Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak-anak adalah anugerah dari Allah SWT yang diberikan pada sebuah
keluarga. Dalam dunia ini, anak-anak memegang peranan penting dalam keberlanjutan
sebuah negara. Mereka merupakan pemegang tonggak masa depan yang menentukan
kemana arah sebuah negara akan bergerak. Kualitas anak-anak menentukan pula
bagaimana kualitas sebuah negara di masa depan, dan pendidikan adalah salah satu cara
untuk membentuk kualitas tersebut.
Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31, pendidikan adalah hak semua warga
negara, tak terkecuali bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti autis. Anak
penyandang autis berhak mendapat kesempatan belajar, mengasah kemampuan, dan
mengaktualisasikan diri sama dengan anak-anak normal. Mereka memiliki cita-cita dan
potensi yang tidak kalah dengan anak-anak normal sebayanya. Seperti yang diketahui,
beberapa anak autis memiliki IQ yang cukup tinggi, namun mereka harus ditolong agar
mampu berkembang, mandiri, dan bersosialisasi di masyarakat. Namun, tidak banyak
sekolah-sekolah formal yang mau menerima keberadaan anak autis karena stigmanya
yang negatif di masyarakat, seperti anak autis yang mudah mengamuk atau tidak
terkendali. Padahal, autisme bukanlah suatu kecacatan, melainkan hanya masalah
gangguan pertumbuhan pada anak yang dapat ditangani jika mendapat penanganan yang
tepat.
Gejala autisme mulai ditemukan pada tahun 1970, oleh ilmuwan bernama Leo
Kanner. Sejak saat itu jumlah penyandang autis yang terdeteksi mulai meningkat.
UNESCO mencatat, pada tahun 2011, kurang lebih 35 juta orang di dunia merupakan
penyandang autis. Sedangkan di Indonesia, 8 dari 1000 orang dideteksi autis. Diantara
66 juta anak usia 5-19 tahun, sebanyak 112 ribu anak di Indonesia merupakan
penyandang autis (Harnowo, 2012). Sementara itu, fakta lain menyebutkan pada tahun
1990 penyandang autis diperkirakan sebanyak 1 dari 5000 kelahiran dan hal ini
meningkat pesat dengan perbandingan 1:500 pada tahun 2000, dan 1:100 pada 2009
(Panama, 2013). Peningkatan angka yang pesat tersebut mendapat perhatian dari
masayarakat dan para ahli sehingga muncullah istilah Autistic Spectrum Disorder

1
2

(ASD). Jumlah penyandang autis diprediksikan akan terus meningkat seiring gaya hidup
dan lingkungan yang tidak lagi sehat. Tidak seperti di luar negeri, kebanyakan orang tua
di Indonesia malu memiliki anak autis. Hal ini menyebabkan sulitnya melakukan
pendataan, sehingga jumlah penyandang autis belum pasti sampai sekarang.
Pesatnya angka pertumbuhan anak autis memicu perkembangan ilmu
pengetahuan yang menghasilkan penemuan-penemuan baru untuk terapi penyandang
autis. Seiring berjalannya waktu, terapi-terapi non-medis maupun medis mampu
membantu penderita berangsur-angsur menjadi lebih baik dan bisa membaur ke
masyarakat. Hal tersebut sangat menggembirakan, namun beberapa masyarakat belum
bisa menikmatinya karena tidak tersedianya tempat terapi, tempat terapi yang tidak
memenuhi kualitas standar, atau biaya terapi yang cukup mahal. Dinas Pendidikan Jatim
mencatat adanya 116 TKLB (1.106 siswa), 239 SDLB (8.245 siswa), 172 SMPLB
(2.013 siswa), dan 110 SMALB (1.021) di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2010 (Dinas
Pendidikan Jatim, 2011). Dan pada tahun 2011 pemerintah mulai membangun puluhan
autism center yang tersebar berbagai kota di seluruh Indonesia.
Setiap anak autis adalah unik dan memiliki keistimewaan tersendiri (Ginanjar,
2007). Autisme merupakan salah satu bentuk keunikan yang seharusnya dapat
difasilitasi oleh sekolah dan penyedia pendidikan. Walaupun kini telah banyak sekolah
inklusi, anak autis masih membutuhkan shadow teacher atau guru pendamping untuk
membantunya di kelas. Sekolah inklusi akan menjadi pengalaman yang baik bagi murid
autis apabila pihak sekolah telah terlatih dan seluruh komponennya telah memiliki
pemahaman yang tepat (Brower, 2007:3). Di sisi lain, sebagian besar orang tua di
Indonesia menyekolahkan anak autis mereka di SLB yang diperuntukkan untuk anak
cacat fisik (difable), padahal anak autis membutuhkan sekolah khusus yang dapat
memfasilitasi kebutuhan mereka. Setiap anak memiliki simtom-simtom yang berbeda
antara satu dengan lain yang menyebabkan perlunya tempat terapi dan pendidikan yang
dapat memperbaiki kekurangan motorik, komunikasi, maupun sensoriknya secara
khusus sebelum terjun ke sekolah umum atau inklusi. Penanganan untuk anak autis
lebih baik dilakukan sedini mungkin. Hal ini dikarenakan pada usia dini (2-3 tahun)
perkembangan sel-sel saraf ada otak anak masih perkembang pesat dan mudah
distimulasi.
Salah satu perilaku yang ditunjukkan oleh penyandang autis adalah selektif
terhadap rangsangan sensoris dari lingkungan sekitarnya (Sunu, 2012:8). Hal ini
dikarenakan kesulitan mereka dalam mengolah informasi sensoris sehari-hari (sensory
3

processing difficulties) seperti suara, penglihatan, keseimbangan, penciuman, dan lain-


lain. Masalah penginderaan tersebut mungkin hipersensitif atau bahkan hiposensitif.
Kesulitan dalam memroses input sensori menyebabkan individu autistik tidak mampu
menyaring informasi sensori yang diterima, sehingga seringkali gagal merespon yang
mengakibatkannya mudah cemas (Ginanjar, 2007). Sebagai contoh, ada penyandang
autisme yang menghindari segala bentuk kontak tubuh, sedangkan yang lainnya tahan
atau bahkan kebal terhadap rasa sakit. Beberapa individu autistik tidak suka pada suara-
suara dengan frekuensi tertentu, sehingga sering tantrum ketika mendengar suara
tangisan bayi atau sepeda motor sehingga lebih suka menyendiri. Sebaliknya, beberapa
anak seperti tampak tuli karena tidak berespons terhadap berbagai suara. Beberapa anak
juga berperilaku kurang peka dengan bahaya di sekitarnya karena kurang berfungsinya
sistem vestibular anak.
Kompleksnya gejala yang terdapat pada individu autistik menyebabkan
banyaknya terapi yang harus dilakukan. Anak autis memerlukan banyak stimulasi, dan
latihan untuk mengasah kemampuan bicara, perilaku, sosialisasi, emosi dan saraf otak.
Beberapa terapi untuk mengatasi gangguan pengolahan informasi sensoris adalah
Sensori Integrasi dan snoezelen. Teori Sensori Integrasi dikembangkan oleh Jean Ayres
pada 1976 untuk mengembangkan kemampuan sensoris anak autis agar mampu
merespon dengan baik. Hampir sama dengan Sensori Integrasi, pada terapi snoezelen,
anak diberikan rangsangan untuk menstimulasi indera-inderanya dengan rileks dan
santai. Dengan melakukan kedua terapi ini, diharapkan kemampuan sensoris anak autis
dapat menjadi lebih baik. Apabila seorang anak dapat memproses input sensoris dengan
baik, maka ia akan berperilaku adaptif pada lingkungannya, dan sebaliknya. Namun,
kedua terapi ini pada umumnya masih dilakukan di dalam ruangan dengan menyedikan
berbagai peralatan untuk keperluan terapi dan belum memanfaatkan ruang luar seperti
taman, atau tempat bermain outdoor sebagai sarana terapi sekaligus bermain.
Ruang luar terbukti berpengaruh positif bagi perkembangan anak, seperti pada
penelitian yang dilakukan oleh Fjortoft (2001) dan Said & Abu Bakar (2005). Pengaruh
positif juga terlihat pada anak berkebutuhan khusus, seperti pada penelitian yang
dilakukan oleh Hussein (2010, 2012) dan Blakesley, Rickinson & Dillon (2013). Bagi
kesehatan, lingkungan luar juga sudah terbukti dapat menurunkan tingkat stress
seseorang (Marcus, 2000). Anak autis sama dengan anak normal juga membutuhkan
ruang luar yang dapat menunjang kegiatan bermain dan rekreasinya dengan aman.
Melakukan aktivitas di lingkungan hijau juga berpengaruh sangat baik bagi anak-anak
4

autis untuk meningkatkan atensi dan menurunkan hiperaktivitasnya daripada


beraktivitas di dalam ruangan (Faber Taylor, Kuo & Sullivan, 2001; Kuo & Faber
Taylor, 2004). Selain itu, dengan beraktivitas seperti bermain di ruang luar, anak-anak
dapat mengembangkan kemampuan fisik, emosional, sosial, dan kognitifnya (Prakoso,
2005). Beraktivitas yang dekat dengan alam, anak-anak akan tumbuh dengan
kepedulian, kecintaan, dan kepekaan terhadap lingkungan yang akan melekat sampai
mereka dewasa.
Arsitektur dalam praktiknya berfungsi sebagai penunjang aktivitas pengguna
baik dalam maupun ruang luar. Alam diciptakan dengan berbagai kekayaan sensoris
yang dapat dimanfaatkan untuk menstimulasi penginderaan anak autis yang terganggu.
Dengan lingkungan yang alami, orang tua tidak perlu mencemaskan akan bahan
kimiawi yang berbahaya untuk anak. Salah satu ruang luar yang dapat dimanfaatkan
adalah taman sensori. Taman sensori adalah sebuah taman yang difokuskan untuk
memberikan berbagai pengalaman sensorik dimana jika diolah dengan baik dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari belajar-mengajar, sosialisasi, terapi,
sampai rekreasi (Sensory Trust, 2013; Worden & Moore, 2013).
Untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus, taman dengan konsep lingkungan
multi-sensori memberikan manfaat pada kedua murid dan terapis, yaitu memberikan
peluang untuk pembelajaran dua arah (Hussein, 2010). Dengan begitu, terapis dan
pengajar dapat mengaplikasikan langsung apa yang telah diajarkan di dalam kelas dan
terapi dapat dilakukan dengan bermain maupun aktivitas luar yang menyenangkan
untuk anak. Namun, sekolah-sekolah khusus ABK dan tempat terapi autisme pada
umumnya belum memanfaatkan adanya taman sensori. Ruang luar yang disediakan
hanya berupa taman ala kadarnya, atau bahkan tidak disediakan ruang luar untuk
kebutuhan penyegaran, rekreasi, atau bermain anak sama sekali. Mengingat pengaruh
taman sensoris sangat baik, maka taman sejenis ini seharusnya mampu disediakan oleh
penyedia pendidikan dan terapi anak autis.
Selain memerlukan tempat yang masih asri dan segar, salah satu prinsip
merancang ruang untuk anak autis adalah tempat yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk
keramaian kota (Sachs & Vincenta, 2011; England Department for Education, 2008).
Kota Batu merupakan salah satu kota yang berpotensi karena memiliki alam yang masih
segar dan asri. Dari data Badan Pusat Statistik Kota Batu Tahun 2013, Kota Batu
memiliki jumlah anak usia 0-15 tahun sebanyak 19.000 jiwa, dan 215 di antaranya
menyandang autisme (Centers for Disease Control and Prevention). Padahal, hanya ada
5

satu tempat terapi autisme dan sebuah SLB di kota ini. Selain itu, angka kelahiran anak
dari tahun 2010 – 2012 di Kota Batu sebanyak 2.747 anak, sehingga jika diasumsikan 1
dari 100 kelahiran anak merupakan kelahiran anak autis, maka pertambahannya adalah
26 anak lahir dengan autisme dalam kurun dua tahun. Dengan paparan data tersebut,
maka Kota Batu merupakan tempat yang potensial untuk dirancangnya sebuah autism
center dengan konsep taman sensori yang masih belum banyak diterapkan di tempat
lain.

1.2 Identifikasi Masalah


Pertumbuhan angka penyandang autis di Indonesia semakin meningkat dengan
pesat. Namun masih banyak orang tua menyekolahkan anak autis mereka di Sekolah
Luar Biasa yang diperuntukan bagi anak cacat fisik atau difable. Autism center
diperlukan untuk mewadahi anak-anak autis agar dapat mendapat pendidikan dan terapi
yang mampu memenuhi kebutuhan mereka.
Sebagian besar individu autis memiliki gangguan pemrosesan sensorik yang
menyebabkan sulitnya merespon input sensoris dari lingkungan sekitar. Ruang luar
yang dapat dimanfaatkan untuk melatih sistem sensoris anak autis adalah taman sensori.
Taman sensori memiliki banyak potensi jika dirancang secara baik. Namun,
penggunaan taman ini masih belum banyak dimanfaatkan di sekolah-sekolah khusus
maupun tempat terapi autisme.
Kota Batu merupakan kota yang berpotensi untuk dirancangnya taman sensori
pada ruang luar autism center. Selain udaranya yang masih segar dan lingkungannya
yang asri, Kota Batu memiliki jumlah anak dengan autisme cukup tinggi, yaitu 215 anak
dengan pertambahan 13 anak setiap tahunnya.

1.3 Rumusan Masalah


Bagaimana rancangan taman sensori pada ruang luar autism center di Kota Batu
sebagai ruang luar untuk menunjang kegiatan terapi anak dengan Autistic Spectrum
Disorder (ASD)?
6

1.4 Tujuan
Menghasilkan rancangan taman sensori pada ruang luar autism center di Kota
Batu sebagai ruang luar untuk menunjang kegiatan terapi anak Autistic Spectrum
Disorder (ASD) juga sebagai media pembelajaran luar kelas, yang memberikan efek
menenangkan untuk anak hipersensitif dan menstimulasi bagi anak hipoaktif.

1.5 Batasan Masalah


Ruang luar yang dirancang pada autism center adalah taman yang dirancang
untuk membantu mengembangkan kemampuan sensoris anak, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk terapi, bermain, sekaligus memberikan efek penyegaran bagi anak,
dan tidak menutup kemungkinan untuk kegiatan lain yang bisa dilakukan di luar
ruangan, seperti bermain dan kelas outdoor.
Fokus pada taman sensori adalah untuk sensor taktil, visual, dan vestibular,
sesuai dengan teori dari Ayres (1979) dalam Gunadi (2008), dimana otak individu
autistik sering kali mengalami gangguan, terutama pada input taktil dan vestibular.
Selain itu, sensor visual juga erat kaitannya dengan taktil, serta dapat mempengaruhi
kesan pengguna saat memasuki area taman.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Bagi Perancang dan Mahasiswa Arsitektur


Memberikan gambaran mengenai elemen yang diperlukan dalam merancang
autism center dan taman sensori. Dengan demikian, perancang dan mahasiswa juga
mampu menangkap pentingnya rancangan ruang luar, tidak hanya ruang dalam dalam
menyelesaikan permasalahan.

1.6.2 Bagi Akademisi


Bagi akademsi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi ilmiah
dalam kegiatan belajar mengajar. Penelitian selanjutnya diharap mampu dilakukan,
mengingat belum adanya standar pasti untuk perancangan taman sensori, khususnya
untuk anak autis.
7

1.7 Kerangka Pemikiran


Meningkatnya jumlah kelahiran anak Rencana pembangunan puluhan
autis yang semakin pesat autism center oleh pemerintah.

Gangguan sistem sensoris pada anak Terapi Sensori Integrasi dan


autis yang menyebabkan gagal Snoezelen belum banyak
merespon dan tidak adaptif thd. memanfaatkan ruang luar.
lingkungannya.

Marcus & Barnes(1999), Marcus


(2000), Faber Taylor, Kuo &
Sullivan (2001), Fjortof (2001), Ruang luar mendukung kegiatan
Prakoso (2005), Said & Abu Bakar terapi dan pembelajaran anak.
(2005), Hussein (2010, 2012),
Blakesley, Rickinson & Dillon
(2013)

Hipersensitif
& Taman Sensori Kota Batu

Hiposensitif Parameter/kriteria: memiliki kurang lebih


ketenangan, 215 anak autis dengan
lingkungan asri, pertambahan 13
terhindari dari hiruk- anak/tahun.
pikuk perkotaan.

Bagaimana rancangan autism center dengan


konsep taman sensori di kota Batu sebagai
ruang luar yang menunjang kegiatan terapi dan
pembelajaran anak autis?

Gambar 1.1 Diagram kerangka pemikiran

Anda mungkin juga menyukai