PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Autistik Adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang
sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi
gangguan pada aspek perilaku interaksi sosial, komunikasi dan bahasa
serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek
motoriknya.1 Farida (dalam Suhadianto 2009: 89) mengatakan bahwa
salah satu gangguan pada anak autis adalah ketidakmampuan mereka
dalam berbahasa verbal dan non-verbal.2
Data dari CDC (Centre for Disease Control and Prevention)
Amerika Serikat pada bulan Maret 2013 menunjukkan peningkatan
jumlah anak autisme yang jauh lebih besar yaitu sekitar 60 per 10.000
kelahiran, atau satu diantara 150 penduduk. Di Indonesia sendiri, Belum
ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya,
namun dr Widodo Judarwanto, Pediatrician Clinical And Editor In Chief
menduga seperti halnya dibelahan dunia lainnya terjadi peningkatan yang
luar biasa penderita autis di Indonesia.
Prediksi penderita autis dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu
per 5.000 anak, tahun 2000 meningkat menjadi satu per 500 anak.
Diperkirakan tahun 2010 satu per 300 anak. Sedangkan tahun 2015
diperkirakan satu per 250 anak. Tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang
lebih 12.800 anak penyandang autisme atau 134.000 penyandang
spektrum autis di Indonesia.
Atien Nur Chamidah dkk. (dalam Sutadi, 2010) mengatakan Dalam
masa remaja tahapan perkembangan yang dialami sama dengan anak-anak
yang non autis tidak terkecuali dalam masalah seks.3 Bentuk perilaku
seksual yang sering ditunjukkan oleh anak autis yang mengalami puber
yaitu menyentuh organ-organ vital atau alat kelamin, melakukan
masturbasi ditempat umum, membuka baju atau celana di tempat umum,
menyentuh orang lain sembarangan, menyingkap rok, dan memeluk orang
lain secara mendadak. Annisa Sholihatina1 dkk (dalam Lawrie & Jilling,
2004 dan ray, Marks & bray garethson, 2004)4
Untuk menanggapi hal tersebut upaya dari orang tua sangat
dibutuhkan, dalam hal ini diperlukan peran nyata orang tua untuk
mengarahkan anaknya. Untuk mengarahkan, orang tua harus memiliki
pengetahuan yang sesuai dengan kondisi anak mereka. Salah satu metode
yang dilakukan untuk menambah pengetahuan orang tua dengan
memberikan penyuluhan dan konseling oleh tenaga kesehatan atau guru
atau pendidik mengenai salah satu kurikulum yang dapat dijadikan acuan
dalam pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak autis adalah model
kurikulum yang dikembangkan dalam program TEACCH. Atien Nur
Chamidah, dkk (dalam Schopler, 1997)3
Tetapi, pendidikan seks tidak diajarkan pada anak karena yang
berpendapat bahwa seksualitas merupakan sesuatu yang alamiah yang
akan diketahui setelah menikah dan menganggap masalah seks sebagai
masalah yang tabu untuk dibicarakan walaupun banyak media yang telah
memfasilitasi tentang pendidikan seksual. Annisa Sholihatina ( dalam
Pamoedji, 2010)4
Menanggapi hal tersebut dilakukan penelitian oleh Ahmad Nur
Wijaya tentang Gambaran Pengalaman Orangtua Dalam Penanganan
Anak Autis Di SLB Negeri Surakarta di Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2013 dengan
menggunakan Sampel sebanyak 6 orangtua yang memiliki anak autis di
SLB N Surakarta. Hasil penelitian ini adalah Orangtua perlu memeluk,
menggendong dan memberikan contoh untuk anak dengan perilaku
aggressive, orang tua seharusnya mengajarkan anak dengan intonasi
yang tinggi dan mengulang perintah lebih dari sekali untuk anak dengan
gangguan konsentrasi, orangtua sebaiknya mengajarkan bagaimana cara
berbagi dan berpamitan untuk anak dengan gangguan bersosialisasi,
orangtua mengajarkan kontak mata dan mengajarkan berkomunikasi yang
baik jika anak tidak mau untuk berkomunikasi, orangtua menunjukkan
bagaimana cara untuk mandi, berpakaian dan makan dengan baik untuk
anak yang sulit dalam ADL.5
Untuk mendukung hasil penelitian tersebut maka dilakukan
penelitian oleh dr. Atien Nur Chamidah, dkk Tentang Pengembangan
Model Pembelajaran Pendidikan Seksual Melalui Media Belajar Berbasis
Teknologi Informasi Bagi Anak Autis Universitas Negeri Yogyakarta.
2015. Hasil survey pada tahap awal penelitian ini mendapatkan hasil
sebagai berikut: Guru dan orang tua telah melakukan berbagai tindakan
untuk menangani hal tersebut berupa melarang, mengingatkan dan
mengalihkan perhatian anak, Sebagian besar guru sudah memberikan
pembelajaran yang memuat unsur pendidikan seksual terintegrasi dalam
mata pelajaran yang lain dan pendidikan seksual juga sudah diberikan
oleh orang tua di rumah dengan berbagai cara.3
Dari hasil penelitian diatas bahwa orang tua telah diberikan
informasi tentang pendidikan seksual yang dilaksanakan oleh pihak
sekolah dan sebagian dari orang tua sudah mengatahui tentang cara
penangananya. Namun, masih ada perasaan malu dan enggan dari orang
tua untuk memberikan pendidikan seksual seksual kepada anak. Dari
penjelasan diatas ditemukan bahwa orang tua masih memiliki sikap engan
untuk menerapkan ilmu yang di dapat. Walaupun orang tua sudah
mengetahui cara penyampaiannya kepada anak mereka. Hal inilah yang
mendorong peneliti untuk mengidentifikasi lebih lanjut menegenai
Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Orang Tua Tentang
Pendidikan Seksual Pada Anak Autis
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka dapat dirumuskan
masalh penelitian sebagai berikut:
1. Adakah hubungan pengetahuan orang tua tentang pendidikan seksual
pada anak autis
2. Adakah hubungan sikap orang tua tentang pendidikan seksual pada
anak autis
3. Adakah hubungan pengetahuan dengan sikap orang tua tentang
pendidikan seksual pada anak autis
C. TUJUAN PENELITIAN
1. TUJUAN UMUM
Diketahuinya Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Orang Tua
Tentang Pendidikan Seksual Pada Anak Autis
2. TUJUAN KHUSUS
a. Diketahuinya gambaran pengetahuan orang tua tentang pendidikan
seksual pada anak autis
b. Diketahuinya gambaran sikap orang tua tentang pendidikan
seksual pada anak autis
c. Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan sikap orang tua
tentang pendidikan seksual pada anak autis
D. MANFAAT PENELITIAN
1. MANFAAT INSTITUSIONAL
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi institusi
terkait kesehatan reproduksi khususnya bagi penyandang disabilitas
dan dinas kesehatan setempat dalam upaya penanganan masalah
kesehatan sistem reproduksi.
2. MANFAAT ILMIAH
Hasil penelitian ini merupakan sumber informasi dalam peningkatan
pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatatan reproduksi khususnya
bagi penyandang disabilitas
3. MANFAAT PENELIIAN
Hasil penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti
terkait dengan peningkatan pengetahuan dalam kesehatan reproduksi
khususnya bagi penyandang disabilitas dan dapat dijadikan sumber
referensi pada penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. AUTIS
1. Pengertian Autis
Hogan (2001) menuliskan: autism is complex
developmental disability that typically appears during the first 3
years of life. It can result in challenges in language,
communication, emotion, behavior, fine and gross motor skills and
sosial interaction.1
Monks dkk. (1988) menuliskan bahwa autistik berasal dari
kata autos yang berarti aku. Dalam pengertian non ilmiah
dapat diinterpretasikan bahwa semua anak yang mengarah kepada
dirinya sendiri disebut autistik. Berk (2003) menuliskan autistik
dengan istilah absorbed in the self (keasyikan dalam dirinya
sendiri).1
Wall (2004) menyebutnya sebagai Aloof Atau With
Drawan dimana anak-anak dengan gangguan autistik ini tidak
tertarik dengan dunia sekitarnya. Jadi, autistik diartikan secara
sederhana sebagai anak yang suka menyendiri/asyik dengan
dunianya sendiri1. Tidak ada perbedaan anatara anak autis dengan
anak normal mengenai kebutuhan reproduksi6.
Berdasarkan paparan defenisi diatas, penulis menarik
kesimpulan bahwa autistik adalah gangguan perkembangan
neurobiologis yang sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang
panjang, yang meliputi gangguan pada aspek perilaku interaksi
sosial, komunikasi dan bahasa serta gangguan emosi dan persepsi
sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gejala aubsui muncul
pada usia sebelum 3 tahun.1
PERILAKU
INTERSKSI KOMUNIKASI DAN
SOSIAL BAHASA
Panduan penetapan diagnosis gangguan perkembangan dan
gangguan mental yang biasa digunakan adalah diagnosis yang
disepakati oleh (APA) American Psychiatric Association yang
tertuang dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual ot Mental
Disorder)3.
4. Faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme
a. Genetik
Menurut National Institute Of Health, keluarga yang memiliki
satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk
melahirkan anak yang juga autisme. Penelitian pada anak
kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya
kemungkinan besar memiliki gangguan yang sma. Secara
umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan
gangguan spektrum autisme.1
b. Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan
terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan
menggangu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice
Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak
pada mereka yang punya bakat autisme1
c. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam
kandungan memiliki resiko lebih besar mengalami autisme.
Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide.
Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk
mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan,
kecemasan, serta insomnia. Sementara itu, valproic acid adalah
obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar
disorder1.
6. Ida Ayu Sri Kusuma Dewi Suryasaputra, ed. Kesehatan Reproduksi Untuk
Mahasiswa Bidan. Jakarta: EGC; 2011.
DISUSUN OLEH:
2017/2018