ME
Disusun oleh:
NATALIA A. OROH 2114202144
ESTER S.OPING 2114202145
GITRIA SEMBEL 2114202146
YEYEN Y. 2114202147
TOPORUNDENG
b. Klasifikasi autisme
Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autism,
diantaranya :
1) Aloof
Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri
dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
2) Passive
Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak
sosial melainkan hanya menerima saja.
3) Active but odd
Sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya
bersifat repetitif dan aneh.
c. Penyebab autisme
Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifaktor,
yaitu:
1) Kerusakan jaringan otak
Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika menyatakan
bahwa korelasi antara autis dan cacat lahir yang disebabkan oleh
Thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat
terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti
lainnya, Minshe, menemukan bahwa pada anak yang terkena autis,
bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi
lebih kecil daripada anak normal.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan
perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat
kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi. Karin Nelson, ahli
neorology Amerika mengadakan penyelidikan terhadap protein
otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein
dari bayi yang normal mempunyai kadar protein tinggi, yang
kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini
berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental (Huzaemah,
2010).
2) Terlalu banyak vaksin Hepatitis B
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak
vaksin Hepatitis B bisa mengakibatkan anak mengidap penyakit
autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet
Thimerosal.
3) Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah
Autis disebabkan kombinasi makanan yang salah atau
lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang
mengakibatkan kerusakan pada usus besar, yang mengakibatkan
masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Beberapa
teori yang didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah
dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis.
d. Perilaku autistik
Autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks. Ditandai
dengan ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional,
sulit dalam komunikasi timbale balik, minat terbatas, dan perilaku
tidak disertai gerakan berulang tanpa tujuan (stereo-tipic).
Menurut Safaria (2005),menyebutkan 2 jenis
perilaku autisme, yaitu :
1) Perilaku berlebihan (excessive) :
a) Perilaku melukai diri sendiri (self-abuse), seperti memukul,
menggigit, dan mencakar diri sendiri.
b) Agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan
mencubit.
c) Tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis, dan
melompatlompat.
2) Perilaku berkekurangan (deficit)
Yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang
sesuai, deficit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli,
bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa
tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa autistime
memiliki perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang
berkekurangan (deficit) yang memungkinkan perilaku yang
ditunjukkan tersebut dapat menggangu orang-orang yang disekitarnya.
f. Penanganan autisme
Menurut Danuatmaja, (2003), gangguan otak pada anak autis
umumnya tidak dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat
ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini, terpadu, dan intensif.
Gejala autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak
bisa bergaul dengan normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan
tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis bisa
menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Keberhasilan
terapi tergantung beberapa faktor berikut ini :
1) Berat atau ringannya gejala, terganting pada berat-ringannya
gangguan di dalam sel otak.
2) Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat
keberhasilannya akan semakin besar. Umur ideal untuk dilakukan
terapi atau intervensi adalah 2-5 tahun, pada saat sel otak mampu
dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.
3) Kemampuan bicara dan berbahasa: 20% penyandang autism tidak
mampu bicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu
bicara tetapi sulit dan kaku. Namun, ada pula yang mampu bicara
dengan lancer. Anak autis yang tidak mampu bicara (non verbal)
bisa diajarkan ketrampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya
dengan bahasa isyarat atau melalui gambar-gambar.
4) Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4-8 jam
sehari. Di samping itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam
melakukan komunikasi dengan anak.
Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis,
antara lain :
a) Terapi obat (medikamentosa)
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan
untuk memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap
lingkungan, dan menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang
dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian obat pada anak
autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian
obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping obat
dan mengenali cara kerja obat. perlu diingat bahwa setiap anak
memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat,
dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada
kehatihatian dari orang tua dalam pemberian obat yang
umumnya berlangsung jangka panjang (Danuatmaja, 2003).
Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki
respon anak sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis
baru seperti obat-obat anti depresan SSRI (Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan
antara neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang
diinginkan dalam pemberian obat ini adalah dosis yang paling
minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping.
Pemakaian obat ini akan sangat membantu untuk memperbaiki
respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah
menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang
dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi,
bahkan dihentikan (Danuatmaja, 2003).
b) Terapi biomedis
Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk
anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini
bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet
dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan mengingat
banyaknya gangguan pada fungsi tubuh yang sering terjadi anak
autis, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh
yang rentan, dan keracunan logam berat. Gangguan-gangguan
pada fungsi tubuh ini yang kemudian akan mempengaruhi
fungsi otak.
Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah
GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan
untuk tidak mengkonsumsi produk makanan yang berbahan
dasar gluten dan kasein (gluten adalah campuran protein yang
terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah protein
susu). Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak
dapat dicerna oleh usus menjadi asam amino tunggal sehingga
pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat
menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang berdampak
pada menurunnya tingkat kecerdasan anak (Danuatmaja, 2003).
Menurut Veskarisyanti (2008), anak dengan autisme
memang tidak disarankan untuk mengasup makanan dengan
kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif
sebagian besar dari mereka.
c) Terapi wicara
Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua
penyandang autisme mengalami keterlambatan bicara dan
kesulitan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup
berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai
kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi
dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara (speech
therapy) pada penyandang autisme merupakan suatu keharusan,
tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan metode ABA
(Applied Behavior Analysis).
d) Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku
yang bersifat self-maladaption (tantrum atau melukai diri
sendiri) dan menggantinya dengan perilaku yang dapat diterima
oleh masyarakat. Terapi perilaku ini sangat penting untuk
membantu anak ini agar lebih bisa menyesuaikan diri didalam
masyarakat. (Danuatmaja, 2003).
e) Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang
mempunyai perkembangan motorik kurang baik yang dilakukan
melalui gerakan-gerakan. Terapi okupasi ini dapat membantu
menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya.
Otot jari tangan misalnya sangat penting dikuatkan dan dilatih
supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang
membutuhkan ketrampilan otot jari tangannya seperti
menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main
piano, dan sebagainya (Danuatmaja, 2003).
f) Terapi sensori integrasi
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk megolah dan
mengartikan seluruh rangsang yang diterima dari tubuh maupun
lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang terarah.
Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan
saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur
dan fungsinya. Aktifitas ini merangsang koneksi sinaptik yang
lebih kompleks, dengan demikian dapat bisa meningkatkan
kapasitas untuk belajar.
2. Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil
dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya
bersifat langgeng, sebelum orang mengadopsi perilaku baru
tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :
1) Awareness (kesadaran) : yakni orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2) Interest : yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.
3) Evaluation : menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih
baik lagi.
4) Trial : orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5) Adoption : subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus
b. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan tercakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. Oleh
sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah.
2) Memahami (comprehension)
Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar.
3) Aplikasi (application)
Sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4) Analisis (analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu subyek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (synthetis)
Sintesis yaitu menunjukkan pada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu
kemampuan untuk menyusun formula baru.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu obyek atau materi. Penilian ini dibutuhkan
suatu kriteria yang ditentukan atau menggunakan kriteria yang ada.
3. Dukungan Keluarga
a. Pengertian
Pengertian sebuah dukungan keluarga merupakan proses yang
terjadi terus menerus disepanjang masa kehidupan manusia. Dukungan
keluarga berfokus pada interaksi yang berlangsung dalam berbagai
hubungan sosial sebagaimana yang dievaluasi oleh individu.
Dukungan keluarga mengacu pada dukungan–dukungan sosial yang
dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses
untuk keluarga (dukungan keluarga bisa / tidak digunakan tetapi
anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung
selalu siap memberikan bantuan). Dukungan keluarga dapat berupa
dukungan keluarga internal seperti dukungan suami atau istri atau
dukungan dari saudara kandungan dan dapat juga berupa dukungan
keluarga eksternal yang didapat dari sahabat, teman dan tetangga bagi
keluarga inti (Friedman, 1998).
4. Kecemasan
a. Pengertian
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan
menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik.
Cemas dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara
interpersonal (Stuart & Sundeen, 2002).
Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan,
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan
seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan
adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak
diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual. Kecemasan juga
dapat diartikan sebagai respon emosi tanpa obyek yang spesifik yang
secara subyektif dialami oleh dan dikomunikasikan secara
interpersonal. Kecemasan adalah suatu kebingungan atau kekhawatiran
pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan
dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya
(Suliswati, 2006).
e. Tingkatan Kecemasan
Beberapa tingkatan kecemasan adalah sebagai berikut (Stuart
& Sundeen, 2002) :
1) Kecemasan ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada serta
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.
Kecemasan ini normal dalam kehidupan karena meningkatkan
motivasi dalam membuat individu siap bertindak. Stimulus dari
luar siap diinternalisasi dan pada tingkat individu mampu
memecahkan masalah secara efektif (Stuart & Sundeen, 2002).
2) Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan
pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga
seseorang yang mengalami perhatian yang selektif namun dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah. Cemas sedang ditandai
dengan lapang persepsi mulai menyempit. Pada kondisi ini
individu masih bisa belajar dari arahan orang lain. Stimulus dari
luar tidak mampu diinternalisasi dengan baik, tetapi individu
sangat memperhatikan hal-hal yang menjadi pusat perhatian(Stuart
& Sundeen, 2002) .
3) Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi orang yang
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan
spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku
ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Seseorang memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
Lapang persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada
detail yang kecil (spesifik) dan tidak berfikir tentang hal-hal lain.
Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan
perlu banyak perintah atau arahan untuk berfokus pada area lain,
misalnya individu yang mengalami kehilangan harta benda dan
orang yang dicintai karena bencana alam, individu dalam
penyanderaan (Stuart & Sundeen, 2002).
4) Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan
terperangah, ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan
kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik menyebabkan
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan
kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak
sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung dalam waktu yang
lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.
Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang, karena
hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meski
dengan perintah, terjadi peningkatan aktivitas motorik,
berkurangnya keemampuan berhubungan dengan orang lain,
penyimpanan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu
berfungsi secara efektif (Stuart & Sundeen, 2002).
f. Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Kecemasan
Faktor yang menimbulkan kecemasan menurut Kaplan (2000)
adalah :
1) Faktor psikoanalitis
Cemas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua
elemen kepribadian : id dan superego. Id mewakili dorongan
insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan
hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi
menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut,
dan fungsi cemas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
Fenomena semakin meningkatnya jumlah prevalensi
autisme maka, akan semakin banyak pula orang tua yang
mengalami konflik batin dalam menerima keberadaan anaknya
yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan
karena adanya keinginan dan harapan orang tua yang tidak
terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam
keluarga, sehingga dapat mempengaruhi penerimaan orang tua
yang memiliki anak autis khususnya Ibu (Mansur, 2009).
Hasil penelitian Puspita (2011), yang melakukan penelitian
tentang pengetahuan dan sikap ibu dengan kemandirian anak autis
menunjukan responden dengan pengetahuan baik sebanyak 21
orang (40,4%). Sikap orang tua positif sebanyak 28 orang (53,8%).
Sebagian besar kemandirian anak dengan bantuan sebanyak 18
orang (34,6%). Analisa data menunjukan ada hubungan antara
pengetahuan dengan kemandirian merawat diri pada anak autis di
SLB Negeri Semarang dan ada hubungan antara sikap dengan
dengan kemandirian merawat diri pada anak autis di SLB Negeri
Semarang.
2) Faktor interpersonal
Cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan
dan penolakan interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan
perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang
menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri
rendah terutama rentan mengalami cemas yang berat.
Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan
bermasalah adalah tidak percaya (shock), sedih, kecewa, merasa
bersalah, marah, menolak dan cemas. Sebagian orang tua yang
segera menyadari kenyataan bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme sangat mungkin akan lebih baik dalam penanganan
nantinya. Proses yang dilalui orang tua beragam, tentunya semakin
cepat tahapan-tahapan yang dapat mereka lalui, maka akan semakin
cepat akhirnya sampai pada tahap penerimaan (Puspita, 2004) .
Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang
sempurna. Namun demikian sering terjadi keadaan dimana anak
memperlihatkan gejala masalah perkembangan sejak usia dini.
Salah satu contohnya adalah autisme. Autisme merupakan salah
satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi yang
ditandai adanya gangguan pada hubungan interpersonal (interakasi
sosial), gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan
adanya kebiasaan untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang
sama.
3) Faktor perilaku
Cemas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu
yang segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori perilaku lain
menganggap cemas sebagai suatu dorongan yang dipelajari
berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk menghindari
kepedihan. Ahli teori konflik memandang cemas sebagai
pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan. Mereka
meyakini adanya adanya hubungan timbal balik antara konflik dan
cemas. Konflik menimbulkan cemas dan cemas menimbulkan
perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik
yang dirasakan.
Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003),
menganalisis perilaku manusia tersebut dalam perilaku manusia
pada tingkat kesehatan. Sedangkan kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku
dan faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh:
a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan sistem nilai
yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi (Notoatmodjo, 2003).
b) Faktor-faktor pendukung(enabling faktor)
Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa
sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu
perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik.
Faktor pendukung (enabling factor) mencakup ketersediaan
sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada
hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu
perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor
pemungkin (Notoatmodjo, 2003).
c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor)
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan
penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan
sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian
yang baik akan memotivasi, sebaliknya hukuman dan
pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses
terbentuknya perilaku (Notoatmodjo, 2003).
4) Faktor keluarga
Gangguan cemas biasanya terjadi dalam
keluarga. Gangguan cemas juga tumpang tindih antara gangguan
gangguan cemas dengan depresi. Keberadaan anak autis dalam
suatu keluarga membuat orang tua pasrah atau sebaliknya, orangtua
menganggap anak autis sebagai aib dalam keluarga. Kenyataan
yang demikian ini dapat memberikan pengaruh pada dukungan
orang tua terhadap anaknya yang autis (Safaria, 2005).
Milyawati dan Hastuti (2009) yang melakukan penelitian
dukungan keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu serta
hubunganya dengan strategi koping ibu pada anak dengan
gangguan autisme menunjukan hasil bahwa karakteristik keluarga,
dukungan keluarga, pengetahuan serta persepsi anak autis tidak
berhubungan signifikan dengan strategi koping yang digunakan ibu
dalam upaya meringankan tekanan yang dihadapi dalam merawat
anak autisme.
5) Faktor biologis
Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor
khusus untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan
neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GAMA), yang
berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan
dengan cemas. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat
cemas pada keluarga memiliki efek nyata sebagai faktor penyebab
cemas.
g. Alat Ukur Kecemasan
Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang
apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali dapat digunakan alat
ukur (instrument) Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Alat ukur
ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok
dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing–masing
kelompok gejala diberi penilaian angka (skor) antara 0-4 yang artinya
adalah (Hawari, 2008) :
0 = Tidak ada (tidak ada gejala sama sekali)
1 = ringan (1 gejala dari pilihan yang ada)
2 = sedang (separo dari gejala yang ada)
3 = berat (lebih dari separo dari gejala yang ada)
4 = sangat berat (semua gejala ada)
Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRS-A ini adalah
sebagai berikut : gejala kecemasan meliputi perasaan cemas,
ketegangan, ketakutan, gangguan pola tidur, perasaan depresi
(murung), gejala somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik
sensorik, gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), gejala
respiratory (pernafasan), gejala gastrointestinal (pencernaan), gejala
urogenital (perkemihan dan kelamin), gejala autonom dan tingkah
laku. Dari semua gejala kecemasan tersebut diukur dengan nilai atau
angka (score) dengan rentang 0-4. Kemudian hasil akhir dari score
kecemasan. Masing-masing nilai angka (score) dari 14 kelompok
gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu:
1) Kurang dari 6 : tidak ada kecemasan.
2) 6-14 : kecemasan ringan
3) 15-27 : kecemasan sedang
4) >27 : kecemasan berat
B. KerangkaTeori
Faktorperilaku
Faktordukungankeluarga:
Faktorpsikoanalitis: 1. Dukunganemosional
1. insting Kecemasan 2. Dukunganpenghargaan
2. ego 3. Dukunganinstrumental
4. Dukunganinformatif
Faktorinterpersonal:
1. Perpisahan Faktorbiologis
2. Trauma
3. Rendahdiri
D. Variabel Penelitian
Variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati
(Sugiyono, 2007). Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel Independen adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau
yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan
dukungan keluarga.
2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kecemasan ibu yang memiliki anak autisme.
E. Hipotesis
Menurut Notoatmodjo (2005), hipotesa penelitian adalah jawaban
sementara penelitian, patokan duga atau sementara, yang kebenaranya akan
dibuktikan dalam penelitian tersebut.
Hipotesa yang diajukan pada penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan pengetahuan dengan kecemasan ibu yang memiliki anak
autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang
2. Ada hubungan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu yang memiliki
anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang
Daftar Pustaka
(Teramihardja, J. 2007.