agustus 2017).

Rachmayanti, Sri. 2007. Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak Autisme Dan
Perannya Dalam Terapi Autisme. Volume 1 nomor 1, Desember 2007. Diambil dari :
ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/download/277/217 (2 Agustus
2017).

Sembiring, Emanuella, Camillia. 2016. Jurnal Ilmiah Komunikasi Antarpribadi Pada Anak
Penderita Autisme. Diambil dari:
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/flow/article/viewFile/13461/6023 (2 Agustus 2017).

Rahayu. Muji. Sri. 2014. Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis. Volume III, Edisi 1,
Juni 2014. Diambil dari: https://journal.uny.ac.id/index.php/jpa/article/view/2900 (2
Agustus 2017).

Pradini, Ajeng, Nike. 2016. Metode Floor Time Terhadap Penambahan Kosakata Anak
Autis. Diambil dari: jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/article/17635/15/article.pdf (2 Agustus
2017).

Nugraheni, S,A. 2012. Menguak Belantara Autisme. Volume 20, nomor 1-2, 17 September
2012. Diambil dari: https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/viewFile/11944/8798
(2 Agustus 2017).

20

Anda mungkin juga menyukai