Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kasus penyakit autis saat ini semakin banyak terjadi di dunia, termasuk
Indonesia. Saat ini penyakit autis sudah dapat dideteksi sejak usia dini. Meski
demikian, pengetahuan awam mengenai autis dan bagaimana menanganinya
masih belum diketahui luas. Prevalensi Autisme Syndrome (ASD) dilaporkan
mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir. Centers for Disease
Control and Preventions (CDC) dan Autism and Developmental Disabilities
Monitoring (ADDM) mengungkapkan adanya peningkatan prevalensi ASD
sebanyak 78% antara tahun 2002 dan 2008 (Blumberg et al, 2012). Prevalensi
autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,150,20%, jika angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah
penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak per tahun
(Mashabi, 2009).
Populasi penyakit autisme ini 3-4 kali lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
negara maju dibandingkan dengan negara berkembang (Yatim, 2007).
Autisme merupakan kumpulan gejala di mana terjadi penyimpangan
perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap
sekitarnya sehingga terlihat seperti hidup dalam dunianya sendiri (Yatim,
2007).
1

Penyebab autisme itu sendiri sebenarnya masih belum jelas. Namun


beberapa peneliti mengatakan penyebab terbanyak adalah kelainan genetik
seperti abnormalitas kognitif, kurangnya kemampuan berbicara dan kelainan
kromosom (Arvin, 2000). Selain itu kelainan ini dapat disebabkan karena
adanya kerusakan pada otak, yang dapat dideteksi oleh Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dan Electroencephalography (EEG) (Takagaki, 2014)
Electroencephalography (EEG) merupakan suatu teknik pemeriksaan
untuk merekam aktifitas listrik di bagian berbeda pada otak dan mengubah
informasi ini menjadi suatu pola atau gambaran baik secara digital atau
dicatat di atas kertas yang dinamakan electroencephalogram. Alat yang
merekam aktifitas listrik di otak ini dinamakan electroencephalograph (John,
2010).
Electroencephalography (EEG) diketahui dapat mendiagnosa penyakit
yang ada di otak, seperti epilepsi dan cedera kepala. Diketahui sekarang ini
EEG dapat mendeteksi penyebab dari autisme itu sendiri (Sheikhani, 2010).
Pemeriksaan EEG ini biasanya dilakukan pada anak dengan usia di bawah
6 tahun, karena pada usia ini otak masih berkembang sehingga akan lebih
mudah untuk melakukan pengobatan apabila ditemukan adanya kelainan
gelombang otak pada penderita autisme (Sheikhani, 2010). Beberapa
gambaran EEG yang dapat dideteksi pada Autisme Disorder (ASD) seperti,
adanya

aktifitas

gelombang epileptiform

yang paroksismal,

adanya

gelombang mu, adanya gelombang beta dan delta yang menonjol, dan
2

terdapat voltage gelombang yang sangat rendah. Hasil dari gambaran di atas
menunjukan adanya kerusakan di otak (Strzelcka, 2013).
Suatu studi mengatakan EEG dilakukan pada saat beristirahat, dan akan
didapatkan hasil adanya kelainan di otak bagian frontal di mana terdapat
gangguan fungsional otak seperti gangguan fungsi kognitif yang sering
terlihat pada anak dengan ASD. Adapun aktifitas gelombang alpha yang
rendah berhubungan dengan perbedaan individu dalam mengatur emosi.
Selain itu, adanya penurunan gelombang gamma yang dihubungkan dengan
penurunan kemampuan bahasa dan umum serta kemampuan intelektual. Serta
adanya penurunan aktifitas gelombang delta dan theta (Tierney, 2012).
Pemeriksaan ini memiliki kelebihan berupa pemeriksaan non-invasif
sehingga tidak memperburuk keadaan pasien. Selain memiliki kelebihan,
pemeriksaan ini mempunyai kekurangan seperti pada pasien anak diberikan
obat sedasi (khloralhidrat) sebelum rekaman dimulai untuk memudahkan
pemasangan elektroda (Bintoro, 2012). Pemeriksaan ini membutuhkan waktu
yang cukup lama selain pada saat pemeriksaan dibutuhkan waktu sekitar 1520 menit, hasil pemeriksaan harus dibacakan oleh dokter spesialis saraf
sehingga membutuhkan waktu yang lama (Sunaryo, 2007).
Dalam Islam kedudukan anak terhadap orang tua adalah sebagai qurrota
ayun (penyejuk jiwa). Anak yang taat pada Allah SWT akan membahagiakan
orang tua dunia dan akhirat. Di samping sebagai qurrota ayun anak
merupakan amanah Allah SWT kepada orang tua untuk selalu dijaga
3

kesehatannya, diberikan kasih sayang, diberikan perhatian (Ferdianata, 2013).


Sama seperti hal nya orang tua penderita autisme. Anak autis sangat
memerlukan kasih sayang dari keluarganya terutama kasih sayang dari orang
tua. Untuk itu orang tua harus selalu memperhatikan perkembangan anaknya
terutama pada anak autis yang memiliki beberapa kelemahan dalam
perkembangannya, seperti adanya gangguan interaksi sosial dan gangguan
dalam berkomunikasi (Fadhli, 2010).
Al-Ghazali juga menyatakan bahwa maksud Syariat Islam mencakup lima
hal, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Semua yang
tercakup dalam menjaga lima prinsip tersebut termasuk maslahah (Zuhroni,
2010).
Dewasa ini dunia kesehatan modern telah memanfaatkan perkembangan
teknologi untuk meningkatkan efisiensi serta efektivitas di dunia kesehatan,
salah satunya adalah EEG (Electroencephalography) (Kartika, 2013). EEG
merupakan suatu teknik pencitraan medis yang menggunakan aktivitas listrik
yang dihasilkan oleh kulit kepala dari struktur otak (Teplan, 2002) yang
digunakan untuk mendiagnosa penyakit dan gejala pada kerusakan otak, salah
satunya adalah autisme. Sehingga dapat membantu dokter dan keluarga dalam
menentukan pengobatan (Sheikani, 2010).
Dalam Islam, perintah berobat termasuk tindakan yang dianjurkan. Di
zaman Nabi telah digunakan berbagai pengobatan, sejalan dengan
perkembangan teknologi kedokteran masa itu. Nabi pernah berobat untuk

dirinya sendiri, serta pernah menyuruh keluarga dan sahabatnya agar berobat
ke dokter (Zuhroni, 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas
"Skrining Autisme Menggunakan Electroencephalography Ditinjau Dari
Kedokteran dan Islam".
1.2. Permasalahan
1.2.1

Bagaimana kriteria diagnosis autisme?

1.2.2

Bagaimana hasil dari pemeriksaan Electroencephalography terhadap


penderita autisme?

1.2.3 Bagaimanakah

pandangan

Islam

terhadap

pemeriksaan

Electroencephalography pada penderita autisme?


1.3.Tujuan
1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui, memahami dan memberikan informasi mengenai
manfaat Electroencephalography pada penderita autisme ditinjau dari
kedokteran dan Islam.

1.3.2

Tujuan Khusus
1.3.2.1 Dapat menjelaskan kriteria diagnosis autisme.
1.3.2.2 Dapat menjelaskan hasil pemeriksaan
Electroencephalography terhadap penderita autisme .
1.3.2.3 Dapat menjelaskan pandangan Islam terhadap pemeriksaan
Electroencephalography pada penderita autisme .
5

1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Dapat memahami mengenai manfaat Electroencephalography pada
penderita autisme ditinjau dari segi kedokteran dan Islam serta
meningkatkan keterampilan menulis dan berfikir sistematis untuk
memecahkan permasalahan ilmiah melalui analisis yang tepat
1.4.2. Bagi Universitas YARSI
Sebagai referensi civitas akademika dalam penyusunan karya ilmiah
dan penelitian selanjutnya serta menjadi masukan bagi civitas akademika
mengenai kegunaan Electroencephalography pada autisme ditinjau dari
segi kedokteran dan Islam.
1.4.3. Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan bagi masyarakat tentang pemeriksaan
Electroencephalography pada penderita autisme sebagai salah satu
pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai penyebab dari autisme dan
mendeteksi dini autisme pada anak yang ditinjau dari kedokteran dan
Islam dan semoga bermanfaat bagi masyarakat luas sebagai tambahan
pengetahuan di bidang kesehatan serta diharapkan dapat berguna sebagai
bahan

masukan

dan

pertimbangan

dalam

pengembangan

ilmu

pengetahuan.

BAB 2
SKRINING AUTISME MENGGUNAKAN
ELECTROENCEPHALOGRAPHY DARI KEDOKTERAN
2.1 Penyakit Autisme
2.1.1 Definisi Penyakit Autisme
Autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943 yaitu
kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif,
minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara sosial, keinginan
obsesif untuk mempertahankan keteraturan di lingkungannya (Wulandari, 2012).
Menurut Ginanjar (2008), autisme adalah gangguan perkembangan yang
kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga
mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, kognitif, perilaku,
kemampuan sosialisasi, sensoris, belajar dan gejala sudah mulai tampak sejak
berusia dibawah 3 tahun (Wulandari, 2012).
2.1.2 Epidemiologi Penyakit Autisme
Autisme diperkirakan meningkat pesat sejak tahun 1960-an, dalam tingkat
prevalensi Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara lima sampai 72 kasus per
10.000 anak. Perkiraan ini dipengaruhi oleh skrining, dan ukuran sampel, dengan
ukuran sampel yang kecil sehingga perkiraan tinggi. Namun, dalam studi lain
melaporkan prevalensi dari para peneliti terdapat 116 kasus per 10.000 anak untuk
semua gangguan spektrum autisme. Mereka menggunakan sampel kecil anak-anak

di South Thames, Inggris, dan mengandalkan skrining dan kasus-konfirmasi


metode, dengan definisi yang luas dari gangguan ini. Ketika definisi autisme
dipersempit, mereka melaporkan prevalensi 25 kasus per 10.000 (Levy, 2009).
Prevalensi autisme telah terus meningkat sejak pertama studi epidemiologi,
yang menunjukkan bahwa 4 1 dari setiap 10.000 orang di Inggris memiliki
autisme. Namun, prevalensi terus meningkat dalam dua dekade terakhir, terutama
pada individu tanpa cacat intelektual, meskipun penggunaan konsisten DSM-IV.
Peningkatan risiko faktor yang tidak dapat dikesampingkan. Saat ini, prevalensi di
seluruh dunia rata-rata autisme adalah 0.62-0.70%,

namun dari hasil survey

terbaru perkiraan prevalensi mencapai 1-2%. Studi awal menunjukkan bahwa


autisme 4-5 kali lebih laki-laki daripada perempuan (Cohen, 2014). Studi lain
mengatakan dari hasil survey beberapa negara didapatkan dilihat pada grafik
dibawah ini (Gambar 2.1).

Gambar 2.1: Epidemiologi Autisme


Dikutip dari McGowan (2012)

2.1.3 Etiologi Penyakit Autisme


Menurut Lumbantobing (2001), penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh :

Faktor Keluarga dan Psikodinamik

Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua,


tetapi

penelitian

terakhir

tidak

menemukan

adanya

perbedaan

dalam

membesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yang
mengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadap
stressor

psikososial

seperti

lahirnya

saudara

kandung

atau

pindah

tempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.

Kelainan Organobiologi neurologi

Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus,


ensefalitis,

meningitis,

fenilketonuria,

tuberous

sclerosis,

epilepsi

dan fragile x syndrome. Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwa


autisme akibat berhentinya perkembangan dari serebelum, serebrum dan
sistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis serebelum lobus VI
dan

VII.

Pada

sekitar

10-30%

anak

dengan

autisme

dapat diidentifikasi faktor penyebabnya.

Faktor Genetik

Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung juga


menderita

gangguan

autisme.

Pada

kembar

monozigot

angka

tersebut

mencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0%.


9

Faktor Imunologi

Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus,


dimana

limfosit

fetus

bereaksi

terhadap

antibodi

ibu,

sehingga

kemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan saraf embrional selama masa


gestasi.

Faktor Perinatal

Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres


syndrome, anemia neonatus

Penemuan Biokimia

Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peningkatan kadar serotonin


plasma. Selain itu terdapat peningkatan asam homovanilik pada cairan
liquor cerebrospinal.
2.1.5 Diagnosis Penyakit Autisme
ICD-10 International Classification off Diseases 1993 dan DSM-IV Diagnostic
and Statistical Manual 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme infantil
yang isinya saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah harus ada
sedikitnya 6 gejala dari gangguan (1), (2), dan (3) seperti dibawah ini, dengana
minimal 2 gejala dari gangguan (1) dan masing-masing 1 gejala dari gangguan (2)
dan (3) (Fadhli, 2010).

10

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus
ada 2 gejala dari gejala di bawah ini:
Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai seperti kontak
mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.
Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.
Tidak ada empati dan tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal
balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari
gejala di bawah ini:
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak
tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
Bila anak dapat berbicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk
berkomunikasi.
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.
(3) Adanya suatu pola yang mempertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku,
minat, dan kegiatan. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini:

11

Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan.
Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada
gunanya.
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang, seringkali sangat
terpukau pada bagian-bagian benda.
Autisme dapat disebabkan karena adanya kerusakan otak. Adapun cara lain
untuk menegakkan diagnosis autisme selain melihat gejala-gejala autisme pada
anak tersebut. Autisme dapat diluhat dari hasil pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dan Electroencephalography (EEG). (Takagaki, 2014)
2.2 Electroencephalography (EEG)
2.2.1 Definisi Electroencephalography (EEG)
Electroencephalography adalah suatu teknik pencitraan medis yang
menggunakan aktivitas listrik yang dihasilkan oleh kulit kepala dari struktur otak.
Electroencephalogram (EEG) (Gambar 2.2) didefinisikan sebagai aktivitas listrik
yang direkam dari permukaan kulit kepala dan dibantu oleh elektroda logam dan
media konduktif sebagai alat menangkap sinyal listrik otak (Teplan, 2002).

12

Gambar 2.2: Electroencephalography


Dikutip dari John (2013)
Untuk intepretasi hasil EEG akan menunjukkan perubahan-perubahan
gelombang otak. Berikut macam-macam gelombang otak (Niedemeyer, 2004) :
Tabel 2.1: Tipe Gelombang Otak

Tipe
Gelombang

Delta

Frekuensi
(Hz)
>4 Hz

Theta

4-7 Hz

Alpha

8-12 Hz

Beta

12-30 Hz

Lokasi

Normal

Patologis

- Frontal(Dewasa)
- Posterior (Anak)

- Dewasa saat
tidur
- Bayi

-Lesi
Subkortikal
- Lesi Diffus
- Hidrosefalus

Posterior

Frontal

- Anak-anak
- Mengantuk/
Bergairah

-Lesi
Fokal
Subkortikal
- Ensefalopati
metabolic
- Hidrosefalus

Relaksasi
Mata menutup

Koma

Aktivitas
Tegang
Konsentrasi

Penggunaan
benzodiazepine

13

Penggunaan short Penurunan


term memory
kognitif
Gamma

30->100 Hz

Korteks
Somatosensori

Dikutip dari Niedemeyer (2004)

Gambar 2.3: Macam-Macam Gelombang Otak Normal


Dikutip dari Prasatana (2012)
Gambaran EEG yang dihasilkan akan dinyatakan normal

bila

tak

ditemukan gelombang abnormal. Pada kondisi terjaga (awake) dan menutup


mata maka irama background akan muncul di regio posterior berbentuk sinus
berfrekuensi alfa dan gelombang beta yang maksimum di fronto sentral. Pada
saat tidur maka akan nampak beberapa gelombang petanda stadium, seperti
(Bintoro, 2012):
stadium 1 : background menghilang, frekuensi gelombang melambat, artefak otot
mulai berkurang, muncul POST, K komplek dan vertex
stadium 2 : gelombang sleep spindle.
14

stadium 3 : gelombang delta mulai muncul


stadium 4 : gelombang delta dominan

Gambar 2.4: Gelombang otak abnormal, spike wave (a) dan sharp wave (b)
Dikutip dari Hamer (2000)

2.2.2 Indikasi Electroencephalography (EEG)


Menurut Niedermeyer (2004) pemeriksaan EEG dapat digunakan pada beberapa
keadaan, sebagai berikut:

Membedakan serangan epilepsi dari jenis lainnya, seperti kejang


psikogenik non-epilepsi, sinkop (pingsan), gangguan gerakan sub-kortikal
dan migren.

Membedakan ensefalopati organik atau mengigau dari sindrom psikiatris


primer seperti katatonia.

Berperan sebagai pemeriksaan tambahan kematian otak.

Menetapkan prognosis dalam kasus tertentu, pada pasien dengan koma


15

Menentukan efektivitas pengobatan epilepsi.

Untuk memantau kerusakan otak.

2.2.3 Prosedur Pemeriksaaan Electroencephalography


Adapun beberapa persiapan yang harus diperhatikan pasien sebelum
melakukan pemeriksaan EEG, diantaranya (Mayo, 2009):
1.

Pasien tidak dalam keadaan batuk, pilek atau demam.

2.

Berhenti meminum obat tertentu (obat penenang).

3.

Hindari makanan yang mengandung kafein ( seperti kopi, teh, soda, coklat)
sedikitnya 8 jam sebelum tes.

4.

Hindari puasa malam sebelum prosedur, makanlah dalam porsi kecil


sebelum
test, sebab gula darah rendah dapat mempengaruhi hasil EEG.

5.

Rambut harus bersih, bebas dari minyak rambut. hair spray, gel, conditioner
atau cairan yang mengandung obat kulit (atau sebaiknya keramas terlebih
dahulu).

6.

Tidur malam yang cukup.

7.

Tidak perlu persiapan puasa.

8.

Jelaskan prosedur tindakan pada klien.

9.

Inform concent.

16

Berikut adalah prosedur yang akan dilakukan saat pemeriksaan EEG


(Bonamigo, 2011):
A.

Preinteraksi
Jelaskan tujuan pemeriksaan pada klien

B.

Interaksi
1. Cuci tangan.
2. Memakai handscoen.
3. Pastikan pasien sudah keramas sebelum pemeriksaan EEG.
4. Sebelum pemeriksaan jangan menggunakan minyak rambut,dan make
up.
5. Untuk pemasangan elektroda yang benar,ukur kepala dengan teknik 1020 sistem. Posisi ditentukan sebagai berikut: poin Referensi yang nasion,
yang terletak di bagian atas hidung, sejajar dengan mata, dan inion
merupakan benjolan tulang di dasar tengkorak di garis tengah di bagian
belakang kepala. Dari titik-titik ini, batas-batas tengkorak diukur pada
bidang transverse dan median. Lokasi elektroda ditentukan dengan
membagi perimeter ini ke 10% dan 20% interval. Tiga elektroda lainnya
ditempatkan di setiap sisi berjarak sama dari titik sebelahnya, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 (Malmivuo, 1995).

17

Gambar 2.5: EEG dengan Teknik 10-20 Sistem


Dikutip dari Malmivuo (1995)
6. Setelah diukur berikan tanda dengan pensil khusus EEG disetiap titik
pelekatan elektroda.
7. Bersihkan tiap titik pelekatan elektroda dengan abrasive gel.
8. Letakan abrasive gel ke cutton bud kemudian gosok perlahan-lahan di
titik yang akan diletakan elektrodanya.
9. Elektroda pertama yang dipasang sebaiknya elektroda Referen (diletakan
di antara CZ dan FCZ),dan Ground (diletakan di FPZ).
10. Rekatkan elektroda ke kepala.
11. Perhatikan setelah pemasangan elektroda akan muncul nilai impendance
dilayar monitor.
12. Bila angka dibawah 5 kohm (mesin EEG berwarna hijau dan berwarna
merah jika lebih dari 5),berarti pemasangan sudah baik.
13. Pada saat perekaman, biasanya pasien dalam kondisi terlentang, ganjal
18

kepala pasien dengan bantal, pergunakan bantal yang nyaman tapi tidak
mengganggu elektroda yang terpasang. Penulis menyarankan gunakan
bantal guling kecil (bantal bayi).
14. Tanyakan ke pasien apakah posisi kepalanya sudah nyaman dan tidak
tegang. Beritahukan juga ke pasien agak tidak terlalu sering berkedip
dan bergerak. Renggangkan rahang pasien, maksudnya antara gigi atas
dan gigi bawah jangan menempel. Semua ini dimaksudkan agar
mengurangi artefak yang timbul dari pasien sendiri.
15. Setelah semua prosedur diatas dilakukan, lihatlah ke monitor, apakah
gelombang EEG sudah baik (tidak banyak artefak), Bila sudah
lakukanlah perekaman.
16. Dalam awal perekaman perintahkanlah ke pasien agar membuka dan
menutup mata, lakukanlah beberapa kali. Jangan lupa memberikan
marker pada saat melakukan setiap perintah yang kita minta. Biasanya
pada mesin EEG sudah terdapat template marker seperti eye open, eye
close.
17. Aktivitas pasien harus selalu dipantau, misalkan saat pasien bergerak
atau batuk, berikanlah tanda. Ini memudahkan dokter dalam membaca
hasil rekaman. Saat ini teknologi EEG sudah berkembang, selain
menggunakan marker untuk menandai setiap aktivitas pasien ada juga
EEG dengan fasilitas video recording, sehingga saat hasil EEG dibaca,
dokter pembaca dapat melihat langsung aktivitas pasien selama
perekaman bersamaan dengan gelombang EEG.
19

18. Untuk jenis mesin EEG lama, operator harus merubah montage tiap
beberapa menit, Biasanya 2 sampai 3 menit perekaman operator harus
merubah montage , dari montage I sampai VIII
19. Di mesin EEG terbaru operator sudah tidak perlu lagi merubah montage,
dikarenakan pada saat merekam semua montage sudah direkam oleh
mesin EEG.

2.3 Analisa Pemeriksaan Electroencephalography (EEG) Pada Anak Autisme


Penyebab autisme itu sendiri sebenarnya masih belum jelas. Namun
beberapa peneliti mengatakan penyebab terbanyak adalah kelainan genetik seperti
abnormalitas kognitif, kurangnya kemampuan berbicara dan kelainan kromosom
(Arvin, 2000). Selain itu autisme dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada
otak, dimana kerusakan otak dapat menimbulkan kejadian epilepsi. Sehingga
autisme dengan epilepsi mempunyai kaitan yang erat. Kehadiran epilepsi di
Autism Spectrum Disorder (ASD) telah dikenal sejak Kanner pertama kali
melaporkan kasus tersebut pada tahun 1943. Dalam beberapa tahun terakhir telah
diteliti bahwa adanya peran epilepsi dalam terjadinya gangguan autisme. Kelainan
ini dapat dideteksi oleh Electroencephalography (EEG) (Strzelcka, 2013).
Epilepsi terjadi puncaknya pada awal masa kanak-kanak dan dewasa
muda, dan epilepsi yang terjadi pada anak dapat menyebabkan kondisi autisme,
dimana autism terjadi pada 46% anak dengan epilepsi. Insiden ditemukannya
abnormalitas paroksismal EEG pada autisme lebih tinggi dibandingkan pada
epilepsi. Sebuah studi melaporkan hasil penelitian terhadap 1.014 anak-anak
20

dengan ASD didapatkan 85% dari anak-anak tersebut memiliki hasil EEG
abnormal, dengan insiden tertinggi pada anak dengan ketidakmampuan intelektual
(Jeste, 2011).
Prevalensi epilepsi pada kasus autisme jauh lebih tinggi daripada populasi
normal. Ada juga peningkatan prevalensi aktivitas yang berpotensi epileptogenik
yang abnormal pada anak-anak dengan gangguan spektrum autistik. Sekitar satu
dari empat anak autisme mengalami kejang saat pubertas (Anand, 2004).
Electroencephalography adalah suatu teknik pencitraan medis yang
menggunakan aktivitas listrik yang dihasilkan oleh kulit kepala dari struktur otak.
Electroencephalogram (EEG) didefinisikan sebagai aktivitas listrik yang direkam
dari permukaan kulit kepala dan dibantu oleh elektroda logam dan media
konduktif sebagai alat menangkap sinyal listrik otak (Teplan, 2002).
Electroencephalography merupakan suatu teknik pemeriksaan non-invasif yang
digunakan untuk mendiagnosa penyakit dan gejala pada kerusakan otak, salah
satunya adalah autisme (Sheikani, 2010).
Pemeriksaan Electroencephalography dilakukan untuk menegakkan
diagnosis apabila ada kecurigaan adanya epilepsi pada penderita autisme
(Pusponegoro, 2006). Suatu studi mengatakan bahwa

EEG untuk anak-anak

dengan autisme tidak menjadi tolak ukur untuk mendiagnosis penyakit tersebut.
EEG belum dianjurkan dalam parameter praktek untuk autisme, baik oleh dokter
anak maupun oleh American Psychiatric Association, kecuali ada bukti klinis atau
kejang regresi atau tinggi indeks kecurigaan epilepsi (Gabis, 2005).

21

Adapun hasil rekaman EEG yang bergantung pada beberapa kondisi


yaitu usia pasien harus sangat diperhatikan karena terdapat perbedaan

pola

gelombang antara neonatus, bayi, anak dan dewasa, selain itu kesadaran pasien
pun perlu dilihat sebab gelombang EEG yang muncul saat bangun (awake)
tidak sama dengan saat tidur, pemberian jenis obat tertentu memberi efek
terhadap gelombang EEG (Bintoro, 2012).
2.3.1 Hasil EEG Pada Autisme
Menurut Strzelcka (2013) beberapa gambaran EEG yang dapat dideteksi
pada Autisme Disorder (ASD) seperti adanya aktivitas gelombang epileptiform
yang paroksismal. Aktivitas ini mempengaruhi sekitar 35-40 persen hasil dari
EEG pada penderita autisme. Aktivitas gelombang ini mempengaruhi fungsi otak
pada lobus temporal kiri di mana akan terlihat adanya gangguan berbicara dan
bahasa pada penderita.
Selanjutnya ditandai dengan adanya gelombang mu. Gelombang ini secara
khas dijumpai di daerah sentral di dekat area motorik, sehingga akan terlihat
adanya kelainan motorik pada penderita. Adanya penonjolan gelombang beta
tinggi yang dapat diamati dalam hasil EEG penderita autisme. Gambaran ini
ditandai dengan mudah tersulut perubahan suasana hati atau marah. Hal ini
dikaitkan dengan hipersensitivitas sensorik pada daerah sensorik otak, dapat juga
dikaitkan dengan gangguan pada otak bagian frontal.
Gambaran

yang

terlihat

selanjutnya

adalah

penonjolan

aktivitas

gelombang delta yang mempengaruhi kondisi penderita, diantaranya perilaku


22

impulsive, hiperaktif, dan kurangnya perhatian. Kemudian adanya voltage


gelombang yang sangat rendah diidentifikasi dalam ensefalopati menyebar.
Menurut Duffy (2012) gambaran EEG pada anak-anak dengan ASD
menunjukkan adanya penurunan gelombang delta dan theta setelah diberikan
stimulasi visual. Selain itu adanya koherensi yang lebih rendah pada daerah
frontal, adanya peningkatan koherensi gelombang gamma yang melibatkan lobus
temporal.
2.3.2 Kegunaan EEG Pada Autisme
Gambaran-gambaran EEG diatas dapat membantu kita memahami tentang
bagaimana gen dapat mempengaruhi otak, kombinasi skor risiko genetik dan
gambaran EEG otak dapat menjadi bagian dari klasifikasi masa depan gangguan
kejiwaan dan ASD.
EEG sangat penting untuk memahami ASD dalam menyelidiki
konektivitas fungsional pada bayi berisiko tinggi untuk ASD dalam rangka untuk
mengevaluasi sebagai endophenotype potensial atau biomarker dari ASD (Righi,
2014). EEG digunakan terutama untuk meneliti epilepsi pada autisme yang
penyebabnya adalah kelainan otak. EEG biasa digunakan dalam menentukan
diagnosis penyakit epilepsi dengan mengidentifikasi setiap keabnormalan pada
otak seperti lesi yang memicu serangan epilepsi (Niedermeyer, 2004). Sehingga
dengan dilakukannya pemeriksaan electroencephalography ini dokter dapat
melakukan intervensi bila ditemukan adanya epilepsi. Tujuan dari tatalaksana
epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan
23

tercapainya kualitas hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan


perjalanan penyakit dan diabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Tatalaksana pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologis dan non-farmakologis.
Terapi

farmakologis

dapat

berupa

pemberian

OAE

seperti

phenytoin,

carbamazepine, phenobarbital, dan lain-lain. Sedangkan terapi non-farmakologis


berupa stimulasi N.Vagus, deep brain stimulation, diet ketogenic, dan intervensi
psikologi (Kusumawati, 2014).
Adapun beberapa keuntungan dalam menggunakan EEG, yaitu untuk
mempelajari fungsi otak pada gangguan perkembangan seperti ASD.
Dibandingkan dengan MRI, EEG dapat lebih mudah digunakan di berbagai
kelompok usia dan mudah untuk mempelajari

perkembangan kemampuan

seperti fisiologi otak, memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap gerakan,
memiliki resolusi temporal yang tinggi, pemeriksaan ini tersedia untuk klinis,
dan dapat digunakan untuk mengumpulkan kasus tindakan berulang. Elemen ini
sangat menjanjikan untuk mempelajari pasien yang sangat terganggu dengan
penyakitnya atau pasien muda seperti anak-anak yang mungkin tidak dapat
melakukan tugas-tugas secara akurat karena adanya gangguan kognitif, fisik, atau
perkembangan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mempelajari gejala
abnormal pada ASD pada anak usia dini (Wang et al, 2013).

24

BAB 3
SKRINING AUTISME MENGGUNAKAN ELECTROENCEPHALOGRAPHY
MENURUT ISLAM
3.1. Tinjauan Islam Terhadap Anak Autis
Autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943 yaitu
kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif,
minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara sosial, serta
keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di lingkungannya
(Wulandari, 2012).
Penderita autisme diperkirakan meningkat pesat sejak tahun 1960-an, dalam
tingkat prevalensi Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara lima sampai 72
kasus per 10.000 anak. Perkiraan ini dipengaruhi oleh skrining, dan ukuran
sampel, dengan ukuran sampel yang kecil sehingga perkiraan tinggi. Namun,
dalam studi lain melaporkan prevalensi dari para peneliti terdapat 116 kasus per
10.000 anak untuk semua gangguan spektrum autisme. Mereka menggunakan
sampel kecil anak-anak di South Thames, Inggris, dan mengandalkan skrining dan
kasus-konfirmasi metode, dengan definisi yang luas dari gangguan ini. Ketika
definisi autisme dipersempit, mereka melaporkan prevalensi 25 kasus per 10.000
(Levy, 2009).
Autisme dapat dipengaruhi oleh faktor keluarga dan psikodinamik. Diduga
pola asuh orang tua kepada anak cukup berpengaruh pada anak autisme. Adanya
kelainan organobiologi neurologi yang berhubungan dengan lesi neurologi,

25

rubella, meningitis, dan fenilketonuria. Selain itu faktor genetik ikut


mempengaruhi penyebab autisme (Lumbantobing, 2001).
Kedudukan anak terhadap orang tua salah satunya adalah sebagai qurrota
ayun (penyejuk jiwa). Menurut Ibnu Abbas qurrota ayun adalah anak yang taat
pada Allah SWT sehingga dapat membahagiakan orang tua di dunia dan akhirat.
Di samping sebagai qurrota ayun anak merupakan amanah Allah SWT kepada
orang tua untuk selalu dijaga kesehatannya, diberikan kasih sayang, diberikan
perhatian (Ferdianata, 2013). Sebagaimana Allah SWT berfirman:

Artinya: Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan


keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah Kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al-Furqan (25):74).

Anak merupakan amanah Allah SWT untuk dijaga dan dirawat dengan kasih
sayang. Salah satunya dengan cara menjaga kesehatan anak. Kesehatan sangat
penting untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu Allah SWT
mewajibkan manusia untuk selalu menjaga kesehatannya baik kesehatan jasmani
maupun kesehatan rohani. Untuk itu orang tua harus selalu memperhatikan
kesehatan anaknya jangan sampai menelantarakan keturunannya (Nurhikmah,
2013).
Penderita autisme tentunya mempunyai kelemahan dan kelebihan dalam
tubuh dan kesehariannya. Kelemahan yang dapat dilihat dari anak penderita autis
adalah adanya gangguan interaksi sosial, di mana anak tidak mampu menjalin
interaksi sosial yang cukup memadai seperti kontak mata sangat kurang, ekspresi
26

muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju. Selain itu adanya gangguan dalam
berkomunikasi, seperti perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak
berkembang, anak sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
(Fadhli, 2010).
Di samping memiliki kelemahan, anak autis juga memiliki suatu kelebihan,
yaitu visual yang kuat. Anak autis akan lebih mudah mengerti sesuatu dari gambar
dibandingkan dengan percakapan. Kemampuan visual yang tinggi akan
memudahkan anak untuk berkomunikasi dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan (Albihar, 2011).
Apabila setiap manusia menderita suatu penyakit baik itu penyakit yang
ringan maupun yang berat itu semua adalah ujian dari Allah. Sama hal nya dalam
memiliki, membesarkan serta mendidik anak penderita autis merupakan ujian dari
Allah bagi orang tua. Untuk menghadapi ujian dari Allah orang tua harus
memiliki kesabaran yang tinggi, karena hanya dengan bersabar semuanya itu akan
dapat diatasi. Sehingga anak penderita autis dapat tumbuh menjadi pribadi yang
mandiri dalam menjalani kehidupannya (Amran, 2012).
Penderitaan tidak hanya dirasakan oleh manusia, Nabi Muhammad SAW
pun pernah mendapatkan cobaan dari Allah SWT dalam peperangan Uhud
Rasulullah kehilangan pamannya yang dicintainya Hamzah bin Abdul Muthalib
(Amran, 2012).
Apabila mereka sabar dalam menahan derita ujian, maka Allah akan
membalasnya dengan kebahagiaan kelak (Amran, 2012).

27

Sebagaimana Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S. AlBaqarah (2):155).

Pada ayat lain Allah berfirman:

Artinya: Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Q.S. Al-Mulk (67):1-2).

Allah SWT akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kebaikan dan


keburukan. Dia menguji manusia berupa kesehatan, agar mereka bersyukur dan
mengetahui keutamaan Allah

SWT serta kebaikan-Nya kepada mereka.

Kemudian Allah SWT juga akan menguji manusia dengan keburukan sakit dan
miskin, agar mereka bersabar dan berdoa kepada-Nya (Zuhroni, 2010).
Allah SWT berfirman:

28

Artinya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami
memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah pe nolong Kami (Q.S. Al-Baqarah (2):286).

Pada ayat lain Allah berfirman:

Artinya: Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar (Q.S. Al-Anfaal (8):46).

Berdasarkan kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah SWT


tidak akan memberikan cobaan pada seseorang di luar kemampuannya. Oleh
karena itu, sebagai manusia hendaklah selalu bersabar dalam menghadapi cobaan.
Seperti cobaan yang diberikan Allah kepada orang tua penderita autis. Dalam
mendidik, merawat dan membesarkan

anak autis orang tua harus memiliki

kesabaran yang tinggi, karena hanya dengan sikap sabar dan kasih sayang dari
orang tua kelak anak akan mengalami perubahan sikap dan menjadi generasi
penerus bangsa yang baik.

29

3.2. Pengobatan Bagi Anak Penderita Autis Menurut Islam


Agama Islam mengajarkan konsep maslahah yang secara bahasa berarti
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Imam al-Ghazali
mengemukakan definisi maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Kemashlahatan
yang ingin dituju dan diciptakan dalam syariat Islam meliputi lima pemeliharaan
yang paling mendesak (al-Kulliyyat al-Khams), yang disebut al-Dharuriyyat alKhams (Zuhroni, 2010).
Dharuriyyah adalah sesuatu yang harus dibangun/ditegakkan dalam
rangka menciptakan kemashlahatan agama dan dunia, jika tidak ada, maka
bangunan kemashlahatan dunia tidak tercipta secara stabil, justru akan terjadi
kerusakan atau kehancuran atau mengancam kehidupan, di sisi lain ketiadaannya
akan menjadikannya kehilangan kenikmatan dan keselamatan serta akan kembali
mendapatkan kerugian yang nyata (Zuhroni, 2010).
Al-Ghazali juga menyatakan bahwa maksud Syariat Islam mencakup lima
hal, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Semua yang tercakup
dalam menjaga lima prinsip tersebut termasuk maslahah, dan semua hal yang
menjadikannya kehilangan atau lepasnya lima hal tersebut adalah mafsadah
(Zuhroni, 2010).
Dalam Al-Quran sangat banyak ayat yang mengharuskan lima hal tersebut,
antara lain tercakup dalam ayat Al-Quran:

30

Artinya: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak
diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu(sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan
kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim,kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka
hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah.Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu ingat ( Q.S. Al-Anam (6): 151-152).

Dilihat dari segi kepentingannya, cara untuk memelihara lima kepentingan


tersebut dibagi atas tiga peringkat, yaitu:
1. Al-Dlaruriyyah (kebutuhan primer) adalah segala sesuatu yang tidak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan keagamaan dan kehidupan manusia.
2. Hajjiyah (kebutuhan sekunder) yaitu sesuatu yang dibutuhkan manusia
untuk menghindari kesempitan dan menolak kesulitan.
31

3. Tahsiniyyah (kebutuhan tertier) adalah kebutuhan yang menunjang


peningkatan martabat seorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan
(Zuhroni, 2010).
Imam al-Syathibi menyebutkan lima kemashlahatan tersebut meliputi:
1. Hifzh Al-Nafs (Memelihara Jiwa)
Memelihara jiwa merupakan sarana utama dan parameter kemukalafan
seseorang. Untuk menjaga eksistensi kehidupannya maka sianjurkan untuk
selalu menjaga keeksistensiannya dan memenuhi hak-haknya, di antaranya
dianjurkan menikah dan berketurunan. Selain itu orang tua wajib menjaga
amanat yang telah diberikan oleh Allah berupa anak dengan cara
memberikannya kasih sayang dan perhatian (Zuhroni, 2010). Mengenai hal ini
dapat dijumpai dalam firman Allah SWT:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah


dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui (Q.S. Al-Anfal (8):27).
2. Hifzh Al-Aql (Memelihara Akal)
Islam sangat menekankan pemeliharaan akal. Akal diposisikan sebagai
sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan insani. Manusia dimuliakan dari
makhluk lain karena eksistensi akalnya (Zuhroni,2010). Oleh sebab itu pula,
manusia diberi mandat menjadi khalifah dan memikul amanat, seperti
dinyatakan dalam firman Allah SWT:

32

Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,


bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia (Q.S. Al-Ahzab (33) : 72).
Untuk menjaga jiwa (hifz al-nafs), maka dianjurkan untuk selalu menjaga
eksistensinya di antaranya dengan melakukan pengobatan ketika sakit. Bagi
seorang anak yang sedang sakit, dianjurkan untuk segera berobat. Hal ini untuk
mencegah komplikasi yang dapat membahayakan anak tersebut. Selain itu, anak
yang sedang sakit tentunya akan terganggu aktifitasnya. Dengan berobat, maka
kehidupan anak tersebut akan terjaga. Memelihara kehidupan ini sejalan dengan
tujuan kedokteran dan ilmu kesehatan, yaitu untuk mempertahankan dan
memperbaiki kualitas hidup insani (Zuhroni, 2010).
Akal merupakan hal paling penting dalam pandangan Islam. Oleh karena
itu Allah SWT selalu memuji orang yang berakal. Hal ini dapat dilihat pada
firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya


malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
33

bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran


Allah) bagi kaum yang memikirkan (Q.S. Al-Baqarah (2) : 164).

Ayat-ayat di atas telah menjelaskan bahwa dengan hanya memelihara jiwa


saja belum cukup. Berdasarkan ayat 164 dalam hal ini anak-anak penderita
autis tidak hanya diberikan upaya pengobatan dalam hal meningkatkan
kualitas hidupnya dengan memelihara jiwa tetapi juga pengobatan yang
dimaksudkan agar dapat meningkatkan kualitas dalam memelihara akalnya.

3. Hifzh Al-Nasl (Memelihara Keturunan)


Islam juga sangat menekankan keberlangsungan eksistensi kehidupan
manusia. Adapun cara untuk menjaga eksistensi kehidupan manusia, yaitu
memiliki keturunan dengan cara yang dibenarkan syarak agar manusia tidak
punah. Orang tua dibebani tugas mendidik anak dan menjalin hubungan kasih
sayang keluarga, serta menafkahi mereka demi menciptakan generasi yang
baik dan sehat. Memelihara keturunan disini, antara lain, dengan upaya
memprogram lahirnya generasi yang sehat dan baik melalui lembaga
pernikahan, menjauhkan diri dari pendirian atau tindakan hidup salibat,
mengaharamkan pembunuhan terhadap anak atau aborsi, menjaga kemurnian
nasab, menjauhkan perzinahan serta seluruh faktor yang dapat menghantarkan
terjadinya perzinahan, serta perilaku seksual yang menyimpang (Zuhroni,
2010).
Dalam memelihara keturunan (hifzh al-Nasl), orang tua harus selalu
menjaga kesehatan anak dan memenuhi kebutuhannya. Merawat anak autis
34

harus dilakukan dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketekunan agar anak
dapat tumbuh seperti anak normal lainnya. Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh orang tua untuk merawat anak autis seperti berbicara perlahan,
membacakan buku dongeng, memberikan pujian dan penghargaan pada anak
setelah melakukan sesuatu (Powers, 1989).
Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allh daripada
Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan

4. Hifzh Al-Din (Memelihara Agama)


Memelihara agama (hifzh al-din) adalah pengamalan ibadah dalam arti
luas, mencakup bidang pengalaman terhdapa perintah-perintah agama sebagai
kewaiban individual yang terkait edngan ibadah maupun akidah. Perawatan
klinis termasuk bagian dari ibadah tersebut, sebab, dengan kondisi kesehatan
yang baik manusia mempunyai energi untuk dapat menunaikan kewajiban
keagamaannya.
Ibadah dilakukan secraa phisik (jasadiyyah) dan psikis (ruhiyyah), di
samping sebagian dalam bentuk materi (maliyyah). Bentuk ibadah yang
bersifat phisik antara lain, shalat, puasa, dan haji. Tubuh yang lemah akan
menjadikan menghadapi kesulitan. Kesehatan mental dan akidah sangat
diperlukan untuk memilah, memilih, dan mengethaui akidah yang
menyimpang. Agama hanya diperlukan bagi orang yang berakal, tidak ada
agama bagi yang tidak berakal. Karena itu, perawatan medis terhadap
35

kelainan atau gangguan mental akan berkontribusi penting terhadap


pelaksanaan agama. Keharusan memelihara gaama bagi kehidupan manusia
sangat dituntut, sebagaimana dianjurkan dalam al-Quran, di antaranya
(Zuhroni, 2010):

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. AlRum (30):30)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak autisme


merupakan ujian dari Allah SWT kepada orang tua agar lebih memperhatikan
anak. Anak merupakan amanah dari Allah yang harus selalu dijaga dan
diberikan kasih sayang, salah satunya dengan melakukan pengobatan yang
sesuai dengan syariat Islam. Pengobatan dimaksudkan untuk memperbaiki
kondisi anak agar kelak menjadi anak yang dapat membanggakan orang tua.

3.3. Tinjauan

Islam

Terhadap

Skrining

Autisme

Menggunakan

Electroencephalography
Banyak ayat al-Quran maupun Hadis berisi anjuran agar menuntut ilmu,
namun dalam perintah

itu tidak ada pemilahan disiplin ilmu yang dimaksud,

konteksnya umum dan global. Dari segi historis, hal ini dapat dipahami karena pada
36

masa Nabi, ilmu pengetahuan belum berkembang dan terbagi-bagi dalam disiplin
ilmu tertentu. Berdasarkan dalil umum dan global, ulama menetapkan bahwa
menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib, namun secara khusus mereka
membedakan setiap jenis displin ilmu, ada kategori wajib ain dan wajib kifi.
Nampaknya hukum yang ditetapkan para ulama didasarkan pada tingkat
kepentingan,urgensi, mashlahah dan mafsadah dari jenis ilmu yang dimaksud,
maka secara rinci dan kasuistik kelima hukum taklifi dapat berlaku di dalamnya
(Zuhroni, 2010).
Saat ini perkembangan dunia teknologi sangat berkembang pesat terutama
dalam dunia IT (Informatic Technology), salah satunya adalah aspek kesehatan.
Dewasa ini dunia kesehatan modern telah memanfaatkan perkembangan teknologi
untuk meningkatkan efisiensi serta efektivitas di dunia kesehatan. Salah satu contoh
pengaplikasian dunia IT di dunia kesehatan adalah penggunaan alat-alat kedokteran
yang

mempergunakan

aplikasi

komputer,

salah

satunya

adalah

EEG

(Electroencephalography) (Kartika, 2013).


Electroencephalography adalah suatu teknik pencitraan medis yang menggunakan
aktivitas listrik yang dihasilkan oleh kulit kepala dari struktur otak (Teplan, 2002)
yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit dan gejala pada kerusakan otak,
salah satunya adalah autisme (Sheikani, 2010).
Saat memasangkan elektroda (EEG) di kepala, otak akan mengirimkan
spektrum/sinyal-sinyal ke organ yang dikehendaki untuk bergerak. Melalui sistem
saraf sinyal-sinyal ini dilanjutkan hingga organ dapat menerjemahkan menjadi
respon gerak. Sinyal-sinyal ini berwujud gelombang elektrik yang ukurannya
37

sangat mikro. Sinyal inilah yang berusaha ditangkap dan direkam dengan bantuan
komputer sehingga aktifitas otak dapat teridentifikasi. Proses pemindaian sinyal
otak ini tidak seperti pada MRI atau Rontgen yang menggunakan teknologi cahaya.
Pada EEG (Electroencephalography) pemindaian dilakukan dengan menyalurkan
gelombang elektrik otak ke dalam kabel dan modulator yang peka terhadap
gelombang elektrik (Utami, 2013).
Sebelum melakukan pemeriksaan EEG orang tua harus memperhatikan
beberapa persyaratan seperti, mencuci rambut anak sebelum pemeriksaan, anak
wajib makan pada malam hari sebelum pemeriksaan, dilarang mengkonsumsi
coklat, serta tidur beberapa saat sebelum melakukan tes agar anak tidak tidur waktu
pemeriksaan berlangsung. Persyaratan itu wajib dilakukan agar didapatkan hasil
yang maksimal (Mayo, 2009).
Selanjutnya pasien akan dipasangkan beberapa elektroda pada kulit kepala
menggunakan gel. Selama proses rekaman berlangsung pasien akan diminta untuk
relaks dan pada waktu tertentu diberikan rangsangan mata, jari, sistem pernafasan.
Pasien akan diberikan beberapa perintah seperti tidur relaks dengan atau tanpa
rangsangan, kemudian dalam keadaan mata terbuka dengan atau tanpa rangsangan
(Puri, 2011).
Hasil perekaman gelombang otak seringkali diperlukan dalam menangani
masalah keluhan saraf sentral. Dokter ahli saraf atau bedah saraf sangat
memerlukan hasil uji ini untuk menentukan penanganan yang tepat pada seorang
pasien. Proses rekam gelombang otak ini mungkin berbeda antara satu pasien
dengan yang lainnya dikarenakan kebutuhan yang berbeda dari dokter yang
38

merujuk. Pada penderita autis akan terlihat hasil yang berbeda, yaitu adanya
penonjolan beberapa gelombang seperti gelombang alfa, delta, dan beta.
Gelombang alfa terjadi saat seseorang mulai mengantuk. Sedangkan gelombang
delta terjadi saat tertidur/istirahat. Gelombang beta dihasilkan saat seseorang
melakukan aktivitas sehari-hari (Strzelcka, 2013).
Allah menghendaki sehat dan sakit, bukan karena kezaliman, tetapi
karena kebijaksanaan-Nya. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berusaha
menjalani sebab- sebab yang mengantarkan kepada setiap kebaikan, dan itu
merupakan kesempurnaan tawakkal seorang hamba. Tidak selamanya manusia
merasakan kesehatan badan yang sempurna, Allah menimpakan rasa sakit yang
berbeda-beda menurut perbedaan sebab dan kondisinya, dan tidak ada yang dapat
menyembuhkannya kecuali Allah semata. Berobat pada dasarnya dianjurkan
dalam agama islam sebab berobat termasuk upaya memelihara jiwa dan raga, dan
ini termasuk salah satu tujuan syariat islam ditegakkan (Ali, 2012). Seperti yang
terdapat dalam hadits:

Artinya: Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia


jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi
jangan berobat dengan yang haram (HR.AbuDawud)
Dalam hadits lain Rasulullah SAW berkata:

Artinya: Wahai Rasulullah, apakah kita berobat?, Nabi bersabda,berobatlah,


karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti
menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),
mereka
bertanya,apa
itu
?
Nabi
bersabda,penyakit
tua.(HR.Tirmidzi)
39

EEG merupakan sebuah pemeriksaan penunjang bertujuan untuk


mengetahui adanya gangguan fisiologi fungsi otak. Sehingga dapat mendiagnosis
dini kelainan pada otak seperti autisme. Dengan ini orang tua yang memiliki anak
penderita autis dapat melakukan terapi sedini mungkin untuk mengurangi
perburukan mental anak. Untuk itu pemeriksaan EEG perlu dilakukan pada anak
autis karena memberikan manfaat untuk masa depannya (Sheikhani, 2010).
Semua tindakan pengobatan terapi kesehatan dan penggunaan metode
pengobatan jika nyata-nyata bermanfaat maka hukumnya boleh, dan jika
membahayakan maka hukumnya haram. Seperti yang terdapat pada suatu kaidah:

Artinya: (Hukum) asal atas sesuatu yang bermanfaat adalah boleh (ibahah)
Dari uraian

di atas dapat disimpulkan, di samping bernilai sebagai

tuntunan spiritual syari, berbagai keterangan dalam al-Quran dan hadits Nabi
mengisyaratkan agar mencari inovasi dalam bidang kesehatan dan kedokteran
yang pada umumnya bersifat global dan bernilai sebagai anjuran atau pancingan
untuk penggalian lebih jauh, mendalam, detail, dan rinci. Menyangkut soal teknis,
maka jabarannya diserahkan kepada upaya manusia itu sendiri, hal tersebut
termasuk bidang katagori duniawi, seperti diisyaratkan dalam hadits Nabi yang
menyatakan: Kamu lebih mengetahui persoalanmu (Zuhroni, 2010).
Rasulullah SAW berkata:

40

Artinya: Jika sesuatu itu menyangkut urusan dunia kalian maka kalianlah yang
lebih mengetahui tetapi jika menyangkut urusan agama kalian maka itu
kepadaku (HR.Ahmad).

Pemeriksaan EEG ini akan dilakukan oleh teknisi khusus untuk alat ini,
sedangkan untuk membaca hasil dari EEG dibutuhkan dokter ahli saraf untuk
membacakan dan menyampaikan hasil kepada pasien (Puri, 2011).
Dalam praktik apa saja, termasuk dalam bidang kedokteran, Nabi sangat
menekankan pentingnya sifat profesionalisme. Untuk menjadi profesional maka
mesti mempelajarinya dengan baik sebelum mempraktikannya, misalnya, Nabi
melarang berobat kepada yang bukan ahlinya bahkan mengancamnya, seperti
disebutkan dalam hadits:

Artinya: Siapa saja yang memberikan pengobatan tetapi tidak mengetahui tentang
obat patut dicela dan dia harus bertanggung jawab (atas tindakannya
itu) (HR.Abu Dawud)

Atas dasar inilah ulama sepakat menyatakan bahwa berobat mesti kepada
yang ahli, profesional, dan mempunyai otoritas, dilarang kepada yang tidak
berpengetahuan atau pengetahuannya tentang pengobatan sangat terbatas. Dalam
pandangan ulama, berobat tidak membedakan metode yang digunakan, modern
41

atau tradisional, secara medis atau alternatif, yang dituntut adalah profesional
(Zuhroni, 2010).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa anak autis selain
memiliki kekurangan mereka juga memiliki kelebihan yang dapat dilatih agar
dapat tumbuh secara normal. Oleh karena itu dibutuhkan peran dan kesabaran
orang tua dalam

mendidik dan

membesarkan anak autis. Sehingga akan

terpenuhinya hifzh nafs, hifzh nasl, hifzh aql dimana orang tua harus menjaga
keturunannya yang merupakan amanah dari Allah SWT, dalam hal ini orang tua
anak autisme harus menjaga jiwa dan akal anak autis agar terciptanya hifzh din.
Rasulullah memerintahkan umatnya untuk terus berobat, salah satu pengobatan
untuk

anak

autis

adalah

melakukan

skrining

menggunakan

Electroencephalography. Skrining dengan EEG diperbolehkan karena merupakan


pemeriksaan yang bersifat non-invasif sehingga tidak menimbulkan komplikasi
pada pasien dan bermanfaat pada penderita autisme, dimana dari hasil EEG dapat
membantu orang tua dalam melakukan pengobatan pada anak autis dan mencapai
tujuan pengobatan yaitu kemaslahatan.

42

BAB 4
KAITAN PANDANGAN KEDOKTERAN DAN ISLAM TENTANG
SKRINING AUTISME MENGGUNAKAN
ELECTROENCEPHALOGRAPHY

Menurut kedokteran, autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang


disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan
pada perkembangan komunikasi, kognitif, perilaku, sensoris, dan belajar.
Penderita autis memiliki kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial
sehingga penderita biasanya kurang ramah terhadap lingkungannya. Penyebab
terjadinya autis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik
yang disebutkan menjadi penyebab utama dari autisme dikarenakan adanya
pengaruh gen orang tua yang diturunkan ke anak. Selain itu kelalaian saat
kehamilan dan kurangnya asupan nutrisi dapat menjadi pemicu autisme.
Menurut pandangan Islam, anak autis merupakan ujian dari Allah bagi
orang tua. Untuk membesarkan serta mendidik anak penderita autis orang tua
harus memiliki kesabaran yang tinggi, karena hanya dengan bersabar semuanya
itu akan dapat diatasi. Sehingga anak penderita autis dapat tumbuh menjadi
pribadi yang mandiri dalam menjalani kehidupannya.
Ilmu Kedokteran dan Ajaran Islam sependapat bahwa autisme merupakan
kerusakan pada otak yang mengakibatkan gangguan pada perkembangan jiwa

43

anak, sehingga butuh penanganan khusus serta perhatian dari keluarga. Untuk itu
orang tua harus bersabar menghadapi cobaan dari Allah SWT.
Menurut kedokteran, diagnosis autisme bisa didapat setelah melalui
pemeriksaan yang mendukung. Diawali dengan melihat gejala klinis yang menjadi
kriteria autis, kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang. Salah satu
pemeriksaan penunjang autisme adalah Electroencephalography. Pemeriksaan ini
merupakan

pemeriksaan

non-invasif

sehingga

tidak

akan

menimbulkan

komplikasi. Dari hasil pemeriksaan EEG akan ditemukan adanya kerusakan pada
otak yang diperlihatkan dengan penonjolan beberapa gelombang otak yang
mengarah ke autisme. Sehingga dokter dapat menentukan terapi yang harus
diberikan pada penderita autis.
Menurut pandangan Islam, berobat sangatlah penting dalam syariat Islam
untuk mencapai kemaslahatan. Salah satu pemeriksaan yang dianggap dapat
mencapai maslahah adalah pemeriksaan EEG. Karena pemeriksaan EEG ini
memberikan manfaat yang cukup besar bagi kesehatan. Salah satu manfaatnya
adalah dapat mendeteksi dini penyakit autisme pada anak, sehingga akan
membantu anak autis untuk dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya
secara normal. Sehingga akan terpenuhi syariat Islam yaitu Hifzh Nafs
(Memelihara Jiwa), Hifzh Aql (Memelihara Akal) pada anak, Hifzh Nasl
(Memelihara Keturunan) pada orang tua, serta Hifzh Din (Memelihara Agama)
pada orang tua dan anak.
Ilmu

Kedokteran

dan

Ajaran

Islam

sependapat

bahwa

Electroencephalography memiliki manfaat yang besar bagi penderita autisme.


44

Sehingga dokter dan keluarga dapat melakukan pengobatan yang terbaik untuk
penderita.
Menurut kedokteran, gambaran-gambaran EEG seperti penonjolan
gelombang alpha, beta, dan delta dapat membantu kita memahami tentang
bagaimana gen dapat mempengaruhi otak, kombinasi skor risiko genetik pada
autisme. Selain dapat mendiagnosis autisme EEG dapat pula mendiagnosis
penyakit epilepsi yang dapat terlihat dari kelainan pada otak pasien. Sehingga
dengan dilakukannya pemeriksaan ini dokter dapat melakukan intervensi bila
ditemukan adanya epilepsi berupa terapi farmakologis dan non-farmakologis.
Electroencephalography memiliki keuntungan yaitu dapat mempelajari fungsi
otak pada gangguan perkembangan seperti ASD. Sehingga dapat membantu
dokter memilih tatalaksana untuk penyakit autis dan membantu penderita
memiliki kelasungan hidup yang lebih baik.
Menurut Islam, pemeriksaan Electroencephalography bermanfaat pada
penderita autisme, dimana dari hasil EEG dapat membantu orang tua dalam
melakukan pengobatan pada anak autis. Pemeriksaan ini dibenarkan, karena niat
dan motivasi utamanya adalah pengobatan. Hal ini sesuai dengan kaidah manfaat
(Hukum) asal atas sesuatu yang bermanfaat adalah boleh (ibahah)
Ilmu Kedokteran dan Ajaran Islam sependapat bahwa pemeriksaan
Electroencephalography bermanfaat dan efektif pada penderita autis, karena dapat
memperbaiki kelangsungan hidup penderita autis. Oleh karena itu pemeriksaan ini
diperbolehkan untuk tujuan kemaslahatan.
45

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1

Kesimpulan

1.

Autisme adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya


kerusakan pada otak. Adapun cara mendiagnosis autisme yaitu dengan
melihat kriteria-kriteria gangguan autisme, antara lain gangguan dalam
interaksi sosial yang timbal balik, seperti tidak dapat menjalin interaksi
sosial (kontak mata) dan tidak bisa bermain dengan teman sebaya. Kedua,
gangguan komunikasi seperti, perkembangan berbicara terlambat atau
tidak dapat berbicara sama sekali. Ketiga, adanya perilaku yang berulang,
seperti melakukan gerakan aneh yang berulang-ulang.

2.

Hasil dari pemeriksaan Electroencephalography pada penderita autisme


ditemukan aktivitas gelombang yang abnormal, seperti adanya aktivitas
gelombang epileptiform yang paroksismal dimana aktivitas gelombang ini
mengakibatkan gangguan berbicara dan bahasa pada penderita. Gambaran
selanjutnya ditemukannya gelombang mu dimana gelombang ini akan
mempengaruhi motorik pada penderita. Adanya penonjolan gelombang
beta tinggi dimana gelombang ini akan mempengaruhi suasana hati
penderita. Gambaran yang terlihat selanjutnya adalah penonjolan aktivitas
gelombang delta yang mempengaruhi kondisi penderita, di antaranya
perilaku impulsif, hiperaktif, dan kurangnya perhatian.

46

3.

Menurut pandangan Islam, anak autisme adalah salah satu cobaan dari
Allah SWT kepada orang tua, dan Islam menganjurkan untuk selalu
berusaha mencari jalan keluar masalah, seperti mencari pengobatan yang
paling tepat untuk diri pasien. Pemeriksaan Electroencephalography pada
penderita autisme diperbolehkan dalam Islam karena pemeriksaan ini
bermanfaat bagi dokter dalam mengetahui letak kerusakan pada otak
penderita sehingga dapat memberikan terapi yang tepat. Sehingga akan
tercapainya tujuan pengobatan yang sesuai dengan syariat Islam yaitu
Hifdz Nafs (Memelihara Jiwa), Hifdz Aql (Memelihara Akal), Hifdz Nasl
(Memelihara Keturunan), Hifzh Din (Memelihara Agama).

5.2

Saran

1.

Bagi keluarga anak penderita Autisme


Kepada keluarga penderita diharapkan segera melakukan pemeriksaan
skrining autisme dengan EEG agar penderita dapat diterapi dan dilatih
kemampuannya sedini mungkin sehingga tidak memperburuk keadaan
penderita.

2.

Bagi masyarakat
Kepada masyarakat yang mempunyai gejala dan faktor risiko autisme
untuk segera memeriksakan diri ke dokter agar dapat terdiagnosis secara
dini dan dapat diberikan terapi yang sesuai untuk menurunkan risiko
gangguan sosial.

47

3.

Bagi tenaga kesehatan


Kepada tenaga kesehatan khususnya dokter agar dapat menginformasikan
mengenai skrining menggunakan Electroencephalography pada penderita
autisme. Sehingga dapat dilakukan pengobatan dan meningkatkan kualitas
hidup penderita.

4.

Bagi peneliti
Kepada para peneliti diharapkan agar terus melakukan penelitian dan
penemuan baru khususnya pemeriksaan EEG pada autisme dan
menyebarluaskan hasil penelitian tersebut kepada masyarakat agar
pengetahuan dan kepekaan masyarakat akan penyakit ini menjadi lebih
baik.

5.

Bagi pemuka agama


Kepada pemuka agama hendaknya menyampaikan dakwah kepada
masyarakat mengenai skrining autisme pada anak untuk mendapatkan
kehidupan anak yang lebih baik.

48

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya. 2006. Departemen Agama Republik Indonesia,
Cetakan ke-10. Jakarta.
Albihar AP. 2011. di balik kekurangan ada kelebihan hakiki. Tersedia di
http://anakkecildengandunianya.blogspot.com/p/mitos-tentang-autism.html.
Diakses tanggal 15 Februari 2015
Ali AI. 2012. Berobat dalam Islam. Tersedia di https://maktabahabiyahya.
wordpress. com/2012/05/30/berobat-dalam-islam/. Diakses tanggal 26 Maret
2015
Amran.

2012.

Sabar

dan

Ikhlas.

Tersedia

di

http://pancarancahayailahi.blogspot.com /p/sabar-dan-ikhlas.html. Diakses


tanggal 19 Februari 2015
Anand R. 2004. Autism And Epilepsy: The Complex Relationship Between
Czognition, Behavior And Seizure. The Internet Journal of Neurology
Arvin B.K. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak (Edisi 15). Jakarta: EGC
Bintoro AC. 2012. Pemeriksaan EEG untuk Diagnosis dan Monitoring pada
Kelainan Neurologi. Med Hosp, 64-70
Blumberg SJ et al. 2012. Changes in Prevalence of Parent-reported Autism
Spectrum Disorder in School-aged U.S. Children. National Health Statistic
Report, 1-12
Bonamigo L., Tomlinson L. 2011. Procedures for Performing Standard EEG
Recordings.Toledo, 1-7
Cohen SB., Chuan LM., Lombardo MV.2014. Autism. The Lancet, 896-910
Duff J. 2004. The usefulness of quantitative EEG (QEEG) and neurotherapy in the
assessment and treatment of of PTSD. Clinical Electroencephalography &
Neuroscience, 35(4): 198-209
Fadhli A. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Anggrek, pp
18-21

49

Ferdianata.

2013.

Qurrota

A'yun

Impian

Keluargaku.

Tersedia

di

http://santriopojare.blogspot.com/2014/01/qurrota-ayun-impian-keluargaku.
html. Diakses tanggal 19 Februari 2015
Gabis L., Pomeroy J., Andriola M. 2005. Autism and epilepsy: Cause,
consequence, comorbidity, or coincidence. Elsevier, 652-656
Hamer HM., Knake S., Schomburg U., Rosenow F. 2000. Valproate-induced
hyperammonemic encephalopathy in the presence of topiramate. Neurology
Journal
Jeste SS. 2011. The Neurology of Autism Spectrum Disorders. Curr Opin Neurol,
1-13
John F., Kennedy B. 2010. Practical Approach To Electroencephalography.
Phialdephia: Saunders Elsevier. Hal: 1
John PB., Ivy N., Carlos SS., Vanja CD., Andrew J. 2013. Diagnostic Yield of
Electroencephalography in a General Inpatient Population. Mayo Clinic
Proceedings.
Kartika D. 2013. Kemajuan Teknologi: Bidang Kesehatan. Tersedia di http://
dewikartika991.blogspot.com/2013/04/perkembangan-iptek-di-duniakesehatan. html. Diakses tanggal 19 Februari 2015
Kusumawati K, Gunadharma S, Kustiowati E. 2014. Tatalaksana Epilepsi. Edisi
5. Jakarta: PERDOSSI
Levy S E., Mandell D S., Schultz RT. 2009. Autism. The Lancet, 1627-1639

Lumbantobing SM. 2001. Anak Dengan Mental Terbelakang. Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas kedokteran Indonesia
Mashabi NA., Tajudin NR. 2009. Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu Dengan
Pola Makan Anak Autis. Makara Kesehatan, 84-86
Mayo WW., Mayo CH., Mayo WJ. 2009. Mayo Clinic Family Health Book.
America: Oxmoor House

50

Malmivuo J., Plonsey R.1995. Principles an Applications o Bioelectric and


Biomagnetic Fields. New York: Oxford University
McGowan JF. 2012. Displaying eror bars in GNU octave. Tersedia di http://mathblog.com/2012/07/15/displaying-error-bars-in-gnu-octave/. Diakses tanggal
23 Maret 2015
Niedermeyer E. 2004. Electroencephalography: Basic Principles, Clinical
Applications, and Related Fields. Lippincot Williams & Wilkins.
Nurhikmah. 2013. Anak adalah Amanah. Tersedia di http: //salafy.Or.Id /blog/
2011/ 12/01/anak-adalah-amanah/. Diakses tanggal 15 Februari 2015
Powers MD. 1989. Children with autism. A parents' guide. Woodbine House.
Prastana WA. 2012. Hypnoterapi untuk anak autis (ASC). Tersedia di
http://hypnotherapy-indonesia.blogspot.com/. Diakses tanggal 23 Maret
2015
Puri TM. 2011. ELEKTROENSEFALOGRAFI (EEG). Tersedia di http://
ordinaryphoo.blogspot.com/2011/08/elektroensefalografi-eeg.html.Diakses
tanggal 19 Februari 2015
Pusponegoro, HD. 2006. Kesulitan Belajar dari Masa ke Masa Deteksi Dini dan
Intervensi Terkini. Jakarta: LPT-UI
Sheikhani A., Benham H., Mohammadi MR., Noroozian M., Mohammadi M.
2010. Detection of Abnormalites or Diagnosing of Children with Autism
Disorder Using of Quantitative Electroencephalography Analysis. J Med
Syst, 1007-1091
Strzelecka J. 2013. Electroencephalographic Studies In Childern with Autism
Spectrum Disorder. Elsevier, 317-323
Sunaryo. 2007. Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Depdiknas
Takagaki K., Russell J., Lippert MT., Motamedi GK. 2014. Developmennt of The
PosterioGAMBARr Basic Rhythm In Childern with Autism. Elsevier, 1-7

51

Teplan M. 2002. Fundamentals Of Eeg Measurement. Measurement Science


Review, 1-11
Tierney AL., Durnam LG., Farley VV., Flusberg HT., Nelson CA. 2012.
Developmental Trajectories of Resting EEG Power: An Endophenotype of
Autism Spectrum Disorder. PLos ONE, 1-11
Utami H, Utami TH, Hazar ZI. 2013 . ELEKTROENSEFALOGRAFI (EEG).
Tersedia

di

http://hertaww.blogspot.com/2013/09/makalah-eeg.html.

Diakses tanggal 19 Februari 2015


Wang J et al. 2013. Resting state EEG abnormalities in autism spectrum disorders.
Journal of Neurodevelopmental Disorders, 1-14
Wulandari HK. 2012.

Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Kemampuan

Bahasa Pada Anak Penderita Autisme Di Sekolah Kebutuhan Khusus


Denpasar Tahun 2012. Udayana, 1-8
Zuhroni 2010. Pandangan Islam Terhadap Masalah Kedokteran dan Kesehatan.
Universitas YARSI, Jakarta.

52

Anda mungkin juga menyukai