Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan
pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada
umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian
yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan
situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak
berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang,
bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Isu perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak
beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Media
massa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja, akan tetapi juga
lika- liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap
korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan
tersebut. Kasus- kasus perdagangan manusia yang cukup mendapat sorotan media
beberapa waktu yang lalu misalnya kasus penjualan tujuh orang perempuan
Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan
jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah
tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab
autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan
dokter di dunia.
Autisme adalah adalah gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif
pada komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial
timbal balik berupa kegagalan mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30
bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik
dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.
B. Tujuan Masalah
1. Mengetahui konsep teori Autisme
2. Mengetahui asuhan keperawatan teori mulai dari pengkajian, diagnose, dan
intervensi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
Autisme Spectrum Disorder (ASD, Gangguan Spektrum Autisme) adalah
gangguan perkembangan yang secara umum tampak di tiga tahun pertama
kehidupan anak. Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi
verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang
terjadi sebelum usia 30 bulan. (Behrman, 1999: 120)
1. Epidemologi
Prevalensi biasanya di perkirakan ada 3-4/10.000 anak. Gangguan ini jauh
lebih lazim pada laki-laki daripada wanita ( 3-4 : 1) beberapa penyakit sistemik,
infeksi, dan neurologis menunjukkan gejala seperti austistik juga ditemukan
peningkatan yang berhubungan dengan kejang.
2. Etiologi
 Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot)
terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan
kemampuan bicara).
 Kelainan kromosom (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
 Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
 Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum,
keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan
perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus
otak depan.
 Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan
gangguan sensori serta kejang epilepsi.
 Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak.
Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh
3. Patofisiologi
Diperkirakan bahwa genetik merupakan penyebab utama dari autisme.
Tapi selain itu juga faktor lingkungan misal terinfeksi oleh bahan beracun yang
akan merusak struktur tubuh. Selain itu bahan-bahan kimia juga dapat
menyebabkan autism, karena kita ketahui bahwa bila bahan tersebut masuk dalam
tubuh akan merusak pencernaan dan radang dinding usus karena alergi. Bahan
racun masuk melalui pembuluh darah yang bila tidak segera diatasi bisa menuju
ke otak kemudian bereaksi dengan endhorphin yang akan mengakibatkan
perubahan perilaku.
Anak dengan autisme mengalami gangguan pada otaknya yang terjadi
karena infeksi yang disebabkan oleh jamur, logam berat, zat aditif, alergi
berat,obat-obatan, kasein dan gluten. Infeksi tersebut terjadi pada saat bayi dalam
kandungan maupun setelah lahir. Kelainan yang dialami anak autisme terjadi pada
otak bagian lobus parietalis, otak kecil (cerebellum) dan pada bagian sistem
limbik. Kelainan ini menyebabkan anak mengalami gangguan dalam berpikir,
mengingat dan belajar berbahasa serta dalam proses atensi. Sehingga anak dengan
autisme kurang berespon terhadap berbagai rangsang sensoris dan terjadilah
kesulitan dalam menyimpan informasi baru.
4. Cara Mengetahui Autisme pada Anak
Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
a. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal: disini
maksudnya orang tua harus mengetahui pertumbungan dan perkembangan
anak berdasarkan usia, misalnya : pada usia sekitar 2 tahun anak sudah
mulai berbicara.
b. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak: orang tua
harus mengetahui gangguan ataupun kelainan yang mungkin terjadi pada
anak yang dapat kita lihat pada tahap perkembangannya berdasarkan usia.
Misalnya : tidak ada kontak mata, dan menolak untuk bicara.
c. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, di
TK, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
Apakah anak ini dominan untuk bermain sendiri, dan tidak bersosialisasi
pada teman-temannya yang lain.
5. Manisfestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemui pada penderita Autisme :
a. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal
yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat
menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya
sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara,
gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial
abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman.
b. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat
yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada
objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa
dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk
memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak
menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat
diramalkan .
e. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f. Kontak mata minimal atau tidak ada.
g. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda,
dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan
sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap
nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak
menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional.
i. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat)
saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak
berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak
umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa,
kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi
secara fungsional.
k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan
mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan
berjingkat-jingkat.
6. Tata Laksana
Anak autis memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi,
terapi perilaku, terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration
training (AIT),terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang
baik antara orang tua , keluarga dan dokter.
Orang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang tua
harus memberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf residen
lainnya. Orang tua sadar adanaya scottish sosiety for autistik children dan natinal
sosiety for austik children yang dapat membantu dan dapat memmberikan
pelayanan pada anak autis.
Terapi medis :
Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri
sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan
sosial.
Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik,
selain itu terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan
menggunakan permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan.
Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat
diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.
Terapi diit pada anakurangi asupan gula tinggi / karbohidrat karena dapat
merangsak autism adalah pada malam hari ng anak untuk sulit tidur dan aktivitas
bermainnya akan meningkat. Sebaliknya pada siang hari karbohidrat atau zat gula
sangat diperlukan untuk aktivitas dan bermainnya.
Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti
kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan. Hiperkinesis yang
jika menetap dan berat dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau
pengawet.
Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan
tepat waktu serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.
Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:
a. Mengurangi masalah perilaku.
b. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.
c. Anak bisa mandiri.
d. Anak bisa bersosialisasi.
Terapi non medis :
 Terapi musik. Lewat terapi ini, musik diharapkan memberikan getaran
gelombang yang akan berpengaruh terhadap permukaan membran otak.
Secara tak langsung, itu akan turut memperbaiki kondisi fisiologis.
Harapannya, fungsi indera pendengaran menjadi hidup sekaligus
merangsang kemampuan berbicara.
 Terapi akupunktur. Metode tusuk jarum ini diharapkan bisa menstimulasi
sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali.
 Terapi perilaku. Tujuannya, agar sang anak memfokuskan perhatian dan
bersosialisasi dengan lingkungannya. Caranya dengan membuat si anak
melakukan berbagai kegiatan seperti mengambil benda yang ada di
sekitarnya.
 Terapi anggota keluarga. Orang tua harus mendampingi dan memberi
perhatian penuh pada sang anak hingga terbentuk ikatan emosional yang
kuat. Umumnya, terapi ini merupakan terapi pendukung yang wajib
dilakukan untuk semua jenis terapi lain.
 Terapi lumba-lumba. Telah diketahui oleh dunia medis bahwa di tubuh
lumba-lumba teerkandung potensi yang bisa menyelaraskan kerja saraf
motorik dan sensorik pendeerita autis. Sebab lumba-lumba mempunyai
gelombang sonar (gelombang suara dengan frewkuensi tertentu) yang
dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada
dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang pasien sehingga dapat
membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Selain itu,
gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan
neurotransmitter.
7. Prognosis
Anak terutama yang mengalami bicara, dapat tumbuh pada kehidupan
marjinal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi, hidup dalam masyarakat,
namun pada beberapa anak penempatan lama pada institusi merupakan hasil akhir.
Prognosis yang lebih baik adalah tingat intelegensi lebih tinggi, kemampuan
berbicara fungsional, kurangnya gejala dan perilaku aneh. Gejala akan berubah
dengan pertumbuhan menjadi tua. Kejang-kejang dan kecelakaan diri sendiri
semakin terlihat pada perkembangan usia.
B. Pengertian Human Trafficking
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai:
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk
pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk
memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk
tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi
dan Menghukum Trafficking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-
anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
1. Faktor Penyebab Human Trafficking
 Kemiskinan
 Keinginan cepat kaya
 Pengaruh sosial budaya
2. Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada perempuan dan
anak-anak:
 Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di
wilayah Indonesia
 Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
 Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia
 Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri
 Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri
 Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
 Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia
o Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan
antara lain:
 Anak-anak jalanan
 Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan
informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih
 Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
 Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
 Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar negara
 Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
 Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan
3. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking
 Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki
dan anak perempuan,
 Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah
lulus sekolah dasar,
 Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan
penghasilan,
 Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk
memfasilitasi usaha sendiri,
 Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking
anak.
C. Pengertian Narapidana
Secara bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari
narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan
suatu tindak pidana10, sedangkan menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan
bahwa narapidana adalah orang hukuman atau orang buian11. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tercantum pada Pasal 1 angka
32, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
1. Kewajiban Narapidana
 Mengikuti program pembinaan yang meliputi kegiatan perawatan
 jasmani dan rohani, serta kegiatan tertentu lainnya dengan tertib.
 Mengikuti bimbingan dan pendidikan agama sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
 Mengikuti kegiatan latihan kerja yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) jam
dalam sehari.
 Mematuhi peraturan tata tertib lapas selama mengikuti program kegiatan.
 Memelihara sopan santun, bersikap hormat dan berlaku jujur dalam segala
perilakunya, baik terhadap sesama penghuni dan lebih khusus terhadap
seluruh petugas.
 Menjaga keamanan dan ketertiban dalam hubungan interaksi sesame
penghuni.
 Melaporkan kepada petugas segala permasalahan yang timbul dalam
penyelenggaraan pembinaan narapidana, lebih khusus terhadap masalah
yang dapat memicu terjadinya gangguan kamtib.
 Menghindari segala bentuk permusuhan, pertikaian, perkelahian,
pencurian, dan pembentukan kelompok-kelompok solidaritas di antara
penghuni di dalam lapas.
 Menjaga dan memelihara segala barang inventaris yang diterima dan
seluruh sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pembinaan
narapidana.
 Menjaga kebersihan badan dan lingkungan dalam lapas.
2. Hak narapidana
 Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan;
 Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
 Mendapatkan pendidikan dan pengajaan;
 Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makananyang layak;
 Menyampaikan keluhan;
 Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
 Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
 Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu
lainnya;
 Mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
 Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjung
keluarga;
 Mendapatkan pembebasan bersyarat;
 Mendapatkan cuti menjelang bebas;
 Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Larangan Bagi Narapidana
 Mempunyai hubungan keuangan dengan Narapidana atau Tahanan lain
maupun dengan Petugas Pemasyarakatan;
 Melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan seksual;
 Melakukan upaya melarikan diri atau membantu pelarian;
 Memasuki Steril Area atau tempat tertentu yang ditetapkan Kepala Lapas
atau Rutan tanpa izin dari Petugas pemasyarakatan yang berwenang;
 Melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatan dalam menjalankan
tugas;
 Membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah dan barang
berharga lainnya;
 Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi
narkotika dan/atau prekursor narkotika serta obat-obatan lain yang
berbahaya;
 Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi
minuman yang mengandung alkohol;
 Melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas angin, televisi,
dan/atau alat elektronik lainnya;
 Memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat elektronik, seperti laptop
atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan
sejenisnya;
 Melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian;
 Membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;
 Membawa dan/atau menyimpan barang-barang yang dapat menimbulkan
ledakan dan/atau kebakaran;
 Melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis,
terhadap sesama Narapidana, Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, atau
tamu/pengunjung;
 Mengeluarkan perkataan yang bersifat provokatif yang dapat
menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban;
 Membuat tato, memanjangkan rambut bagi Narapidana atau Tahanan
 Laki-laki, membuat tindik, mengenakan anting, atau lainnya yang sejenis;
 Memasuki blok dan/atau kamar hunian lain tanpa izin Petugas
D. Anak Jalanan dan pengertiannaya.
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang
menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya
sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang
menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang
pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh,
sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang
keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan
kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana
labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang
kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap
anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka
mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan.
1. Pengelompokan Anak Jalanan.
Sementara itu menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia anak jalanan
dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu :
a) Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of
the street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua
fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah
terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis
keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan
perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah,
kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan
mereka.
b) Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka
adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka
seringkali diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak
teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja
dari pagi hingg sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen,
tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di
lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
c) Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal
dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah
sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri,
membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang
paling menyolok adalah berjualan koran.
d) Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan
untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka
telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang
mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan
mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang
belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
2. faktor – faktor yang menyebabkan adanya Anak Jalanan.
a) Kekerasan dalam keluarga.
b) Dorongan keluarga.
c) Ingin bebas
d) Ingin memiliki uang sendiri.
e) Pengaruh teman.
3. Solusi untuk mengatasi anak jalanan.
a) Pendekatan Penghapusan (abolition)
b) Pendekatan Perlindungan (protection)
c) Pendekatan Pemberdayaan (empowerment)
BAB III

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus
Ibu membawa An. K 12 thn ke rumah sakit di poli anak karena ibunya mengeluh
perkembangan anaknya berbeda dengan anak seusianya. Setelah dilakukan
serangkaian pemeriksaan dijumpai An. K mengalami kesulitan dalam belajar dan
kesulitan dalam bersosialisasi, tidak mampu memahami/melaksanakan instruksi,
perbendaharaan kata terbatas, kesulitan dalam bertingkah laku yang sesuai dengan
usianya. An. K cenderung lebih memilih anak-anak yang usianya lebih rendah
dari dirinya sebagai temannya.

1. PENGKAJIAN
a. Biodata Anak
Nama : An. K
Umur : 12 Tahun
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Anak ke : 1 (Tunggal)
Alamat : Jln Merdeka
Diagnosa Medik : Autisme
b. Biodata Orang Tua
Ayah
Nama : Tn.S
Umur : 47 Tahun
Pekerjaan : PNS
Agama : islam
Alamat : Jln Merdeka

c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan


Kaji dan dokumentasikan tentang pasien menyangkut hal-hal berikut ini :
a. Bahasa utama
b. Kemampuan untuk berbicara, menulis, membaca, dan memahami
c. Kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan staf dan keluarga
d. Risiko gangguan perkembangan berhubungan dengan
a. Lakukan pengkajian kesehatan yang saksama (misalnya, riwayat anak,
temperamen, budaya, lingkungan keluarga, skrining perkembangan) untuk
tingkat fungsional
b. Pantau interaksi orang tua/anak (misalnya, selama memberi makan)
c. Kaji diit yang diberikan
e. Perubahan keluarga berhubungan dengan
a. Kaji interaksi interaksi antara pasien dan keluarga, waspada terhadap
potensi perilaku merusak
b. Kaji keterbatasan anak, dengan demikian dapat mengakomodasi anak
untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.
f. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan komunikasi verbal
2. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
3. Ketidak mampuan koping keluarga

g. Intervensi keperawatan
No. Diagnosa keperawatan NOC NIC
1. Gangguan komunikasi a. kemampuan komunikasi : 1. Pendengar aktif : hadir secara
verbal kemampuan untuk menerima, dekat dengan dan terikat
Defisini : penurunan, mengartikan, dan secara bermakna terhadap
keterlambatan, atau mengungkapkan pesan yang pesan verbal atau nonverbal
ketiadaan kemampuan dikatakan, ditulis dan dari pasien.
untuk menerima, nonverbal 2. Pencapaian komunikasi,
memproses, mengirim dan b. komunikasi : kemampuan deficit pendengaran : bantuan
menggunakan system ekspresif : kemampuan untuk dalam menerima dan belajar
symbol. mengungkapkan dan metode alternative untuk
mengartikan pesan verbal hidup dengan keterbatasan
atau nonverbal pendengaran.
c. komunikasi : kemampuan 3. Pencapaian komunikasi,
resertif : kemampuan untuk deficit wicara : bantuan dalam
menerima dan mengartikan menerima dan belajar metode
pesan verbal atau nonverbal alternatif untuk hidup dengan
gangguan berbicara
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Autisme adalah gangguan pervasif atau kualitatif pada bayi atau anak
dengan usia kurang dari 3 tahun (30 bulan) yang mencakup bidang komunikasi
verbal dan non-verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial/ prilaku.
Autisme didapatkan pada sekitar 20 per 10.000 penduduk, dan pria lebih sering
dari wanita dengan perbandingan 4:1, namun anak perempuan yang terkena akan
menunjukkan gejala yang lebih berat.
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan
autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan
terdapat gangguan biokimia, gangguan psikiatri/jiwa, dan kombinasi makanan
yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang
mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam
tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Tanda dan gejala pada anak autisme yang sering muncul adalah Penarikan
diri, Gerakan tubuh stereotipik, Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada
tangannya, menatap pada objek, Perilaku ritualistik dan konvulsif, Ledakan
marah/emosional, Kontak mata minimal atau tidak ada, Keterbatasan kognitif,
echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, dan
Intelegensi minimal.
Untuk mengetahui autisme pada anak, maka orang tua harus mengetahui
perkembangan dan pertumbuhan anak normal dan dilakukannya pemeriksaan
klinis. Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyatakan bahwa anak
akan sembuh total dari autis, tapi para orang tua bisa mencegah anak menjadi
autis dengan cara pemberian terapi prilaku (terapi wicara, terapi okupasi, dan
menghilangkan prilaku yang asosial) dan terapi farmakologis sehingga diharapkan
perkembangan anak akan berjalan dengan baik.
B. SARAN
1. Mahasiswa
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang kelainan perkembangan
perpasif pada anak dengan autisme., sehingga dalam pelaksanaannya dapat
memperlakukan anak dengan kondisi tersebut dengan baik dan dapat
memberikan pemahaman kepada orang tua yang memiliki anak dengan
kondisi tersebut.
2. Perawat
Perawat diharapkan mampu memberikan asuhan pada anak dengan autis
dan mampu memberikan penkes kepada orang tua tentang bagaimana
memperlakukan anak dengan kondisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulmuthalib. (2006). Prinsip dasar terapi sistemik pada kanker, dalam Sudoyo,
A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.K., & Setiati, S. (2006).
Bukuajar ilmu penyakit dalam. (3rd Ed.). (hlm 1879-1881). Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen Penyakit Dalam FKUI

Adiwijono. (2006). Teknik-teknik pemberian kemoterapi, dalam Sudoyo, A.W.,


Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.K., & Setiati, S. (2006). Buku ajar
ilmupenyakit dalam. (3rd Ed.). (hlm 1900-1902). Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Penyakit Dalam FKUI

Bulechek, Gloria M., et al. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th


edition. 2013

Desen, Wan. (2008). Onkologi Klinis. Edisi 2. Jakarta: FKUI

Gunawan, Rianto Gan. 2008. Farmakologi dan Terapi (Edisi 5). Jakarta: FK UI.

Herdman, T.H., Kamitsuru, Shigemi. Diagnosa Keperawatan 2015-2017 Edisi 10.


Jakarta: EGC

Indrawati , Maya (2009). Bahaya kanker Bagi Wanita dan Pria. Jakarta: AV
Publisher

Junaidi, Iskandar. (2007). Kanker. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer

Keperawatan edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian


Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Berkebutuhan Khusus Autisme

Disusun Oleh :

Kelompok : 14
1. NURHAJIJAH HASIBUAN : 17010024
2. FEBRINA SARI HARAHAP : 17010116
3. NURDINA : 17010073
4. ANWAR SOFYAN :
5. MHD. HUSEIN :

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


UNIVERSITAS AUFA ROYHAN
PADANG SIDIMPUAN
2019
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT yang


telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berharga ini. Penulis menyusun makalah yang
berjudul “Asuhan Keperwatan Pada Anak Dengan Berkebutuhan Khusus
Autisme “ Penulis menyadari bahwa makalah yang penulis susun ini masih ada
kekurangan dan kelemahan. Penulis menyusun makalah ini atas dasar teori yang
sudah ada dalam berbagai sumber .
Untuk itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran untuk
kesempurnannya dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Padangsidimpuan, November 2019


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Konsep Teori Autisme ........................................................................ 3
2.2 Asuhan Keperawatan autism ............................................................... 8

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN LUPUS ERITEMATOSUS .............. 9

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan ........................................................................................ 14
4.2 Saran ................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

ii

Anda mungkin juga menyukai