Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat,

jumlah kasus Autisme mengalami peningkatan yang signifikan. Tahun 2008

rasio anak Autisme 1 dari 100 anak, di tahun 2012 terjadi peningkatan yang

cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 anak saat ini mengalami

Autisme, sedangkan di tahun 2013 meningkat menjadi 1 dari 50 anak (CDC,

2013). Prevalensi penderita Autisme di seluruh dunia menurut data dari

UNESCO tahun 2011 sekitar 35 juta, itu berarti rata-rata 6 dari 1.000 orang di

dunia penderita Autisme. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (2008) memperkirakan ada sekitar 2,4 juta orang

penyandang Autisme di Indonesia dengan pertambahan penyandang baru 500

orang/tahun. Diperkirakan juga jumlah penyandang Autisme di Indonesia

semakin meningkat melihat bertambahnya jumlah kunjungan anak ke klinik

Tumbuh Kembang Anak setiap tahunnya (Kementerian Kesehatan, 2016)

Autisme merupakan gangguan yang di sebabkan bukan karena faktor

tunggal (CDC, 2014) melainkan banyak faktor yang terlibat sehingga di sebut

sebagai gangguan yang kompleks (Carega et al., 2010). Anak yang mengalami

gangguan Autisme kesulitan berkomunikasi dengan orang lain (Tsilioni et al.,

2015), mengalami gangguan sosial dan sering melakukan sesuatu secara

berulang-ulang (Gips & Srinivasan, 2012). Setiap anak yang mengalami

gangguan Autisme memiliki penyebab yang berbeda-beda. Secara sederhana,


1
2

Autisme dapat diartikan sebagai kelainan yang terjadi pada anak yang tidak

mengalami perkembangan normal, khususnya dalam hubungan dengan orang

lain (Winarno, 2013). Autisme mempengaruhi saraf seseorang dalam

memberikan instruksi terhadap inderanya. Hal ini terlihat ketika seorang

pengidap Autisme yang diberi rangsangan berupa suara, ia akan mendengar.

Namun, ia tidak memberikan respon apapun atas rangsangan tersebut. Autisme

di artikan sebagai keadaan yang dikuasai oleh kecenderungan pikiran atau

perilaku yang berpusat pada diri sendiri (Ezmar & Ramli, 2014)

Penyebab terjadinya Autisme diantaranya yaitu faktor genetik.

Genetik yang terlibat dalam gangguan Autisme ratusan jumlanya (Elamin & Al-

Ayadhi, 2015). Genetik tersebut menjadi penyebab Autisme karena mengalami

mutasi (Devlin & Scherer, 2012; Elamin & Al-Ayadhi, 2015). Faktor lingkungan

juga berkontribusi terhadap gangguan Autisme (Sealey et al., 2016). Faktor

tersebut diantaranya polusi udara (Volk et al., 2011), nutrisi (Schmidt et al.,

2011; Schmidt et al., 2012), dan merkuri (Wijngaarden et al., 2013; Picciotto et

al., 2010). Seorang ibu selama masa kehamilan pertama hingga bulan ketiga

yang tidak memperhatikan asupan makanan atau nutrisi kehamilannya lebih

memungkinkan melahirkan anak dengan gangguan Autisme (Schmidt et al.,

2011) Faktor lain penyebab Autisme adalah terjadinya gangguan sistem imun

(Money et al., 1971; Enstrom et al., 2009) salah satunya adalah Neuroimun

(Gottfried et al., 2015). Neuroimun yang tidak normal dapat mempengaruhi

kerja sistem saraf (Vargas et al., 2005) sehingga memicu terjadinya

Neuroinflamasi yang merupakan salah satu faktor penyebab gangguan Autisme.

Bayi yang lahir prematur memiliki potensi mengalami gangguan Autisme (Hack
3

et al., 2009;. Indredavik et al., 2004; Hwang et al., 2013;) karena dipengaruhi

oleh keterlambatan perkembangan sehingga bayi tersebut akan sering

mengamalin gangguan seperti alergi lingkungan, infeksi, dan stress (Angelidou

et al., 2012).

Menurut Winarno (2013, hal.13), tanda-tanda atau gejala utama

Autisme tampak paling menonjol dan jelas yaitu ketika anak berusia di bawah 3

tahun (batita). Tanda-tanda tersebut adalah sebagai berikut: Tidak mengoceh

pada usia sekitar 1,5 tahun, tidak pernah mengucapkan dua kata pada usia 2

tahun, kemampuan berbahasa dapat hilang setiap saat, tidak pernah berpura-pura

bermain dan tidak bereaksi ketika dipanggil namanya, tidak acuh dengan hal-hal

lainm, mengulang-ulang gerakan badan atau anggota tubuh, perhatian hanya

terfokus pada objek tertentu saja, biasanya menolak keras perubahan terhadap

hal yang bersifat rutin dan sangat peka terhadap tekstur dan bau tertentu.

Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada

individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan

memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan

menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik,

elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi (KEMENKES RI,

2015). Maka dari itu peran fisioter api sangat diperlukan pada kasus Autisme

untuk memberikan program latihan yang bertujuan untuk meningkatkan kognitif

pada kondisi Autisme.

Massage Therapy adalah suatu sentuhan yang diberikan pada

jaringan lunak yang bermanfaat bagi anak maupun orang tua. Massage Therapy

pada anak berfungsi membantu relaksasi baik lokal maupun general dan
4

stimulasi pada tubuh anak, daerah yang di Massage Therapy secara refleks akan

terjadi dilatasi pembuluh darah, dimana sirkulasi darah akan meningkat (Dasuki,

2003). Massage Therapy dapat meningkatkan peredaran darah ketika jumlah

nutrisi dan oksigen yang tersedia untuk otot terpenuhi (Imelda, 2013).

Menurut Clark (2013) Play Therapy dapat dimaknai sebagai terapi

yang dilaksanakan oleh seorang profesional yang berperan sebagai katalis dan

pendukung untuk membantu menyelesaikan masalah anak-anak melalui aktivitas

bermain. Vigotsky dalam Landreth (2001) mengemukakan bahwa bermain

memiliki peran penting dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Begitu

juga pendapat Bodrova, Germeroth & Leong (2013) yang mengemukakan

bahwa pengaturan diri anak dapat terbentuk melalui bermain. Beberapa hasil

penelitian juga membuktikan bahwa Play Therapy efektif dalam meningkatkan

kemampuan sosio-emosional anak (Siahkalroudi & Bahri, 2015; Chinekesh,

Kamalian, Eltemasi, Chinekesh & Alavi, 2014; Salter, Beamish & Davies, 2016;

Robinson, Simpson & Hott, 2017).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik ingin mengambil

judul Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Anak Kondisi Autisme Dengan

Pemberian Massage Therapy Dan Play Therapy (Percrptual Motor Program)

Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif

I.2 Identifikasi Masalah

Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh

kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan saraf-saraf

tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal,


5

sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan

kemampuan interaksi sosial seseorang (Christopher,2012:7). Autisme

mempengaruhi saraf seseorang dalam memberikan instruksi terhadap inderanya.

Hal ini terlihat ketika seorang pengidap Autisme yang diberi rangsangan berupa

suara, ia akan mendengar. Namun, ia tidak memberikan respon apapun atas

rangsangan tersebut. Autisme diartikan sebagai keadaan yang dikuasai oleh

kecenderungan pikiran atau perilaku yang berpusat pada diri sendiri (Ezmar &

Ramli, 2014).

Permasalahan yang timbul pada kasus Autisme adalah mencakup

beberapa hal: (1) Anatomical Impairment adanya kerusakan dan ketidak fungsi

pada otak, pada bagian Lobus Parietalis (Parietal Lobe), Lobus Temporalis

(Temporal Lobe), Frontal Lobe (Prefrontal cortex), Lobus oksipitalis (Occipital

Lobe), Cerebellum (otak kecil), dan Sistem limbik, (2) Functional Impairment

adanya ketidakfokusan pada anak Autisme yang disebabkan oleh kerusakan pada

bagian Lobus Parietalis (Parietal Lobe) dan Lobus Temporalis (Temporal

Lobe), (3) Functional Limitation adanya penurunan kemampuan fungsional

aktivitas sehari-hari yaitu seperti kesulitan berjalan, tidak bisa makan sendiri,

tidak bisa memakai baju sendiri dan kesulitan melakukan aktivitas anak-anak

pada umumnya, (4) Restriction of Participan keterbatasan saat melakukan

aktivitas sosial seperti bermain dengan anak-anak dilingkungan sekitarnya.

Massage Therapy dapat menstimulasi jaringan saraf motorik dan saraf

sensorik (melalui rangsang taktil). Massage Therapy juga berfungsi sebagai

rangsang taktil. Stimulus dari Massage Therapy ini akan ditangkap oleh
6

mekanoreseptor yaitu sel yang dapat mentransduksi rangsangan mekanik dan

menghantarkan sinyal ke sistem saraf pusat, dan diharapkan akan menstimulasi

tonus otot terutama pada anak yang kesulitan untuk mengotrol postural dan

keseimbangan. Dengan adanya sentuhan atau stimulasi pada tubuh anak, maka

akan terjadi dilatasi pembuluh darah dimana sirkulasi darah akan meningkat dan

akan menambah energi gelombang oksigen yang lebih banyak dikirim ke otak

sehingga memacu sistem sirkulasi dan respirasi menjadi lebih baik (David,

2011).

Play Therapy (Terapi bermain) ini merupakan pemanfaatan pola

permainan sebagai media yang efektif melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi

diri. Bermain merupakan bagian masa kanak-kanak yang merupakan media

untuk memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan

emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan dan

perkembangan kognitif pada anak-anak (Puspaningrum, 2010). Perceptual

motor program merupakan proses pencapaian ketrampilan dan kemampuan

fungsional menggunakan input sensori, integrasi sensori, interpretasi motorik,

aktivitas gerak dan umpan balik (Gallahue 2002 dalam Maryatun, 2012).

Dalam penelitian ini menggunakan Rating Scale untuk mengukur

tingkat konsentrasi yang mengacu pada DSM-IV TR (American Psychiatric

Association, 2000). Penilaian diberikan berdasarkan tinggi rendahnya skor yang

diperoleh skor antara 1- 4. Semakin tinggi skor yang diperoleh semakin rendah

tingkat konsentrasi anak.


7

I.3 Rumusan Masalah

Apakah Massage Therapy dan Play Therapy ( Perceptual Motor

Program) dapat meningkatkan Kognitif pada Autisme?

I.4 Tujuan Penelitian

Untuk mengetatahui efektifitas pemberian Massage Therapy dan Play

Therapy (Perceptual Motor Program) untuk meningkatkan Kognitif pada

Autisme.

I.5 Manfaat
I.5.1 Manfaat Ilmiah

1.5.1.1 Menambah pengetahuan dan menambah wawasan dalam

melaksanakan proses fisioterapi pada kondisi Autisme.

1.5.1.2 Untuk mendapatkan metode yang tepat dan bermanfaat dalam

melakukan penanganan pada kondisi Autisme.

I.5.2 Manfaat Bagi Pendidikan

Dapat dijadikan bahan bacaan diperpustakaan atau sebagai bahan

referensi bagi penelitian

I.5.3 Manfaat Bagi Pasien dan Masyarakat

Dapat memberi informasi pada pasien dan masyarakat tentang

Autisme serta penanganan apa yang bisa dilakukan.


8

BAB II

KAJIAN TEORITIS

II.1 Variabel Studi Kasus


II.1.1 Definisi Autisme

Autisme menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorder (APA, 2013) merupakan suatu gangguan perkembangan yang

melibatkan berbagai perilaku bermasalah termasuk diantaranya masalah

berkomunikasi, persepsi, motorik, dan perkembangan sosial, penyebab

terjadinya Autisme adalah gangguan Neurobiologis berat yang

mempengaruhi fungsi otak, dimana gejala tersebut dapat terlihat sejak

anak berusia dini yang muncul sebelum anak berusia tiga tahun dengan

persentase empat sampai lima kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki.

II.1.2
Gangguan Fungsional adalah gangguan atau keterbatasan fungsi

gerak organ tubuh yang di sebabkan oleh ketidakmampuan atau

kehilangan fungsi Anatomis. Dalam kasus Autisme adanya kerusakan dan

ketidakfungsian pada otak, yaitu pada bagian Lobus Parietalis (Parietal

Lobe) pada bagian ini terjadi ketidakfungsi mengendalikan sensasi, seperti

sentuhan, tekanan, nyeri dan suhu, Lobus Temporalis (Temporal Lobe)

bagian ini terjadi kerusakan yang mengakibatkan terjadinya perubahan

emosi atau hilangnya kemampuan memahamin dan perubahan kognitif


8
(Kalat, 2007), Frontal Lobe (Prefrontal Cortex) pada bagian ini terjadi

ketidakmampuan mengikuti konteks yang ada dan ketidakfungsian dalam

eksekutif, sehingga mereka berprilaku tidak pantas dan impulsif (Kalat,


9

2007), Lobus oksipitalis (Occipital Lobe) pada bagian ini terjadinya

penurunan perilaku dalam special attention anak Autisme, Cerebellum

(otak kecil) Penyandang Autisme sangat sulit untuk membagi perhatian

dan memusatkan perhatian, dan Sistem limbik Neuroaktivasi yang tidak

normal pada amigdala hadir di dalam kelompok Autisme ketika proses

pengenalan wajah (Wang, et al., 2004; Sparks, et al., 2002, dalam Zilmer,

2008), Kerusakan pada Caudate Nucleus Basal Ganglia dapat merusak

kognitif atau fleksibilitas mental (Lichter & Cummings dalam Zillmer et

al., 2008).

II.2 Kajian yang Terkait

II.2.1 Anatomi Sistem Otak Autisme

Otak merupakan pusat kendali tubuh yang terletak di dalam batok

kepala dengan struktur dan fungsinya masing-masing. Berat otak manusia

kurang lebih 1.300-1.400 gram (2% dari berat badan). Otak besar

(cerebrum), batang otak (brainstem), otak kecil (cerebellum) dan sistem

limbik. Masing-masing bagian tersebut terdiri dari beberapa bagian yang

memiliki fungsi sebagai berikut.

1. Otak besar (cerebrum)


10

Gambar 2.1. Otak besar


Sumber: https://images.app.goo.gl/K4egXkYQRsZ17dqu8

a. Lobus Temporalis (Temporal Lobe)

Bagian lateral dari kedua belahan otak: kanan dan kiri.

Pemahaman pada bahasa lisan (Lobus Temporal sebelah kiri)

Fungsi: berperan dalam beberapa aspek penglihatan yang lebih

kompleks, termasuk di dalamnya adalah persepsi gerakan dan

pengenalan wajah. Berperan dalam perilaku yang berkaitan dengan

emosi dan motivasi. Kerusakan pada bagian ini mengakibatkan

terjadinya perubahan emosi atau hilangnya kemampuan memahami

apa yang sebenarnya terjadi atau terjadi perubahan kognitif (Kalat,

2007).

b. Frontal Lobe (Prefrontal cortex)

Menyimpan memori jangka pendek, yaitu kemampuan untuk

mengingat kejadian yang baru terjadi, Berperan penting ketika kita

harus mengikuti dua peraturan atau lebih pada saat yang sama

(Rammani & Owen, 2004). Mengatur perilaku yang sesuai dengan

konteks (Miller, 2000). Individu yang mengalami kerusakan

Prefrontal Cortex mengalami ketidak mampuan mengikuti konteks

yang ada dan ketidak berfungsian dalam eksekutif, sehingga mereka

berperilaku tidak pantas dan impulsif (Kalat, 2007).

c. Lobus oksipitalis (Occipital Lobe)

Berfungsi untuk pengolahan dan menyampaikan isyarat visual.

Lobus ini sebagai salah satu bagian penyusun dari korteks cerebral
11

yang lebih besar. Haist, Adamo, Westerfield, Courchesne &

Townsend (2005) menjelaskan penurunan perilaku dalam spasial

attention anak autis berhubungan dengan hipoaktivasi di Frontal,

Parietal, Occipital, dan terutama pada Inferior Parietal Lobule.

2. Otak Kecil (cerebellum)

Gambar 2.2. Otak Kecil


Sumber : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F
%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki%2FOtak_kecil&psig=AOvV

Berfungsi penting dalam kehidupan yaitu proses sensoris, daya

ingat, berpikir, belajar berbahasa, proses atensi. Penyandang Autisme

sangat sulit untuk membagi perhatian dan memusatkan perhatian,

namun sekali perhatian itu terpusat, individu Autisme akan sulit

untuk mengalihkan perhatian. Individu GSA juga tidak mampu

membagikan perhatian dengan orang lain yang disebut “joint social

attention”. (Zillmer et al., 2008).

3. Sistem Limbic
12

Gambar 2.3. sistem limik


Sumber : https://hellosehat.com/saraf/fungsi-amigdala/?amp=1

Simtem limbic Mencakup: amigdala, hipokampus, dan

entorhinal korteks, Berperan utama dalam perilaku sosial dan

emosional manusia (Zillmer et al., 2008).

a. Amigdala (amygdala)

Merupakan kumpulan Soma Neuron di bawah korteks ujung

depan medial Lobus Temporalis, di depan dan sebagian di atas

ujung Kornu Inferior Ventrikel Lateral (Markam, 2009).

Peningkatan emosi, menghubungkan nilai emosional terhadap

rangsangan, pembelajaran emosi (Zillmer, et al., 2008).

Keterlibatan peran Amigdala dengan Lesi pada Amigdala dan

struktur Lobus Temporal lainnya menghasilkan penurunan

perilaku sosial (Donders & Hunter, 2010). Neuroaktivasi yang

tidak normal pada Amigdala hadir di dalam kelompok Autisme


13

ketika proses pengenalan wajah (Wang, et al., 2004; Sparks, et

al., 2002, dalam Zilmer, 2008)

b. Hipokampus

Sebuah struktur besar yang terletak di antara talamus dan

Korteks Serebrum (Kalat, 2007) Penyimpanan beberapa memori

tertentu, bukan seluruhnya. Individu yang mengalami kerusakan

Hipokampus akan kesulitan untuk menyimpan memori yang baru,

tetapi memori yang disimpan sebelum kerusakan terjadi tidak

hilang (Kalat, 2007). Schuman, et al (dalam Donders & Hunter,

2010): masih sedikit penelitian yang menguji secara langsung

mekanisme otak terlibat dalam kemampuan memori pada anak

Autisme, terdapat laporan struktur kelainan pada Hipokampus.

c. Basal ganglia

Saling bertukar informasi dengan bagian Korteks Cerebrum

(otak besar) yang berbeda. Berfungsi dalam bahasa, khususnya

perencanaan motorik dan atensi. Berhubungan pada Lobus

Frontalis, berpartisipasi dalam inhibisi, dan mengatur perilaku.

Kerusakan pada Caudate Nucleus Basal Ganglia dapat merusak

kognitif atau fleksibilitas mental (Lichter & Cummings dalam

Zillmer et al., 2008).

d. Corpus callosum

Berfungsi sebagai penghubung kedua belahan otak berbagi

informasi, meskipun awalnya hanya satu belahan yang menerima

informasi, memungkinkan pertukaran informasi antara


14

Hemisphere kiri dan kanan (Springer et al. dalam Zillmer et al,

2008) (Penelitian yang dilakukan oleh Wolff, et al, (2015)

menjelaskan bahwa terdapat peningkatan dan ketebalan Corpus

Callosum pada bayi yang mengalami Autisme berusia 6 bulan

II.2.2 Fisiologi Kognitif

menurut Strub dkk (2000), fungsi kognitif merupakan aktivitas

mental secara sadar seperti berpikir, belajar, mengingat dan menggunakan

bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori,

pemecahan masalah, pertimbangan, serta kemampuan eksekutif

(merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi). (Sibarani

RMH, 2014)

Komponen-komponen pengontrol kognitif adalah :

1. Atensi

Atensi adalah kemampuan untuk beraksi atau memperhatikan satu

stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak

dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak,

aktivitas limbik, dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus

pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak

relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk

mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama.

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas

dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat


15

gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan

fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat

dilakukan.

3. Memori

Memori adalah sebuah status mental yang memungkinkan

seseorang untuk menyimpan informasi yang akan dipanggil

kembali dikemudian hari. Rentang waktu untuk memanggil

kembali informasi tersebut bisa dilakukan dalam waktu singkat

(hitungan detik) seperti pada pengulangan angka, atau dalam waktu

yang telah lama (bertahun-tahun) seperti mengingat kembali

pengalaman masa kanak-kanak.

4. Kemampuan visuospasial

Kemampuan visuospasial adalah kemampuan konstruksional

seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar

(misalnya lingkaran atau kubus) dan juga menyusun balok-balok.

Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi, Lobus

Parietal terutama Hemisfer kanan ialah yang paling berperan

dominan.

5. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif dari otak dapat didefinisikan sebagai suatu proses

kompleks seseorang dalam memecahkan suatu masalah atau

persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan

suatu masalah, dapat mengevaluasi, menganalisa serta

memecahkan atau mencari jalan keluar dari persoalan tersebut.


16

II.3 Patologi
II.3.1 Etiologi

Penyebab Autisme menurut beberapa penelitian yaitu :

Penyebab terjadinya autisme pada anak yaitu bisa disebabkan

karena genetik dan adanya gangguan Neurologi di otaknya, yang

menyebabkan anak tersebut menjadi kesulitan untuk merespon ucapan dari

orang lain (Matuzahroh & Yuliani, 2021).

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pada otak yang

ditandai dengan 3 munculnya perilaku yang bersifat repetitif, restriktif,

stereotipik dan obsesif (Aswandi, 2005).Walaupun sampai saat ini belum

ditemukan adanya penyebab yang pasti timbulnya Autisme, namun

beberapa bagian dari otak seperti amigdala, Hipokampus, Sistem Limbik,

Cerebelum dan korteks serebri mengalami gangguan perkembangan

Histokimia sampai Anatomik.

Penyebab anak dengan Autisme ditandai dengan faktor

Neurobiologis, masalah genetik, masalah kehamilan dan kelahiran,

keracunan logam berat, infeksi virus dan vaksinasi (Maryanti, 2012).

Menurut Prasetyono (2008:229) beberapa dugaan penyebab

Autisme dan diagnosis medisnya antara lain :

a. Gangguan susunan saraf pusat: Ditemukan adanya kelainan pada

susunan saraf pusat pada beberapa tempat didalam otak anak

Autisme.
17

b. Gangguan pada Metabolisme (sistem pencernaan): Ada hubungan

antara gangguan pencernaan dengan gejala Autisme.

c. Peradangan dinding usus: Penderita gangguan Autisme umumnya

memiliki pencernaan buruk dan ditemukan adanya peradangan

usus.

d. Keracunan logam berat: makanan ringan dan mainan anak yang

mengandung bahan logam berat dapat mengakibatkan kerusakan

pada otak sehingga dapat menyebabkan anak menjadi Autisme.

e. Faktor genetika : disebabkan oleh faktor keturunan.

menurut DSM-V (APA,2013) , Autisme yaitu suatu gangguan

perkembangan saraf (Neurodevelopmental Disorder) yang ditandai dengan

hambatan dalam timbal balik sosial, perilaku komunikatif non-verbal yang

digunakan untuk interaksi sosial, dan keterampilan dalam

mengembangkan, mempertahankan dan memahami hubungan dan juga

adanya pola perilaku keterkaitan yang terbatas maupun aktivitas yang

terulang.

II.3.2 Tanda dan gejala

Autisme merupakan gangguan otak yang membatasi kemampuan

seseorang untuk berkomunikasi dan memahami orang lain. Tanda

pertamanya muncul di masa kanak-kanak, namun tanda-tandanya berbeda

pada setiap anak. Akan tetapi melihat ciri-ciri anak Autisme bisa jadi sulit,

karena biasanya baru terlihat jelas setelah usia 3 tahun (Widodo, 2008).

Tanda-tanda awal dari Autisme mencakup:


18

a) Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang kali (misalnya

bergoyang atau berputar)

b) Menghindari kontak mata atau sentuhan fisik

c) Lambat dalam belajar berbicara

d) Mengulangi kata-kata atau kalimat yang sama

e) Marah karena hal-hal sepele

Ada pendapat lain tentang ciri-ciri Autisme yang bisa Anda deteksi

pada anak-anak Autisme:

1) Gangguan Kemampuan Sosial

Autisme berkaitan dengan gangguan kemampuan sosial yang

penderitanya berinteraksi berbeda dengan orang pada

umumnya. Pada tingkat gejala ringan, ciri-ciri Autisme yang

muncul adalah tampak canggung saat berhubungan dengan

orang lain, mengeluarkan komentar yang menyinggung orang

lain, dan tampak terasing saat berkumpul bersama orang lain.

Penderita Autisme dengan tingkat gejala Autisme yang parah

biasanya tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Mereka

juga cenderung menghindari kontak mata ( Saharso ,2004)

2) Kesulitan Berempati

Sangat sulit bagi anak penderita Autisme untuk memahami

perasaan orang lain, sehingga mereka jarang berempati

terhadap orang lain ( Saharso, 2004)

3) Tidak Suka Kontak Fisik


19

Tak seperti anak lain pada umumnya, sebagian anak penderita

Autisme tidak menyukai jika mereka disentuh atau dipeluk.

Namun, tidak semua menunjukkan gejala yang sama. Sebagian

anak dengan Autisme sering dan senang memeluk mereka

yang dekat dengannya ( Saharso, 2004 )

4) Tidak Suka Suara Keras, Beberapa Aroma, dan Cahaya Terang

Anak penderita Autisme umumnya merasa terganggu dengan

suara keras yang mengagetkan, perubahan kondisi cahaya, dan

perubahan suhu yang mendadak. Diyakini bahwa yang

membuat mereka merasa terganggu adalah perubahan

mendadak, sehingga mereka tidak bisa mempersiapkan diri

terlebih dahulu ( Saharso, 2004 )

5) Gangguan Bicara

Ciri-ciri Autisme bisa juga Anda deteksi dengan mengetahui

kemampuan bicara pada anak. Diketahui bahwa 40% dari

anak-anak dengan Autisme tidak dapat berbicara atau hanya

dapat mengucapkan beberapa kata saja. Sekitar 25-30% dapat

mengucapkan beberapa kata pada usia 12-18 bulan. Namun

sesudahnya kehilangan kemampuan berbicara. Sedangkan

sisanya baru dapat berbicara setelah agak besar ( Ibid, hal 135)

6) Suka Tindakan Berulang

Anak Autisme menyukai hal yang sudah pasti sehingga mereka

menikmati melakukan rutinitas yang sama terus menerus atau

sering melakukan tindakan yang berulang-ulang. Adanya


20

perubahan pada rutinitas sehari-hari akan terasa sangat

mengganggu bagi mereka. Tindakan yang berulang ini dapat

bervariasi dan dikenal sebagai Stimulating Activities

(stimming), serta biasanya menjadi suatu obsesi tersendiri bagi

penderita Autisme (Redl, & Watten, hlm. 149-150 )

7) Perkembangan Tidak Seimbang

Perkembangan anak pada umumnya bersifat seimbang, artinya

perkembangannya meliputi banyak faktor dan bertahap.

Sebaliknya, perkembangan pada anak-anak Autisme cenderung

tidak seimbang: perkembangan di satu bidang terjadi dengan

cepat namun terhambat dibidang lainnya. Sebagai contoh,

perkembangan kemampuan kognitif terjadi dengan pesat

namun kemampuan bicara masih terhambat atau

perkembangan kemampuan bicara terjadi dengan pesat namun

kemampuan motorik masih terhambat (Redl, & Watten, hlm.

149-150 )

II.3.3 Faktor penyebab Autisme

Menurut penelitian, hingga saat ini belum ditemukan penyebab

pasti dari penderita Autisme. Hal ini disebabkan banyak faktor. Tetapi

secara umum penyebab anak Autisme ada dua hal, yaitu secara genetik dan

lingkungan. Apabila dari segi genetik, ditemukannya gen Autisme yang

diturunkan oleh orang tua kepada beberapa anak Autisme. Sedangkan

faktor yang disebabkan oleh lingkungan yaitu terkontaminasi lingkungan


21

oleh zat-zat beracun, pangan, gizi, dan juga diakibatkan oleh raksenasi

(Rakhmania, 2020)

a) Hubungan Usia Ayah Dengan Kejadian Autisme

Penelitian yang dilakukan Fibriana Ika Arulita, 2017 di Kota

Semarang menyatakan ada hubungan antara usia ayah yang

lebih dari 35 tahun dengan kejadian Autisme pada bayi.

Mekanisme spesifik terhadap hubungan peningkatan usia ayah

dan Autisme masih belum jelas. Peningkatan usia ayah dapat

menyebabkan adanya mutasi genetik pada Spermatogonia.

Mutasigenetik tersebut mengakibatkan adanya gangguan

replikasi DNA yang kemudian menimbulkan gangguan

Autisme (Arsyad KHM, Alman Pratama Manalu, 2013)

b) Hubungan Usia Ibu Dengan Kejadian Autisme

Bahwa Ibu yang berusia lebih dari 30 tahun saat melahirkan

berisiko 3,647 kali lebih besar untuk anaknya mengalami

Autisme dari pada Ibu yang berusia kurang dari 30 tahun.

Usia ibu yang semakin bertambah akan menyebabkan

autoimun ibu berkurang dan menyebabkan rentannya ibu

terkena infeksi dan kemudian mengaktifkan sistem imun Ibu

dan meningkatkan jumlah sitokine yang juga dapat mengarah

pada gangguan perkembangan janin kemudian menjadi

Autisme (Glasson, 2004).


22

c) Hubungan Mengkonsumsi Obat-obatan Selama Hamil

Dengan Kejadian Autisme

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan

mengkonsumsi obat-obatan depresi terhadap kejadian pada

anak Autisme dapat mempengaruhi perkembangan otak pada

janin sebaliknya jika ibu mengkonsumsi vitamin, ikan Cod,

vitamin A, vitamin D3, Omega-3, EPA, DHA, vitamin E,

vitamin B12, asam folat, vitamin B6, kalsium, magnesium,

dan zat besi. selama hamil dapat menjaga kesehatan ibu dan

janin.

d) Hubungan Ibu Mengalami Infeksi Virus Selama Hamil

dengan Kejadian Autisme

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa ibu yang

mempunyai riwayat infeksi saat hamil berisiko 3,647 kali lebih

besar untuk anaknya mengalami Autisme dari pada Ibu yang

tidak mempunyai riwayat infeksi saat hamil. Ibu yang

mengalami infeksi pada trimester pertama kehamilannya akan

meningkatkan risiko Autisme. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ibu hamil yang infeksi virus ada

hubungannya dengan kejadian Autisme.

e) Hubungan Perdarahan Selama Ibu Hamil dengan

Kejadian Autisme

Terjadinya pendarahan pada ibu hamil akan menyebabkan

berkurangnya suplai oksigen dan glukosa dan kemudian


23

mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob, kurangnya

ATP dan terjadinya penimbunan asam laktat akan

mempercepat proses kerusakan sel-sel otak dan juga

menyebabkan kerusakan pompa ion sehingga terjadi

depolarisasi anoksik yang mengakibatkan keluarnya ion K+

dan masuknya ion Na+ dan Ca2+ ke dalam sel bersamaan

dengan masuknya ion Na+ dan Ca2+ air juga ikut masuk

dan akan menimbulkan edema kemudian mengakibatkan

kerusakan sel otak pada janin. (Fibriana Ika Arulita, 2017)

f) Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan

Kejadian Autisme

Anak yang lahir dengan BBLR dapat diakibatkan karena

nutrisi yang kurang baik pada saat masih dalam kandungan.

Gangguan nutrisi akan mengakibatkan peredaran darah dari

ibu ke janin turun sehingga kebutuhan glukosa maupun

oksigen di otak tidak terpengaruhi dengan baik. Akibatnya

dapat menyebabkan Asfiksia dan Iskemia otak, Iskemia otak

menyebabkan kerusakan sel-sel otak. Bayi yang lahir dengan

BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu

Hipoglikemia dan Hipoksia, keadaan ini dapat menyebabkan

terjadi metabolisme anaerob sehingga otak mengalami

kerusakan pada periode perinatal (Andri,Moh, 2019)

g) Hubungan Riwayat Kejang demam Pada Anak dengan

Kejadian Autisme
24

Demam dengan kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan

kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen

akan meningkat 20%. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat

terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel Neuron dan

dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium

maupun ion Natrium melalui membran tersebut dengan akibat

terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik tersebut

dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel di

sebelahnya dengan bantuan Neurotransmiter sehingga

terjadi kejang, sehingga anak yang mengalami kejang

demam dapat membuat anak mengalami ganggguan Autisme.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang

mengakibatkan Hipoksia sehingga meningkatkan

permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang

mengakibatkan kerusakan sel Neuron otak (Hardiyanti, 2014)

II.3.4 Patofisiologi

Patofisiologi Autisme masih belum jelas diketahui. Terdapat

beberapa hipotesis penyebab Autisme , khususnya ADHD, seperti

abnormalitas sistem saraf pusat (SSP) dan atau abnormalitas sistem

metabolik ( Raharja, 2015).

Walaupun sampai saat ini belum ditemukan adanya penyebab yang

pasti timbulnya Autisme, namun beberapa bagian dari otak seperti

Amigdala, Hipokampus, Sistema Limbik, Cerebelum dan korteks serebri


25

mengalami gangguan perkembangan Histokimia sampai Anatomik

(Aswandi, 2005). Menurut penelitian, hingga saat ini belum ditemukan

penyebab pasti dari penderita Autisme. Hal ini disebabkan banyak faktor.

Tetapi secara umum penyebab anak menderita Autisme ada dua hal, yaitu

secara genetik dan lingkungan. Apabila dari segi genetik, ditemukannya

gen Autisme yang diturunkan oleh orang tua kepada beberapa anak

Autisme. Sedangkan faktor yang disebabkan oleh lingkungan yaitu

terkontaminasinya lingkungan oleh zat-zat beracun, pangan, gizi, dan juga

diakibatkan oleh raksenasi (Rakhmanita, 2020).

Gambar 2.4 Patofisiologi Autisme


Sumber : Rahardja , 2015

II.3.5 Patologi Fungsional

Anatomical Imprairment pada Autisme adalah adanya kerusakan

dan ketidak fungsi pada otak, pada bagian Lobus Parietalis (Parietal
26

Lobe) tidak berfungsi mengendalikan sensasi, seperti sentuhan, tekanan,

nyeri, dan suhu., Lobus Temporalis (Temporal Lobe) Kerusakan pada

bagian ini mengakibatkan terjadinya perubahan emosi atau hilangnya

kemampuan memahami apa yang sebenarnya terjadi atau terjadi perubahan

kognitif (Kalat, 2007). , Frontal Lobe (Prefrontal cortex) mengalami

ketidak mampuan mengikuti konteks yang ada dan ketidak berfungsian

dalam eksekutif, sehingga mereka berperilaku tidak pantas dan impulsif

(Kalat, 2007)., Lobus oksipitalis (Occipital Lobe) penurunan perilaku

dalam Special Attention anak Autisme., Cerebellum (otak kecil)

Penyandang autis sangat sulit untuk membagi perhatian dan memusatkan

perhatian, dan Sistem limbik Neuroaktivasi yang tidak normal pada

Amigdala hadir di dalam kelompok Autisme ketika proses pengenalan

wajah (Wang, et al., 2004; Sparks, et al., 2002, dalam Zilmer, 2008),

Kerusakan pada Caudate Nucleus Basal Ganglia dapat merusak kognitif

atau fleksibilitas mental (Lichter & Cummings dalam Zillmer et al., 2008).

Functional Impairment pada anak Autisme adanya ketidakfokusan

pada anak Autisme yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian Lobus

Parietalis (Parietal Lobe) dan Lobus Temporalis (Temporal Lobe).

Sehingga menyebabkan menyebabkan kesulitan menahan emosional dan

menerima sentuhan yang orang lain berikan

Limitation In Activity adanya penurunan kemampuan fungsional

aktivitas sehari-hari yaitu seperti kesulitan berjalan, tidak bisa makan


27

sendiri, tidak bisa memakai baju sendiri dan kesulitan melakukan aktivitas

anak-anak pada umumnya.

Participation Restriction keterbatasan saat melakukan aktivitas

sosial seperti bermain dengan anak-anak dilingkungan sekitarnya. Anak

Autisme dengan gangguan kognitif biasanya tidak suka dengan keramaian

dan lebih suka bermain sendiri.

II.4 Pemeriksaan dan Pengukuran Kognitif


II.4.1 Pemeriksaan

Adapun untuk menegakkan diagnosis Autisme dapat digunakan

kriteria diagnostik menurut DSM IV, seperti yang tertera dibawah ini

(Accesed: 2006, September 25).

A. Harus ada 6 gejala atau lebih dari 1, 2 dan 3 di bawah ini:

1) Gangguan kualitatif dari interaksi sosial (minimal 2 gejala)

a. Gangguan pada beberapa kebiasaan nonverbal seperti

kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, sikap tubuh dan

pengaturan interaksi sosial

b. Kegagalan membina hubungan yang sesuai dengan tingkat

perkembangannya

c. Tidak ada usaha spontan membagi kesenangan,

ketertarikan, ataupun keberhasilan dengan orang lain (tidak

ada usaha menunjukkan, membawa, atau menunjukkan

barang yang ia tertarik)


28

d. Tidak ada timbal balik sosial maupun emosional\

2. Gangguan kualitatif dari komunikasi (minimal 1 gejala)

a. Keterlambatan atau tidak adanya perkembangan bahasa

yang diucapkan (tidak disertai dengan mimik ataupun sikap

tubuh yang merupakan usaha alternatif untuk kompensasi)

b. Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup.

Terdapat kegagalan dalam kemampuan berinisiatif maupun

mempertahankan percakapan dengan orang lain.

c. Penggunaan bahasa yang meniru atau repetitif atau bahasa

idiosinkrasi

d. Tidak adanya variasu dan usaha untuk permainan imitasi

sosial sesuai dengan tingkat perkembangan

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari

perilaku, minat dan aktivitas (minimal 1 gejala)

a. Kesibukan (preokupasi) dengan satu atau lebih pola

ketertarikan stereotipik yang abnormal baik dalam hal

intensitas maupun fokus

b. Tampak terikan kepada rutinitas maupun ritual spesifik

yang tidak berguna

c. Kebiasaan motorik yang stereotipik dan repetitif (misalnya

mengibaskan atau memutar-mutar tangan atau jari, atau

gerakan tubuh yang kompleks)

d. Preokupasi persisten dengan bagian dari suatu obyek


29

B. Keterlambatan atau fungsi yang abnormal tersebut terjadi sebelum

umur 3 tahun, dengan adanya gangguan dalam 3 bidang yaitu:

interaksi sosial; penggunaan bahasa untuk komunikasi sosial;

bermain simbol atau imajinasi.

C. Kelainan tersebut bukan disebabkan oleh penyakit Rett atau

gangguan disintegratif (sindrom Heller)

II.4.2 Pengukuran Kognitif

Menurut Bimo Walgito Rating scale atau skala pengukuran adalah

alat untuk pengumpulan data yang berupa suatu daftar-daftar berisi tentang

ciri-ciri atau tingkah laku yang harus dicatat secara bertingkat untuk

memudahkan penyeleksian data penelitian. Berdasarkan pendapat tersebut

dapat disimpulakan bahwa pada dasarnya alat tersebut dapat digunakan

mengukur tingkat konsentrasi anak Autisme, dengan catatan instruksi harus

jelas. Dasar pertimbangan rasional yang dinyatakan adalah alat ukur

mampu mengukur tingkat konsentrasi sesuai definisi gangguan pemusatan

perhatian, tepat untuk anak Autisme. (Kappa dari Cohen 2001).\


30

SKOR DERAJAT DESKRIPSI KET.OBSERVASI


A. Hubungan dengan orang lain / kemampuan bergaul
1 Normal Tidak ada kesulitan bergaul dengan
orang lain. Tingkah laku sesuai umur.
Anak dapat menunjukkan rasa malu-
malu, sedikit masa bodoh kalau
disuruh, tetapi masih dalam batas wajar
1,5-2 Ringan Tidak mau melihat ke mata orang
dewasa, kesal kalau dipaksa
berinteraksi, terlalu malu. Kadang-
kadang mendekap orang tuanya
berlebihan
2,5-3 Sedang Anak sering acuh pada kehadiran orang
dewasa di sekitarnya. Atensi baru
muncul bila dipaksa terus menerus.
Anak hanya memulai sedikit kontak
3,5-4 Berat Tidak pernah peduli dengan orang
dewasa atau tidak memperhatikan apa
yang di kerjakan orang dewasa, tidak
pernah timbul respon atau tidak pernah
memulai kontak dengan orang dewasa.
Jumlah

B. Imitasi
1 NORMAL Meniru suara, kata-kata dan gerakan
yang sesuai umurnya

1,5-2 RINGAN Masih mau meniru tingkah laku


sederhana misalnya bertepuk tangan
atau satu kata. Di perlukan usaha keras

Tabel 2.1 Rating Scale


31

II.5 Metode dan Intervensi


II.5.1 Massage Therapy

Massage Therapy dapat menstimulasi jaringan saraf motorik dan

saraf sensorik (melalui rangsang taktil). Massage Therapy juga di sini

berfungsi sebagai rangsang taktil. Stimulus dari Massage Therapy ini akan

ditangkap oleh Mekanoreseptor yaitu sel yang dapat mentransduksi

rangsangan mekanik dan menghantarkan sinyal ke sistem saraf pusat, dan

diharapkan akan menstimulasi tonus otot terutama pada anak yang

kesulitan untuk mengotrol postural dan keseimbangan. Dengan adanya

sentuhan atau stimulasi pada tubuh anak, maka akan terjadi dilatasi

pembuluh darah dimana sirkulasi darah akan meningkat dan akan

menambah energi gelombang oksigen yang lebih banyak dikirim ke otak

sehingga memacu sistem sirkulasi dan respirasi menjadi lebih baik (David,

2011).

Massage Effleurage adalah teknik Massage Therapy yang

dilakukan untuk membantu mempercepat proses pemulihan nyeri dengan

menggunakan sentuhan tangan untuk menimbulkan efek relaksasi.

Effleurage merupakan manipulasi gosokan yang halus dengan tekanan

relatif ringan sampai kuat, gosokan ini mempergunakan seluruh

permukaan tangan satu atau permukaan kedua belah tangan, sentuhan yang

sempurna dan arah gosokan selalu menuju ke jantung atau searah dengan

jalannya aliran pembulu darah balik, maka mempunyai pengaruh terhadap

peredaran darah atau membantu mengalirnya pembulu darah balik kembali

ke jantung karena adanya tekanan dan dorongan gosokan tersebut.


32

Effleurage adalah suatu pergerakan Stroking dalam atau dangkal,

Effleurage pada umumnya digunakan untuk membantu pengembalian

kandungan getah bening dan pembuluh darah di dalam ekstremitas

tersebut. Effleurage juga digunakan untuk memeriksa dan mengevaluasi

area nyeri dan ketidakteraturan jaringan lunak atau peregangan kelompok

otot yang spesifik (Alimah, 2012).

Menurut Alimul (2009), prosedur tindakan massage dengan teknik

Effleurage efektif dilakukan 10 menit untuk mengurangi nyeri. Stimulasi

Massage Effleurage dapat merangsang tubuh melepaskan senyawa

Endorphin yang merupakan pereda sakit alami dan merangsang serat saraf

yang menutup gerbang sinap sehingga transmisi impuls nyeri ke Medulla

Spinalis dan otak di hambat (Fatmawati, 2017).

a. Mekanisme Massage

Massage therapy dinilai efisien dan efektif dalam perawatan

anak autisme. Efek massage therapy pada tubuh anak menciptakan

kondisi yang mendorong tercapainya keselarasan dan kesehatan

fisik, mental dan spiritual yang sempurna, dan keseimbangan antara

ketiga hal tersebut. Massage Therapy dapat meningkatkan tonus otot,

fungsi motorik kasar dan halus, mobilitas pada anak autisme,

meningkatkan pengendalian diri, kemampuan bersosialisasi, kesadaran

sensorik dan kognitif, dan mengurangi kecemasan. (Rodrigues,

Mestre, & Fredes, 2019) (Jerger, et al., 2018); (Walaszek; Maśnik;

Marszałek; Walaszek; Burdacki, 2018).


33

Langkah langakah seorang terapis untuk Massage Therapy

dengan pasien Autisme :

1. Terapis mengajak anak untuk berbaring di atas bad atau kasur,

sambil terapis mengajak bicara atau ngobrol anak agar rilexs dan

tenang.

2. Terapis memberikan sentuhan di area tubuh anak dengan cara

Massage Effleurage yang benar dan tepat

3. Terapis melakukan teknik Massage Effleurage dengan benar dan

tepat

II.5.2 Play Therapy

Play Therapy (Terapi bermain) ini merupakan pemanfaatan pola

permainan sebagai media yang efektif melalui kebebasan eksplorasi dan

ekspresi diri. Bermain merupakan bagian masa kanak-kanak yang

merupakan media untuk memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan

komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan

pengambilan keputusan dan perkembangan kognitif pada anak-anak

(Puspaningrum, 2010). Perceptual motor program merupakan proses

pencapaian ketrampilan dan kemampuan fungsional menggunakan input

sensori, integrasi sensori, interpretasi motorik, aktivitas gerak dan umpan

balik (Gallahue 2002 dalam Maryatun, 2012).

a. Mekanisme Play Therapy

Terapi ini utamanya digunakan untuk anak-anak berusia 3-12

tahun. Sebab pada usia tersebut, anak-anak cenderung tak dapat


34

memproses emosinya sendiri maupun menyampaikan apa yang ia

rasakan pada orang tua. Anak-anak belajar memahami dunia dan

lingkungannya melalui permainan. Ketika bermain, ia dapat dengan

bebas menunjukkan perasaan batin dan emosi terdalamnya. Dalam

terapi bermain, seorang terapis pun akan menggunakan waktu bermain

untuk mengamati dan memahami masalah yang dialami anak.

1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Puzzel gambar

b. Puzzel angka

2. Peraturan permainan puzzel :

a. Pasien harus bisa menyelesaikan permainan Puzzel dengan baik

dan benar

b. Pasien tidak boleh meninggalkan permainan sebelum permainan

Puzzel selesai

c. Terapis tidak boleh memarahi anak kalau anak melakukan

kesalahan

3. Langkah- langkah permainan Puzzel :

a. Terapis terlebih dahulu menyiapkan semua alat yang dibutuhkan

b. Terapis menjelaskan permainan atau mencontoh kan permainan

Puzzel tersebut

c. Setelah itu anak diminta terapis untuk bermain Puzzel dengan

sendirinya dan di pantau oleh terapis

d. Terapis membimbing anak jika ada Puzzel yang salah


35

Gambar 2.5 Bermain puzzel

II.6 Kerangka Berfikir

Penyebab anak dengan Autisme ditandai dengan faktor Neurobiologis,

masalah genetik, masalah kehamilan dan kelahiran, keracunan logam berat,

infeksi virus dan vaksinasi (Maryanti, 2012). Sedangakan yang menyebabkan

kerusakan kognitif pada anak Autisme :

Anatomical Imprairment pada Autisme adalah adanya kerusakan dan

ketidak fungsi pada otak, pada bagian Lobus Parietalis (Parietal Lobe) tidak

berfungsi mengendalikan sensasi, seperti sentuhan, tekanan, nyeri, dan suhu.,

Lobus Temporalis (Temporal Lobe) Kerusakan pada bagian ini mengakibatkan

terjadinya perubahan emosi atau hilangnya kemampuan memahami apa yang


36

sebenarnya terjadi atau terjadi perubahan kognitif (Kalat, 2007). , Frontal Lobe

(Prefrontal cortex) mengalami ketidak mampuan mengikuti konteks yang ada

dan ketidak berfungsian dalam eksekutif, sehingga mereka berperilaku tidak

pantas dan impulsif (Kalat, 2007)., Lobus Oksipitalis (Occipital Lobe)

penurunan perilaku dalam Special Attention anak Autisme., Cerebellum (otak

kecil) Penyandang Autisme sangat sulit untuk membagi perhatian dan

memusatkan perhatian, dan Sistem limbik Neuroaktivasi yang tidak normal pada

Amigdala hadir di dalam kelompok Autisme ketika proses pengenalan wajah

(Wang, et al., 2004; Sparks, et al., 2002, dalam Zilmer, 2008), Kerusakan pada

Caudate Nucleus Basal Ganglia dapat merusak kognitif atau fleksibilitas mental

(Lichter & Cummings dalam Zillmer et al., 2008).

Functional Impairment pada anak Autisme adanya ketidakfokusan pada

anak Autisme yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian Lobus Parietalis

(Parietal Lobe) dan Lobus Temporalis (Temporal Lobe). Sehingga menyebabkan

kesulitan menahan emosional dan menerima sentuhan yang orang lain berikan

Limitation In Activity adanya penurunan kemampuan fungsional

aktivitas sehari-hari yaitu seperti kesulitan berjalan, tidak bisa makan sendiri,

tidak bisa memakai baju sendiri dan kesulitan melakukan aktivitas anak-anak

pada umumnya.

Participation Restriction keterbatasan saat melakukan aktivitas sosial

seperti bermain dengan anak-anak dilingkungan sekitarnya. Anak Autisme

dengan gangguan kognitif biasanya tidak suka dengan keramaian dan lebih suka

bermain sendiri.
37

II.7 Skema Kerangka Berfikir

II.8
Faktor kandungan ( Pranatal) Faktor kelahiran Faktor makanan Faktor Genetika

DSM IV

Anatomical Impraiment

1. Gangguan pada Participation


Functional impairment
fungsi otak yang Limitation in activity restriction
mengakibatkan 1. kesulitan
keterlambatan menahan emosional Penurunan kemampuan Keterbatasan saat
perkembangan. dan menerima fungsional aktivitas melakukan aktivitas
sentuhan yang orang sehari-hari yaitu seperti sosial seperti bermain
2. Kerusakan pada lain berikan kesulitan berjalan, tidak dengan anak-anak
Lobus Temporalis bisa makan sendiri, tidak dilingkungan
mengakibatkan bisa memakai baju sekitarnya. Anak autis
terjadinya perubahan sendiri dan kesulitan dengan gangguan
2. Gangguan melakukan aktivitas kognitif biasanya tidak
emosi atau hilangnya
kontrol motorik anak-anak pada suka dengan
kemampuan
dasar umumnya keramaian dan lebih
memahami apa yang
sebenarnya terjadi suka bermain sendiri.
atau terjadi perubahan
kognitif

Gangguan Kognitif

Massage Therapy Play Therapy


Menstimulasi Evaluasi : Ratinng Scale
1.Meningkatkan
jaringan saraf
kognitif
motorik dan saraf
sensorik (melalui Peningkatan Kognitif
2.Meningkatkan
rangsang taktil) kemampuan daya
ingat

Skema 2.1 kerangka berfikir


38

BAB III

METODE STUDI KASUS

III.1 Tempat dan Waktu Studi Kasus


III.1.1 Tempat

Studi kasus akan dilakukan di Special Kids Pekanbaru.

III.1.2 Waktu

Waktu penelitian direncanakan pada bulan Februari - Maret 2023

III.2 Rancangan Studi Kasus

Metode penelitian ini menggunakan metode studi kasus, dimana

pasien yang digunakan terdiri dari 1 orang pasien dengan kondisi Autisme yang

dikaji secara intensif. Pada kasus Autisme intervensi yang diberikan berupa

Massage Therapy dan Play Therapy selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali

seminggu.

T1-T6 T7-T12

K E E

Skema 3.1 Rancangan Studi Kasus

Keterangan :

K = Autisme

T = Terapi 1-12

E = Evaluasi dengan Rating Scale

41
39

III.3 Uraian Studi Kasus

Tindakan pemeriksaan untuk kondisi Autisme disamping informasi

bagian medik, tetapi juga membutuhkan informasi dari keluarga pasien untuk

dapat mengetahui keadaan pasien sehingga akan memudahkan dalam

penanganan. Pemeriksaan data yang dapat dikumpulkan untuk menegakkan

diagnosa dapat diproleh melalui:

III.3.1 Anamnesis

Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan tanya

jawab dengan sumber data, anamnesis dapat dilakukan dengan dua cara,

yaitu Autoanamnesis dan Heteroanamnesis. Anamnesis berisi tentang

identitas pasien secara lengkap seperti: nama, umur, jenis kelamin, tanggal

lahir, berat badan lahir, panjang badan lahir, urutan kelahiran, jumlah

saudara, alamat, diagnosa medik. Serta identitas orang tua yang terdiri dari

nama ayah dan ibu, umur ayah dan ibu, usia ibu saat melahirkan, pekerjaan

ayah serta ibu, dan alamat. Anamnesis dapat berisi mengenai riwayat

perkembangan, yaitu:

a. Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan satu atau lebih gejala dominan

yang mendorong pasien mencari pertolongan atau pengobatan.

b. Riwayat Pranatal

Hal ini untuk mengetahui kemungkinan adanya gangguan atau

kelainan yang didapat selama masa kandungan (terutama pada kelainan

yang bersifat bawaan). Misalnya ibu si anak mengalami infeksi, trauma,

menggunakan obat-obatan tertentu dan lain-lain.


40

c. Riwayat Peri Natal

Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya cedera akibat

persalinan, misalnya persalinan berlangsung lama akan berakibat bayi

kekurangan oksigen, persalinan sungsang atau persalinan dengan alat

bantuan yang dapat merusak sebagian organ tubuh.

d. Riwayat Post Natal

Untuk mengetahui penyakit atau cidera yang di dapatkan

setelah masa kelahiran. Misalnya meningitis, infeksi virus polio, trauma

dll.

e. Riwayat Keluarga

Berhubungan dengan kelainan atau gangguan penyakit anak

yang perlu diketahui adalah ada tidaknya anggota keluarga yang

mempunyai penyakit atau kelainan sejenisnya, terutama yang bersifat

herediter.

III.3.2 Pemeriksaan Umum

Pemeriksaan umum pada anak yaitu :

a. Vital Sign

1. Denyut nadi

2. Pernafasan

3. Temperatur

4. Tinggi badan

5. Berat badan

b. Pemeriksaan Kesan Umum


41

1. Kesadaran

2. Motivasi

3. Kognitif

4. Emosi

III.3.3 Pemeriksaan Khusus

Adapun untuk menegakkan diagnosis Autisme dapat digunakan

kriteria diagnostik menurut DSM IV, seperti yang tertera dibawah ini

(Accesed: 2006, September 25).

A. Harus ada 6 gejala atau lebih dari 1, 2 dan 3 di bawah ini:

1. Gangguan kualitatif dari interaksi sosial (minimal 2 gejala)

a. Gangguan pada beberapa kebiasaan nonverbal seperti

kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, sikap tubuh

dan pengaturan interaksi sosial

b. Kegagalan membina hubungan yang sesuai dengan tingkat

perkembangannya

c. Tidak ada usaha spontan membagi kesenangan,

ketertarikan, ataupun keberhasilan dengan orang lain

(tidak ada usaha menunjukkan, membawa, atau

menunjukkan barang yang ia tertarik)

d. Tidak ada timbal balik sosial maupun emosional

2. Gangguan kualitatif dari komunikasi (minimal 1 gejala)

a. Keterlambatan atau tidak adanya perkembangan bahasa

yang diucapkan (tidak disertai dengan mimik ataupun


42

sikap tubuh yang merupakan usaha alternatif untuk

kompensasi)

b. Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup.

Terdapat kegagalan dalam kemampuan berinisiatif

maupun mempertahankan percakapan dengan orang lain.

c. Penggunaan bahasa yang meniru atau repetitif atau bahasa

idiosinkrasi

d. Tidak adanya variasu dan usaha untuk permainan imitasi

sosial sesuai dengan tingkat perkembangan

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang

dari perilaku, minat dan aktivitas (minimal 1 gejala)

a. Kesibukan (preokupasi) dengan satu atau lebih pola

ketertarikan stereotipik yang abnormal baik dalam hal

intensitas maupun fokus

b. Tampak terikan kepada rutinitas maupun ritual spesifik

yang tidak berguna

c. Kebiasaan motorik yang stereotipik dan repetitif (misalnya

mengibaskan atau memutar-mutar tangan atau jari, atau

gerakan tubuh yang kompleks)

d. Preokupasi persisten dengan bagian dari suatu obyek

B. Keterlambatan atau fungsi yang abnormal tersebut terjadi

sebelum umur 3 tahun, dengan adanya gangguan dalam 3 bidang

yaitu: interaksi sosial; penggunaan bahasa untuk komunikasi

sosial; bermain simbol atau imajinasi.


43

C. Kelainan tersebut bukan disebabkan oleh penyakit Rett atau

gangguan disintegratif (sindrom Heller)

III.4 Diagnosa Fisioterapi

Diagnosa fisioterapi adalah upaya untuk menegakan masalah kapasitas

fisik dan kemampuan fungsional berdasarkan hasil interpretasi data yang telah

dirumuskan menjadi pertanyaan yang logis dan dapat dilayani oleh fisioterapi.

Tujuan diagnosa fisioterapi adalah untuk mengetahui masalah kapasitas fisik dan

kemampuan fungsional yang di hadapi pasien serta untuk menentukan

kebutuhan layanan fisioterapi yang tepat.

1. Anatomical imprairment

Anatomical imprairment pada autisme adalah adanya kerusakan dan

ketidak fungsi pada otak, pada bagian Lobus Parietalis (Parietal Lobe) tidak

berfungsi mengendalikan sensasi, seperti sentuhan, tekanan, nyeri, dan suhu.,

Lobus Temporalis (Temporal Lobe) Kerusakan pada bagian ini

mengakibatkan terjadinya perubahan emosi atau hilangnya kemampuan

memahami apa yang sebenarnya terjadi atau terjadi perubahan kognitif

(Kalat, 2007). , Frontal Lobe (Prefrontal cortex) mengalami ketidak

mampuan mengikuti konteks yang ada dan ketidak berfungsian dalam

eksekutif, sehingga mereka berperilaku tidak pantas dan impulsif (Kalat,

2007)., Lobus oksipitalis (Occipital Lobe) penurunan perilaku dalam special

attention anak autisme., Cerebellum (otak kecil) Penyandang autis sangat

sulit untuk membagi perhatian dan memusatkan perhatian, dan Sistem limbik

Neuroaktivasi yang tidak normal pada amigdala hadir di dalam kelompok


44

autis ketika proses pengenalan wajah (Wang, et al., 2004; Sparks, et al., 2002,

dalam Zilmer, 2008), Kerusakan pada caudate nucleus basal ganglia dapat

merusak kognitif atau fleksibilitas mental (Lichter & Cummings dalam

Zillmer et al., 2008).

2. Functional Imprainment

Functional impairment pada anak Autisme adanya ketidak fokusan

pada anak Autisme yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian Lobus

Parietalis (Parietal Lobe) dan Lobus Temporalis (Temporal Lobe). Sehingga

menyebabkan kesulitan menahan emosional dan menerima sentuhan yang

orang lain berikan.

3. Limitation In Activity

Limitation In Activity adanya penurunan kemampuan fungsional

aktivitas sehari-hari yaitu seperti kesulitan berjalan, tidak bisa makan sendiri,

tidak bisa memakai baju sendiri dan kesulitan melakukan aktivitas anak-anak

pada umumnya.

4. Participation Restriction

Participation Restriction adanya keterbatasan saat melakukan

aktivitas sosial seperti bermain dengan anak-anak dilingkungan sekitarnya.

Anak Autisme dengan gangguan kognitif biasanya tidak suka dengan

keramaian dan lebih suka bermain sendiri.

III.5 Intervensi Fisioterapi

Intervensi fisioterapi adalah layanan yang dilakukan sesuai dengan

rencana tindakan yang telah ditetapkan dengan maksud agar kebutuhan pasien
45

terpenuhi. Sesuai permasalahan yang muncul yaitu adanya penurunan kognitif

maka penatalaksanaan yang diberikan untuk meningkatkan kognitif adalah

dengan memberikan intervensi Massage Therapy dan Play Therapy.

1. Massage Therapy

Massage Therapy dapat menstimulasi jaringan saraf motorik dan saraf

sensorik (melalui rangsang taktil). Massage Therapy juga berfungsi sebagai

rangsang taktil. Stimulus dari Massage Therapy ini akan ditangkap oleh

mekanoreseptor yaitu sel yang dapat mentransduksi rangsangan mekanik dan

menghantarkan sinyal ke sistem saraf pusat, dan diharapkan akan

menstimulasi tonus otot terutama pada anak yang kesulitan untuk mengotrol

postural dan keseimbangan. Dengan adanya sentuhan atau stimulasi pada

tubuh anak, maka akan terjadi dilatasi pembuluh darah dimana sirkulasi darah

akan meningkat dan akan menambah energi gelombang oksigen yang lebih

banyak dikirim ke otak sehingga memacu sistem sirkulasi dan respirasi

menjadi lebih baik (David, 2011).

Massage Effleurage adalah teknik Massage Therapy yang dilakukan

untuk membantu mempercepat proses pemulihan nyeri dengan menggunakan

sentuhan tangan untuk menimbulkan efek relaksasi. Effleurage merupakan

manipulasi gosokan yang halus dengan tekanan relatif ringan sampai kuat,

gosokan ini mempergunakan seluruh permukaan tangan satu atau permukaan

kedua belah tangan, sentuhan yang sempurna dan arah gosokan selalu menuju

ke jantung atau searah dengan jalannya aliran pembulu darah balik, maka

mempunyai pengaruh terhadap peredaran darah atau membantu mengalirnya


46

pembulu darah balik kembali ke jantung karena adanya tekanan dan dorongan

gosokan tersebut. Effleurage adalah suatu pergerakan Stroking dalam atau

dangkal, Effleurage pada umumnya digunakan untuk membantu

pengembalian kandungan getah bening dan pembuluh darah di dalam

ekstremitas tersebut. Effleurage juga digunakan untuk memeriksa dan

mengevaluasi area nyeri dan ketidakteraturan jaringan lunak atau peregangan

kelompok otot yang spesifik (Alimah, 2012).

Menurut Alimul (2009), prosedur tindakan Massage Therapy dengan

teknik Effleurage efektif dilakukan 10 menit untuk mengurangi nyeri.

Stimulasi Massage Effleurage dapat merangsang tubuh melepaskan senyawa

Endorphin yang merupakan pereda sakit alami dan merangsang serat saraf

yang menutup gerbang sinap sehingga transmisi impuls nyeri ke Medulla

Spinalis dan otak (Fatmawati, 2017)

1. Persiapan Pasien

a. Pastikan pasien tidak dalam keadaan sakit

b. Membuat situasi suasana ruangan yang tenang, nyaman dan

menenangkan

2. Persiapan Fisioterapis
a. Fisioterapis harus memiliki pemahaman Massage therapy atau

teknik Massage Effleurage yang akan ia berikan kepada pasien.

b. Fisioterapis harus bisa melakukan pendekatan atau komunikasi

dengan pasien.
47

c. Fisioterapis harus menyiapkan rangkaian alat-alat Massage

Therapy yag akan di perlukan

3. Pelaksanaan

a. Fisioterapis melakukan pendekatan dengan anak agar bisa

melakukan Massage Therapy dengan baik

b. Massage dilakukan setiap 3x seminggu, selama 4 minggu dengan

rincian pertemuan sebanyak 12 kali.

c. Fisioterapis melakukan Massage Therapy atau teknik Massage

Effleurage sesuai dengan yang telah di tentukan

2. Play Therapy

Play Therapy (Terapi bermain) ini merupakan pemanfaatan pola

permainan sebagai media yang efektif melalui kebebasan eksplorasi dan

ekspresi diri. Bermain merupakan bagian masa kanak-kanak yang merupakan

media untuk memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi,

perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan

keputusan dan perkembangan kognitif pada anak-anak (Puspaningrum, 2010).

Perceptual Motor Program merupakan proses pencapaian ketrampilan dan

kemampuan fungsional menggunakan input sensori, integrasi sensori,

interpretasi motorik, aktivitas gerak dan umpan balik (Gallahue 2002 dalam

Maryatun, 2012).

1. Persiapan Pasien

a. Pastikan pasien tidak dalam keadaan sakit

b. Membuat situasi ruangan yang tenang, nyaman dan menenangkan


48

2. Persiapan Fisioterapis

a. Fisioterapis harus memiliki pemahaman dengan tindakan latihan

yang akan ia lakukan untuk pasien

b. Fisioterapis harus bisa melakukan pendekatan atau komunikasi

dengan pasien

c. Fisioterapis harus bisa menyiapkan rangkaian-rangkaian latihan

yang akan dilakukan

3. Pelaksanaan

a. Fisioterapis memandu anak untuk melakukan permainan yang di

indtruksikan atau dipandu oleh fisioterapis sehingga anak dapat

mengikuti permainan dengan mudah

b. Dosis Play Therapy 1-3 pengulangan setiap permainan

c. Play Therapy dilakukan setiap 3x seminggu, selama 4 minggu

dengan rincian pertemuan sebanyak 12 kali.

III.6 Edukasi

Edukasi merupakan saran yang diberikan terapis kepada pasien, saran

tersebut berupa larangan atau apa yang sebaiknya dilakukan pasien. Tujuan di

berikan edukasi adalah untuk menghindari keadaan yang dapat memperburuk

kesembuhan pasien dan mendukung kesembuhan pasien.

III.7 Home Program

Home Program ditunjukan kepada orang tua maupun orang terdekat pasien.

Terapis akan memberikan pemahaman tentang manfaat latihan Massage


49

Therapy dan Play Therapy serta mengajarkan berbagai teknik latihan kepada

orang tua maupun memberikan latihan atau memandu pasien saat dirumah.

Tujuan Home Program adalah untuk mendukung dalam pencapaian peningkatan

kognitif

III.8 Rencana Evaluasi

Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan selama

dilakukan terapi pada pasien. Rencana evaluasi pada pasien Autisme ini dapat

diukur menggunakan Rating Scale untuk meningkatkan kognitif

Anda mungkin juga menyukai