Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Autisme

1. Definisi Autisme

Menurut Pratiwi (2016), autisme ialah terdapatnya gangguan pada

perkembangan otak, sehingga menyebabkan fungsi dari sistem

neurologi anak menjadi menurun. Hal tersebut berdampak pada pola

pikir, cara berbicara, dan cara berinteraksi terhadap sekelilingnya

menjadi terlambat ataupun lebih pasif dibandingkan anak seusianya.

Jika seorang anak yang mengidap autisme tidak diberikan penanganan,

maka dapat memberikan efek jangka panjang yang lebih besar dalam

kehidupan anak tersebut. Efek yang dapat terjadi tidak hanya pada

kondisi sosial ataupun kognitif saja, melainkan berdampak pula pada

kebugaran dan kondisi fisik anak tersebut. Ketika anak sudah terdeteksi

adanya gejala autisme segera periksakan ke tim medis agar segera

diberikan penanganan. Serta bagi orang tua maupun terapis yang akan

mendampingi anak selama proses latihan tersebut, harus paham fungsi

dan berbagai macam latihan secara detail, jelas, dan terarah agar anak

dapat menerima hasil secara efektif hingga anak mampu untuk

melakukannya sendiri (Ambarwati & Wibowo, 2019).

Menurut Sholehah (2020), autisme merupakan suatu tanda dan

gejala adanya penyakit kognitif lainnya (komplikasi), dikarenakan

terdapatnya berbagai masalah dan gangguan di beberapa aspek seperti

perkembangan komunikasi, fisik, kognitif, dan interaksi. Gangguan

6
7

pada autisme dibagi menjadi 3 tingkatan berdasarkan kemandirian anak

tersebut dalam melakukan suatu hal, kemampuan anak dalam

mengontrol dirinya sendiri, serta seringnya bantuan yang diberikan dari

orang lain (Ferreira et al., 2018).

2. Faktor Penyebab Autisme

Faktor penyebab autisme sampai saat ini masih belum diketahui

secara pasti namun menurut Leza, Maisyarah, & Rizkika (2018), ada

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya autisme pada anak

antara lain faktor genetik dan biologis, serta faktor perinatal. Penelitian

yang dapat mendukung hal tersebut yaitu ditemukannya beberapa

saudara kandung dari anak pengidap autisme yang memiliki X fragile

syndrome (kelainan pada kromosom X). Kemudian faktor usia ibu saat

melahirkan juga dapat berdampak pada kejadian autisme pada anak,

semakin tinggi usia ibu maka akan semakin berisiko.

Menurut Griadhi, Ratep, & Westa (2013), penyebab autisme juga

dapat disebabkan karena faktor lingkungan, didukung oleh beberapa

penelitian yang sudah dilakukan dan mendapatkan hasil bahwa anggota

keluarga atau lingkungannya juga diketahui menampakkan gejala-gejala

yang mirip seperti sering melakukan sesuatu berulang kali, penurunan

interaksi sosial, dan komunikasi yang kurang jelas, namun gejala

tersebut tidak separah pengidap autisme (ringan).

Adapun penyebab lain yang sering ditemukan pada anak autisme

ialah terdapatnya gangguan pada susunan saraf pusat dan timbulnya

kelebihan peptida opioid. Pada anak pengidap autisme ada beberapa


8

tempat yang mengalami gangguan antara lain lobus parietalis,

cerebelum, dan sistem limbik. Terdapat sekitar 43% anak autisme

mengalami gangguan pada otak bagian lobus parietalis sehingga

mengakibatkan anak autis tidak memedulikan lingkungan sekitarnya

(kurang tertarik). Beberapa anak autisme mengalami kekurangan sel

purkinje pada daerah cerebelum yang menyebabkan kognitif menjadi

lebih lambat karena informasi antar sel otak juga mengalami gangguan.

Tidak hanya itu, gejala susahnya anak autisme dalam mengendalikan

emosi juga dikarenakan terdapatnya gangguan pada sistem limbik

(Sholehah, 2020).

Pada darah anak autisme ditemukan 30%-50% kadar serotonin,

kadar tersebut dikategorikan dalam serotonin yang tinggi. Serotonin

sendiri memiliki fungsi sebagai penghantar antar sel-sel saraf di otak

dan bertanggung jawab terhadap kelancaran pemberian informasi antara

otak dengan bagian tubuh lainnya. Namun karena kadar serotonin yang

terlalu tinggi menyebabkan hilangnya terminal serotonergik dan

pembentukan platelet hyperserotonemia, sehingga menyebabkan anak

aktif bergerak (melakukan gerakan berulang) ataupun kebalikannya

(tidak ingin bergerak), penurunan sensoris, dan tidak dapat mengontrol

emosi (Nugroho, 2018).

3. Klasifikasi Autisme

Menurut Syahputra (2020), klasifikasi pada anak autisme dapat

dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu autism spectrum disorder (ASD),

asperger syndrome, pervasive developmental disorder not otherwise


9

specified (PDD-NOS). Anak autisme yang termasuk dalam kategori

ASD memiliki ciri khusus yaitu tidak bisa diam dan banyak bertingkah,

serta sering menjahili teman sekitarnya. Asperger syndrome cukup sulit

dalam berinteraksi dengan lingkungannya, namun jika diajak berbicara

secara perlahan maka mereka akan memahami apa yang ingin orang lain

sampaiakan kepadanya. Dan yang ketiga ialah PPD-NOS, mampu

melakukan kontak mata dengan baik (tidak takut) namun kesulitan

dalam berinteraksi serta berbicara (Teske, 2018).

Autisme juga dapat dibagi menjadi 3 bagian sesuai tanda dan

gejalanya menurut Chilhood Autism Rating Scale (CARS) ialah autisme

ringan, autisme sedang, dan autisme berat. Autisme ringan memiliki

tanda seperti mampu menatap lawan berbicara meskipun hanya sesekali

dan sebentar, sedikit memberi respon, dan susah dalam berinteraksi.

Autisme sedang memiliki tanda mulai muncul sikap menyerang

(agresif), berani menyakiti diri sendiri ketika merasa tertekan, dan

adanya gerakan berulang tetapi masih bisa dikendalikan dengan bantuan

orang lain. Autisme berat memiliki tanda menyakiti diri sendiri maupun

sekitar dengan cara yang lebih berat seperti memukul kepala dengan

tangan berulang kali meskipun sudah ditenangkan oleh beberapa orang,

anak autisme kategori berat akan berhenti sendiri ketika mereka sudah

merasakan lelah dan akan tertidur (Sholehah, 2020).


10

Tabel 2. 1 Klasifikasi Autisme Berdasarkan Kondisi Sensorik dan


Vestibula (Leza, Maisyarah, & Rizkika, 2018)

Sistem Sensitivitas
indera
Hiposensitif Hipersensitif
Kesulitan mengatur
Hiperaktif untuk gerakan, lemah dalam
mendapatkan input olahraga, mudah
Vestibula sensoris, suka mainan yang terjatuh (tidak
bergerak, kesulitan untuk seimbang), takut dengan
diam. gerakan cepat, lebih
pendiam.
Suka menahan rasa sakit, Kurang menyukai
menggenggam atau sentuhan, menyukai
Sensorik memegang orang lain beberapa jenis baju atau
dengan cukup kuat, sering benda yang akan
melukai diri sendiri. dikenakan.

Klasifikasi autisme dapat didasarkan melalui keadaan sensorik dan

vestibularnya, sehingga terklasifikasi menjadi 2 bagian yaitu

hipersensitif dan hiposensitif.

4. Karakteristik Autisme

Autisme merupakan sekelompok tanda dan gejala gangguan

perkembangan, yang menandakan adanya penyakit lain yang

berhubungan dengan tanda ataupun gejala autisme itu sendiri (Griadhi,

Ratep, & Westa, 2013). Tanda dan gejala anak autisme antara lain

sebagai berikut:

a. Gangguan Interaksi Sosial

Pada anak autisme, mereka sering tidak mengindahkan obrolan dari

orang lain, serta beberapa anak juga tidak dapat melakukan tatap mata

ketika berbicara ataupun berdampingan, mereka juga kurang tertarik

terhadap interaksi sosial di lingkungan sekitarnya terutama anak


11

seusianya, mereka sangat suka dengan pemikiran mereka sendiri

sehingga tidak membutuhkan orang lain untuk diajak bicara.Hal

tersebut dikarenakan terdapatnya gangguan pada lobus parietalis

(Griadhi, Ratep, & Westa, 2013).

b. Gangguan Perilaku

Perilaku khas yang hanya dimiliki oleh seorang anak autisme ialah

pengulangan gerakan atau biasa disebut stereotype. Contoh dari

perilaku berulang yang sering muncul yaitu bertepuk tangan dan

mengepakkan tangan, menggoyangkan tubuh ke depan-belakang

ataupun ke samping kanan dan kiri, kemudian melompat-lompat,

menggosok kulit bahkan menggaruknya, menyusun ulang objek yang

sudah ditata, mengunyah meskipun tidak ada makanan di mulutnya dan

bahkan dapat menggigit bagian tubuhnya sendiri secara terus menerus.

Stereotype terjadi karena kurangnya sensorik pada anak autisme

(hiposensitif), sehingga dengan bergerak secara terus-menerus mereka

akan mendapatkan stimulasi untuk dirinya sendiri yang tidak muncul

ketika mereka berdiam diri (Leza, Maisyarah, & Rizkika, 2018).

c. Gangguan Fisik

Perkembangan dan pertumbuhan pada anak autisme menjadi

terlambat dan terhambat karena terdapat permasalahan dari

neurotransmiter pada otak, sehingga hal tersebut berdampak ke

beberapa aspek salah satunya ialah gangguan fisik. Permasalahan yang

terjadi pada sel saraf di otak tersebut menimbulkan keterlambatan pada

motorik anak, sehingga ketika anak ingin melakukan sesuatu menjadi


12

susah dan anak akan mudah menyerah ataupun meledakkan emosinya.

Tidak hanya itu, anak autisme juga memiliki gangguan interaksi sosial

sehingga dapat memungkinkan bahwa mereka juga tidak begitu

menyukai olahraga ataupun aktivitas di luar rumah. Hal tersebutlah

yang dapat mempengaruhi kondisi fisik pada anak autis. Komplikasi

ataupun penyakit lainnya yang dapat timbul akibat kurangnya aktivitas

fisik pada anak autisme yaitu obesitas, hipertensi, gangguan

kardiovaskular, dan timbulnya nyeri pada sendi (Hale, 2020).

d. Gangguan Sensori

Fungsi dari sistem sensoris ialah memproses segala bentuk stimulasi

yang ada dan menghasilkan gerakan motorik ataupun hasil lainnya pada

tubuh kita, jika terdapat gangguan pada sistem sensoris seperti yang

terjadi pada anak autisme maka terganggu juga respon stimulus yang

diterimanya. Sehingga anak menjadi susah dalam berinteraksi,

memberi respon, dan beradaptasi dalam lingkungannya (Leza,

Maisyarah, & Rizkika, 2018).

e. Gangguan Komunikasi

Anak autis sangat kaku ketika akan berbicara dengan orang lain,

mereka susah dalam menyampaikan perasaan yang sekarang sedang

mereka rasakan, namun anak autisme pada kategori tertentu mampu

diajarkan untuk berbicara ataupun mengungkapkan perasaan mereka

dengan cara anak dilatih mengulangi suatu kata ataupun kalimat

(Sholehah, 2020).
13

5. Diagnosis Autisme

Menurut Griadhi, Ratep, & Westa (2013), terdapat beberapa cara

dalam mendeteksi terjadinya autisme pada anak-anak berdasarkan

gejala dan kemampuan anak, yaitu :

a. Childhood Autism Rating Scale (CARS), merupakan alat ukur

berupa penilaian terhadap aspek-aspek penting yang terjadi pada

anak autis seperti hubungan dengan orang lain, interaksi dengan

lingkungan, respon auditori dan verbal. Terdiri dari 15 nomor dan

tiap nomornya ada penilaian 1 (normal) – 4(sangat tidak normal).

Untuk hasil skor secara keseluruhan yaitu 60, dan dapat

dikategorikan autisme ringan hingga sedang apabila skor mendapat

30-37 dan untuk kategori autisme berat yaitu 37-60 (Sari, 2009).

b. Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT), merupakan

alat ukur yang diciptakan oleh Simon Baron Cohen pada sekitar

tahun 1990 dan memang dikhususkan untuk mendeteksi gejala

autisme pada anak berusia 1 tahun 6 bulan. Pemeriksaan ini

diaplikasikan dalam 2 penilaian, yaitu melalui orang tua dan dokter

(tenaga kesehatan). Terdiri dari 23 pertanyaan yang masing-masing

pertanyaan hanya bisa dijawab “YA” atau “TIDAK”. Semisal

apakah anak sering tidak menghiraukan panggilan orang tua? Jika

hal tersebut terjadi dalam 2-3 kali panggilan maka orang tua dan

dokter dapat menjawa “YA” (Sholehah, 2020)

c. Autism Screening Questionnaire, cara mendeteksi gejala autisme

terakhir melalui questionnaire dengan terdiri dari 40 pertanyaan


14

yang hanya mampu dijawab oleh anak usia 4 tahun ke atas,

questionnaire ini dikhususkan untuk menindak lanjuti apakah anak

ini sudah mampu atau ada gangguan pada aspek interaksi sosial

maupun bahasa (komunikasi) (Griadhi, Ratep, & Westa, 2013).

B. Kebugaran Fisik

1. Definisi Kebugaran Fisik

Dewi & Rifki (2020) menjelaskan bahwa kebugaran fisik atau

kebugaran jasmani ialah kapasitas dari tubuh yang dikeluarkan ketika

menjalankan kegiatan atau aktivitas sehari-hari tanpa munculnya rasa

lelah yang luar biasa. Dewan Presiden Amerika Serikat menjelaskan

mengenai definisi dari kebugaran fisik yaitu kemampuan seseorang

dalam melakukan tugasnya dengan rasa semangat dan tanpa merasakan

kelelahan, serta masih memiliki energi cadangan yang dapat digunakan

bahkan ketika ada kejadian darurat yang terjadi secara tiba-tiba.

Kebugaran fisik sendiri dapat diperoleh melalui latihan fisik

ataupun olahraga secara rutin dan dengan dosis ataupun kapasitas sesuai

kemampuan dari orang tersebut, biasanya dosis dan pengulangan dapat

diberikan sesuai jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan kondisi kesehatan.

Latihan fisik ataupun olahraga yang dilakukan secara rutin juga dapat

meningkatkan kekuatan fisik, kebugaran, serta membuat tubuh menjadi

lebih sehat (Langitan & Munthe, 2020).


15

2. Faktor yang Mempengaruhi Kebugaran Fisik

Ada berbagai faktor pendukung yang berkesinambungan dengan

kebugaran fisik yaitu gizi yang cukup dan sesuai kebutuhan, kebiasaan

merokok, kondisi kesehatan, dan aktivtas fisik. Dari beberapa penelitian

menyebutkan bahwa terdapat hubungan kebiasaan merokok dengan

kondisi ketahanan sistem kardiorespirasi. Kemudian adanya hubungan

usia dengan kebugaran fisik pada atlet, pada atlet yang memiliki usia <

35 tahun lebih tinggi tingkat kebugaran fisiknya dibandingkan dengan

atlet yang sudah berusia > 35 tahun. Serta terdapatnya hubungan antara

Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap kebugaran fisik pada atlet, dengan

perbandingan 1:13 lebih bugar atlet dengan IMT yang normal 13 kali

lipat atlet IMT berlebih (obesitas) (Yusri, 2020).

Asupan gizi berkaitan erat dengan tingkat kebugaran fisik

seseorang, jika gizi tidak seimbang dengan aktivitas fisik yang rutin

dilakukan maka akan terjadi ketidak seimbangan juga pada tubuh, serta

terjadi kerusakan dan penurunan sistem imun yang hanya

mengakibatkan timbulnya penyakit dan penurunan kebugaran fisik.

Selain itu sumber energi yang digunakan untuk melakukan aktivitas

fisik dan aktivitas sehari-hari berasal dari makanan (Majid, 2020).

Faktor lainnya ialah jenis kelamin, usia, dan faktor keturunan. Pada

faktor jenis kelamin, anak perempuan lebih cepat memiliki kebugaran

fisik dibandingkan dengan anak laki-laki pada saat mengalami pubertas.

Akan tetapi setelah masa pubertas kebugaran fisik anak laki-laki jauh

lebih cepat dan bertahan lama hingga dia dewasa. Faktor usia, saat anak
16

memasuki usia remaja atau saat periode pertumbuhan maka kebugaran

fisiknya juga mulai terbentuk secara maksimal serta organ-organnya

juga masih dalam kondisi yang sehat, mampu bekerja secara maksimal,

sedangkan pada usia dewasa hingga usia lanjut mulai terjadinya

penurunan fungsi organ pada tubuh sehingga kebugaran fisik juga ikut

menurun. Terakhir faktor genetik, kebugaran fisik biasanya disebabkan

oleh kapsitas aerobik maksimal, kapasitas kardiorespirasi, kadar

hemoglobin dan kadar sel darah pada tubuh. Jika seseorang memiliki

keturunan penyakit jantung atau mungkin gangguan paru maka dapat

mempengaruhi tingkat kebugaran fisik dan faktor genetik ini dapat

diketahui melalui kondisi kesehatan keluarganya (Dewi & Rifki, 2020).

Ketika seseorang ingin meningkatkan kebugaran fisiknya, tidak

hanya fokus kepada latihan fisik dan olahraga saja, melainkan ada

beberapa hal yang harus diperbaiki juga yang berfungsi untuk

menyokong terjadinya peningkatan kebugaran fisik secara maksimal

salah satunya yaitu istirahat yang cukup. Cukupnya waktu istirahat

maka pemulihan setelah beraktivitas juga akan terjadi secara maksimal

(Ambarwati & Wibowo, 2019).

3. Komponen Kebugaran Fisik

Komponen kebugaran fisik menurut (Ambarwati & Wibowo, 2019)

yaitu :

a. Kekuatan : kemampuan tubuh terutama otot dalam menggerakkan

anggota tubuhnya semaksimal mungkin, jika kekuatan otot

meningkat maka stabilisasi aktif yang terjadi pada tubuh juga akan
17

bertambah hal tersebut mampu meminimalisir terjadinya cidera saat

beraktivitas .

b. Kelenturan (fleksibilitas) : kemampuan otot dalam memperlebar

area bidang geraknya semaksimal mungkin dengan sekali gerakan,

tanpa terjadinya cidera otot maupun sendi serta tanpa terjadinya

paksaan dan tekanan.

c. Daya Tahan : kemampuan jantung, paru-paru, dan otot dalam

bekerja secara maksimal saat beraktivitas, sehingga tidak

menimbulkan kelelahan. Jika memiliki daya tahan yang baik maka

akan semakin lama pula waktu kerja yang dapat digunakannya, dan

rasa lelah akan semakin belum terasa.

d. Keseimbangan : cara mempertahankan tubuh tetap dalam kondisi

stabil meskipun mendapatkan beban saat diam maupun ketika

bergerak. Semakin kecil bidang tumpuan semakin sulit juga untuk

tetap menjaga keseimbangan.

e. Kecepatan : kemampuan untuk menempuh suatu jarak dengan waktu

sesingkat-singkatnya.

Dewi & Rifki (2020) menjabarkan bahwa terdapat komponen

kebugaran fisik lainnya, yaitu :

a. Kecekatan : dapat bergerak kearah yang lain secara tiba-tiba dengan

cepat dan tepat

b. Kelincahan : dapat mengubah gerak ke segalah arah, misal dari

kanan ke kiri, dari depan ke belakang.


18

c. Daya ledak otot : kemampuan otot dalam berkontraksi secara

maksimal dengan waktu yang singkat.

d. Koordinasi : kemampuan dalam menggabungkan beberapa kompone

dalam suatu gerakan

4. Manfaat Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik memiliki fungsi sebagai pengoptimal kemampuan

kerja sehari-hari agar dapat melaksanakan tugas-tugas menjadi lebih

efektif dan efisien, serta tidak membuang begitu banyak energi terhadap

tubuh. Menurut Ambarwati (2020), terdapat manfaat khusus dari

kebugaran fisik yang dikelompokkan berdasarkan kebutuhan, antara

lain :

a. Untuk seorang atlet atau olahragawan, kebugaran fisik dibutuhkan

agar mendapatkan hasil yang maksimal saat melakukan

pertandingan dan meminimalisir terjadinya cidera.

b. Bagi disabilitas, kebugaran fisik dilakukan sebagai proses

rehabilitasi.

c. Bagi ibu hamil, sebagai proses persiapan fisik dan mental sebelum

melahirkan.

d. Bagi anak-anak, sebagai latihan memberikan sensorik agar tumbuh

kembang anak menjadi lebih optimal.

e. Bagi lansia, sebagai latihan dalam meningkatkan daya tahan tubuh

dan mengoptimalkan kembali fungsi dari anggota tubuhnya.


19

Manfaat dari kebugaran fisik yang maksimum terbagi menjadi 4

yaitu manfaat pada fisik, psikologis, sosial, dan budaya atau pola hidup

(Dewi & Rifki, 2020).

a. Manfaat pada fisik : mempertahankan dan meningkatkan kekuatan

sendi, otot, organ (jantung dan paru-paru). Serta menjaga agar

penyakit seperti hipertensi, obesitas, dan lainnya tidak muncul.

b. Manfaat pada psikologis : meningkatkan hormon endorfin sehingga

menimbulkan efek rileks, tenang, dan tetap berpikiran positif.

c. Manfaat pada sosial : meningkatkan interaksi terhadap lingkungan

sekitar ataupun mengobrol dengan orang-orang yang belum pernah

kita jumpai.

d. Manfaat pada budaya dan pola hidup : menciptakan pola hidup sehat

secara baik dan benar, serta membiasakan diri untuk berolahraga.

Bagi anak pengidap autis, kebugaran fisik sangat penting dalam

menjaga proporsi dan komponen tubuh seperti keseimbangan, daya

tahan, pencegahan gerakan involunter yang terus terjadi, eksplorasi

dengan lingkungan, dan mencegah terjadinya komplikasi pada tubuh

pengidap autis (Ferreira, et al., 2018).

C. Aquatic Exercise

1. Definisi Aquatic Exercise

Aquatic Exercise adalah latihan dengan berbagai gerakan yang

dilakukan di dalam air dan memanfaatkan air sebagai pemberi

resistance ringan sehingga dapat meningkatkan rentang gerak secara

bebas. Aquatic exercise saat ini sedang digemari oleh beberapa terapis
20

dalam menangani autism spectrum disorder (Teske, 2018). Aquatic

exercise merupakan suatu cara yang dapat menurunkan kondisi sakit

dengan menggunakan media air dan dengan timbulnya pendekatan

melalui respon tubuh pada suhu air atau istilah lainnya yaitu lowtech

(Ratihanida, 2018).

2. Manfaat Fisiologi Aquatic Exercise

Manfaat yang dapat dirasakan dari aquatic exercise menurut

(Ratihanida, 2018) ,yaitu :

a. Mencegah flu dan demam

b. Memperbaiki vertilitas

c. Memulihkan energi

d. Meningkatkan sistem imun tubuh

e. Melancarkan sirkulasi darah

Adapun manfaat aquatic exercise menggunakan air bersuhu hangat

yaitu dapat menurunkan tonus otot yang kaku, meringankan otot yang

spasme, dan dapat menimbulkan efek terapeutik (rasa nyaman) pada

tubuh (Pratrisna, 2013). Manfaat melakukan aquatic exercise secara

rutin antara lain dapat menimbulkan efek relaksasi, meningkatkan

kebugaran fisik, dan digunakan sebagai sarana untuk proses rehabilitasi

(Teske, 2018). Pelatihan aquatic therapy telah lama diterapkan pada

anak disabilitas seperti autisme, cerebral palsy, spina bifida, dan distrofi

otot. Tujuan dan manfaat pemberian aquatic therapy pada autisme yaitu

berfokus pada pengembangan sistem neuromuscular dan

muskuloskeletalnya, sehingga mencegah komplikasi yang terjadi serta


21

memaksimalkan kinerja tubuh dalam melakukan kegiatan-kegiatan

secara mandiri dan tidak mudah lelah (Mortimer, Privopoulos, &

Kumar, 2014). Karakteristik dari air juga dapat membantu pengidap

autis bergerak aktif, merelaksasikan otot yang spasme, meningkatkan

sirkulasi darah, dan dapat meningkatkan kemampuan motorik serta

keterampilan anak secara signifikan. Konsep hidroterapi juga dapat

memberikan peningkatan pada aspek sosial, bahasa, kemandirian, dan

rasa percaya diri bagi anak autisme (Martin & Dillenburger, 2019).

3. Mekanisme Aquatic Exercise

Mekanisme dari aquatic exercise adalah terjadinya aktif pasif

kontereaksi yang diperoleh bersama-sama pada 1 pola latihan yang

memunculkan stimulasi muscle spindle dan golgi tendo, sehingga

menyebabkan terjadinya kontraksi dan relaksasi pada otot. Kemudian

dikeluarkannya Ca2+ dan masuk ke dalam reticulum sarcoplasma lalu

mengakibatkan rileksasi pada otot ketika dilakukannya latihan pasif,

oleh sebab itu harus segera disusul dengan gerakan dari latihan aktif

melalui proses ketika muscle spindle diaktifkan kembali. Muscle spindle

memiliki peran penting dalam terjadinya system eferen gamma, eferen

gamma merupakan serabut saraf kecil yang memiliki fungsi penerima

rangsang agar terjadinya kontraksi. Menurut penelitian yang telah

dilakukan, pada tubuh seseorang terdapat 31% serabut saraf eferen

gamma yang menjalar sepanjang saraf motorik menuju otot, bukan

serabut saraf A alfa. Ketika sinyal muncul melalui korteks gamma

maupun melalui daerah otak lainnya dan akan dikirimkan menuju motor
22

neuron gamma maka akan timbulnya rangsangan secara bersamaan

pada otot ekstrafusal dan intrafusal yang menyebabkan kontraksi terjadi

juga secara bersamaan (Pratrisna, 2013)

Adapun mekanisme dari efek buoyancy (mengapung) dan hukum

archimedes yang terjadi pada aquatic exercise yaitu ketika tubuh sudah

masuk ke dalam air, maka akan terjadinya tekanan ke atas sebanding

dengan berat tubuh tersebut. Ketika kedalaman air mencapai bahu nilai

gravitasinya akan berkurang 2 kali lipat, karena efek buoyancy juga

dapat mengurangi tekanan pada persendian serta memiliki manfaat

untuk membentuk kesejajaran postur yang benar dan menghilangkan

rasa sakit saat sendi mulai bergerak di dalam air. Terdapat komponen

lainnya yang juga penting yaitu tekanan hidrostatis. Selain

meningkatkan kapasitas paru-paru, efek klinis dari tekanan hidrostatis

juga dapat digunakan untuk meningkatkan stimulasi taktil (sensorik),

hal tersebut bermanfaat bagi pasien yang mengalami gangguan sensorik

akibat adanya neuropati (Yuniarwati, 2019).

Adapun Teori dari Bougier dan Metacenter yang menjelaskan

bahwa metacenter ialah pusat terjadinya daya apung. Menurut letak

anatomisnya pusat daya apung berada di T11 dan S2 , dan jika tubuh

berada di dalam air maka akan diaktifkannya equilibrium yang

menimbulkan stabilitas tubuh saat di dalam air (Pratrisna, 2013).

Terakhir terdapat hukum yang menjelaskan hubungan antara

ketahanan air dan kecepatan gerak tubuh di dalam air yaitu Hukum

Bernouli. Saat tubuh bergerak di dalam air, timbulnya resistensi antara


23

tubuh dan air. Resistensi inilah yang dapat meningkatkan kekuatan pada

jaringan-jaringan lunak di tubuh seseorang saat melakukan aquatic

exercise, meskipun untuk pergerakan tubuh saat awal beradaptasi

dengan air menjadi sedikit kaku dan terbatas (Yuniarwati, 2019).

4. Dosis Aquatic Exercise

Patrisna (2013) menyatakan bahwa aquatic exercise akan

memberikan efek bagi kesehatan dan kebugaran fisik apabila telah

dilakukan 3 kali sesi latihan dalam seminggu. Dari penelitian yang telah

dilakukan menyatakan bahwa untuk meningkatkan kebugaran fisik atau

sebagai rehabilitasi pada anak disabilitas, harus melakukan latihan

akuatik selama 30-45 menit setidaknya 3 kali seminggu. berdasarkan hal

tersebut, penelitian ini dilakukan selama 6 minggu.

5. Teknik Aquatic Exercise

Teknik yang dapat digunakan dalam aquatic exercise terbagi

menjadi 2 yaitu teknik Halliwicks dan teknik Bad Ragaz

(Syetiawinanda, 2018).

a. Teknik Halliwicks memiliki tujuan khusus yaitu proses rehabilitasi

pada anak disabilitas dengan cara mengajarkan gerakan-gerakan

dasar berenang hingga mereka mampu melakukannya secara

mandiri. Sedangkan tujuan umum dari teknik ini ialah menguatkan

otot-otot dalam suatu pola gerakan (grup), memperbaiki postur,

meningkatkan kebugaran dan kondisi fisik anak.


24

b. Teknik Bad Ragaz ialah proses dalam memberikan intervensi yang

dapat dilakukan melalui propioceptive neuromuscular facilitation

(PNF).

Adapun teknik spesifik yang dapat diterapkan pada anak disabilitas

terutama autisme dalam aquatic therapy yaitu pemanasan, latihan

aerobik, latihan kekuatan, pendinginan, dan stretching (Pinkham, Haley,

& O'Neil, 2011).

a. Pemanasan dapat dilakukan seperti berlari di tempat, jumping jacks,

menggerak-gerakan tangan dan kaki, melompat dengan satu kaki,

menendang ke depan, melompat di tempat dan melompat ke arah

depan, belakang, samping kanan-kiri dengan kedua kaki.

b. Latihan aerobik dapat dilakukan dengan gerakan-gerakan dasar

berenang seperti gaya punggung dasar, gaya dada, front crawl

(mengayunkan tangan di air dan menggerakkan kaki dalam posisi

tengkurap), back crawl (gerakan sama seperti front crawl, dalam

posisi terlentang), kicking with a kickboard.

c. Halang rintang termasuk dalam melatih aerobik pasien dengan

kategori berbeda yaitu berlari di dalam air, berenang ke dasar kolam,

melewati rintangan ataupun mengambil benda di dasar kolam.

d. Permainan air termasuk juga dalam pelatihan aerobik terdiri dari

melempar bola basket pada keranjang, latihan melempar balik bola

kepada terapis, dan duduk pada aquatic noodle.


25

e. Latihan kekuatan pada ekstremitas atas seperti latissimus pull down,

triceps press, bicep curl, chest press dengan bantuan alat apung dan

bar bells.

f. Latihan kekuatan pada ekstremitas bawah seperti berjinjit dengan

satu kaki, front leg press, wall squats, menendang ke arah depan-

belakanng, kanan-kiri dengan bantuan bar bells atau tahanan.

g. Latihan kedua tungkai dilakukan dengan bantuan 2 terapis seperti

latihan mengapung dengan posisi supine lying kemudian dilanjutkan

dengan latihan sit up.

h. Latihan melompat keluar dari kolam tanpa menggunakan tangga

termasuk latihan kekuatan otot, dilakukan apabila kekuatan

ekstremitas dan kekuatan otot core sudah maksimal.

i. Pendinginan dapat dilakukan secara perlahan dan merelaksasikan

tubuh anak seperti gerakan berjalan di tempat, arm circle, leg circle.

j. Stretching dilakukan di tepi kolam yang tidak terlalu dalam dan

memiliki pegangan, stretching dimulai dari otot pectoralis major,

latissimus dorsi, triceps, trunk lateral flexion stretch,hamstring,

quadriceps, dan otot plantarflexor. Stretching dilakukan selama 20-

30 detik dengan 2 kali repetisi pada tiap ototnya.

6. Indikasi dan Kontraindikasi Aquatic Exercise

Indikasi menurut (Syetiawinanda, 2018) yaitu sebagai berikut :

a. Sebagai media dan fasilitator dalam beberapa latihan seperti

resistance exercise, ROM exercise, dan latihan kardiovaskular.

b. Meningkatkan pemberian teknil manual terapi


26

c. Melakukan replikasi aktivitas fungsional

d. Meminimalisir risiko terjadinya cidera selama proses rehabilitasi

e. Memberikan efek relaksasi pada pasien

f. Meningkatkan kekuatan otot dan kebugaran fisik

Adapun kontraindikasi yang harus diketahui sebelum memberikan

program aquatic exercise menurut (Syetiawinanda, 2018), yaitu :

a. Adanya riwayat penyakit jantung yang masih belum stabil

b. Terdapatnya disfungsi pada sistem pernapasan (kapasitas vital < 1

liter)

c. Penyakit pembuluh daraf perifer berat (gangrene, buerger disease)

d. Terjadinya perdarahan

e. Penyakit ginjal kronik (kemungkinan untuk kehilangan cairan dan

tidak dapat menyesuaikan diri saat berada di kolam)

f. Luka terbuka, luka bakar, dan infeksi kulit (tinea pedis)

g. Menstruasi

h. Sedang tidak dalam kondisi tubuh yang fit (influenza, demam,

typhus)

i. Riwayat kejang yang sulit terkontrol dalam 1 tahun terakhir

Anda mungkin juga menyukai