PENDAHULUAN
1
2
(ASD). Jumlah penyandang autis diprediksikan akan terus meningkat seiring gaya hidup
dan lingkungan yang tidak lagi sehat. Tidak seperti di luar negeri, kebanyakan orang tua
di Indonesia malu memiliki anak autis. Hal ini menyebabkan sulitnya melakukan
pendataan, sehingga jumlah penyandang autis belum pasti sampai sekarang.
Pesatnya angka pertumbuhan anak autis memicu perkembangan ilmu
pengetahuan yang menghasilkan penemuan-penemuan baru untuk terapi penyandang
autis. Seiring berjalannya waktu, terapi-terapi non-medis maupun medis mampu
membantu penderita berangsur-angsur menjadi lebih baik dan bisa membaur ke
masyarakat. Hal tersebut sangat menggembirakan, namun beberapa masyarakat belum
bisa menikmatinya karena tidak tersedianya tempat terapi, tempat terapi yang tidak
memenuhi kualitas standar, atau biaya terapi yang cukup mahal. Dinas Pendidikan Jatim
mencatat adanya 116 TKLB (1.106 siswa), 239 SDLB (8.245 siswa), 172 SMPLB
(2.013 siswa), dan 110 SMALB (1.021) di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2010 (Dinas
Pendidikan Jatim, 2011). Dan pada tahun 2011 pemerintah mulai membangun puluhan
autism center yang tersebar berbagai kota di seluruh Indonesia.
Setiap anak autis adalah unik dan memiliki keistimewaan tersendiri (Ginanjar,
2007). Autisme merupakan salah satu bentuk keunikan yang seharusnya dapat
difasilitasi oleh sekolah dan penyedia pendidikan. Walaupun kini telah banyak sekolah
inklusi, anak autis masih membutuhkan shadow teacher atau guru pendamping untuk
membantunya di kelas. Sekolah inklusi akan menjadi pengalaman yang baik bagi murid
autis apabila pihak sekolah telah terlatih dan seluruh komponennya telah memiliki
pemahaman yang tepat (Brower, 2007:3). Di sisi lain, sebagian besar orang tua di
Indonesia menyekolahkan anak autis mereka di SLB yang diperuntukkan untuk anak
cacat fisik (difable), padahal anak autis membutuhkan sekolah khusus yang dapat
memfasilitasi kebutuhan mereka. Setiap anak memiliki simtom-simtom yang berbeda
antara satu dengan lain yang menyebabkan perlunya tempat terapi dan pendidikan yang
dapat memperbaiki kekurangan motorik, komunikasi, maupun sensoriknya secara
khusus sebelum terjun ke sekolah umum atau inklusi. Penanganan untuk anak autis
lebih baik dilakukan sedini mungkin. Hal ini dikarenakan pada usia dini (2-3 tahun)
perkembangan sel-sel saraf ada otak anak masih perkembang pesat dan mudah
distimulasi.
Salah satu perilaku yang ditunjukkan oleh penyandang autis adalah selektif
terhadap rangsangan sensoris dari lingkungan sekitarnya (Sunu, 2012:8). Hal ini
dikarenakan kesulitan mereka dalam mengolah informasi sensoris sehari-hari (sensory
3
satu tempat terapi autisme dan sebuah SLB di kota ini. Selain itu, angka kelahiran anak
dari tahun 2010 – 2012 di Kota Batu sebanyak 2.747 anak, sehingga jika diasumsikan 1
dari 100 kelahiran anak merupakan kelahiran anak autis, maka pertambahannya adalah
26 anak lahir dengan autisme dalam kurun dua tahun. Dengan paparan data tersebut,
maka Kota Batu merupakan tempat yang potensial untuk dirancangnya sebuah autism
center dengan konsep taman sensori yang masih belum banyak diterapkan di tempat
lain.
1.4 Tujuan
Menghasilkan rancangan taman sensori pada ruang luar autism center di Kota
Batu sebagai ruang luar untuk menunjang kegiatan terapi anak Autistic Spectrum
Disorder (ASD) juga sebagai media pembelajaran luar kelas, yang memberikan efek
menenangkan untuk anak hipersensitif dan menstimulasi bagi anak hipoaktif.
Hipersensitif
& Taman Sensori Kota Batu