Anda di halaman 1dari 12

STRATEGI DAN TEKNIK PEMBELAJARAN

PADA ANAK DENGAN AUTISME


Fauziah Nuraini Kurdi
Dosen Penjasorkes FKIP Universitas Sriwijaya
E-mail: fnkurdi@yahoo.com

Abstract: Autism is a behaviorally defined disorder which occurs within the first three years of life
first described by Leo Kanner. Autism is a life-long, complex, and severe disorder. Children with
autism have many common characteristics. Language delay is one of the most significant and serious
characteristics of students with autism. They also often experience abnormal responses to sensations,
relate to people and object in abnormal ways, and have disturbed social skills. The causes of this
disorder are still unknown but researchers have made significant progress. Past theories of blaming
the parents have been replaced by theories about differences in autistic persons neurological and
brain systems. Educating students with autism presents a challenge to special education teachers.
Many effective technologies have been developed to ensure that these students can function
adequately in society. Overcoming stimulus over selectivity and a lack of motivation are just as
important as teaching these students academic skills.
Keywords: autistic children, special education,adequate function

Autisme merupakan kelainan pertumbuhan seumur hidup yang pertama kali didefinisikan oleh
Leo Kanner pada tahun 1943 walaupun ada bukti
bahwa kelainan ini sudah diketahui jauh sebelumnya. Berdasarkan pengamatannya terhadap
11 anak dengan autisme Kanner menemukan beberapa ciri umum, yaitu: extreme autistic aloneness, keinginan yang obsesif untuk mempertahankan kesamaan, kemampuan menghafal
yang luar biasa, dan terbatasnya jenis aktivitas
yang dilakukan secara spontan.
Pada waktu yang hampir bersamaan Hans
Asperger pada tahun 1944 meneliti empat anak
yang menunjukkan kesulitan dalam interaksi
sosial dan hanya memperlihatkan ekspresi wajah
yang terbatas. Ternyata deskripsinya ini mirip
dengan yang dikemukakan oleh Kanner dan keduanya juga menggunakan istilah autistic untuk
menekankan pada masalah utama anak-anak
tersebut, yaitu kecenderungan menarik diri dari
lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif,
minat yang sempit, dan keterbatasan pengunaan
bahasa secara sosial.
Sampai saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga
belum dapat dikembangkan cara pencegahan
maupun penanganan yang tepat. Autisme diperkirakan sebagai gangguan yang disebabkan oleh
faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orang

tua yang tidak baik secara emosional, namun


beberapa penelitian neurologis membuktikan
bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Frith, 2003).
Autisme didefinisikan sebagai gangguan
perkembangan dengan tiga trias gangguan perkembangan yaitu gangguan pada interaksi sosial,
gangguan pada komunikasi dan keterbatasan
minat serta kemampuan imajinasi (Baron-Cohen,
2005). Gillber dan Coleman (2000) menetapkan
lima kriteria untuk mendiagnosis autisme yakni
gejala interaksi sosial yang sangat berat, perkembangan komunikasi yang sangat berat,
tingkah laku yang berulang-ulang dan gangguan
imajinasi bersamaan dengan munculnya gejala/
simtom serta respon abnormal terhadap sensori.
Anak dengan autisme dapat dengan jelas
dibedakan dari anak dengan retardasi mental
dengan keinginannya atau ketidakmampuannya
untuk mengerjakan tugas sensori motorik (Mandelbaum, 2006). Ketidakmampuan anak dengan
autisme melakukan tugas ini mungkin karena retardasi mental atau ketidak mampuan berbahasa,
ketidak mampuan menerima imbalan atau atensi.
Gejala autisme biasanya terjadi pada usia
di bawah 3 tahun di mana anak laki terkena
empat kali lebih banyak dari anak perempuan
(Taylor, 2006). Anak dengan autisme berbeda dibanding dengan anak yang berkelainan lainnya
14

Kurdi, Strategi dan Teknik Pembelajaran pada Anak 15

sehingga perlu didekati dengan pendekatan


humanistik yang memandang mereka sebagai
individu yang utuh dan unik (Zelan, 2004).
Diperkirakan terdapat 400.000 anak
dengan autisme di Amerika Serikat atau 1 dari
150 anak di AS menderita autisme, di Inggris 1
dari 100 anak, di Australia 1:50. Di Indonesia,
autisme juga mendapat perhatian luas dari
masyarakat maupun profesional karena jumlah
anak autistik yang meningkat dengan cepat,
namun belum ditemukan data yang akurat.
Diperkirakan satu per 5.000 anak, dan sekarang
meningkat menjadi satu per 500 anak atau
kurang lebih 6.900 anak. Menteri Kesehatan Siti
Fadillah Supari dalam pembukaan rangkaian
Expo Peduli Autisme 2008 lalu mengatakan,
jumlah penderita autis di Indonesia di tahun 2004
tercatat sebanyak 475 ribu penderita dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang
lahir, menderita autisme (Kompas,2000).
Dengan semakin berkembangnya penelitian-penelitian mengenai autisme maka semakin
disadari bahwa gangguan autistik merupakan
suatu spektrum yang luas. Setiap anak autistik
adalah unik, masing-masing memiliki simtomsimtom dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda. Menurut Gilberg (2000), autisme bukanlah
penyakit tetapi adalah varian dari spektrum autis.
Karena itulah beberapa tahun terakhir ini muncul
istilah ASD (Autistic Spectrum Disorder).
Anak autisme perlu penanganan dini yang
terpadu yang melibatkan orangtua dan profesional di bidang medis, psikologis, dan pendidikan.
Pemberian penanganan secara terpadu, intensif,
dan dimulai sejak usia dini akan memberikan
hasil yang positif, yaitu membantu anak dengan
autisme beradaptasi dengan lingkungannya dan
belajar berbagai kemampuan kognitif.

PROFIL ANAK DENGAN AUTISME

Dikenal ada dua jenis anak dengan autisme


yakni low functioning dan high functioning
autism di mana kekurangan pada kedua jenis ini
sama hanya berbeda pada tingkatan IQ-nya.
Kurang lebih dua puluh lima persen anak dengan
autisme mempunyai IQ yang normal. Anak
perempuan IQ-nya lebih rendah daripada anak
laki, namun anak perempuan dengan IQ tinggi
lebih banyak dari anak lelaki (Prior & Ozonof,
1998). Profil anak dengan autisme ditandai
dengan gejala klinis berikut.

Gejala Klinis
Manifestasi dari gejala klinis pada anak
dengan autisme berubah dengan berjalannya
waktu dan bahkan membaik. Berikut ini gejala
autisme yang terdapat pada anak (Gillbert dan
Coleman, 2000; Tuchman & Rapin, 2006).
(1) Autisme Pada Bayi.
Pada bayi biasanya ditemukan gejala yang
tidak begitu spesifik seperti kurang inisiatif,
hiperaktivitas, gangguan tidur dan gangguan
makan. Anak mungkin bisa berbicara sampai
umur dua tahun kemudian berhenti. Lima
belas persen anak dengan autisme sering
mengalami kejang pada tahun pertama dan
diduga kejang ini yang menyebabkan
autisme di masa mendatang.
(2) Masa Pra Sekolah
Pada masa ini perilaku austik mulai tampak.
Diagnosis dapat dibuat pada saat anak berusia 30 bulan atau lebih. Gejala tantrum
sering terjadi karena aktivitas yang berulang.
Anak dengan autis tidak mampu berbicara,
tidak menunjukkan ketertarikan bahkan penolakan terhadap anak lain.
(3) Masa Sekolah
Pada adanya pertumbuhan pada stadium ini
anak mulai lebih mudah diatur, kurang
menyendiri dan lebih bisa diajak kerjasama.
Perkembangan kemampuan berbicara juga
berbeda antara satu anak dengan yang lainnya. Sebagian anak bisa berbicara lebih berarti tetapi sebagian masih tetap seperti anak
berusia 3 tahun. Hiperaktivitas mulai menurun begitu juga dengan temper tantrum.
Anak juga sudah bisa tidur sendiri dan tidak
mengganggu yang lain. Disebut juga periode
tenang.
(4) Masa Remaja
Banyak komplikasi terjadi pada anak dengan
autisme pada masa remaja. Sebagian anak
menjadi epilepsi, dua puluh sampai 32
persen menunjukkan kemunduran kognitif
dan tingkah laku, sering diikuti dengan
regresi dan munculnya pola tingkah laku
pada usia pra sekolah (Gillberg & Coleman,
2000). Pubertas akan mengaktifasi gejala
gejala pada anak dengan autisme, sering
menyakiti badan sendiri, hiperaktivitas dan
gelisah. Peningkatan gejala ini dikarenakan
pertumbuhan fisik dan kekuatan menjadi
dewasa dan gejala ini dirasakan lebih tidak
enak pada saat dewasa dibandingkan pad
anak autis pada saat usia mereka masih muda

16 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009

(Gillberg & Coleman, 2000). Sebagian kecil


anak akan mengalami perbaikan menjelang
dewasa dan ini biasanya ada kaitannya
dengan high functioning sehingga anak ini
menjadi dewasa dengan sedikit gangguan.
(5) Dewasa.
Mayoritas anak dengan autisme pada saat
dewasa akan menunjukkan gejala gangguan
kejiwaan seumur hidupnya tetapi ada juga
yang menjadi normal (Gillberg & Coleman,
2000). Kadang ada perbaikan hubungan
sosial namun ada gangguan kemampuan
bicara. Perilaku stereotip mungkin turun
tetapi jalan dan postur tetap abnormal.
Penyebab Autisme dalam Bidang Psikologi
Dalam bidang psikologi dikenal beberapa
penyebab autisme sebagai berikut.
(1) Refrigerator Mother
Buten (2004) menjelaskan autisme dari sudut
pandang psikologis disebabkan oleh pengasuhan ibu yang tidak hangat, sehingga anakanak autistik cenderung menarik diri dan
bersibuk diri dengan dunianya dan mengalami kerusakan ego yang parah karena sejak
lahir tidak mampu dan tidak tertarik menjadikan ibu atau orang-orang lain sebagai
patner dalam melakukan eksplorasi terhadap
dunia luar dan dunia dalamnya.
(2) Mindblindness Theory/ Mentalizing
Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak
autistik, tiga kelompok gangguan tingkah
laku yang tampak pada mereka (interaksi
sosial, komunikasi, dan imajinasi) disebabkan oleh kerusakan pada kemampuan dasar
manusia untuk membaca pikiran. Pada
anak-anak normal, sejak usia empat tahun
umumnya mereka sudah mengerti bahwa
semua orang memiliki pikiran dan perasaan
yang akan mengarahkan tingkah laku.
Sebaliknya, anak-anak autistik memiliki
kesulitan untuk mengetahui pikiran dan
perasaan orang lain yang berakibat mereka
tidak mampu memprediksi tingkah laku
orang tersebut. Kondisi ini oleh BaronCohen (2005) disebut mindblindness, sementara Frith menjelaskannya dengan istilah
mentalizing (Frith, 2003).
(3) Penyebab Neurologis
Anak dengan autisme sering mengalami
kegagalan dalam melaksanakan tugas atau
masalah dalam melakukan fungsi eksekutif,
bukan defisit kompetensi. Fungsi eksekutif

antara lain adalah kemampuan untuk melakukan sejumlah tugas secara bersamaan,
berpindah-pindah fokus perhatian, membuat
keputusan tingkat tinggi, membuat perencanaan masa depan, dan menghambat respon
yang tidak tepat (Frith, 2003). Kelainan otak
pada anak dengan autisme diduga pada
sirkuit batang otak-serebelum, sistem limbik,
dan sirkuit korteks serebri (Nash, 2002). Para
peneliti berpendapat bahwa pada saat lahir
bayi autistik memiliki ukuran otak yang
normal. Namun setelah mencapai usia dua
atau tiga tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama pada lobus
frontalis dan otak kecil, yang disebabkan
oleh pertumbuhan white matter dan gray
matter yang berlebihan. Sementara sel saraf
yang ada lebih sedikit dibandingkan pada
otak normal dan kekuatannya juga lebih
lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan
kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial.
(4) Gangguan Sensorik
Anak dengan autisme memiliki gangguan
pengolahan sensorik (sensory processing
disorder) sehingga muncul tingkah laku
hiperaktif, bermasalah dalam melakukan
gerakan, memiliki tonus otot yang lemah,
dan sulit berkonsentrasi. Gangguan ini memunculkan sekumpulan simtom yang merupakan respon aversif terhadap stimulus
sensorik yang sebenarnya tidak berbahaya
(Kranowitz, 2005). Masalah dalam memproses input sensorik juga menyebabkan
anak dengan autisme menyaring input-input
yang tidak relevan sehingga seringkali gagal
dalam mengolah informasi penting dan cenderung mudah stres dan cemas. Ayres
mengembangkan teori Integrasi Sensorik (IS)
yang mendasarkan pada pemahaman bahwa
sensasi dari lingkungan dicatat dan diinterpretasikan di otak atau susunan saraf pusat.
Sensasi ini kemudian mempengaruhi gerakan
atau respon motorik yang selanjutnya merupakan umpan balik bagi otak (Rydeen,
2001). Terdapat tiga sistem yang dianggap
paling penting dalam perkembangan keterampilan yang kompleks, yaitu vestibular,
proprioseptif, dan taktil. Di samping itu
terdapat pula sistem visual (penglihatan),
auditori (pendengaran), olfaktori (pembau),
dan gustatori (pengecap).

Kurdi, Strategi dan Teknik Pembelajaran pada Anak 17

Diagnosis Autisme Berdasarkan DSM IV


Jenis gangguan perkembangan pada anak
pada autis adalah berdasarkan ICD 10 (International Classification of Diseases) dan DSM
(Diagnostic And Statistical Manual) IV termasuk
dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/ PDD)
(Wing.1996). Autisme ditunjukkan bila ditemukan 4 atau lebih dari 11 gejala yang mengacu
pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi
Sosial-Komunikasi-Perilaku. Dalam DSM-IV,
secara ringkas kriteria diagnostik gangguan
autistik adalah sebagai berikut.
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial
timbal balik (minimal 2): (a) gangguan yang
nyata dalam berbagai tingkah laku non
verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah,
dan posisi tubuh; (b) kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya sesuai dengan tingkat perkembangan;
(c) kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan orang
lain; dan (d) kurang mampu melakukan
hubungan sosial atau emosional timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi (minimal 1): (a) keterlambatan perkembangan
bahasa atau tidak bicara sama sekali; (b)
pada individu yang mampu berbicara, terdapat gangguan pada kemampuan memulai
atau mempertahankan percakapan dengan
orang lain; (c) penggunaan bahasa yang stereotip, repetitif atau sulit dimengerti; dan (d)
kurangnya kemampuan bermain pura-pura.
(3) Pola-pola repetitif dan stereotip yang kaku
pada tingkah laku, minat dan aktivitas (minimal 1): (a) mempertahankan 1 minat atau
lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan, baik intensitas dan fokusnya; (b)
terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna; (c) Ada gerakangerakan aneh yang khas dan berulang-ulang.
Seringkali sangat terpukau pada bagianbagian tertentu dari suatu benda. Seorang
anak dapat didiagnosis memiliki gangguan
autistik bila simtom-simtom di atas telah
tampak sebelum anak mencapai usia 36
bulan.

STRATEGI PENANGANAN PENDIDIKAN ANAK AUTISME

Gambar 1. Alur Pendidikan Untuk Anak Dengan Autisme

18 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009

Program Intervensi Dini


Discrete Trial Training (DTT)
DDT adalah teknik terbaik dari analisis
tingkah laku (behavior analysis) untuk meningkatkan keterampilan pada anak dengan autisme
(Smith, 2001). DDT mempunyai program membagi ketrampilan yang sangat kompleks menjadi
ketrampilan dengan unit yang lebih kecil dan
mengajarkannya dengan cara dipraktekkan berulang-ulang. Setiap unit yang diinstruksikan
disebut a trial (Leaf dan McEachin,1999).
Teknik DDT ini sudah dipakai sejak tahun 1920
namun untuk pembelajaran pada anak baru
dimulai pada tahun 1950 (Lindsley,1996).
Walaupun teknik ini sudah dikenal lebih dari 80
tahun yang lalu oleh Lovaas dan kawankawannya (1971,1081,1987) menjadi populer sebagai sarana pembelajaran bagi anak dengan
autisme. Metode ini juga merupakan cara intervensi awal yang disenangi dari metode applied
behavior analysis (ABA) untuk masyarakat.
(Smith, 2001).
Discrete dalam DDT dinamakan demikian
karena setiap instructional trial harus ada tanda
mulai dan tanda berakhir (Leaf dan McEachin,
1999). Berdasarkan tiga kumpulan terminologi
dalam ABA, discrete trial adalah unit instruksi
yang terdiri dari antecedent, respons dan
konsekuensi. Termasuk ketiga kumpulan terminologi tadi ada lima bagian dari discrete trial
yakni (a) an antecedent stimulus, (b) a prompt,
(c) a response, (d) a consequence, dan (e)
intertrial interval (Smith,2001).
Stimulus antecedent adalah apa saja yang
ada di sekitar kita yang bisa menimbulkan
respons, dapat dalam bentuk stimulus vokal
dalam bentuk kalimat tanya seperti Kamu mau
apa atau stimulus non vokal cookie. Bila anak
memberi respons dengan betul akan mendapat
hadiah sebagai kosekuensi sudah mengerjakan
yang diperintahkan dan stimulus antecedent akan
menjadi stimulus diskriminatif atau SD.
Prompt adalah stimulus tambahan yang
diberikan bersama-sama dengan stimulus antecedent atau segera sesudahnya yang berfungsi
untuk membantu anak dengan autis untuk
memberikan respon dengan baik. Sebagai contoh
seorang guru akan menyiapkan model vokal
untuk membantu anak autis untuk merespon
pertanyaan dengan mengatakan cookie. Anak
akan menggemakan vokal prompt tetapi tidak
sempurna seperti dari cook ke coo, ke co

dan ke huruf c dan akhirnya tidak berbicara.


Goal-nya adalah mentransfer kontrol stimulus
dari prompt ke SD sehingga anak bisa memberi
respon dengan benar ke SD tanpa adanya prompt.
Respons bisa tidak ada jawaban atau ada
jawaban dan biasanya dikategorikan sebagai
respons yang betul atau salah atau gagal
memberikan respons. Sebagai contoh bila anak
memberi respon cookie pada stimulus antecedent kamu mau apa, maka respon adalah
betul. Bila anak hanya menjawab cook maka
responnya adalah salah. Bila anak tidak menjawab berarti tidak ada respons. Anak diberi
waktu 3 sampai 5 detik untuk merespong ke SD
sebelum diberi konsekuensi. (Leaf dan McEachin,
1999).
Konsekuensi tergantung dari renpons anak.
Bila anak responsnya betul, konsekuensinya
adalah penghargaan seketika, tepukan, barang
yang disukai anak. Bila respons anak salah maka
konsekuensinya adalah suara jawaban seperti
no, coba lagi, uh, uh atau absen penghargaan, atensi, ditinggal pergi (Smith, 2001).
Intertrial interval terjadi sesudah konsekuensi
dan berakhir untuk beberapa detik sebelum
discrete trial yang lain. Bila anak mendapat
hadiah karena menjawab dengan betul maka
intertrial interval waktunya cukup panjang untuk
anak menikmati hadiahnya. Tetapi bila anak
tidak diberi hadiah intertrial interval akan cukup
panjang untuk guru mencatat data dari respons
anak dan memindah atau memutar posisi dari
stimulus antecedent yang tampak untuk tes berikutnya dimulai.
Intervensi LEAP (Learning Experience: an
Alternative Program for Peschoolers and
Parents)
LEAP merupakan salah satu model EIBI
atau Early Intensive Behavior Intervention yang
melakukan proses pembelajaran diutamakan di
sekolah dibanding di rumah. Dengan metode
LEAP pelayanan prasekolah di mana anak
dengan autisme diintegrasi dengan orang tua dilatih bersama. Dengan metode LEAP didapat
intervensi yang kuat untuk memperbaiki keterampilan sosial melalui teknik ABA (Strain dan
Hoyson, 2002). Tehnik LEAP ini merupakan
pembelajaran yang digabungkan untuk membentuk sebuah kerangka konsep. Meskipun
metode ini menerima berbagai kelebihan dan
kekurangan pada anak-anak penyandang autistik,
titik berat utama dari teori dan implementasi

Kurdi, Strategi dan Teknik Pembelajaran pada Anak 19

praktis yang mendasari program ini adalah


perkembangan sosial anak. Oleh sebab itu, dalam
penerapan teori ini dipusatkan pada central
social deficit. Melalui beragamnya pengaruh
teoretis yang diperolehnya, model LEAP menggunakan teknik pengajaran reinforcement dan
kontrol stimulus. Prinsip yang mendasarinya adalah (1) semua anak mendapat keuntungan dari
lingkungan yang terpadu; (2) anak penyandang
autistik semakin membaik jika intervensi berlangsung konsisten baik di rumah, sekolah, mau
pun masyarakat; (3) keberhasilan semakin besar
jika orang tua dan guru bekerja bersama-sama;
(4) anak penyandang autistik bisa saling belajar
dari teman-teman sebaya mereka; (5) intervensi
haruslah terancang, sistematis, individual; (6)
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dan
yang normal akan mendapat keuntungan dari kegiatan yang mencerminkan ABA.
The DIR/Floortime Assesment
Ada 3 komponen pada DIR/Floortime
model: (1) taraf pengembangan fungsi emosional, (2) perbedaan individu dalam sensori,
modulasi, proses dan pengembangan motorik, (3)
keterikatan dan interaksi. Pendekatan DIR atau
Difference Relationship-Based/Floortime berdasarkan pada teori perkembangan interaktif
yang mengatakan bahwa perkembangan keterampilan kognitif dalam 4 atau 5 tahun pertama
kehidupan didasarkan pada emosi dan relationship (Greenspan dan Wieder, 1998,2007). Jadi
hubungan pengaruh dan interaksi merupakan
komponen utama dalam teori dan praktek model
ini. Greenspan dkk
mengembangkan suatu
pendekatan perkembangan terintegrasi untuk
intervensi anak yang mempunyai kesulitan besar
(severe) dalam berhubungan (relationship) dan
berkomunikasi, dan teknik intervensi interaktif
yang sistematik inilah yang disebut Floortime.
Kerangka konsep program ini di antaranya (1)
dua atau lebih 45 menit observasi klinik dari
petugas kesehatan kepada anak dengan autisme;
(2) pengembangan sejarah dan review fungsi; (3)
menilai ulang fungsi keluarga dan petugas
kesehatan; (4) menilai ulang program yang
sedang berjalan dan pola interaksi; (5) perlu
konsultasi dengan ahli terpi wicara, okupasi; (6)
terapi, fisioterapi,pendidik ahli kesehatan mental;
dan (7) evaluasi biomedikal.
Metode DIR/Floortime membuat anak
tumbuh secara unik dan menjadikan program
menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Pola

interaktif di masyarakat termasuk perbedaan pola


interaksi yang tersedia terhadap anak di rumah,
di sekolah dengan kelompok dan situasi yang
lain.
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children)
TEACCH merupakan program nasional di
North Carolina USA sejak 1960, yang melayani
anak penyandang autistik, dan diakui secara
internasional sebagai sistem pelayanan yang
tidak terikat/bebas. Dibandingkan dengan ketiga
program yang telah dibicarakan, program
TEACCH menyediakan pelayanan yang berkesinambungan untuk individu, keluarga dan
lembaga pelayanan untuk anak penyandang
autistik. Penanganan dalam program ini termasuk
diagnosis, terapi/treatment, konsultasi, kerjasama
dengan masyarakat sekitar, tunjangan hidup dan
tenaga kerja, dan berbagai pelayanan lainnya
untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
spesifik. Para terapis dalam program TEACCH
harus memiliki pengetahuan dalam berbagai
bidang termasuk, speech pathology, lembaga
kemasyarakatan, intervensi dini, pendidikan luar
biasa dan psikologi. Konsep pembelajaran dari
model TEACCh berdasarkan tingkah laku, perkembangan dan dari sudut pandang teori ekologi,
yang berhubungan erat dengan teori dasar
autisme (Schopler & Reichler,1971). TEACCH
adalah organisasi yang unik pada Bagian Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Carolina Utara
dengan misinya adalah pen-didikan, pelayanan
kesehatan dan penelitian. Tabel 1 memberikan
gambaran program TEACCH, konsep dan
strateginya.
Program Terapi Penunjang
Beberapa jenis terapi bagi anak autistik,
antara lain (1) terapi wicara: membantu anak
melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu
anak berbicara lebih baik; (2) terapi okupasi:
untuk melatih motorik halus anak; (3) terapi
bermain: mengajarkan anak melalui belajar
sambil bermain; (4) terapi medikamentosa/obatobatan (drug therapy): dengan pemberian obatobatan oleh dokter yang berwenang; (5) terapi
melalui makanan (diet therapy): untuk anak-anak
dengan masalah alergi makanan tertentu; (6)
Sensory Integration Therapy: untuk anak-anak
yang mengalami gangguan pada sensorinya; (7)
Auditory Integration Therapy: agar pendengaran

20 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009

Tabel.1 Gambaran Program TEACCH Konsep dan Strateginya

Source: Clinical Manual for the teatment of Autism, pg.213.

anak lebih sempurna; (8) Biomedical treatment/


therapy: penanganan biomedis yang paling
mutakhir, melalui perbaikan kondisi tubuh agar
terlepas dari faktor-faktor yang merusak (dari
keracunan logam berat, efek casomorphine dan
gliadorphin, alergen, dsb).
Layanan Pendidikan Lanjutan
Pada anak autistik yang telah diterapi
dengan baik dan memperlihatkan keberhasilan
yang menggembirakan, anak tersebut dapat dikatakan sembuh dari gejala autistiknya Ini
terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya sehingga tampak berperilaku
normal, berkomunikasi dan berbicara normal,
serta mempunyai wawasan akademik yang cukup
sesuai anak usianya. Pada saat ini anak sebaiknya mulai diperkenalkan untuk masuk ke dalam
kelompok anak-anak normal, sehingga ia (yang
sangat bagus dalam meniru/imitating) dapat
mempunyai figur/role model anak normal dan
meniru tingkah laku anak normal seusianya.
Kelas Terpadu sebagai Kelas Transisi
Kelas ini ditujukan untuk anak autistik
yang telah diterapi secara terpadu dan terstruktur,
dan merupakan kelas persiapan dan pengenalan
akan pengajaran dengan kurikulum sekolah biasa,
tetapi melalui tata cara pengajaran untuk anak
autistik ( kelas kecil dengan jumlah guru besar,
dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang
jelas, padat dan konsisten, dsb). Tujuan kelas
terpadu adalah: (1) membantu anak dalam mempersiapkan transisi ke sekolah reguler; (2) belajar

secara intensif pelajaran yang tertinggal di kelas


reguler, sehingga dapat mengejar ketinggalan
dari teman-teman sekelasnya. Prasyarat yang diperlukan dalam hal ini (1) diperlukan guru SD
dan terapis sebagai pendamping, sesuai dengan
keperluan anak didik (terapis perilaku, terapis
bicara, terapis okupasi dsb); (2) kurikulum
masing-masing anak dibuat melalui pengkajian
oleh satu team dari berbagai bidang ilmu (psikolog, pedagog, speech patologist, terapis, guru
dan orang tua/relawan); (3) Kelas ini berada
dalam satu lingkungan sekolah reguler untuk memudahkan proses transisi dilakukan (misal mulai
latihan bergabung dengan kelas reguler pada saat
olahraga atau istirahat atau prakarya dsb).
Program Inklusi (Mainstreaming)
Pendidikan inklusif adalah pendidikan
dengan pendekatan transformasi sistem pendidikan yang tanggap dan responsive terhadap
keragaman pelajar. Pendidikan inklusif bertujuan
untuk memudahkan guru dan pelajar untuk merasa nyaman dalam keragaman dan melihat
keragaman ini sebagai tantangan dan pengayaan
lingkungan pembelajaran, daripada melihatnya
sebagai masalah (UNESCO, 1994). Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak
dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
telah diamanatkan pendidikan yang demokratis
dan tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka
peluang yang besar bagi para penyandang
autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah

Kurdi, Strategi dan Teknik Pembelajaran pada Anak 21

umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah


negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan inklusi. Program ini dapat
berhasil bila (1) ada keterbukaan dari sekolah
umum, (2) test masuk tidak didasari hanya oleh
test IQ untuk anak normal; (3) Peningkatan
SDM/guru terkait; (4) proses shadowing/dapat
dilaksanakan Guru Pembimbing Khusus (GPK);
(5) idealnya anak berhak memilih pelajaran yang
ia mampu saja (Mempunyai IEP/Program
Pendidikan Individu sesuai dengan kemampuannya); (6) anak dapat tamat (bukan lulus) dari
sekolahnya karena telah selesai melewati
pendidikan di kelasnya bersama-sama teman
sekelasnya/peers; (7) tersedianya tempat khusus
(special unit) bila anak memerlukan terapi 1:1 di
sekolah umum. Pada bulan-bulan pertama ini
sebaiknya anak autistik didampingi oleh seorang
terapis yang berfungsi sebagai shadow/guru
pembimbing khusus (GPK). Tugas seorang
shadow guru pembimbing khusus (GPK) adalah:
(1) menjembatani instruksi antara guru dan anak;
(2) mengendalikan perilaku anak dikelas; (3)
membantu anak untuk tetap berkonsentrasi; (4)
membantu anak belajar bermain/berinteraksi
dengan teman-temannya; (5) menjadi media
informasi antara guru dan orangtua dalam
membantu anak mengejar ketinggalan dari pelajaran di kelasnya.
Guru pembimbing khusus adalah seseorang yang dapat membantu guru kelas dalam
mendampingi anak penyandang autistik pada
saat diperlukan, sehingga proses pengajaran
dapat berjalan lancar tanpa gangguan. Guru kelas
tetap mempunyai wewenang penuh akan kelasnya serta bertanggung jawab atas terlaksananya
peraturan yang berlaku.
Sekolah Khusus
Pada kenyataannya dari kelas terpadu terevaluasi bahwa tidak semua anak autistik dapat
transisi ke sekolah reguler. Anak-anak ini sangat
sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya
distraksi di sekeliling mereka. Beberapa
anak memperlihatkan potensi yang sangat baik
dalam bidang tertentu misalnya olah raga, musik,
melukis, komputer, matematika, keterampilan
dsb. Anak-anak ini sebaiknya dimasukkan ke
dalam Kelas khusus, sehingga potensi mereka
dapat dikembangkan secara maksimal. Contoh
sekolah khusus: Sekolah Ketrampilan, Sekolah
Pengembangan Olahraga, Sekolah Musik, Sekolah Seni Lukis, Sekolah Ketrampilan untuk

Usaha Kecil, Sekolah Komputer, dan lain sebagainya


Program Sekolah Di Rumah (Homeschooling
Program)
Adapula anak autistik yang bahkan tidak
mampu ikut serta dalam Kelas Khusus karena
keterbatasannya, misalnya anak non verbal,
retardasi mental, masalah motorik dan auditory
dsb. Anak ini sebaiknya diberi kesempatan ikut
serta dalam Program Sekolah Di rumah (Homeschooling Program). Melalui bimbingan
para guru/terapis serta kerjasama yang baik
dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya,
dapat dikembangkan potensi/strength anak.
Kerjasama guru dan orangtua ini merupakan cara
terbaik untuk menggeneralisasi program dan
membentuk hubungan yang positif antara
keluarga dan masyarakat. Bila memungkinkan,
dengan dukungan dan kerjasama antara guru
sekolah dan terapis di rumah anak-anak ini dapat
diberi kesempatan untuk mendapat persamaan
pendidikan yang setara dengan sekolah reguler/
SLB untuk bidang yang ia kuasai. Di lain pihak,
perlu dukungan yang memadai untuk keluarga
dan masyarakat sekitarnya untuk dapat menghadapi kehidupan bersama seorang autistik.
Pengembangan Kurikulum
Anak autistik memiliki kemampuan yang
berdeferensiasi, serta proses perkembangan dan
tingkat pencapaian programpun juga tidak sama
antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
kurikulum dapat dipilih, dimodifikasi, dikembangkan oleh guru/pelatih/terapis/pembimbing,
dengan bertitik tolak pada kebutuhan masingmasing anak berdasarkan hasil identifikasi. Pemilihan dan modifikasi kurikulum juga disesuaikan dengan tingkat perkembangan kemampuan
anak, dan ketidakmampuannya, usia anak, serta
memperhatikan sumber daya/lingkungan yang
ada.
Pelayanan pendidikan bagi anak autistik
akan lebih baik apabila dimulai sejak dini (intervensi dini). Sehingga untuk mengembangkan
kurikulum mengacu pada (1) program pengembangan kelompok bermain (usia 2-3 tahun); (2)
kurikulum Taman Kanak-kanak (usia 4-5 tahun);
3. kurikulum Sekolah Dasar; (4) kurikulum SLB
Tuna Rungu; (5) kurikulum SLB Tunarungu dan
Tunagrahita. Penyusunan program layanan pendidikan dan pengajaran diambil dari kurikulum
tersebut, dengan mempertimbangkan kemam-

22 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009

puan dan ketidakmampuan (kebutuhan) anak,


dengan modifikasi. Kurikulum bagi anak autistik
dititikberatkan pada pengembangan kemampuan
dasar, yaitu (1) kemampuan dasar kognitif, (2)
kemampuan dasar bahasa/Komunikasi, (3) kemampuan dasar sensomotorik, (4) kemampuan
dasar bina diri, dan (5) sosialisasi. Apabila kemampuan dasar tersebut dapat dicapai oleh anak
dengan mengacu pada kemampuan anak yang
sebaya dengan usia biologi/ kalendernya, maka
kurikulum dapat ditingkatkan pada kemampuan
pra akademik dan kemampuan akademik, meliputi kemampuan membaca, menulis, dan matematika (berhitung).
Ketenagaan
Ketenagaan dalam penyelenggaraan pendidikan autistik meliputi beberapa komponen
yang sangat terkait satu dengan yang lain sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan yang dimaksud disini,
bisa guru atau terapis. Tenaga kependidikan
untuk anak autistik ini idealnya dari disiplin ilmu
yang sesuai seperti PGTK, PGSD dan Sarjana
PLB atau Sarjana Psikolog. Bukan berarti dari
disiplin ilmu yang lain tidak mampu dalam
menangani anak autistik, tetapi harus ada
pelatihan dan bimbingan. Yang paling diperlukan
dalam diri seorang pendidik terutama dalam
penanganan terhadap anak autistik adalah: (1)
mau menerima dan melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya dengan sepenuh hati dan
disertai rasa kasih sayang; (2) mau banyak belajar untuk memperbanyak pengetahuan dan
wawasan. Tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap
anak diperlukan kreativitas yang tinggi. Karena,
dalam penanganan anak autistik tidak bisa
disamakan antara anak yang satu dengan anak
yang lain.
Tenaga Non Kependidikan
Selain tenaga kependidikan dalam penanganan terhadap anak autistik yang sangat
berperan adalah: (a) tenaga terapi perilaku yang
menjadi dasar bagi terapi selanjutnya; (b) tenaga
terapi wicara karena banyak anak autistik yang
juga mengalami gangguan dalam berbahasa atau
berkomunikasi; (c) tenaga terapi sensori motorik
integrasi: seperti materi penjaskes SLB Tunagrahita; (d) tenaga profesional yang lain seperti

Psikolog, Psikiater, Dokter, Relawan, ahli gizi,


dan (e) tenaga administrasi. Tanaga administrasi
juga sangat diperlukan untuk membantu penyelenggaraan pendidikan anak autistik. Adapun
tujuannya untuk membantu memperlancar tugastugas dari penyelenggara pendidikan anak
autistik.
Sarana Dan Prasarana
Sarana dan prasarana ini disesuaikan
dengan tahapan usia sekolah sebagai berikut
(Dikdasmen Depdiknas, 2004).
(1) Usia Pendidikan Prasekolah-Alat Peraga:
pengenalan warna, bentuk, huruf dan angka,
benda-benda sekitar, buah, binatang, kendaraan. Alat bantu komunikasi: berupa gambargambar yang mewujudkan tujuan komunikasi dari anak. Alat bantu pengembangan
motorik halus: cara memegang pensil, menggunting, mewarna, dan sebagainya. Alat
bantu pengembangan motorik kasar: bola,
tali, dlsb. Kurikulum Tanan Kanak-kanak.
Terapi wicara (terapi dan alatnya) baik
manual atau elektronik. Terapi sensori motorik integrasi (ayunan, lorong, balok titian dan
sebagainya).
(2) Usia Pendidikan Sekolah Dasar (Dikdasmen
Depdiknas, 2004). Segala sarana belajar
yang ada pada sekolah dasar pada umumnya.
Alat peraga konkret sebagai penunjang sarana belajar. Guru pendamping, Sarana untuk
bersosialisasi.
(3) Usia Pendidikan Menengah (Dikdasmen
Depdiknas, 2004). Pada usia ini jika dimungkinkan anak mengikuti kurikulum
sekolah menengah maka sarana belajar bisa
mengikuti sarana yang diperlukan untuk
sekolah menengah akan tetapi jika anak
harus berada pada sekolah khusus, maka
sarana yang dibutuhkan harus mengacu pada
pengembangan kemampuan fungsional yang
ada pada setiap anak autistik.
Kegiatan belajar mengajar merupakan
interaksi antara siswa (anak autistik) yang belajar
dan guru pembimbing yang mengajar. Dalam
upaya membelajarkan anak autistik tidak mudah.
Guru pembimbing sebagai model untuk anak
autistik harus memiliki kepekaan, ketelatenan,
kreativitas dan konsistensi di dalam kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan. Oleh karena
anak autistik pada umumnya mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti orang lain,
maka guru pembimbing diharuskan mampu me-

Kurdi, Strategi dan Teknik Pembelajaran pada Anak 23

mahami dan mengerti anak autistik.


Prinsip-Prinsip Pendidikan dan Pengajaran
Pendidikan dan pengajaran anak autistik
pada umumnya dilaksanakan berdasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut (Dikdasmen Depdiknas, 2004).
(a) Terstruktur. Pendidikan dan pengajaran bagi
anak autistik diterapkan prinsip terstruktur,
artinya dalam pendidikan atau pemberian
materi pengajaran dimulai dari bahan ajar/
materi yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh anak. Setelah kemampuan
tersebut dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan
ajar yang setingkat di atasnya namun merupakan rangkaian yang tidak terpisah dari
materi sebelumnya. Sebagai contoh, untuk
mengajarkan anak mengerti dan memahami
makna dari instruksi "Ambil bola merah".
Maka materi pertama yang harus dikenalkan
kepada anak adalah konsep pengertian kata
"ambil", "bola". Dan "merah". Setelah anak
mengenal dan menguasai arti kata tersebut
langkah selanjutnya adalah mengaktualisasikan instruksi "Ambil bola merah" kedalam
perbuatan kongkrit. Struktur pendidikan dan
pengajaran bagi anak autistik meliputi
struktur waktu, struktur ruang, dan struktur
kegiatan.
(b) Terpola. Kegiatan anak autistik biasanya
terbentuk dari rutinitas yang terpola dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah
(lingkungannya), mulai dari bangun tidur
sampai tidur kembali. Oleh karena itu dalam
pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola yang teratur. Namun,
bagi anak dengan kemampuan kognitif yang
telah berkembang, dapat dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi lingkungannya, supaya
anak dapat menerima perubahan dari
rutinitas yang berlaku (menjadi lebih
fleksibel). Diharapkan pada akhirnya anak
lebih mudah menerima perubahan, mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan
(adaptif) dan dapat berperilaku secara wajar
(sesuai dengan tujuan behavior therapy).
(c) Terprogram. Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan yang
ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi. Prinsip ini berkaitan erat
dengan prinsip dasar sebelumnya. Sebab,
program materi pendidikan harus dilakukan

secara bertahap dan berdasarkan pada kemampuan anak, sehingga target program pertama tersebut menjadi dasar target program
yang kedua, demikian pula selanjutnya.
(d) Konsisten. Dalam pelaksanaan pendidikan
dan terapi perilaku bagi anak autistik,
prinsip konsistensi mutlak diperlukan. Artinya: apabila anak berperilaku positif
memberi respon positif terhadap susatu
stimulus maka guru pembimbing harus cepat
memberikan respon positif (reward/ penguatan), begitu pula apabila anak berperilaku
negatif. Hal tersebut juga dilakukan dalam
ruang dan waktu lain yang berbeda (maintenance) secara tetap dan tepat, dalam arti
respon yang diberikan harus sesuai dengan
perilaku sebelumnya. Konsisten memiliki
arti tetap, bila diartikan secara bebas konsisten mencakup tetap dalam berbagai hal,
ruang, dan waktu. Konsisten bagi guru pembimbing berarti tetap dalam bersikap, merespon dan memperlakukan anak sesuai
dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki masing-masing individu anak autistik.
Sedangkan arti konsisten bagi anak adalah
tetap dalam mempertahankan dan menguasai
kemampuan sesuai dengan stimulan yang
muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda. Orang tua pun dituntut konsisten dalam
pendidikan bagi anaknya, yakni dengan bersikap dan memberikan perlakukan terhadap
anak sesuai dengan program pendidikan
yang telah disusun bersama antara pembimbing dan orang tua sebagai wujud dari
generalisasi pembelajaran di sekolah dan di
rumah (Dikdasmen Depdiknas, 2004).
(e) Kontinyu. Pendidikan dan pengajaran bagi
anak autistik sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Maka,
prinsip pendidikan dan pengajaran yang
berkesinambungan juga mutlak diperlukan
bagi anak autistik. Kontinyu di sini meliputi
kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaannya. Kontinyuitas dalam pelaksanaan
pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi
juga harus ditindaklanjuti untuk kegiatan di
rumah dan lingkungan sekitar anak. Kesimpulannya, terapi perilaku dan pendidikan
bagi anak autistik harus dilaksanakan secara
berkesinambungan, simultan dan integral
(menyeluruh dan terpadu).

24 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009

Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan dan


Pengajaran bagi Anak Autistik
Tingkat keberhasilan pelaksanaan program
pendidikan dan pengajaran anak autistik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) berat
ringannya kelainan/gejala, (2) usia pada saat
diagnosis. (3) tingkat kemampuan berbicara dan
berbahasa, (4) tingkat kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki anak, (5) kecerdasan/IQ, (6)
kesehatan dan kestabilan emosi anak, dan (7)
terapi yang tepat dan terpadu meliputi guru,
kurikulum, metode, sarana pendidikan, lingkungan (keluarga, sekolah dan masyarakat (Dikdasmen Depdiknas, 2004).
PENUTUP

Autisme merupakan spektrum sindroma


kelainan neurologis yang tidak bisa disembuhkan;
dengan kelainan terutama adanya gangguan pada
trias komunikasi, imajinasi dan interaksi sosial.
Dengan teknik ABA dan berbagai modifikasinya anak dengan autisme bisa ditingkatkan
kemampuannya untuk berkomunikasi. Penanganan dan pembelajaran pada anak autis memerlukan team yang cukup kuat dan lengkap agar
proses pembelajaran yang diharapkan bisa berhasil. Karena kondisi masing-masing anak sangat
berbeda, modal awal dan hasil akhir setiap
individu akan sangat tergantung pada banyak
faktor, antara lain: kuantitas dan kualitas gejala
autisme pada anak, intensitas penanganan dini,
tingkat inteligensi anak, kemampuan anak berkomunikasi, konsistensi pola asuh dalam keluarga, sikap sekolah dalam membantu anak,
pengetahuan guru, dan sebagainya.
DAFTAR RUJUKAN

Baron-Cohen, S. & Belmonte, M.K. 2005.


Autism: A window onto the development
of the social and the analytic brain. Annual
Review Neuroscience, 28: 109-126.
Buten, H. 2004. Through the glass wall. A
therapists lifelong journey to reach the
children of autism. Nerw York: Bantam
Books.
Dikdasmen Depdiknas, 2004.
Frith, U. 2003. Autism. Explaining the enigma.
2nd ed. Carlton : Blackwell Publishing.
Ginanjar, A.S. 2009. Penanganan terpadu bagi
anak autis. Majalah Ilmu Kesehatan Com.

Greenspan, SI & Wieder, S. 2007. The Developmental Individual-Difference, Relationship-Based (DIR/Floortime) Model Approach to Autism Spectrum Disorder. Clinical
Manual for the Treatment of Autism.
London: American Psychiatric Publishing,
Inc.
Greenspan, SI; Wieder, S. 2007. The Child With
Special Needs:Encouraging Intellectual
and Emotional Growth Reading, MA,
Perseus Books. dalam Clinical Manual for
the Treatment of Autism. London:
American Psychiatric Publishing, Inc.
Kanner, L. 1968.. "Autistic disturbances of
affective contact". Nerv Child 2: 217 50.
"Reprint". Acta Paedopsychiatr 35 (4):
10036.
Kebijakan Kegiatan Prioritas. 2009. Direktorat
Pendidikan Luar Biasa Diknas.
Kranowitz, C. S. 2005 . The out-of-sync child.
Recognizing and coping withsensory
processing disorder. 2nd ed. New York: A
Skylight Press Book.
Leaf, R. & McEachin, J.A. 2008. Work in
Progress: Behavior Management Strategies and Curriculum for Intensive Behavior
Treatment of Autism. in Effective Practices
for Children With Autism, Educational and
Behavioral Support Interventions. New
York: Oxford University Press.
Lindsley, O.R. 2008. The four operant freedom.
in Effective Practices for Children With
Autism, Educational and Behavioral
Support Interventions. New York: Oxford
University Press, Inc.
Lovaas, O.I. 2008. The Autistic Child:
Languange Training through Behavior
Modification in Effective Practices for
Children With Autism, Educational and
Behavioral Support Interventions. New
York: Oxford University Press, Inc.
Lovaas, O.I., Ackerman, A.B., Alexander, D,
Firestone, Perkins, J., and Young, D. 2008.
Teaching developmentally disabled children in Effective Practices for Children
With Autism, Educational and Behavioral
Support Interventions. New York: Oxford
University Press, Inc.
Lovaas, O.I. 2008. Behavioral Treatment and
Normal Education and Intellectual
Functioning in Young Autistic Children in
Effective Practices for Children With
Autism, Educational and Behavioral

Kurdi, Strategi dan Teknik Pembelajaran pada Anak 25

Support Inter-ventions. New York: Oxford


University Press, Inc.
Mandelbaum, D.E., Steven, M., Rosenberg, E.,
Wiznitzer, M,. Steinschneider, M., Filipek,
& Rapin, I. 2006. Sensorimotor performance in school age children with autism,
development languange disorder, or low
IQ. Developmental Medicine & Child
Neurology, 48(1):33-39.
Marcus, L. Schopler, E. 2007. Educational
Approaches for Autism-TEACCH Dalam
Clinical Manual for the Treatment of
Autism. London: American Psychiatric
Publishing, Inc.
Nash, J.M. (2002, November 11). The secrets of
autism. Time, 72-80.
ONeill, J.M. 2003. Through the Eyes of Aliens.
A Book about Autistic People. 4th
impression. London: Jessica Kingsley
Publishers.
Rydeen, K. 2001. Integration of Sensorimotor
and Neurodevelopmental Approaches.
Dalam R.A. Huebner (Ed). Autism. A
Sensorimotor Approach to Management.
Gaithersburg: An Aspen Publication.
Vintage Books.
Strain, P.S., & Hoyson, M. 2007. The Need for
Longitudinal, Intensive Social Skill
Intervention LEAP Follow-Up Outcomes
for Children with Autism. New York:
American Psychiatric, Inc.
Schoper, E., Reichler, R.J. 2007. The Childhood
Autism Rating Skill dalam Clinical Manual
for the Treatment of Autism. Washington:
American Psychiatric Publishing, Inc.
Smith, T. 2008. Discrete trial training in the
treatment of Autism.Focus on Autism and
other Development Disabilities in Effective
Practices for Children With Autism,
Educational and Behavioral Support
Interventions.
New
York:
Oxford
University Press, Inc.
Smith, T. 2008. Outcome of early intervention
for children with autism in Effective
Practices for Children With Autism,
Educational and Behavioral Support
Interventions.
New
York:
Oxford
University Press, Inc.
Taylor, B. 2000. Vaccines and changing
epidemiology of autism. Child care, health
and development,32(5): 511-519.
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

Wing, L. 1996. The Autistic Spectrum: A Guide


for Parents and Professionals. London:
Constable and Company Limited.
Zelan, K. 2003. Between their world and ours.
Breakthroughs with autistic children. New
York: St Martins Press.

Anda mungkin juga menyukai