Anda di halaman 1dari 14

IDENTIFYING DISABILITY

AUTISME AND DOWN SYNDROME


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Parenting Anak Disabilitas
Dosen Pengampu: Rr. Dwi Astuti, S.Psi, M. Psi, Psikolog

Disusun Oleh: Kelompok 2 Kelas 5B


1. Nuzulul Rizkia Abdillah (201860043)
2. Amrina Rosalia Nugroho (201960069)
3. Yemima Glaudia M.D (201960074)
4. Febiyani Setya Pramesti (201960078)
5. Afiq Azzahro (201960081)
6. Muhammad Maula Rizka (201960085)
7. Fatma Nur Afifah (201960086)
8. Laila Nafi’ah (201960087)
9. Elma Putri Aggraini (201960088)
10. Kinanti Kanti Wilujeng (201960095)
11. Aulia Rosita Sari (201960099)
12. Nor Budiyanto (201960101)
13. Candra Bagus Saputra (201960105)
14. Hanik Prasetiyo (201960110)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2021
A. AUTISME
1. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Karena bila diperhatikan maka
ada kesan bahwa penyandang autisme seolah-olah hidup di dunianya sendiri. Autisme
adalah gangguan perkembangan parah yang gejalanya mulai nampak sebelum anak
mencapai usia 3 tahun. Gangguan perkembangan tersebut mencakup gangguan dalam
interaksi sosial yang timbal-balik, gangguan komunikasi, adanya tingkah laku
stereotipe, serta minat dan aktivitas yang terbatas (American Psychiatric Association,
2000, dalam Mash & Wolfe, 2005).
Menurut Powers (1989) karakteristik anak penyandang autisme ditandai dengan
adanya 6 (enam) gejala atau gangguan dalam bidang:
a) Interaksi Sosial
 Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman sebaya
 Lebih suka menyendiri
 Tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindar untuk
bertatapan
b) Komunikasi (bicara, bahasa dan komunikasi)
 Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
 Senang meniru atau membeo (ekolalia)
 Tidak atau hanya sedikit sekali pemahaman anak mengenai konsep
abstrak atau gerak isyarat simbolis
 Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara atau pernah berbicara tapi
kemudian sirna
 Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya
 Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak
dapat dimengerti orang lain - Bicara tidak dipakai untuk alat
berkomunikasi
c) Pola bermain
 Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya
 Senang pada benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda
sepeda, gasing
 Tidak kreatif, tidak imajinatif
 Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang
terus dan dibawa kemana-mana
d) Gangguan Sensoris
 Berespon secara berlebihan atau justru tidak ada reaksi sama sekali
terhadap stimulasi sensoris
 Sering menggunakan indera penciuman atau pengecapannya,
seperti senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda
 Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
 Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut
e) Perilaku
 Berperilaku dapat berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan
(hipoaktif)
 Memperlihatkan perilaku stimulasi diri, seperti bergoyang-goyang,
mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar mendekatkan
mata ke TV, lari atau berjalan bolak-balik, melakukan gerakan
yang diulang-ulang 23
 Tidak suka pada perubahan atau amat terpaku pada suatu obyek
atau kegiatan rutinnya
 Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong
f) Emosi
 Amat sulit memahami dan mengekspresikan emosinya kepada
orang lain
 Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa,
menangis tanpa alasan
 Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau
diberikan keinginannya
 Kadang suka menyerang atau merusak
 Kadang-kadang anak berperilaku menyakiti dirinya sendiri
 Tidak mempunyai empati dan tidak memahami perasaan orang lain
Penanganan anak autisme tidak bias disamaratakan dikarenakan tidak
semua anak penyandang autisme memiliki gejala yang sama.
2. Diagnosis Autisme
Untuk mendiagnosa apakah seorang anak menyandang autisme atau tidak, dipakai
kriteria yang disebutkan dalam The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM IV - TR) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association
(2000). Adapun kriteria-kriteria tersebut, yaitu :
Harus ada sedikitnya 6 gejala yang tercantum pada butir (1), (2), dan (3), dengan
minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3), yaitu:
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial. Minimal harus ada 2 dari gejala-
gejala di bawah ini:
a. Tidak mampu menggunakan perilaku non-verbal, seperti kontak mata,
ekspresi muka, gerak-gerik untuk melakukan interaksi sosial.
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
c. Kurang mampu untuk berbagi kesenangan, minat, atau achievement
dengan orang lain.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional secara
timbalbalik.
2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada 1 dari
gejalagejala di bawah ini:
a. Kemampuan bicara yang terlambat atau bahkan sama sekali tidak
berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-
verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat
meniru.
3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku,
minat dan kegiatan. Minimal harus ada 1 dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas
dan berlebihan.
b. Terpaku pada satu kegiatan ritual atau rutin yang tidak ada gunanya.
c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang.
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.
3. Karakteristik Anak Autis
a. Keterbatasan intelektual, daya tahan, atau kekuatan
Tingkat intelegensi anak autis sangat beragam dari profound mental
retardation hingga kemampuan yang superior. 70% anak autisme mengalami
mental retardation, yaitu :
 40% tergolong severe MR dengan IQ < 50. Anak-anak autisme dengan
MR severe ini biasanya mengalami kesulitan hidup mandiri di masa
yang akan datang atau saat dewasa nanti.
 30% memiliki tingkat intelektual MR dengan IQ antara 50 dan 70.
Skor IQ pada anak-anak autisme ini biasanya stabil dan merupakan
prediksi yang baik untuk mengetahui penanganan intelegensi yang
tepat bagi mereka.
 30% yang terakhir memiliki tingkat intelegensi rata-rata atau di atas
rata-rata. Berbeda dengan anak-anak autisme dengan kemampuan
intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata. Bakat atau kemampuan
mereka biasanya seperti membaca, mengeja, aritmatika, musik, atau
menggambar.
b. Keterbatasan dalam sensory dan persepsi
Beberapa anak autis sangat peka terhadap suara, bau, dan tekstur yang bagi
anak-anak lain adalah hal yang normal. Sensory dominance adalah tendensi
untuk lebih terfokus pada satu jenis stimulus sensory tertentu daripada yang
lainnya, contoh : lebih suka melihat sesuatu dibandingkan dengan mendengar
suara tertentu.
c. Keterbatasan atau kelemahan dalam hal kognitif
Anak-anak autisme biasanya kurang mampu dalam hubungan sosial dan
komunikasinya. Kurang bias memahami dan memproses informasi social-
emosional, seperti ekpresi emosi, suara, dan mimik wajah. seorang anak
normal dapat bermain pura-pura memberi minum bonekanya dengan cangkir
yang kosong, kemudian berpura-pura mengeluarkan suara seperti menghirup
minuman tersebut. Pada anak autis justru melakukan gerakan yang berulang-
ulang, seperti memutar-mutar cangkir tersebut dikarenakan anak penyandang
autis umumnya mengalami kesulitan dalam bermain peran atau berpura-pura.
4. Penyebab Autisme
Secara umum autisme adalah sebuah gangguan yang disebabkan oleh kelainan
perkembangan saraf (otak) karena perkembangannya yang terganggu dan tidak
optimal
a. Masalah pada Awal Masa Perkembangan.
Diakibatkan kelahiran prematur, pendarahan, atau infeksi sewaktu kehamilan,
toxemia (keracunan darah), diidentifikasikan pada sebagian kecil dari populasi
anak dengan gangguan autisme. Walaupun demikian, masalah tersebut tidak
dapat dipastikan sebagai penyebab utama dari autisme.
b. Pengaruh Genetik
 Family and Twin Studies.
Kemungkinan anak kembar identik sama-sama memiliki gangguan
autisme berkisar antara 60% hingga 90%. Temuan penelitian keluarga
dan penelitian anak kembar memberikan bukti kuat bahwa faktor
genetik berperan penting sebagai etiologi autisme.
 Chromosomal and Gene Disorders.
Kelainan kromosom mungkin berhubungan dengan autisme. Adanya
kelainan kromosom fragile-X yang terjadi pada 2% sampai 3% dari
populasi anak autisme.
 Molecular Genetics
Penelitian terkini yang menggunakan molecular genetic merujuk
kepada beberapa area dalam kromosom otak, yaitu kromosom II, VII,
XIII, dan XV, sebagai kemungkinan lokasi susceptible genes untuk
autisme. Namun gen penyebab pastinya masih belum bisa
diidentifikasi.
c. Kelainan Otak
Cerebellum (otak kecil) yang merupakan pusat dari gerakan motorik, namun
berkaitan juga dengan bahasa, belajar, emosi, proses berpikir, dan perhatian.
Pada anak autisme sebagian besar memiliki cerebellum yang lebih kecil dari
anak normal.

B. Down Syndrome
1. Pengertian Down Syndrome
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lejuene (1959 dalam Gruenberg,
1966), seorang ahli genetik Prancis, penderita down syndrome memiliki 47 kromosom,
sementara itu orang normal memiliki 46 kromosom. Juga diketahui adanya persentase
yang tinggi tentang anak yang menderita down syndrome yang dilahirkan oleh ibu yang
berusia diatas 40 tahun. Kelahiran down syndrome memiliki frekuensi lebih dari 7 per
1.000 dengan usia ibu 40 tahun atau lebih.
Down Syndrome atau sindrom down merupakan kelainan kromosom, yaitu
terbentuknya kromosom 21 (trisomy 21) akibat kegagalan sepasang kromosom untuk
saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Sulastowo, 2008). Down syndrome
pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down karena ciri-cirinya
yang unik, contohnya tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang
datar menyerupai orang Mongolia, Amerika dan Eropa.
Menurut Beirne-Smith, Ittenbach dan Patton dalam Mangungsong (2014:145),
down syndrome atau sering disebut juga Trisomy 21, merupakan bentuk keterbelakangan
mental paling umum yang terjadi pada saat lahir. Menurut POTADS (2019:5), secara
harfiah syndrome diartikan sebagai suatu gelaja atau tanda yang muncul secara bersama-
sama dan menandai ketidak normalan tertentu, penyandang down syndrome sering
disebut Mongoloid, hal ini berkaitan dengan ciri-ciri fisik yang mirip orang Mongolia.
Data World Health Organization (WHO) dalam Winurini (2018:14) memperkirakan
terdapat 8 juta penyandang down syndrome di dunia. Spesifiknya, ada 3.000-5.000 anak
lahir dengan kelainan kromosom per-tahunnya.
2. Penyebab Anak Down Syndrome
Penyebab down syndrome menurut Rina (2016:218), antara lain karena:
a) Faktor biologis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jerome Lejuene seorang ahli genetik
prancis, bahwa anak yang mongoloid memiliki 47 kromosom daripada 46 kromosom
yang dimiliki orang normal. 0.5 sampai dengan 1 persen ditemukan adanya
penyimpangan kromosom pada bayi yang diindentikan dengan retardasi mental, fertilitas,
dan penyimpangan yang multiple. Salah satu dari penyimpangan tersebut adalah trisomy
21, dengan adanya malformation dari mervus central sehingga mempengaruhi
perkembangan. Birth injuries dan komplikasi dapat menyebabkan retardasi. Salah
satunya adalah anoxia, yaitu kekurangan supply oksigen. Adanya malnutrisi dalam
perkembangan kognitif sangat berbahaya, yaitu lima bulan sebelum kelahiran dan
sepuluh bulan setelah kelahiran.
b) Faktor Hereditas dan Cultur Family
Berdasar penelitian yang dilakukan pada 88 ibu dengan kelas ekonomi rendah dan
586 anak dengan komposisi: setengah dari sampel itu memiliki IQ dibawah 80 dan
setenganya lagi memiliki IQ diatas 80. Ternyata dari hasil penelitian membuktikan bahwa
anak yang memiliki ibu dengan IQ dibawah 80, memiliki penurunan IQ selama
memasuki masa sekolah. 1-2 persen dari populasi yang memiliki retardasi mental akan
menghasilkan 36% generasi retardasi mental pada periode selanjutnya, sedangkan
populasi secara keselurahan 80-90% akan menghasilkan 64% anak yang retardasi mental.
c) Radiasi
Salah satu penyebab pada down syndrome ini menyatakan bahwa 305 ibu yang
melahirkan anak dengan down syndrome, pernah mengalami radiasi didaerah perut
sebelum terjadinya konsepsi.
d) Autoimun
Diperkiran sebagai penyebab down, terutama autoimun tiroid atau penyakit yang
dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow dalam Rina (2016:218), secara konsisten
terdapat perbedaan auto anti body tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan dengan
ibu down syndrome kontrol yang sama

Dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya anak down syndrome adalah bentuk
abnormalitas kromosom yang berdampak pada keterlambatan perkembangan fisik dan mental.
Kelainan kromosom ini, karena adanya jumlah kromosom ke 21 yang berlebih yakni berjumlah 3
(trisomy) membuat jumlahnya menjadi 47 kromosom. Faktor penyebab lain adalah: endogen,
faktor biologis, radiasi dan autoimun.

3. Karakteristik Anak Down Syndrome


Menurut Selikowitz dalam Romadheny (2016:70-71) karakteristik yang muncul pada
anak down syndrome bervariasi, mulai dari yang tidak nampak sama sekali, tampak minimal,
hingga muncul tanda yang khas. Ciri-ciri down syndrome yang tampak khas yaitu ciri
fisiknya yang dapat diamati antara lain:
a) Kepala dan Wajah
 Penampilan fisik
Dari kepala yang relatif lebih kecil dari normal (microchepaly) dengan
bagian anteroposterior kepala mendatar dengan paras wajah yang
mirip seperti orang mongol.
 hidung
Sela hidung datar dan pangkal hidung pesek, telinga, lebih rendah dan
leher agak pendek dan lebar
 mata
Jarak antara dua mata jauh dengan mata sipit dengan sudut bagian
tengah membentuk lipatan (epicanthol folds) sebesar 80%.
 Mulut
Ukuran mulutnya kecil, tetapi ukuran lidah besar dan menyebabkan
lidah selalu menjulur (macroglossia) dengan pertumbuhan gigi yang
lambat dan tidak teratur dan down syndrome mengalami gangguan
mengunyah, menelan dan bicara, Rambut anak down syndrome
biasanya lemas dan lurus.
b) Kulit
anak down syndrome memiliki kulit lembut, kering dan tipis. Sementara itu, lapisan
kulit biasanya tampak keriput (dermatologlyhics).
c) Tangan dan kaki
memiliki tangan yang pendek, jarak antara ruas-ruas jarinya pendek, mempunyai jari-
jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam, tapak tangan biasanya
hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”, kaki agak pendek dan
jarak antara ibu jari kaki dan jari kaki keduanya agak jauh terpisah.
d) Otot dan tulang
Otot down syndrome lemah sehingga mereka menjadi agak lemah untuk
menghadapi masalah dalam perkembangan motorik kasar. Masalah yang berkaitan
seperti masalah kelainan organ terutama jantung dan usus. Tulangtulang kecil
dibagian leher tidak stabil sehingga menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh
(atlantaoxial instability).

Selain ciri-ciri fisik yang nampak, anak down syndrome juga memiliki tanda-tanda yang
tidak nampak atau penyakit penyerta lainnya. Dalam Potads (2019:26-31), penyakit jantung
kongenital sering ditemukan pada down syndrome dengan prevelensi 40-50%, juga gangguan
pendengaran dan penglihatan. Dalam Rahmatunnisa (2017:231-232), 70-80% anak dengan down
syndrome memiliki gangguan pendengaran karena memiliki rongga hidung kecil, yang membuat
lebih sulit bagi mereka untuk melawan flu dan infeksi, serta sering mengalami gangguan
penglihatan atau katarak. Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan kongenital yang berat
lainnya, akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi/prasekolah. Sebaliknya ada juga
kasus justru terjadinya obesitas pada masa remaja atau setengah dewasa. Dalam Rohmadheny
(2016:68-69) Penyandang down syndrome mempunyai risiko tinggi mendapat Leukimia
(Leukimia Limfoblastik akut dan Leukemia Myeloid), penyandang down syndrome mempunya
risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah, diperikirakan sekitar 18-38% anak down
syndrome risiko mendapat gangguan psikis. Masalah perkembangan belajar anak down
syndrome secara keseluruhan mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal,
karena anak down syndrome memiliki IQ rata-rata 35-50.
REVIEW JURNAL

Judul jurnal: Meningkatkan life skill pada anak down syndrom dengan teknik modelling

Keywordy: Life Skill, Down Syndrome, Modelling Technique

Penulis: Amherstia Pasca Rina

Bulan, Tahun, halaman: September 2016, Vol. 5, No. 03, hal 215 – 225

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan life skill pada anak down
syndrome dengan menggunakan teknik modelling. Subyek pada penelitian ini terdiri atas 1 anak.
Subyek (S) adalah seorang anak laki-laki berusia 11 tahun. Hasil asesment memperlihatkan
bahwa subjek memiliki ciri-ciri down syndrome, mempunyai kemampuan kognitif yang
tergolong retardasi mental sedang, kesulitan mengkoordinasikan gerakan mata dan tangan, serta
kemampuan life skill tergolong rendah. Hasil intervensi memperlihatkan bahwa teknik modelling
dapat meningkatkan life skill pada subyek. Terapi perilaku dengan teknik modelling memberikan
perubahan pada subyek secara positif meskipun belum optimal. Teknik modelling tidak dapat
menyelesaikan permasalahan subyek secara utuh yang berhubungan dengan kondisi emosi
subyek dan pola asuh orangtua.

Populasi dan Sampel: Anak yang berkebutuhan khusus yaitu down syndrom kemudian
meningkatkan life skill pada anak dengan menggunakan teknik modelling

Metode Pengambilan Sampel: Orangtua Subjek mengeluhkan bahwa Subjek masih belum bisa
menulis, dan mandiri, seperti mengenakan pakaian yang berkancing, menali sepatunya sendiri,
dan menggosok gigi. Sedangkan keluhan dari pihak guru, Subjek masih belum bisa memegang
pensil dengan benar. Subjek memegang pensil dengan cara menggenggam. Subjek juga belum
bisa mencontoh huruf. Subjek hanya bisa menghubungkan titik-titik yang membentuk huruf,
angka ataupun gambar. hasil diagnosis dokter Subjek mengalami kelainan genetik yaitu, down
syndrome. Kapasitas intelegensi Subjek berada pada taraf moderate mentally retarded, dimana
kemampuannya setara dengan usia 3 tahun 4 bulan. Metode dan pengambilan sampel yang
dilakukan adalah dengan cara melakukan observasi atau mengamati usbjek selama 5 hari berturut
turut untuk melihat perkembangan subjek dan orang tua subjek yang mengajari subjek

hasil dan pembahasan : Proses intervensi yang dilakukan selama lima sesi pertemuan pada
subyek S memperlihatkan hasil yang berbeda. Kemampuan daily living skill yang diajarkan
kepada S pada sesi I, II dan III menunjukkan hasil sesuai yang diterapkan oleh penulis.
Kemampuan menalikan sepatu yang diajarkan pada sesi IV memperlihatkan hasil yang jauh dari
harapan. S tampak kesulitan ketika menirukan. Ia selalu mengeluh ketika diminta mencoba
menirukan lagi. Melihat kondisi seperti ini, penulis merubah intervensi menalikan sepatu
menjadi memakai sepatu dengan perekat. Kendala-kendala yang muncul ketika terapis
memberikan contoh pada ibu dan ibu menirukan pada S kemudian meminta S menirukan adalah
Lokasi intervensi yang bertempat di rumah S ternyata kurang efektif dan masih banyak gangguan
yang terjadi dan Perilaku S yang selalu dipengaruhi oleh perasaannya memiliki pengaruh yang
sangat besar atas keberhasilan intervensi ini. Anak-anak dengan down syndrome menderita
berbagai defisit dalam belajar dan perkembangan. Anak-anak ini mengalami defisit memori,
khususnya untuk informasi yang ditampilkan secara verbal, sehingga sulit untuk belajar di
sekolah. Mereka juga mengalami kesulitan mengikuti instruksi dari guru dan mengekspresikan
pemikiran atau kebutuhan mereka dengan jelas secara verbal (Nevid, dkk., 2003). Kemampuan
daily living skill pada subyek juga masih rendah. Subyek S masih belum bisa memegang pensil
dengan benar, memasukkan kancing pada lubang yang tepat, menggosok gigi, dan menalikan
sepatu. Evaluasi terhadap intervensi yang diberikan kepada subyek menunjukkan hal yang positif
meskipun belum optimal. Hurlock (1975) menulis bahwa sikap ibu dapat mendukung
perkembangan anak menjadi lebih positif. Sedangkan Zigler mengungkapkan bahwa anak down
syndrome mengalami hambatan emosi. Anak yang mengalami down syndrome sudah memiliki
stigma bahwa mereka memiliki penyimpangan dan fungsi yang maladaptive, sehingga perlu
dukungan dari keluarga dan institusi yang peduli terhadap keadaan mereka

kesimpulan : Berdasarkan proses intervensi yang telah dilakukan dan melihat evaluasi hasil
intervensi pada anak down syndrome, maka terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu
Anak down syndrome dengan kapasitas kemampuan yang tergolong moderate mentally retarded
setara dengan kategori pendidikan “mampu latih”, Teknik modelling sesuai untuk diterapkan
pada subyek karena subyek akan mudah menerima materi dan mudah mempelajari karena orang
yang menjadi model sudah sangat dekat dengan subyek dan model memberikan instruksi dengan
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, Diperlukan tindak lanjut untuk tetap memantau
peningkatan daily living skill sesuai tahapan usianya

kelebihan: kelebihan dari jurnal ini adalah dari tujuan, pendahuluan dan penjelasan materi sudah
baik dan dijelaskan secara rinci sehingga mudah dipahami

kekurangan: Kekurangan pada jurnal ini adalah sampel dan populasi tidak begitu dijelaskan, dan
tujuan juga kurang jelas sehingga pembaca sedikit sulit untuk memahami.
Daftar Pustaka

Nugraheni. S. A. 2012. Menguak Belantara Autisme. Buletin Psikologi 20 (1-2): 9 – 17


Wiryadi. Sri Samiwasi. 2011. Pola Asuh Orang Tua Dalam Upaya Pembentukan
Kemandirian Anak Down Sindrom. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus 3 (3): 737-746
Rahmatunnisa. Sriyanti. Dkk. 2020. STUDY KASUS KEMANDIRIAN ANAK DOWN
SYNDROME USIA 8 TAHUN. Jurnal Pertumbuhan, Perkembangan, dan Pendidikan
Anak Usia Dini 17 (2): 96-109
Rina. Amherstia Pasca. 2016. Meningkatkan Life Skill pada Anak Down Syndrome dengan
Teknik Modelling. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia 5 (3):215-225
Eva. Nur. 2015. E-Book Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Malang. Universitas
Negeri Malang (UM)

Anda mungkin juga menyukai