Anda di halaman 1dari 14

CARA MEMBANTU ANAK AUTISME AGAR

BERHASIL DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF


1. PERISTILAHAN
Seperti kita ketahui banyak istilah yang muncul mengenai gangguan
perkembangan:

 Autism = autisme yaitu nama gangguan perkembangan komunikasi, sosial,


perilaku pada anak (Leo Kanner & Asperger, 1943).
 Autist = autis : Anak yang mengalami ganguan autisme.
 Autistic child = anak autistik : Keadaan anak yang mengalami gangguan
autisme.
 Autistic disorder = gangguan autistic= anak-anak yang mengalami gangguan
perkembangan dalam criteria DSM-IV ( Diagnostic and Statictical Manual-IV).

1. PENGERTIAN ANAK AUTISME


Pengertian anak autis telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara
harfiah autisme berasal dari kata autos =diri dan isme= paham/aliran. Autisme dari
kata auto (sendiri), Secara etimologi : anak autis adalah anak yang memiliki
gangguaan perkembangan dalam dunianya sendiri.

Leo Kanner (Handojo,2003) autisme merupakan suatu jenis gangguan


perkembangan pada anak, mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri.
Chaplin (2000) mengatakan : (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan
personal atau diri sendiri (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan
harapan sendiri (3) Keyakinan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.

American Psych: autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada


anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak
mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber
dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic
Association 2000).

Anak autistic adalah adanya 6 gejala/gangguan, yaitu dalam bidang Interaksi


social; Komunikasi (bicara, bahasa, dan komunikasi); Perilaku, Emosi, dan Pola
bermain; Gangguan sensoris; dan perkembangan terlambat atau tidak norma.
Penampakan gejala dapat mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil (biasanya
sebelum usia 3 tahun) (Power, 1983). Gangguan autisme terjadi pada masa
perkembangan sebelum usia 36 bulan “Sumber dari Pedoman Penggolongan
Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)

Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun
saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan social
atau komunikasi yang normal. Hal ini mngekibatkan anak tersebut terisolasi dari
manusia lain dan masik dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
(Baron-Cohen, 1993). Jadi anak autisme merupakan anak yang mengalami
gangguan perkembangan yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak umur
sebelum 3 tahun mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial serta perilakunya.
Ditinjau dari segi pendidikan : anak autis adalah anak yang mengalami
gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan
kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/layanan pendidikan
secara khusus sejak dini.

Ditinjau dari segi medis : anak autis adalah anak yang mengalami
gangguan/kelainan otak yang menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi,
sosial, perilaku sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan
penanganan/terapi secara klinis.

Ditinjau dari segi psikologi : anak autis adalah anak yang mengalami
gangguan perkembangan yang berat bisa ketahui sebelum usia 3 tahun, aspek
komunikasi sosial, perilaku, bahasa sehingga anak perlu adanya penanganan
secara psikologis.

Ditinjau dari segi sosial anak autis adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan berat dari beberapa aspek komunikasi, bahasa, interaksi sosial,
sehingga anak ini memerlukan bimbingan ketrampilan sosial agar dapat
menyesuaikan dengan lingkungannya.

Jadi Anak Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi


otak yang bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya sendiri.

1. PREVALENSI ANAK AUTISME


Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak
tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan
disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips,
seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250
contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari
anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for
Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan
PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian
Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta
spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current
estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di
Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara
umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan
yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui
secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk
mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat
untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam
penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan
dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di
Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor
penyebab autisme, yaitu:
 Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different
families
 Chromosome 7 – speech / language chromosome
 Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui
atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang
perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan
autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena
orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan


yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas;
Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme
Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun
yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang
meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr.
Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia.
Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut
diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta.

1. KLASIFIKASI ANAK AUTISME


Menurut Yatim (2002) klasifikasi anak autis dikelompokkan menjadi tiga, antara lain:

1. Autisme Persepsi : dianggap autisme yang asli karena kelainan sudah


timbul sebelum lahir. Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada
penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga
ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak
bersikap masa bodoh.
2. Autisme Reaksi : terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan
kecemasan seperti orangtua meninggal, sakit berat, pindah rumah/ sekolah
dan sebagainya. Autisme ini akan memumculkan gerakan-gerakan tertentu
berulang-ulang kadang-kadang disertai kejang-kejang. Gejala ini muncul
pada usia lebih besar 6-7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir
logis.
3. Autisme yang timbul kemudian : terjadi setelah anak agak besar,
dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal akan
mempersulit dalam hal pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk
mengubah perilakunya yang sudah melekat.
Menurut Cohen & Bolton (1994) autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
bagian berdasarkan gejalanya yaitu :

a). Autisme ringan


Pada kondisi ini, anak autisme masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun
tidak berlangsung lama. Anak autisme ini dapat memberikan sedikit respon ketika
dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam
berkomunikasi pun masih bisa dilakukan secara dua arah meskipun terjadinya
hanya sesekali. Tindakan-tindakan yang dilakukan, seperti memukulkan kepalanya
sendiri, mengigit kuku, gerakan tangan yang sterotipik dan sebagainya, masih bisa
dikendalikan dan dikontrol dengan mudah. Karena biasanya perilaku ini dilakukan
masih sesekali saja, sehingga masih bisa dengan mudah untuk mengendalikannya.

b). Autisme sedang


Pada kondisi ini, anak autisme masih menunjukkan sedikit kontak mata, namun ia
tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif,
menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereotipik cenderung agak
sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.

c). Autisme berat


Pada kondisi ini, anak autisme menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak
terkendali. Biasanya anak autisme memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara
berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha
mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan
dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autisme tetap memukul-
mukulkan kepalanya. Ia baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung
tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu, anak autisme terus saja berlarian didalam rumah
sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding tanpa henti hingga larut malam, keringat
sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, ia terlihat sudah sangat kelelahan dan tak
berdaya. Tapi dia masih terus berlari sambil menangis. Sepertinya dia ingin berhenti,
tapi dia tidak mampu karena semua diluar kontrolnya. Sampai akhirnya dia terduduk
dan tertidur kelelahan. Seringkali pengklasifikasian ini disimpulkan setelah anak
didiagnosa autisme. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism R.S
( CARS ).

1. PENYEBAB ANAK AUTISME


Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya
gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang di mungkinkan dapat
menjadi penyebab timbulnya autisme. berikut:

1. Menurut Teori Psikososial


Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) autisme dianggap sebagai akibat
hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga
dikatakan, orang tua/pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan
dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.

1. Teori Biologis
 Faktor genetic: Keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko lebih
tinggi dibanding populasi keluarga normal.
 Pranatal, Natal dan Post Natal yaitu: Pendarahan pada kehamilan awal, obat-
obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, anemia.
 Neuro anatomi yaitu: Gangguan/disfungsi pada sel-sel otak selama dalam
kandugan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi,
perdarahan, atau infeksi.
 Struktur dan Biokimiawi yaitu: Kelainan pada cerebellum dengan cel-sel
Purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai
kandungan serotinin yang tinggi.
 Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan dapomin atau opioid dalam
darah.
1. Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang tinggal dekat
tambang batu bara, dsb.
2. Gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan. Menurut data yang
ada 60 % anak autistik mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna.
Dan kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan dalam
pendengaran dan penglihatan.
Beberapa yang dicurigai sebagai salah satu faktor-faktor penyebab autisme, yaitu:
1. Genetik
Menurut Proquest, (2004) Hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 1961 sampai
2003 menunjukkan adanya interaksi berbagai macam faktor genetic sebagai
penyebab utama dari gangguan autisme. Namun identitas dan jumlah gen yang
tidak stabil dapat menganggu perkembangan otak yang akhirnya menghasilkan
gangguan autisme. Dalam satu keluarga, jika anak pertama mengalami autisme
maka kemungkinan anak kedua juga mengalami autisme sekitar 10-20 %.
2. Kelainan Otak
Walaupun gangguan autisme belum ditemukan secara pasti, abnormalitas dalam
struktur otak merupakan penjelasan yang diterima secara umum. Pemeriksaan
terhadap otak menunjukkan adanya perbedaan bentuk, struktur, dan fungsi otak
pada anak autisme.

3. Lingkungan
Selama proses kehamilan dan kelahiran bayi, faktor lingkungan seperti infeksi yang
disebabkan oleh virus, ketidakseimbangan metabolisme, dan terkena bahan kimia
dapat menjadi penyebab gangguan autisme pada bayi. Ibu hamil berusia di atas 35
tahun lebih rentan melahirkan bayi dengan gangguan autisme. Obat-obatan yang
dikonsumsi ibu selama masa kehamilan, pendarahan yang terjadi antara usia
kehamilan empat sampai delapan bulan juga dapat menyebabkan bayi terlahir
autisme (Bettelheim, 1963).

4. Kondisi Medis Tertentu


Menurut Autism-Society (2004) Autisme cenderung terjadi pada individu dengan
kondisi medis tertentu, seperti Fragile-X Syndrome, Tuberus Sclerosis, Congenital
Rubella Syndrome, dan Phenylketonuria.

5. Vaksinasi
Sampai saat ini pernyataan mengenai vaksinasi sebagai penyebab gangguan
autisme masih diperdebatkan kebenarannya. Walaupun demikian, satu hal yang
pasti adalah bahwa anak memang terlahir dengan potensi untuk mengalami
gangguan autisme (autism-society, 2004).

Cohen dan Bolton (1994) mengemukakan bahwa pada anak yang menderita autism
diketemukan adanya masalah neurobiologis dengan cerebral cortex, cerebellum,
otak tengah, otak kecil, batang otak, pons, hipotalamus, hipofisis, medulla dan saraf-
saraf panca indera seperti saraf penglihatan atau saraf pendengaran. Selain itu,
beberapa penyebabnya diketahui, antara lain keracunan logam berat ketika anak
dalam kandungan, seperti timbale, merkuri, cadmium, spasma infantile, rubella
congenital, sclerosis tuberose, lipidosis serebral, dan anomaly kromossom x rapuh.
Dawson dan Castelloe (1985) mengemukakan bahwa autisme dikatakan sebagai
gangguan neurobiologis yang disertai dengan beberapa masalah,
seperti autoimunitas, gangguan pencernaan, dysbiosis pada usus, gangguan
integrasi sensori, dan ketidakseimbangan susunan asam amino. Hal ini merupakan
beberapa kondisi yang sering dijumpai.
1. KARAKTERISTIK ANAK AUTISME
Autism Syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada
ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-
gejala autism menurut Delay & Deinaker (1952) dan Marholin & Philips (1976) antara
lain:
1. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang
acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
2. Selalu diam sepanjang waktu.
3. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada
monoton, kemudian dengan suara yang aneh akan menceritakan dirinya
dengan beberapa kata kemudian diam menyendiri lagi.
4. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut dan tidak menyenangi
sekelilingnya.
5. Tidak tampak ceria.
6. Tidak peduli terhadap lingkungannya, kecuali terhadap benda yang
disukainya.
Secara umum anak autis mengalami kelainan dalam berbicara, kelainan fungsi saraf
dan intelektual, Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan
ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang:

1. Komunikasi:
 Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
 Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian
sirna,
 Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
 Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat
dimengerti orang lain
 Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
 Senang meniru atau membeo (echolalia)
 Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa
mengerti artinya
 Sebagian dari anak ini tidak berbicara ( non verbal) atau sedikit berbicara
(kurang verbal) sampai usia dewasa
 Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu
2. Interaksi sosial:
 Penyandang autistik lebih suka menyendiri
 Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan
 Tidak tertarik untuk bermain bersama teman
 Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh
3. Gangguan sensoris:
 sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
 bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
 senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda
 tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut
4. Pola bermain:
 Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya,
 Tidak suka bermain dengan anak sebayanya,
 tidak kreatif, tidak imajinatif
 tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya di
putar-putar
 senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda,
 dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan
dibawa kemana-mana
5. Perilaku:
 Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)
 Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,
mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke
pesawat TV, lari/berjalan bolak balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang
 Tidak suka pada perubahan
 Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong
6. Emosi:
 sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa
alasan
 temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan
keinginannya
 kadang suka menyerang dan merusak
 Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri
 tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain

1. LAYANAN PENDIDIKAN ANAK AUTISME


2. Discrete Trial Training (DTT) dari Lovaas
Merupakan produk dari Lovaas dkk pada Young Autistikm Project di UCLA USA,
walaupun kontroversial, namun mempunyai peran dalam pembelajaran dan hasil
yang optimal pada anak-anak penyandang autistik. Program Lovaas (Program DTT)
didasari oleh model perilaku kondisioning operant (Operant Conditioning) yang
merupakan faktor utama dari program intensive DTT. Pengertian dari Applied
Behavioral Analysis (ABA), implementasi dan evaluasi dari berbagai prinsip dan
Tehnik yang membentuk teori pembelajaran perilaku (behavioral learning), adalah
suatu hal yang penting dalam memahami teori perilaku Lovaas ini.

Teori pembelajaran perilaku (behavioral learning) didasari oleh 3 hal:

1. Perilaku secara konseptual meliputi 3 term penting yaitu antecedents/perilaku


yang lalu, perilaku, dan konsekwensi.
2. Stimulus antecendent dan konsekwensi sebelumnya akan berefek pada
reaksi perilaku yang muncul.
3. Efektifitas pengajaran berkaitan dengan kontrol terhadap antecendent dan
konsekwensi. Yaitu dengan memberikan reinforcement yang positif sebagai
kunci dalam merubah perilaku. Sehingga perilaku yang baik dapat terus
dilakukan, sedangkan perilaku buruk dihilangkan (melalui time out, hukuman,
atau dengan kata ‘tidak’). Dalam teknisnya, DTT terdiri dari 4 bagian yaitu:
– stimuli dari guru agar anak berespons

– respon anak

– konsekwensi

– berhenti sejenak,dilanjutkan dengan perintah selanjutnya

2. Intervensi LEAP (Learning Experience and Alternative Program for


preschooler and parents)
Intervensi LEAP menggabungkan Developmentally Appropriate Practice (DAP) dan
tehnik ABA dalam sebuah program inklusi dimana beberapa teori pembelajaran
yang berbeda digabungkan untuk membentuk sebuah kerangka konsep. Meskipun
metoda Ini menerima berbagai kelebihan dan kekurangan pada anak-anak
penyandang autistik, titik berat utama dari teori dan implementasi praktis
yang mendasari program ini adalah perkembangan sosial anak. Oleh sebab itu,
dalam penerapan ini teori autistik memusatkan diri pada central social
deficit. Melalui beragamnya pengaruh teoritis yang diperolehnya, model LEAP
menggunakan teknik pengajaran reinforcement dan kontrol stimulus. Prinsip
yang mendasarinya adalah :

1. Semua anak mendapat keuntungan dari lingkungan yang terpadu


2. Anak penyandang autistik semakin membaik jika intervensi berlangsung
konsisten baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat
3. Keberhasilan semakin besar jika orang tua dan guru bekerja bersama-sama
4. Anak penyandang autistik bisa saling belajar dari teman-teman sebaya
mereka
5. Intervensi haruslah terancang, sistematis, individual
6. Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dan yang normal akan mendapat
keuntungan dari kegiatan yang mencerminkan DAP. Kerangka konsep DAP
berdasarkan teori perilaku, prinsip DAP dan inklusi.
7. Floor Time:
Pendekatan Floor Time berdasarkan pada teori perkembangan interaktif
yang mengatakan bahwa perkembangan ketrampilan kognitif dalam 4 atau 5 tahun
pertama kehidupan didasarkan pada emosi dan relationship (Greenspan & Wieder
1997a). Jadi hubungan pengaruh dan interaksi merupakan komponen utama dalam
teori dan praktek model ini.

Greenspan dkk mengembangkan suatu pendekatan perkembangan terintegrasi


untuk intervensi anak yang mempunyai kesulitan besar (severe) dalam berhubungan
(relationship) dan berkomunikasi, dan tehnik intervensi interaktif yang
sistematik inilah yang disebut Floor Time. Kerangka konsep program ini
diantaranya:

 Pentingnya relationship
 enam acuan (milestone) sosial yang spesifik
 teori hipotetikal tentang autistic
4. TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related
Communication Handicapped Children)
Divisi TEACCH merupakan program nasional di North Carolina USA, yang
melayani anak penyandang autistik, dan diakui secara internasional sebagai
sistem pelayanan yang tidak terikat/bebas. Dibandingkan dengan ketiga
program yang telah dibicarakan, program TEACCH menyediakan pelayanan yang
berkesinambungan untuk individu, keluarga dan lembaga pelayanan untuk anak
penyandang autistik. Penanganan dalam program ini termasuk diagnosa,
terapi/treatment, konsultasi, kerjasama dengan masyarakat sekitar, tunjangan
hidup dan tenaga kerja, dan berbagai pelayanan lainnya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang spesifik. Para terapis dalam program TEACCH harus
memiliki pengetahuan dalam berbagai bidang termasuk, speech pathology,
lembaga kemasyarakatan, intervensi dini, pendidikan luar biasa dan
psikologi. Konsep pembelajaran dari model TEACCh berdasarkan tingkah laku,
perkembangan dan dari sudut pandang teori ekologi, yang berhubungan erat
dengan teori dasar autisme.

Anak autisme dapat dilatih melalui terapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak
antara lain:

 Terapi Wicara: Untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih
baik.
 Terapi Okupasi : untuk melatih motorik halus anak.
 Terapi Bermain : untuk melatih mengajarkan anak melalui belajar sambil
bermain.
 Terapi medikamentosa/obat-obatan (drug therapy) : untuk menenangkan
anak melalui pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang.
 Terapi melalui makan (diet therapy) : untuk mencegah/mengurangi tingkat
gangguan autisme.
 Sensory Integration therapy : untuk melatih kepekaan dan kordinasi daya
indra anak autis (pendengaran, penglihatan, perabaan)
 Auditory Integration Therapy : untuk melatih kepekaan pendengaran anak
lebih sempurna
 Biomedical treatment/therapy : untuk perbaikan dan kebugaran kondisi tubuh
agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak (dari keracunan logam berat,
efek casomorphine dan gliadorphine, allergen, dsb)
 Hydro Therapy : membantu anak autistik untuk melepaskan energi yang
berlebihan pada diri anak melalui aktifitas di air.
 Terapi Musik : untuk melatih auditori anak, menekan emosi, melatih kontak
mata dan konsentrasi.
Bentuk Layanan Pendidikan Anak Autisme
Pendidikan untuk anak autistik usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan.
Berbagai model antara lain:

1. Kelas transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autistik yang telah diterapi memerlukan layanan
khusus termasuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu atau struktur.
Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada saat
tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas
persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan
dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.

2. Program Pendidikan Inklusi


Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap memberikan
layanan bagi anak autistik. Untuk dapat membuka program ini sekolah harus
memenuhi persyaratan antara lain:

 Guru terkait telah siap menerima anak autistik


 Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk penanganan individual
 Tersedia guru pembimbing khusus dan guru pendamping.
 Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2 (dua) anak autistik.
3. Program Pendidikan Terpadu
Program Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam kasus/waktu
tertentu, anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk remedial atau layanan lain
yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas khusus bisa sebagian waktu atau
sepanjang hari tergantung kemampuan anak.

4. Sekolah Khusus Autis


Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang tidak
memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini
sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka.
Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat,
dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.

5. Program Sekolah di Rumah


Program ini diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu mengikuti
pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak autistik yang non
verbal, retardasi mental atau mengalami gangguan serius motorik dan auditorinya
dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di rumah dengan
mendatangkan guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah, orangtua dan
masyarakat.

6. Panti Rehabilitasi Autis.


Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah
dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program dipanti
rehabilitasi lebih terfokus pada pengembangan:

 Pengenalan diri
 Sensori motor dan persepsi
 Motorik kasar dan halus
 Kemampuan berbahasa dan komunikasi
 Bina diri, kemampuan sosial
 Ketrampilan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan potensinya.
1. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ANAK AUTISME
2. Pelaksanaan Identifikasi anak autisme harus mengacu pada :
3. Rujukan untuk terapi
4. Asesment, yang dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu.
5. IEP (Indivual educational Plan and Program)
6. Persetujuan Orang tua
7. Evaluasi
Untuk mengukur berhasil atau tidaknya pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan
adanya evaluasi (penilaian). Dalam pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik
evaluasi dapat dilakukan dengan cara:

 Evaluasi Proses
Evaluasi Proses ini dilakukan dengan cara seketika pada saat proses kegiatan
berlangsung dengan cara meluruskan atau membetulkan perilaku menyimpang atau
pembelajaran yang sedang berlangsung seketika itu juga. Hal ini dilakukan oleh
pembimbing dengan cara memberi reward atau demonstrasi secara visual dan
kongkrit. Di samping itu untuk mengetahui sejauh mana progres yang dicapai anak
dapat diketahui dengan cara adanya catatan khusus/buku penghubung.

 Evaluasi Bulan
Evaluasi ini bertujuan untuk memberikan laporan perkembangan atau permasalahan
yang ditemukan atau dihadapi oleh pembimbing di sekolah. Evaluasi bulanan ini
dilakukan dengan cara mendiskusikan masalah dan perkembangan anak antara
guru dan orang tua anak autistik guna mendapatkan pemecahan masalah (solusi
dan pemecahan masalah), antara lain dengan mencari penyebab dan latar belakang
munculnya masalah serta pemecahan masalah macam apa yang tepat dan cocok
untuk anak autistik yang menjadi contoh kasus. Hal ini dapat dilakukan oleh guru
dan orang tua dengan mengadakan diskusi bersama atau case conference.

 Evaluasi Catur Wulan


Evaluasi ini disebut juga dengan evaluasi program yang dimaksud sebagai tolok
ukur keberhasilan program secara menyeluruh. Apabila tujuan program pendidikan
dan pengajaran telah tercapai dan dapat dikuasai anak, maka kelanjutan program
dan kesinambungan program ditingkatkan dengan bertolak dari kemampuan akhir
yang dikuasai anak, sebaliknya apabila program belum dapat terkuasai oleh anak
maka diadakan pengulangan program (remedial) atau meninjau ulang apa yang
menyebabkan ketidak berhasilan pencapaian program.

2. Pengembangan Kurikulum
Anak autisme memiliki kemampuan yang berdeferensiasi, serta proses
perkembangan dan tingkat pencapaian programpun tidak sama antara satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu kurikulum dapat dipilih dan dikembangkan oleh guru
dengan bertitik tolak pada kebutuhan masing-masing anak berdasarkan hasil
identifikasi.

3. Ketenagaan
Ketenagaan dalam penyelenggaran pendidikan autistik meliputi beberapa
komponen yaitu :

 Tenaga kependidikan
 Tenaga non kependidikan para akademisi
 Tenaga administrasi
 Tenaga penyelenggara
 Tenaga pengelola
4. Sarana dan Prasana
Sarana disesuaikan dengan tahapan usia anak, ayitu usia pra sekolah, sekolah
dasar dan pendidikan menengah. Sarana belajar diperlukan, karena akan membantu
kelancaran proses pembelajaran dan membantu pembentukan konsep pengertian
secara kongkrit bagi anak autistik. Pola pikir anak autistik pada umumnya adalah
pola pikir kongkrit. sehingga sarana belajar mengajarnyapun juga harus kongkrit.
Beberapa anak autistik dapat berabstraksi, namun pada awalnya mereka dilatih
dengan sarana belajar yang kongkrit

5. Lingkungan
Lingkungan pada anak autisme yaitu :

 Keluarga
 Masyarat sekitar tempat pendidikan
 Masyarakat pemilik sarana integrasi dan sosialisasi bagi anak autisme
 Masyarakat secara luas
6. Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar merupakan interaksi antara siswa dan tenaga pengajar.
1. Komponen kegiatan belajar mengajar
 Anak didik
 Guru pembimbing
1. Prinsip-prinsip pendidikan dan pengajaran
 Terstruktur
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik diterapkan prinsip terstruktur, artinya
dalam pendidikan atau pemberian materi pengajaran dimulai dari bahan ajar/materi
yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut
dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan ajar yang setingkat diatasnya namun
merupakan rangkaian yang tidak terpisah dari materi sebelumnya.

Sebagai contoh, untuk mengajarkan anak mengerti dan memahami makna dari
instruksi “Ambil bola merah”. Maka materi pertama yang harus dikenalkan kepada
anak adalah konsep pengertian kata “ambil”, “bola”. Dan “merah”. Setelah anak
mengenal dan menguasai arti kata tersebut langkah selanjutnya adalah
mengaktualisasikan instruksi “Ambil bola merah” kedalam perbuatan kongkrit.
Struktur pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik meliputi :

– Struktur waktu

– Struktur ruang, dan

– Struktur kegiatan

 Terpola
Kegiatan anak autistik biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola dan terjadwal,
baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya), mulai dari bangun tidur sampai
tidur kembali. Oleh karena itu dalam pendidikannya harus dikondisikan atau
dibiasakan dengan pola yang teratur.

Namun, bagi anak dengan kemampuan kognitif yang telah berkembang, dapat
dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lingkungannya, supaya anak dapat menerima perubahan dari rutinitas yang berlaku
(menjadi lebih fleksibel). Diharapkan pada akhirnya anak lebih mudah menerima
perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptif) dan dapat
berperilaku secara wajar (sesuai dengan tujuan behavior therapi).

 Terprogram
Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan yang ingin
dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi. Prinsip ini berkaitan erat
dengan prinsip dasar sebelumnya. Sebab dalam program materi pendidikan harus
dilakukan secara bertahap dan berdasarkan pada kemampuan anak, sehingga
apabila target program pertama tersebut menjadi dasar target program yang kedua,
demikian pula selanjutnya.

 Konsisten
Dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak autistik, prinsip
konsistensi mutlak diperlukan. Artinya : apabila anak berperilaku positif memberi
respon positif terhadap susatu stimulan (rangsangan), maka guru pembimbing harus
cepat memberikan respon positif (reward/penguatan), begitu pula apabila anak
berperilaku negatif (Reniforcement) Hal tersebut juga dilakukan dalam ruang dan
waktu lain yang berbeda (maintenance) secara tetap dan tepat, dalam arti respon
yang diberikan harus sesuai dengan perilaku sebelumnya.

 Kontinyu
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Maka prinsip pendidikan dan pengajaran yang
berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi anak autistik. Kontinyu disini meliputi
kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan
pelaksanaannya. Kontinyuitas dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah,
tetapi juga harus ditindaklanjuti untuk kegiatan dirumah dan lingkungan sekitar anak.
Kesimpulannya, therapi perilaku dan pendidikan bagi anak autistik harus
dilaksanakan secara berkesinambungan, simultan dan integral (menyeluruh dan
terpadu).

1. Hambatan proses belajar mengajar dan solusinya


 Masalah Perilaku
Masalah perilaku yang sering muncul yaitu : stimulasi diri dan stereotip. Bila perilaku
tersebut muncul yang dapat kita lakukan :

 Memberikan Reinforcement.
 Tidak memberi waktu luang bagi anak untuk asyik dengan diri sendiri
 Siapkan kegiatan yang menarik dan positif
 Menciptakan situasi yang kondusif bagi anak, tidak menyakiti diri.
 Masalah Emosi :
Masalah ini menyangkut kondisi emosi yang tidak stabil, misalnya; menangis,
berteriak, tertawa tanpa sebab yang jelas, memberontak, mengamuk,
destruktif, tantrum.Cara mengatasinya :
1. Berusaha mencari dan menemukan penyebabnya
2. Berusaha menenangkan anak dengan cara tetap bersikap tenang.
3. Setelah kondisi emosinya mulai membaik, kegiatan dapat dilanjutkan.
 Masalah Perhatian (Konsentrasi)
Perhatian anak dalam belajar kadang belum dapat bertahan untuk waktu yang lama
dan masih berpindah pada obyek/kegiatan lain yang lebih menarik bagi anak. Untuk
itu maka usaha yang harus diupayakan oleh pembimbing adalah:

1. Waktu untuk belajar bagi anak ditingkatkan secara bertahap.


2. Kegiatan dibuat semenarik mungkin, dan bervariasi.
3. Istirahat sebentar kemudian kegiatan dilanjutkan kembali, dimaksudkan untuk
mengurangi kejenuhan pada anak, misal: menyanyi, bermain,
 Masalah Kesehatan
Bila kondisi kesehatan siswa kurang baik, maka kegiatan belajar mengajar tidak
dapat berjalan secara efektif, namun demikian kegiatan belajar tetap dapat
dilaksanakan, hanya saja dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi anak.

 Orang Tua
Untuk memberikan wawasan pada orang tua, perlu dibentuk Perkumpulan Orang
Tua Siswa, sebagai sarana penyebaran berbagi pengalaman sesama seperti
informasi baru dari informasi internet, buku-buku bahkan jika mungkin tatap muka
dengan tokoh yang berkaitan dalam pendidikan untuk anak autistik atau anak
dengan kebutuhan khusus.
 Masalah Sarana Belajar
Dengan menyediakan materi-materi yang mungkin diperlukan untuk kepentingan
terapi anak-anaknya misalnya :

– Textbook berbahasa Inggris dan Indonesia,

– Buku-buku pelajaran siswa,

– Kartu-kartu PECS, Compics, Flashcard, dlsb,

– Pegs, balok kayu, puzzle dan mainan edukatif lainnya.

DAFTAR SUMBER
Depdiknas. 2007. Pedoman Khusus Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Depdiknas
Dina. 2010. Makalah Anak
Autis. http://blogpoenyadina.blogspot.com/2010/12/makalah-anak-autis.html (online)
diakses tanggal 27 April 2012
Ningsih, Puja. 2010.Anak Berkebutuh Khusus. http://eprints.uny.ac.id/3023. (online)
diakses tanggal 10 Februari 2012
Sumekar, Ganda. 2009. Anak Berkebutuhan Khusus, Cara Membantu Mereka Agar
Berhasil dalam Pendidikan Inklusif. Padang : UNP Press

https://mellyhandayanicyrus.wordpress.com/2015/05/16/cara-membantu-anak-autisme-
agar-berhasil-dalam-pendidikan-inklusif/

Anda mungkin juga menyukai