Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Autistik Adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang
sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi
gangguan pada aspek perilaku interaksi sosial, komunikasi dan bahasa
serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek
motoriknya.1 Farida (dalam Suhadianto 2009: 89) mengatakan bahwa
salah satu gangguan pada anak autis adalah ketidakmampuan mereka
dalam berbahasa verbal dan non-verbal.2
Data dari CDC (Centre for Disease Control and Prevention)
Amerika Serikat pada bulan Maret 2013 menunjukkan peningkatan
jumlah anak autisme yang jauh lebih besar yaitu sekitar 60 per 10.000
kelahiran, atau satu diantara 150 penduduk. Di Indonesia sendiri, Belum
ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya,
namun dr Widodo Judarwanto, Pediatrician Clinical And Editor In Chief
menduga seperti halnya dibelahan dunia lainnya terjadi peningkatan yang
luar biasa penderita autis di Indonesia.
Prediksi penderita autis dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu
per 5.000 anak, tahun 2000 meningkat menjadi satu per 500 anak.
Diperkirakan tahun 2010 satu per 300 anak. Sedangkan tahun 2015
diperkirakan satu per 250 anak. Tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang
lebih 12.800 anak penyandang autisme atau 134.000 penyandang
spektrum autis di Indonesia.
Atien Nur Chamidah dkk. (dalam Sutadi, 2010) mengatakan Dalam
masa remaja tahapan perkembangan yang dialami sama dengan anak-anak
yang non autis tidak terkecuali dalam masalah seks.3 Bentuk perilaku
seksual yang sering ditunjukkan oleh anak autis yang mengalami puber
yaitu menyentuh organ-organ vital atau alat kelamin, melakukan
masturbasi ditempat umum, membuka baju atau celana di tempat umum,
menyentuh orang lain sembarangan, menyingkap rok, dan memeluk orang
lain secara mendadak. Annisa Sholihatina1 dkk (dalam Lawrie & Jilling,
2004 dan ray, Marks & bray garethson, 2004)4
Untuk menanggapi hal tersebut upaya dari orang tua sangat
dibutuhkan, dalam hal ini diperlukan peran nyata orang tua untuk
mengarahkan anaknya. Untuk mengarahkan, orang tua harus memiliki
pengetahuan yang sesuai dengan kondisi anak mereka. Salah satu metode
yang dilakukan untuk menambah pengetahuan orang tua dengan
memberikan penyuluhan dan konseling oleh tenaga kesehatan atau guru
atau pendidik mengenai salah satu kurikulum yang dapat dijadikan acuan
dalam pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak autis adalah model
kurikulum yang dikembangkan dalam program TEACCH. Atien Nur
Chamidah, dkk (dalam Schopler, 1997)3
Tetapi, pendidikan seks tidak diajarkan pada anak karena yang
berpendapat bahwa seksualitas merupakan sesuatu yang alamiah yang
akan diketahui setelah menikah dan menganggap masalah seks sebagai
masalah yang tabu untuk dibicarakan walaupun banyak media yang telah
memfasilitasi tentang pendidikan seksual. Annisa Sholihatina ( dalam
Pamoedji, 2010)4
Menanggapi hal tersebut dilakukan penelitian oleh Ahmad Nur
Wijaya tentang Gambaran Pengalaman Orangtua Dalam Penanganan
Anak Autis Di SLB Negeri Surakarta di Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2013 dengan
menggunakan Sampel sebanyak 6 orangtua yang memiliki anak autis di
SLB N Surakarta. Hasil penelitian ini adalah Orangtua perlu memeluk,
menggendong dan memberikan contoh untuk anak dengan perilaku
aggressive, orang tua seharusnya mengajarkan anak dengan intonasi
yang tinggi dan mengulang perintah lebih dari sekali untuk anak dengan
gangguan konsentrasi, orangtua sebaiknya mengajarkan bagaimana cara
berbagi dan berpamitan untuk anak dengan gangguan bersosialisasi,
orangtua mengajarkan kontak mata dan mengajarkan berkomunikasi yang
baik jika anak tidak mau untuk berkomunikasi, orangtua menunjukkan
bagaimana cara untuk mandi, berpakaian dan makan dengan baik untuk
anak yang sulit dalam ADL.5
Untuk mendukung hasil penelitian tersebut maka dilakukan
penelitian oleh dr. Atien Nur Chamidah, dkk Tentang Pengembangan
Model Pembelajaran Pendidikan Seksual Melalui Media Belajar Berbasis
Teknologi Informasi Bagi Anak Autis Universitas Negeri Yogyakarta.
2015. Hasil survey pada tahap awal penelitian ini mendapatkan hasil
sebagai berikut: Guru dan orang tua telah melakukan berbagai tindakan
untuk menangani hal tersebut berupa melarang, mengingatkan dan
mengalihkan perhatian anak, Sebagian besar guru sudah memberikan
pembelajaran yang memuat unsur pendidikan seksual terintegrasi dalam
mata pelajaran yang lain dan pendidikan seksual juga sudah diberikan
oleh orang tua di rumah dengan berbagai cara.3
Dari hasil penelitian diatas bahwa orang tua telah diberikan
informasi tentang pendidikan seksual yang dilaksanakan oleh pihak
sekolah dan sebagian dari orang tua sudah mengatahui tentang cara
penangananya. Namun, masih ada perasaan malu dan enggan dari orang
tua untuk memberikan pendidikan seksual seksual kepada anak. Dari
penjelasan diatas ditemukan bahwa orang tua masih memiliki sikap engan
untuk menerapkan ilmu yang di dapat. Walaupun orang tua sudah
mengetahui cara penyampaiannya kepada anak mereka. Hal inilah yang
mendorong peneliti untuk mengidentifikasi lebih lanjut menegenai
Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Orang Tua Tentang
Pendidikan Seksual Pada Anak Autis
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka dapat dirumuskan
masalh penelitian sebagai berikut:
1. Adakah hubungan pengetahuan orang tua tentang pendidikan seksual
pada anak autis
2. Adakah hubungan sikap orang tua tentang pendidikan seksual pada
anak autis
3. Adakah hubungan pengetahuan dengan sikap orang tua tentang
pendidikan seksual pada anak autis
C. TUJUAN PENELITIAN
1. TUJUAN UMUM
Diketahuinya Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Orang Tua
Tentang Pendidikan Seksual Pada Anak Autis

2. TUJUAN KHUSUS
a. Diketahuinya gambaran pengetahuan orang tua tentang pendidikan
seksual pada anak autis
b. Diketahuinya gambaran sikap orang tua tentang pendidikan
seksual pada anak autis
c. Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan sikap orang tua
tentang pendidikan seksual pada anak autis
D. MANFAAT PENELITIAN
1. MANFAAT INSTITUSIONAL
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi institusi
terkait kesehatan reproduksi khususnya bagi penyandang disabilitas
dan dinas kesehatan setempat dalam upaya penanganan masalah
kesehatan sistem reproduksi.
2. MANFAAT ILMIAH
Hasil penelitian ini merupakan sumber informasi dalam peningkatan
pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatatan reproduksi khususnya
bagi penyandang disabilitas
3. MANFAAT PENELIIAN
Hasil penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti
terkait dengan peningkatan pengetahuan dalam kesehatan reproduksi
khususnya bagi penyandang disabilitas dan dapat dijadikan sumber
referensi pada penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. AUTIS
1. Pengertian Autis
Hogan (2001) menuliskan: autism is complex
developmental disability that typically appears during the first 3
years of life. It can result in challenges in language,
communication, emotion, behavior, fine and gross motor skills and
sosial interaction.1
Monks dkk. (1988) menuliskan bahwa autistik berasal dari
kata autos yang berarti aku. Dalam pengertian non ilmiah
dapat diinterpretasikan bahwa semua anak yang mengarah kepada
dirinya sendiri disebut autistik. Berk (2003) menuliskan autistik
dengan istilah absorbed in the self (keasyikan dalam dirinya
sendiri).1
Wall (2004) menyebutnya sebagai Aloof Atau With
Drawan dimana anak-anak dengan gangguan autistik ini tidak
tertarik dengan dunia sekitarnya. Jadi, autistik diartikan secara
sederhana sebagai anak yang suka menyendiri/asyik dengan
dunianya sendiri1. Tidak ada perbedaan anatara anak autis dengan
anak normal mengenai kebutuhan reproduksi6.
Berdasarkan paparan defenisi diatas, penulis menarik
kesimpulan bahwa autistik adalah gangguan perkembangan
neurobiologis yang sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang
panjang, yang meliputi gangguan pada aspek perilaku interaksi
sosial, komunikasi dan bahasa serta gangguan emosi dan persepsi
sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gejala aubsui muncul
pada usia sebelum 3 tahun.1

2. Ciri-ciri anak autistik


Gangguan pada anak autistik terdapat kelompok ciri-ciri
yang disediakan sebagai kriteria untuk mendiagnostik autistik. Hal
ini terkenal dengan istilah Wings Triad Of Impairment yang
dicetuskan oleh Lorna Wing Dan Judy Gould. Meskipun ada
perbedaan dalam pemilihan kata dari tiga gangguan anak autistik,
terbagi dalam tiga gangguan yakni perilaku interaksi sosial, dan
komunikasi dan bahasa. Dan hal ini akan berkaitan satu dengan
yang lainnya1. Beberapa ciri-ciri anak-anak autistik yang dapat
diamati sebagai berikut:1
1) Perilaku
a. Cuek terhadap lingkungan
b. Perilaku tidak terarah, mondar-manadir, lari-lari, manjat-
manjat, berputar-putar, lompat-lompat. Dsb.
c. Kelekatan terhadap benda tertentu
d. Perilaku tidak terara
e. Rigid routine
f. Tantrum
g. Obsessive-compulsive behavior
h. Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang
bergerak
2) Interaksi sosial
a. Tidak mau menatap mata
b. Dipanggil tidak menoleh
c. Tidak mau bermain dengan teman sebayanya
d. Asyik/bermain dengan lingkungan sosial
3) Komunikasi dan bahasa
a. Terlambat bicara
b. Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal
dengan bahasa tubuh
c. Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami
d. Membeo
e. Tidak memahami pembicaraan orang lain
Hal-hal lain yang berkaitan dengan ciri-ciri anak autistik
yang menyertainya seperti ganguan emosional seperti tertawa dan
menangis tanpa sebab yang jelas, tidak dapat berempati, rasa takut
yang berlebihan dan sebagainya. Hal lainnya adalah koordinasi
motorik dan persepsi sensoris misalnya kesulitan dalam menangkap
dan melempar bola, melompot menutup telinga bila mendengar
suara tertentu: car call, klakson mobil, suara tangisan bayi dan
sirine, menjilat-jilat benda, tidak dapat merasakan sakit, tidak
memahami bahaya dan sebagainya serta gangguan perkembangan
kognitif anak.1
3. Diagnosis
Diagnosis ini terkenal dengan istilah Wings Triad Of
Impairment yang dicetuskan oleh Lorna Wing Dan Judy Gould.
Meskipun ada perbedaan dalam pemilihan kata dari tiga gangguan
anak autistik, terbagi dalam tiga gangguan yakni perilaku interaksi
sosial, dan komunikasi dan bahasa. Dan hal ini akan berkaitan satu
dengan yang lainnya.1

PERILAKU
INTERSKSI KOMUNIKASI DAN
SOSIAL BAHASA
Panduan penetapan diagnosis gangguan perkembangan dan
gangguan mental yang biasa digunakan adalah diagnosis yang
disepakati oleh (APA) American Psychiatric Association yang
tertuang dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual ot Mental
Disorder)3.
4. Faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme
a. Genetik
Menurut National Institute Of Health, keluarga yang memiliki
satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk
melahirkan anak yang juga autisme. Penelitian pada anak
kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya
kemungkinan besar memiliki gangguan yang sma. Secara
umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan
gangguan spektrum autisme.1
b. Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan
terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan
menggangu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice
Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak
pada mereka yang punya bakat autisme1
c. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam
kandungan memiliki resiko lebih besar mengalami autisme.
Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide.
Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk
mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan,
kecemasan, serta insomnia. Sementara itu, valproic acid adalah
obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar
disorder1.

d. Usia orang tua


Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan,
perempuan usia 40 tahun memiliki resiko 50 persen memiliki
anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29
tahun1.
e. Perkembangan otak
Area tertentu diotak, termasuk serebral korteks dan cerebellum
yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan
pengaturan mood, berkaitan dengan autisme.
Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan
serotonin di otak juga dihubungkan dengan autisme1.
f. Flu
Anak yang ibunya menderita flu saat sedang hamil berpotensi
dua kali lipat untuk didiagnosa autis pada usianya yang ketiga,
selain itu wanita yang mengalami demam selama satu minggu
atau lebih saat gamil berpotensi melahirkan bayi yang autis tiga
kali lipat.1
g. Mercuri
Merupakan salah satu unsur kimia yang sangat berbahaya.
Amalgam yang digunakan pada penambalan gigi merupakan
salah satu contoh pemakaian merkuri dalam dunia kedokteran.1
h. Pb
Defenisi timbal adalah sebuah zat kimia dengan kode Pb, yang
berarti Plumbum (timah hitam). 1
i. Cd
Kadmium adalah logam kebiruan yang lunak, termasuk
golongan II B table berkala dengan konigurasi elekron [Kr]
4d105s2. Kadmiun merupakan racun bagi tubuh manusia .
waktu paruhnya 30 tahun dan terakumulasi pada ginjal,
sehingga ginjal mengalami disfungsi kadmium yang terdapat
dalam tubuh manusia sebagian besar diperoleh melalui
makanan dari tembakau, hanya sejumlah kecil berasal dari air
minum dan polusi udara1. 10 hal tang diinginkan oleh anak
autistik yaitu:1
1) Perilaku adalah komunikasi
2) Janganlah menarik kesimpulan apa pun
3) Carilah gangguan sensoris dahulu
4) Berikanku waktu untuk mengatur diriku sendiri sebelum
aku memerlukannya
5) Katakanlah padaku apa yang harus aku lakukan dengan
cara yang positif dan bukan cara memerintah
6) Jangan mengharapkan terlalu banyak
7) Berilah aku waktu untuk beralih dari satu aktivitas ke
aktivitas lain
8) Janganlah membuat suatu keadaan buruk menjadi tambah
untuk lagi
9) Kritiklah dengan lembut
10) Berikanlah pilihan yang benar
5. Terapi untuk autis
a. Terapi farmakologi1
Beberapa obat yang dituliskan dibawah ini dapat diberikan
untuk meredakan ansietes, agitasipsikomotor berat, dan
kepekaan yang ekstrem tehadap stimulus lingkungan1
a) Antipsikomotorik membantu mengendalikan perilaku
agittasi, agresif atau perilaku impulsive.
b) Stimulant sistem saraf pusat, seperti dekstroamferamin
(dexsedrin) mungkin memiliki efek penenang para
doksial pada nak-anak yang hiperaktif
c) Anti depresan, seperti litium telah digunakan karena
efek penenangnya seperti antipsikotik, dan impramin
(tofranil) telah digunakan karena kemampuannya
menurunkan impulsifitas anak.
b. Terapi nonfarmakologi1
a) Terapi dengan pendekatan psikodinamis. Terapi bettelheim
dilakukan dengan menjauhkan anak dari kediaman dan
pengawasan orang tua.
b) Terapi dengan intervensi behavioral. Prinsipnya adalah
mengajarkan perilaku yang sesuai dan diharapkan serta
mengurangi/mengeliminir perilaku-perilaku yang salah
pada individu autistik. Pendekatan ini juga menekankan
pada pendidikan khusus yang difokuskan pada
pengembangan kemampuan akademik dan keahlian-
keahlian yang berhubungan dengan pendidikan. Saat ini
ada beberapa sistem behavioral yang diterapkan pada
individu dengan kebutuhan khusus seperti autisme:1
1) Operant conditioning (konsep belajar operan). prinsip
dari teori belajar secara langsung. Inti dan tujuan
utama dari pendekatan ini yaitu mengembangkan dan
meningkatkan perilaku positif serta mengurangi
perilaku negatif yang tidak produktif
2) Cognitive learning (konsep belajar kognitif).
Fokusnya adalah pada seberapa baik seorang
penderita autusik dapat memahami lingkungan
disekitarnya dan apa yang diharapkan oleh lingkungan
tersebut terhdap dirinya. Latihan ini difokuskan pada
kesadran dengan menggunakan tarikan nafas panjang,
pelemasan otot-otot dan perumpamaan visual untuk
menetralisir kegelisahan.
3) Social learning (konsep belajar sosial) pendekatan ini
menekankan pada pentingnya pelatihan keterampilan
sosial. Tekhnik yang sering digunakan dalam
mengajarkan perilaku sosial positif antara lain:
memberikan contoh, permainan peran,
latihan/pengulangan. Salah satu bentuk modifikasi
dari intervensi behavioral yang banyak di terapkan
dipusat-pusat terapi di Indonesia adalah teknik
modifikasi tatalaksana perilaku oleh Ivar Lovaas.
Terapi ini mengunakan prinsip belajar mengajar untuk
mengajarkan sesuatu yang kurang atau tidak dimiliki
anak autis.
4) Intervensi biologis. Mencakup pemberian obat dan
vitamin kepada individu autistik.
c. Terapi bermain.1
Permainan adalah aktivitas yang mengandung motivasi
instrinsik, memberi kesenangan dan kepuasan bagi siapa yang
terlibat dan dipilih secara sukarela.Terapi bermainan adalah
pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif oleh
terapis, untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan
kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal, melalui kebebasan eksplorasi dan
ekspresi diri1. Terdapat beberapa contoh penerapan terapi
bermain lagi anak-anak autistik diantaranya: (Landreth, 2001)1
a) Terapi yang dilakukan Bromfield terhadap seorang
penyandang autisme yang dapat berfungsi secara baik.
Fokus terapinya untuk dapat masuk ke dunia anak agar
dapat memahami pembicaraan dan perilaku anak yang
membingungkan dan kadang tidak diketahui maknanya.
b) Lower dan Lanyado juga menerapkan terapi bermain
yang menggunakan pemaknaan sebagai teknik utama.
Mereka berusaha untuk masuk ke dunia anak dengan
memaknai bahasa tubuh dan tanda-tanda dari anak,
seperti gerakan menunjuk.
c) Wolfberg dan schuler menyarankan penggunaan terapi
bermain kelompok bagi anak-anak autis dan
menekankan pentingnya integrasi kelompok yang lebih
banyak memasukkan anak-anak dengan kemampuan
sosial yang tinggi.
d) Mundscenk dan sasso juga terapi bermain kelompok ini.
Mereka melatih anak-anak non-autistik untuk
berinteraksi dengan anak autistik dalam kelompok
e) Voyat mendeskripsikan pendekatan multi disiplin dalam
penggunaan terapi bermain bagi anak autisme yaitu
dengan menggabungkan terapi bermain dengan
pendidikan khusus dan melatih keterampilan mengurus
diri sendiri.
6. Pencegahan autis
Cara menghindari dan mencegah anak dari penyulit autis
yaitu:1
1) Makan makanan dan minum minuman yang alamiah
tanpa banyak campuran bahan kimia.
2) Hindari makan ikan laut dan darta sembarangan serta
daging atau produk hewani lainnya yang dikhawatirkan
pada hewan tersebut mengandung bahan logam berat
3) Hindari vaksinasi dan imunisasi anak yang tidak perlu.
Ikut imunisasi yang banyak diberikan kepada anak
indonesia yang terbukti aman selama bertahun-tahun
4) Menjaga kesehatan dan mencegah sakit agar tidak
masuk ke rumah sakit atau memakan obat.
5) Tinggal dilokasi yang masih asri dan sejuk udaranya
tidak banyak polusi agar tubuh tidak keracunan dan
menimbun bahan kimia.

7. Pendidikan Seksual bagi Anak autis


Sigmund Freud menyebutkan, setiap anak akan mengalami
empat tahapan psikoseksual dimana tiga diantaranya dialami oleh
anak-anak balita yakni:7
1) Fase oral
Anak yang berusia antara 1 hingga 2 tahun mendapatkan
kwnikmatan melalui mulutnya. Kenikmatan ini
didapatkannya ketika menghisap puting payudara ibunya
saat ia menyusu. Itulah sebabnya anak-anak seusia itu
gemar memasukkan benda atau apa saja yang ada di dalam
mulutnya.
2) Fase anal
Ketika anak berusia antara 2 hingga 4 tahun, ia akan
merasakan kenikmatan tertentu pada daerah anal dan
sekitarnya. Kenikmatan seperti itu didapatkannya ketika
anak menahan buang air besar maupun buang air kecil.
3) Fase phallus
Disaat anak menginjak usia sekitar 4 hingga 6 tahun, ia
akan merasakan kenikmatan tertentu ketika meraba atau
menyentuh alat genetalianya sendiri. Bisa juga kenikmatan
ini didapatkannya ketika organ seksualnya bergesekannya
ketika organ seksualnya bergesekan atau bersentuhan
dengan sesuatu.
4) Fase laten
Yakni dalam anak ketika ia mulai memasuki usia sekolah.
Pada tahapan ini anak cenderung melupakan kenikmatan
yang didapatkannya melalui tiga fase yang telah dilalui
dalam kehidupannya. Fase ini dinamakan fase laten awal
sedangknan fase laten akhir ditunjukkan anak yang telah
beranjak dewasa untuk kembali ingin mendapatkannya
kenikmatan-kenikmatan yang pernah didapatkannya dulu.
Salah satu kurikulum yang dapat dijadikan acuan dalam
pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak autis adalah Salah
satu kurikulum yang dapat dijadikan acuan dalam pendidikan
kesehatan reproduksi bagi anak autis adalah model kurikulum
yang dikembangkan dalam program TEACCH. Atien Nur
Chamidah dkk (dalam Schopler, 1997 )3
Kurikulum pendidikan yang dikembangkan oleh TEACCH
terdiri dari empat tingkat yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan kognitif anak. Anak yang mempunyai level
kognitif tinggi akan mendapatkan pendidikan pada semua tingkat
tersebut, sedangkan bagi yang berada pada tingkat kognitif rendah
hanya akan mendapatkan pendidikan pada tingkat kurikulum
yang paling bawah. Lebih lanjut Schopler (1997)
mendeskripsikan tingkat kurikulum tersebut sebagai berikut:
Atien Nur Chamidah, dkk (dalam Schopler 1997)3
a) Tingkat I menekankan pada Perkembangan perilaku seksual
yang sesuai dan modifikasi perilaku
b) Tingkat II menekankan pada Pemahaman kesehatan
personal
c) Tingkat IIImenekankan pada Pemahaman anatomi organ
reproduksi dan fungsinya
d) Tingkat Iv menekankan pada Hubungan sosial
antarindividu khususnya dengan lawan jenis
Atien Nur Chamidah, dkk (dalam Hatton 2010) juga
mengembangkan kurikulum tentang pendidikan seksual yang
terintegrasi dalam delapan blok yang terkait dengan
perkembangan kemampuan sosial yang diperlukan bagi
pemahaman seksual berdasar tinjauan kesehatan dan hubungan
sosial. Blok tersebut sebenarnya mencakup perihal yang secara
natural akan dimengerti oleh anak muda pada umumnya, namun
bagi anak dengan autisme memerlukan suatu pemahaman dan
pembelajaran khusus. Delapan blok yang dikembangkan tersebut
terdiri dari: kebersihan,sentuhan yang aman, public dan privat,
kesehatan, masturbasi, menstruasi, hubungan dengan lawan jenis,
dan hubungan seksual.3
Atien Nur Chamidah, dkk (dalam Sullivan (2008) perlu
diberikan kepada individu dengan autisme. Topik-topik yang
perlu dimasukkan dalam pendidikan tersebut adalah: bagian-
bagian tubuh dan fungsinya; perkembangan fisik, kesehatan
personal dan perawatan diri; kesehatan; perilaku sosial dan
seksual yang sesuai; isu-isu privaci; pemahaman emosi;
pencitraan diri; pencegahan kejahatan seksual; ketertarikan; dan
hubungan interpersonal3.
Atien Nur Chamidah, dkk (dalam Koller (2000) kurikulum
pendidikan seksual sebagai bagian dari pendidikan kesehatan
reproduksi bagi anak berkebutuhan khusus harus dikembangkan
secara individual dan sesuai dengan kebutuhan anak. Karakteristik
hambatan seksual yang terdapat pada individu autis menyebabkan
remaja autis tidak dapat memahami aturan sosial melalui proses
sosialisasi informal seperti remaja yang lain.3
Oleh karena itu kapan waktu yang tepat untuk memulai
pendidikan seksual mungkin berbeda untuk setiap anak dan remaja,
namun yang penting adalah perlu diberikan sebelum anak
mempunyai perilaku seksual yang menyimpang seperti masturbasi
di depan umum. Atien Nur Chamidah dkk, dalam Sullivan, 2008)3
B. Pengetahuan
Tri Hartatik (dalam Depdiknas, 2001) Pengetahuan adalah segala
sesuatu yang diketahui berkenaan dengan suatu hal 8. Pengetahuan juga
dapat diartikan sebagai hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Tri Hartatik
(dalam Soekidjo Notoatmodjo, 1997:127)8.
Pengetahuan seseorang dikumpulkan dan diterapkan secara
bertahap mulai dari tahap paling sederhana hingga tahap yang lebih
lengkap, tahap tesebut adalah:8
a. Awareness (kesadaran) yaitu orang mengetahui pengetahuan yang
baru
b. Interest yaitu orang mulai tertarik terhadap pengetahuan tersebut
c. Evaluation yaitu orang mulai menimbang-nimbang pengetahuan
yang diperolehnya
d. Trial yaitu orang sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan pengetahuan yang diperolehnya.
e. Adoption yaitu orang sudah berperilaku sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus tersebut
Tri Hartatik ( dalam Soekidjo Notoatmodjo, 1997).
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkat, yaitu:8
a) Tahu (know) Sebagai pengingat materi yang sudah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh sebab itu, tahu adalah tingkat pengetahuan
yang paling rendah.
b) Memahami (comprehension) Sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan
menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang
telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan kemampuan, yang masuk dalam kategori ini
seperti menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya.
c) Aplikasi (application) Sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan
aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain
untuk memecahkan suatu masalah.
d) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk
menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-
komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitan satu sama lain. Termasuk dalam
kemampuan ini adalah kemampuan membuat bagan
(menggambar), membedakan, mengelompokkan, memisahkan,
dan sebagainya.
e) Sintesis (synthesist) Sintesis menunjukkan kepada suatu
kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan
kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk dapat menyusun,
merencanakan, meringkas, menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
f) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan
kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang ada. Tri Hartatik ( dalam
Soekidjo Notoatmodjo, 1997:129-130).
Tri Hartatik (dalam notoatmodjo (2007 ) Terbentuknya suatu
pengetahuan melibatkan berbagai faktor baik yang berasal dari
dalam maupun dari luar individu. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan menurut notoatmodjo (2007 )
antara lain yaitu:8
a) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan
diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan
mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima
informasi
b) Informasi atau media massa
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan
formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh
jangka pendek sehingga menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia
bermacam=mmacam media massa yang dapat
mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi
baru. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas
pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang
berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang
c) Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang
tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau
buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status
ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya
suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi
pengetahuan seseorang
d) Lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada di lingkungan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik
atau pun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan
oleh setiap individu
e) Pengetahuan
Pengetahuan sebagai sumber pengetahuan adalah
suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan
dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang
diperoleh dalam memecahkan masalah yang di hadapi masa
lalu.
f) Usia
Usia mempengatuhi terhadap daya tangkap dan pola
pikir seseorang. Semakin bertambah usia ak an semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga
pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik
C. SIKAP
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek dan manifestasi sikap itu tidak
dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku
Tri Hartatik ( dalam Soekidjo Notoatmodjo, 2003:124).8
Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Soekidjo Notoatmodjo
(2003:125), menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok,
yaitu:8
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek
c. Kecenderungan untuk bertindak
Sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bertindak secara
tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap dapat bersifat positif,
kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,
mengharapkan objek tertentu sedangkan dalam sikap negatif terdapat
kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak
menyukai objek tertentu. Tri Hartatik (dalam Sarlito Wirawan,
2002:94).8
Pengukuran tentang sikap dapat dilakukan secara langsung maupun
dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden
terhadap suatu objek secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pertanyaan hipotesis yang kemudian ditanyakan pada responden (bisa
dengan pilihan jawaban setuju, raguragu, tidak setuju, benar salah,
atau yang lain. Tri Hartatik (dalam Soekidjo Notoatmodjo, 1997:131-
132)8
Tri Hartatik (dalam Sunaryo 2004:199-200), sikap memiliki 5
fungsi, yaitu:8
1) Fungsi Instrumental Fungsi sikap ini dikaitkan dengan manfaat
dan menggambarkan keinginan.
2) Fungsi Pertahanan Ego Sikap diambil individu untuk
melindungi diri dari kecemasan yang mengancam harga
dirinya.
3) Fungsi Nilai Ekspresi Sikap diambil individu untuk
mengekspresikan nilai yang ada dalam diri.
4) Fungsi Pengetahuan Sikap ini membantu individu untuk
menerima informasi yang kemudian diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
5) Fungsi Penyesuaian Sosial Sikap ini membantu individu
merasa menjadi bagian dari masyarakat sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Tri Hartatik (dalam Soekidjo Notoatmodjo 1997) sikap
memiliki 4 tingkat, yaitu:8
a. Menerima (receiving) Individu ingin dan memperhatikan
rangsangan (stimulus) yang diberikan.
b. Merespon (responding) Individu dapat memberikan
jawaban apabila ditanya, mampu mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan.
c. Menghargai (valuing) Individu mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung jawab (responsible) Individu akan
bertanggung jawab dan siap menanggung risiko atas
segala hal yang telah dipilihnya.
Tri Hartatik (dalam Sarlito Wirawan Sarwono (2000) ada
beberapa cara untuk membentuk dan mengubah sikap
individu, yaitu:8
1. Adopsi Suatu cara pembentukan dan perubahan
sikap melalui kejadian yang terjadi berulang dan
terus menerus.
2. Diferensiasi Suatu cara pembentukan dan perubahan
sikap karena sudah dimilikinya pengetahuan,
pengalaman, intelegensi, dan bertambahnya umur.
3. Integrasi Suatu cara pembentukan dan perubahan
sikap secara bertahap, diawali dengan pengetahuan
dan pengalaman sehingga akan terbentuk sikap
terhadap suatu objek.
4. Trauma Suatu cara pembentukan dan perubahan
sikap secara tiba-tiba dan mengejutkan sehingga
meninggalkan kesan mendalam pada diri individu.
5. Generalisasi Suatu cara pembentukan dan
perubahan sikap karena pengalaman traumatik pada
individu terhadap hal tertentu sehingga
menimbulkan sikap negatif.
D. ORANG TUA
Seira Valentina (dalam Thamrin Nasution dan Nurfalifah Nasution)
Setiap orang yang bertanggung jawab dalam keluarga atau rumah
tangga yang dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut dengan Ibu-
Bapak. Orang tua disini lebih condong kepada sebuah keluarga,
dimana kelurga adalah sebuah kelompok primer yang paling penting
didalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang
terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan dimana
sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan
anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu
kesatuan yang formal yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang
belum dewasa. Seira Valentina ( dalam Ahmadi, 1999:239).9
Sedangkan Seira Valentina (dalam Khairuddin 1985)
mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dari orang-orang
yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi,
merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan
sosial bagi suami-istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki
dan perempuan dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama9
Seira Valentina (dalam Khairuddin 1985) keluarga dibedakan
menjadi dua yaitu keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti
didefinisikan sebagai kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak yang belum dewasa atau belum kawin. Sedangkan keluarga luas
adalah keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan suatu
lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada hanya ayah, ibu
dan anak-anaknya. Seira Valentina ( dalam Khairuddin, 1985 : 29)9
Disamping itu, M.S. Goore mengatakan bahwa ada dan tidaknya
keluarga-keluarga besar tidak tampak hanya dari jumlah rumah-rumah
tangga sendiri, tetapi juga dapat dipandang dari sifat dan intensitas
interaksi diantara kaum keluarga di luar keluarga inti. Seira Valentina (
dalam Khairuddin, 1985: 92)9
Jadi pengertian keluarga luas tidak selalu diartikan sebagai suatu
keluarga yang tinggal dalam satu rumah, tetapi intensitas hubungan
dapat juga merupakan kriteria dalam menentukan tipe keluarga luas.
Keluarga yang diperluas lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan
dan bukan daerah industri, kerena bentuk keluarga yang diperluas
dapat memberikan layanan sosial yang biasanya terdapat pada
masyarakat yang tidak mempunyai badan dan organisasi khusus.9
Dengan kata lain, orang-orang yang hidup dalam unit keluarga
yang diperluas dapat meminta bantuan pada banyak orang lain. Dalam
penelitaian ini lebih mengangakat pada fungsi keluarga sebagai fungsi
religius yaitu keluarga berfungsi untuk mengantarkan anggotanya ke
dalam kehidupan beragama, orang tua berkewajiban untuk
memperkenalkanya, mengajak serta menanamkan nilai-nilai agama
kepada anggota keluarga.9
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Dasar pemikiran variabel penelitian
Pendidikan seksual merupakan sesuatu hal yang patutnya diberikan
pada setiap orang termasuk bagi mereka yang memiliki keterbatasan.
Atien Nur Chamidah, sukinah, ilmuwan Moestaqim, M.T. (dalam Sutadi,
2010). Dalam masa remaja tahapan perkembangan yang didalamnya sama
dengan anak-anak yang non autis tidak terkecuali dalam masalah seks.
Bentuk perilaku seksual yang sering ditunjukkan oleh anak autis yang
mengalami puber yaitu menyentuh organ-organ vital atau alat kelamin,
melakukan masturbasi ditempat umum, membuka baju atau celana di
tempat umum, menyentuh orang lain sembarangan, menyingkap rok, dan
memeluk orang lain secara mendadak (Lawrie & Jilling, 2004 dan ray,
Marks & bray garethson, 2004) dalam Farida. Sekitar 75% remaja autis
menunjukan beberapa perilaku seksual dan kebanyakan melakukan
masturbasi (Sulivan & Caterino, 2008) dalam Farida. Kebanyakan dari
mereka melakukan masturbasi dalam waktu yang lama, dan melakukan
masturbasi yang berdampak menyakiti diri sendiri (Cambridge, carnabay
& Mc cartny, 2003 Waish, 2006) dalam Farida.
Pemberian informasi dan pengajaran yang dilakukan pada
penderita autis sangat diperlukan. Pemberian pendidikan seks dapat
dilakukan dalam beberapa tingkatan. Lebih lanjut Schopler (1997)
dalam Atien Nur Chamidah, Sukinah, M. Pd dan Ilmawan Moestaqim).
mendeskripsikan tingkat kurikulum tersebut sebagai berikut:
1. Tingkat I menekankan pada Perkembangan perilaku seksual
yang sesuai dan modifikasi perilaku
2. Tingkat II menekankan pada Pemahaman kesehatan personal
3. Tingkat III menekankan pada Pemahaman anatomi organ
reproduksi dan fungsinya
4. Tingkat Iv menekankan pada Hubungan sosial antarindividu
khususnya dengan lawan jenis
Beberapa faktor pendorong terjadinya autis dan perkembangan
perilakunya dipengaruhi oleh bebrapa faktor yaitu faktor internal dan
eksternal. Pada penelitian ini, faktor yan terkait dengan pendidikan
seksual pada penderita autis menjadi analisa peneliti adalah
pengetahuan dan sikap yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan segala informasi yang telah
diperoleh terkait suatu objek. Pada penelitian ini,
pengetahuan berkaitan dengan segala informasi yang telah
dan dipahami oleh orang tua tentang pendidikan seksual.
Semakin baik pengetahuan orang tua tentang pendidikan
seksual akan menurunkan tingkat kejadian pelecehan
seksual pada mereka yang memiliki keterbatasan. Selain itu,
dengan bertambahnya pengetahuan orang tua maka akan
berdampak pada kesehatan reproduksi para anak autis.
b) Sikap
Sikap merupakan respon atau tanggapan yang masih
tertutup atas suatu objek yang telah diberikan. Pada
penelitian ini, respon tersebut ditujukan pada tanggapan
orang tua tentang pendidikan seksual pada anak autis. Hal
ini di dasari dari pengetahuan orang tua tentang pendidikan
seksual bagi anak autis. Sikap yang positif akan
mencermikan kepedulian orang tua pada anak autis
terutama dalam segi kesehatan reproduksinya.
b. Skema pola pikir variabel penelitian
Pendidikan seksual bagi anak autis adalah suatu masalah dalam
sistem reproduksi dan melibatkan banyak faktor yang pada penelitian
ini berhubungan dengan rendahnya pengetahuan dan sikap negatif dari
para orang tua terhadap kesehatan reproduksi anak mereka yang
terdiagnosis autis. Keterkaitan variabel penelitian akan digambarkan
dalam bentuk bagan sebagai berikut:9
DAFTAR PUSTAKA

1. HR H, ed. Autis Pada Anak. pertama. Yogyakarta: Nuha Medika; 2013.

2. Keibuan KM. Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis.


2015;6(1):63-88.

3. Anak Autis B. Laporan Penelitian Skim Hibah Bersaing Pengembangan


Model Pembelajaran Pendidikan Seksual Melalui Media Belajar Berbasis
Teknologi Informasi Universitas Negeri Yogyakarta. 2015;(November
2014).

4. Sholihatina A, Madhiyah A, Simangunsong B. Pengetahuan dan Sikap


Orang Tua Terhadap Pendidikan Seksual Remaja Autis Pada Fase Pubertas
di SLBN Cibiru dan SLB Pelita Hafidz Bandung. 2008;(85624443725):1-
10.

5. Wijaya AN. Gambaran Pengalaman Orangtua Dalam Penanganan Anak


Autis di SLB Negeri Surakarta Gambaran Pengalaman Orangtua Dalam
Penanganan Anak Autis di SLB Negeri Surakarta Disusun Oleh: Ahmad
Nur Wijaya Pembimbing I PembimbingII. 2013.

6. Ida Ayu Sri Kusuma Dewi Suryasaputra, ed. Kesehatan Reproduksi Untuk
Mahasiswa Bidan. Jakarta: EGC; 2011.

7. Asmoro G, ed. Sex Education. Yogyakarta: Kreasi Wacana; 2006.

8. Keolahragaan FI, Ilmu J, Masyarakat K. Kelurahan Gunungpati Kecamatan


Gunungpati Kota Semarang Tahun 2009. 2009.

9. Valentina S. Peranan Orang Tua Dalam Mengembangkan Religiusitas


Anak. Pribadi. 2009:21. doi:10.1017/CBO9781107415324.004.

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP


ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN
SEKSUAL PADA ANAK AUTIS

DISUSUN OLEH:

NAMA: NUR FITRAYANTI

NIM: PO. 71.4.211.14.1.037

PRODI: DIV KEBIDANAN


POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

2017/2018

Anda mungkin juga menyukai