Anda di halaman 1dari 21

RITUAL SIRAMAN CALON PENGANTIN JAWA

Tugas disusun untuk memenuhi UAS Mata Kuliah Psikologi Budaya

Dosen Pengampu : Dr.Mochamad Widjanarko, M.Si

Disusun oleh :

1. Syarif Arrasyid (201960079)


2. Fatma Nur Afifah (201960086)
3. Laila Nafi’ah (201960087)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2020
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Ritual
Siraman Calon Pengantin Jawa” ini tepat pada waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen kami Dr. Mochamad


Widjanarko M.Si selaku dosen Mata Kuliah Psikologi Budaya yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan pembaca dan juga penulis.

Kudus, 28 Desember 2020

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat (Teoritis dan Praktis)

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

BAB III : METODE PENGUMPULAN DATA

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya, ras,


suku bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa. Sesuai semboyang Bhineka
Tunggal Ika, maka meskipun memiliki keragaman budaya, Indonesia tetap satu.
Keragaman yang ada di Indonesia adalah kekayaan kebudayaan dan keindahan
bangsa Indonesia. Salah satu nya adalah masyarakat suku Jawa yang telah
menyebar ke seluruh pelosok negeri tidak terkecuali masyarakat Jawa. Budaya
daerah sangat penting untuk berlangsungnya kebudayaan nasional, untuk itulah
budaya daerah harus terus dilestarikan dan dijaga agar tetap dilaksanakan oleh
suatu masyarakat. Salah satu bentuk dari kebudayaan yang sering berkembang di
masyarakat adalah tradisi, dengan berbagai ritual yang sudah ada sejak dahulu.
Pada masyarakat yang kental akan budaya akan tetap menjaga tradisi yang
diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang yang dianggap memberikan
manfaat bagi masyarakat tersebut.

Menurut Soerjono Soekamto (1990), tradisi adalah kegiatan yang dilakukan


oleh sekelompok masyarakat dengan secara langgeng (berulang-ulang). WJS
Poerwadaminto (1976), menjelaskan bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang
menyangkut kehidupan dalam masyarakat yang dilakukan secara terus menerus,
seperti adat, budaya, kebiasaan dan juga kepercayaan, dan menurut Bastomi
(1984:14), bahwa tradisi adalah roh dari sebuah kebudayaan, dengan tradisi sistem
kebudayaan akan menjadi kokoh. Jika tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu
kebudayaan akan berakhir saat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi seringkali
sudah teruji tingkat efektifitasnya dan tingkat efisiensinya. Efektifitas dan
efisiensinya selalu mengikuti perjalanan perkembangan unsur kebudayaan.
Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam mengatasi persoalan jika tingkat
efektifitas dan efisiennya rendah akan segera ditinggalkan oleh pelakunya dan
tidak akan menjadi sebuah tradisi. Tentu saja suatu tradisi akan pas dan cocok
sesuai situasi dan kondisi masyarakat yang mewarisinya.

(Winnick dalam Nur Syam:2005) mengemukakan pendapatnya bahwa ritual


adalah serangkaian tindakan yang selalu melibatkan agama atau magic, yang
kemudian dimantapkan melalui tradisi. Ritual ini tidak sama persis dengan
pemujaan, karena ritual adalah tindakan yang bersifat keseharian. Menurut
(Situmorang : 2004), ritual adalah suatu hal yang berkaitan dengan kepercayaan
dan keyakinan spiritual dengan suatu tujuan tertentu. Sedangkan menurut (Victor
Tuner), ritual adalah suatu perilaku tertentu yang sifatnya formal dan dilakukan
dalam waktu tertentu dengan cara yang berbeda. Ritual bukanlah hanya sekedar
rutinitas yang bersifat teknis saja, melainkan tindakan yang didasarkan pada
keyakinan religius terhadap suatu kekuasaan atau kekuatan mistis.

Masyarakat Jawa memiliki berbagai tradisi yang dilakukan dalam setiap tahap
penting kehidupan manusia. Upacara pernikahan, yang merupakan pintu gerbang
bagi setiap pasangan yang akan memasuki lembar kehidupan baru juga tidak luput
dari perayaan dan pelaksaan ritual tertentu. Ada beberapa ritual yang perlu
dilakukan oleh calon pengantin sebelum proses pernikahan dan salah satunya
adalah ritual siraman. Siraman merupakan prosesi dari rangkaian pada pernikahan
adat Jawa. Dalam upacara ini, terdapat banyak makna serta simbolis yang
berisikan makna kehidupan bagi pasangan pengantin. Upacara adat siraman
dilakukan sebelum melakukan ijab kabul. Dengan begini sang calon pengantin
akan kembali bersih dan siap memasuki lembar baru dalam kehidupan mereka.

B. Tujuan

Tujuan dilakukan asesmen ini dilakukan untuk mengetahui apa itu siraman,
tata cara pelaksanaanya, dan fungsi dari ritual tersebut.

C. Manfaat

1. Secara Teoritis
Asesmen ini bermanfaat di bidang Psikologi Budaya, bentuk manfaatnya
yaitu membantu mengetahui tentang pernikahan adat Jawa dengan ritual di
dalamnya yaitu siraman.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi subjek peneliti, bentuk manfaatnya adalah tahu apa itu ritual
“Siraman”, tata cara, pelaksanaan dan manfaatnya.
b. Bagi peneliti lain, bentuk manfaatnya adalah bisa di jadikan sebagai
referensi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini, tinjauan pustaka yang digunakan adalah teori-teori yang
menjadi landasan dalam penelitian, selain itu kajian pustaka juga melalui artikel-
artikel yang sudah kredibel. Hasil penelitian yang dijadikan sebagai tinjauan
pustaka dalam penelitian ini adalah penelitian tentang Ritual siraman, yaitu artikel
oleh Riski Tri Maya (2018) dengan judul “Simbolisme Budaya Jawa Upacara
Siraman Pengantin di Kabupaten Kediri” yang menyatakan perkawinan
merupakan salah satu peristiwa yang penting dan sakral dalam kehidupan semua
manusia. Seperti halnya mengenai upacara siraman pengantin budaya Jawa.
Umumnya masyarakat pedesaan selama ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai
simbolisme. Hal ini karena sifat budaya yang turun-temurun dari generasi ke
generasi. Siraman, dari kata siram yang artinya menguyur atau mandi. Sepasang
pengantin akan melakukan upacara siraman satu hari sebelum ijab qabul. Akan
tetapi hakikat dari mandi (siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak
hanya sekedar membersihkan wadag badan tetapi juga membersihkan jiwa.
Membersihkan segala gangguan agar supaya pada saat prosesi ijab qabul tidak
lagi ada aral yang melintang. Pengantin agar dapat memulai hidup baru dengan
keadaan yang bersih dan suci.

Hasil penelitian ini menunjukkan deskripsi bentuk simbol, makna simbol, dan
fungsi simbol yang meliputi: sesaji, kenduri, sungkeman, siraman, dan dodolan
dawet dalam tata cara upacara siraman pengantin budaya Jawa yang bertujuan
untuk mengingatkan masyarakat luar untuk kembali menjunjung nilai kebudayaan
dan keindahan upacara siraman pengantin yang sebenarnya. Bentuk simbol yang
terdapat dalam penelitian ini meliputi sesaji, kenduri, sungkeman, siraman, dan
dodolan dawet. Bentuk simbol sesaji merupakan sejenis persembahan kepada
arwah nenek moyang pada upacara adat di kalangan penganut kepercayaan kuno,
seperti suku Jawa. Kenduri merupakan perlengkapan selamatan dan do’a yang
akan dipanjatkan untuk meminta kelancaran acara. Sungkeman merupakan bentuk
rasa hormat anak kepada orangtua. Siraman merupakan ritual adat Jawa calon
pengantin sebelum melakukan ijab qobul, sedangkan dodolan dawet merupakan
cara orangtua mengajarkan anak untuk mencari rezeki.

Kedua, penelitian yang membahas mengenai tradisi Siraman yaitu Anggie


Putri Marverial (2020) yang menulis jurnal dengan judul “Makna Simbol Pada
Ritual Siraman Pernikahan Adat Jawa Tengah” yang menyatakan Masyarakat
Jawa berinteraksi menggunakan simbol sejak zaman dahulu kala. Dimana pada
simbol tersebut terdapat makna baik yang tersembunyi sekaligus bermanfaat bagi
yang mempercayai. Dalam proses interaksi pun terdapat banyak simbol dalam
bentuk verbal dan nonverbal. Simbol secara tidak sadar dan tidak langsung sering
kita temui dalam kehidupan seharihari maupun dalam kegiatan resmi, seperti
ritual dalam pernikahan. Salah satu ritual dalam pernikahan yang kental dengan
adat istiadatnya dan terdapat banyak simbol didalamnya ialah ritual siraman.
Legenda Raden Panji dan Dewi Chandrakirana dari kerajaan Kediri adalah asal
mula terjadinya ritual siraman dalam salah satu rangkaian ritual pernikahan adat
Jawa tengah. Dalam rangkaian ritual siraman adat Jawa sudah dipastikan terdapat
banyak simbol serta pesan verbal dan nonverbal. Simbol tersebut dapat berupa
alat-alat siraman, sesaji siraman, pakaian siraman dan aturan siraman.
BAB III

METODE PENGUMPULAN DATA

Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif, yaitu
menganalisis, menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari
berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawacara atau pengamatan
mengnai masalah yang diteliti yang terjadi di lapangan. Metode penelitian ini
sering digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah yakni obyek
yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti. Melalui penelitian
dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasikan kegiatan, ataupun
memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau
variabel tersebut. Dalam penelitian ini definisi operasional variabelnya adalah
pelaksanaan Ritual Siraman Calon Pengantin Jawa. Dalam proses pengumpulan
data yang dilakukan di lapangan harus menggunakan teknik maupun metode yang
tepat dan relevan dengan kondisi di lapangan. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan beberapa teknik, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang
diinginkan lebih akurat. Teknik pendukung dalam pengumpulan data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah :Teknik Observasi dan Teknik Kepustakaan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Upacara Siraman merupakan prosesi dari rangkaian pada pernikahan adat


Jawa. Istilah siraman berasal dari kata “siram” yang dalam bahasa Jawa berarti
mandi. Siraman secara harfiah memiliki arti "mengguyur". Siraman dilakukan
sebagai simbol pembersihan lahir dan batin, serta pembersihan dari segala noda di
masa lalu. Dengan begini sang calon pengantin akan kembali bersih dan siap
memasuki lembar baru dalam kehidupan mereka. Siraman selalu dilakukan
sebelum mengawali proses periasan pengantin. Dalam upacara ini, terdapat
banyak makna serta simbolis yang berisikan makna kehidupan bagi pasangan
pengantin. Upacara adat siraman dilakukan sebelum melakukan ijab kabul.
Siraman memiliki makna pembersihan secara fisik maupun mental bagi kedua
pengantin yang akan menikah. Hal ini bertujuan untuk membersihkan segala hal
negatif yang dianggap mengganggu proses pernikahan dan ijab kabul. Selain
penyucian diri, siraman juga memiliki makna memohon petunjuk serta rahmat
Tuhan Yang Maha Esa untuk perjalanan kehidupan pernikahan kedua pengantin.
Selama proses siraman berlangsung, dilantunkan doa-doa guna memohon
keselamatan dan anugrah. Siraman juga menjadi tanda bahwa pasangan pengantin
telah bertekad bulat dan siap untuk berperilaku bersih baik perkataan, perbuatan,
maupun pikiran.

Pernikahan adat Jawa banyak ragamnya. Namun pernikahan adat Jawa Solo
yang umum dilakukan masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya. Budaya tanah
Jawa memang menyimpan sejuta keindahan dan keagungan yang dipegang teguh
masyarakatnya. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah
memiliki suatu tradisi, yakni kebiasaan yang telah mereka warisi turun temurun,
sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama mereka
(Endraswara, 2013:1). Hal ini bisa dilihat dalam upacara pernikahan yang penuh
makna dan unik. Prosesi siraman biasanya dilakukan pada pukul 10.00 - 15.00,
sehari sebelum dilakukannya ijab kabul. Pada waktu ini diyakini sebagai saat
ketika bidadari turun ke bumi untuk mandi. Pengantin membawa kesan cantik,
tentu sangatlah tepat apabila proses "mandi" atau siraman dari pasangan pengantin
tersebut dilakukan bersamaan dengan para bidadari.

Serangkaian upacara adat Siraman dimulai. Sebelum upacara inti Siraman


dimulai, biasanya didahului dengan upacara pemasangan Blakatepe dan Tuwuhan.

Pasang Blaketepe, dalam pernikahan ada Jawa yang pertama-tama dilakukan


adalah memasang dekorasi tenda yang disebut tratag dan hiasan dari janur atau
daun kelapa muda yang disebut tarub. Kedua hiasan ini dipasang pada pintu
masuk dan menjadi pertanda bahwa keluarga sedang mengadakan acara hajatan
mantu. Sementara itu, janur kuning melengkung seakan meminta cahaya pada
Yang Maha Kuasa, sebagai doa agar dilimpahi berkah dan kemakmuran pada
kedua mempelai.

Pasang Padi (melengkapi Tuwuhan), Salah satu bagian penting dalam


tuwuhan adalah pohon pisang raja yang buahnya sudah matang. Selain pisang, ada
juga tebu wulung, cengkir gading, daun randu, dan dedaunan lain. Dedaunan
sebagai simbol rintangan dalam hidup, yang diharapkan mampu dilewati bersama.
Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada anak uang dijodohkan dapat
memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga .

Tuwuhan terdiri dari :

Pohon pisang raja yang buahnya sudah masak. Maksud dipilih pisang yang sudah
masak adalah diharapkan pasangan yang akan menikah telah memiliki pemikiran
dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan
agar pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan
dan kehormatan seperti raja.

Tebu wulung, tebu wulung berwarna merah tua sebagai gambaran tuk-ing
memanis atau sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba
enak. Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah
memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa
sepuh yang selalu beryindak dengan ’kewicaksanaan’ atau kebijakan

Cengkir Gadhing, merupakan simbol dari kandungan tempat jabang bayi atau
lambang keturunan.

Daun randu dan pari sewuli, randu melambangkan sandang, sedangkan pari
melambangkan pangan. Sehingga hal itu bermakna agar kedua mempelai selalu
tercukupi sandang dan pangannya.

Godhong apa-apa (bermacam-macam dedaunan), seperti daun beringin yang


melambangkan pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan terbebas dari
segala halangan.

Setelah upacara pasang Blaketepe dan Tuwuhan selesai, selanjutnya adalah


prosesi Siraman. Perlengkapan yang perlu disiapkan pada prosesi siraman ini
antara lain adalah :

Satu sampai dua hari sebelum akad nikah, keluarga akan melakukan siraman
kepada sang pengantin. Akan ada tujuh orang yang melakukan siraman, jumlah
ini pun berdasarkan sebutan tujuh pada bahasa Jawa yaitu “pitu” atau disyaratkan
sebagai pitulungan (pertolongan) kepada calon pengantin. Ritual siraman ini
menyimbolkan pembersihan diri sebelum masuk ke ritual yang lebih sakral.

Pencampuran air siraman yang meliputi kembang setaman dan air untuk
memandikan. Air siraman ini berasal dari 7 mata air yang berbeda. 2 meja pendek
seperti yang ada pada ruang tamu di dekat pemandian. Meja tersebut untuk
meletakkan : Kain, Handuk dan Kimono serta Ubo Rampe . Kain, Handuk dan
Kimono sebaiknya mempunyai warna yang senada. Klenting tempat air kembang
setaman, kelapa yang dibelah untuk gayung mandi, siapkan 2 meja katering dan
sudah dihias. Meja tersebut untuk meletakkan Tumpeng Robyong (tambahan
perlengkapan dalam acara potong tumpeng : 1 baki yang diisi 1 piring, sepasang
sendok garpu, centong dan pisau. Centong dan Pisau dihias oleh Pita).
Setelah perlengkapan siraman lengkap. Kemudian dimulailah rangkaian
upacara Siraman :

Pengiriman Air Perwito Adi ke calon pengantin pria. Setelah air siraman
dicampur di kediaman calon pengantin wanita. Dilakukan pengiriman air perwito
adi ke kediaman calon pengantin pria. Keluarga calon pengantin wanita
mengirimkan 2 wakil (2 pasang suami istri) yang ditugaskan untuk menjadi wakil
keluarga calon pengantin wanita dalam mengirimkan air perwito adi ke kediaman
calon pengantin pria.

Duta keluarga calon pengantin wanita ini akan menghadap orang tua calon
pengantin pria, dan menjadi saksi telah dilaksanakannya upacara siraman di
kediaman calon pengantin pria. Setelah calon pengantin pria selesai melakukan
siraman dan Potong Rikmo, potongan rambut calon pengantin pria akan dibawah
kembali ke kediaman calon pengantin wanita oleh Duta keluarga calon pengantin
wanita.

Sungkeman / Pangabekten, sebelum melakukan siraman calon pengantin


harus melakukan sungkeman kepada Bapak dan Ibu pengantin. Pada acara
sungkeman ini menunjukkan tanda bakti seorang anak kepada orang tua dan dan
sekaligus menjadi ajang mencurahkan rasa terima kasih dan permohonan maaf
dan doa restu seorang anak kepada orang tua nya.

Siraman, siraman dilaksanakan untuk menyucikan diri dan juga membuang


segala kejelekan Calon Pengantin yang ada, agar calon pengantin dapat memulai
hidup baru dengan hati yang bersih dan suci. Siraman dilakukan oleh 9 orang
sesepuh termasuk sang Ayah. Jumlah sembilan tersebut menurut budaya Keraton
Surakarta untuk mengenang keluhuran Wali Sanga, yang bermakna
manunggalnya Jawa dengan Islam. Selain itu angka sembilan juga bermakna
’babahan hawa sanga’ yang harus dikendalikan.

Siraman pertama kali dilakukan oleh Bapak calon pengantin dan diikuti oleh
Ibu calon pengantin. Setelah Bapak Ibu selesai melakukan siraman baru ketujuh
pini sepuh yang melakukan siraman. Untuk calon pengantin wanita, pini sepuh
yang melakukan siraman haruslah berjenis kelamin wanita. Sedangkan untuk
calon pengantin pria, pini sepuh yang melakukan siraman haruslah berjenis
kelamin pria.Setelah pini sepuh selesai melakukan siraman. Bapak calon
pengantin menuangkan air kendil dan memandu calon pengantin untuk melakukan
wudhu. Setelah selesai, ibu pengantin menutup dengan menyiram air kendil. Dan
kemudian kendil dijatuhkan sampai pecah sambil mengucap:

“NIAT INGSUN ORA MECAH KENDI, NANGIN MECAH PAMORE


ANAKKU”

dilanjutkan dengan Bapak calon pengantin wanita dengan menggendong anak


perempuannya menuju kamar pengantin.

Dodol Dawet, jual Dawet diambil makna dari cendol yang berbentuk bundar
merupakan lambang kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan anak.
Pada prosesi dodol dawet ini, sang ibu dari mempelai wanita lah yang melayani,
sedangkan sang ayah memayungi ibu. Bagi orang yang akan membeli dawet
tersebut harus membayar dengan ’kreweng’ (pecahan genting), pecahan tembikar
dari tanah liat, bukan dengan uang. Hal itu menunjukkan bahwa kehidupan
manusia berasal dari bumi. Yang melayani pembeli adalah ibu sedangkan yang
menerima pembayaran adalah bapak. Hal ini mengajarkan kepada anak mereka
yang akan menikah tentang bagaimana mencari nafkah sebagai suami istri, harus
saling membantu. Dawet ini juga sebagai simbolisasi kalau esok hari pada saat
akad nikah dan resepsi, tamu-tamu yang datang akan sebanyak dan seramai
cendol dawet tersebut.

Potong Tumpeng Kamulyan, bapak calon pengantin memotong tumpeng


Kamulyan dan diberikan ke Ibu calon pengantin. Potongan tumpeng tersebut yang
akan disuapi kepada calon pengantin pada saat acara Dulangan Kapungkasan.
Tumpeng identik dengan simbol kemakmuran dan kesejahteraan karena
bentuknya yang menyerupai gunung.

Dulangan Kapungkasan, suapan terakhir calon pengantin dari orang tuanya.


Calon pengantin duduk diapit orang tua. Sebelum upacara Dulang Kapungkasan,
Bapak calon pengantin menyerahkan hasil penjualan dawet kepada calon
pengantin. Dulangan pungkasan berarti suapan terakhir, ritual pernikahan adat
Jawa yang satu ini melambangkan tanggung jawab terakhir orang tua terhadap
anaknya. Momen ini cukup mengharukan karena sekaligus melepas anak untuk
membangun keluarganya sendiri.

Kembul Bujono Ondrowino, santap siang/sore bersama dengan tamu yang


hadir.

Potong Rikmo, setelah selesai siraman, kemudian dilakukan prosesi potong


rikmo / potong rambut. Potongan rambut kedua calon mempelai akan disatukan
pada upacara Tanem Rikmo. Biasanya upacara Tanem Rikmo dilakukan setelah
wakil keluarga calon pengantin wanita kembali dari kediaman calon pengantin
pria.

Pelepasan Ayam, orang tua sudah setulus-tulusnya dan se ikhlas-ikhlasnya


melepas putrinya untuk hidup mandiri. Bagaikan anak Ayam yang begitu dilepas
sudah dapat mencari/ mengais makanan sendiri. Diharapkan untuk ke depannya
putrinya dapat hidup mandiri dan dapat memperoleh rejeki yang luas dan barokah.

Sederet prosesi siraman adat Jawa yang terbilang panjang ini tentu memiliki
makna mendalam yang sangat berarti bagi kehidupan baru sang mempelai.
Upacara siraman adat Jawa ini merupakan simbol untuk meluruhkan segala hal
negatif dari diri calon pengantin sehingga bisa masuk ke gerbang pernikahan
dengan diri yang sudah suci kembali.

Makna simbol pada ritual siraman calon pengantin Jawa yaitu : Air dari 7
sumber berbeda memiliki makna setelah sah menjadi suami istri, saat mereka
tinggal dimana pun mereka akan diberi kebahagiaan dan tentram hati. Kembang
setaman memiliki makna agar kehidupan keluarga yang akan dibangun
mendapatkan keharuman dari para leluhur. Gayung batok/tempurung kelapa
memiliki makna menggunakan hasil alam untuk sesuatu yang berguna agar
berkah. Kendi dipecahkan memiliki makna pengantin siap menikah dan agar
manglingin seperti bidadari “wis pecah pamore”. Tumpeng robyong memiliki
makna mendoakan yang akan menikah agar keluarganya di tingkatkan derajatnya
dan diberi keselamatan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Siraman merupakan prosesi dari rangkaian pada pernikahan adat Jawa.


Siraman dilakukan sebagai simbol pembersihan lahir dan batin, serta pembersihan
dari segala noda di masa lalu. Dengan begini sang calon pengantin akan kembali
bersih dan siap memasuki lembar baru dalam kehidupan mereka. Siraman selalu
dilakukan sebelum mengawali proses periasan pengantin. Makna simbol yang
terkandung dalam ritual siraman masing-masing memiliki makna untuk kehidupan
kedua mempelai lebih baik kedepannya. Makna dan nilai yang terkandung
tersebut dapat menjadi perekat sosial budaya dalam masyarakat, selama proses
siraman berlangsung, dilantunkan doa-doa guna memohon keselamatan dan
anugrah.

B. Saran

Berdasarkan materi yang dibahas pada asesmen ini, diharapkan ritual siraman
pada upacara pernikahan adat jawa akan selalu diingat dan tidak pernah
dihilangkan dalam budaya Jawa mengingat banyaknya budaya dan tadisi lain yang
semakin banyak berkembang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Bejo.2018.Berikut Susunan Acara Siraman Dalam Perkawinan Ala Jawa


https://beritajowo.com/budaya/detail/164/Berikut-Susunan-Acara-Siraman-
Dalam-Perkawinan-Ala-Jawa (diakses tanggal 29 Desember 2020)

Griselda, Nathania.2020.Susunan Acara, Ritual & Makna Prosesi Pernikahan


Adat Jawa https://www.tokopedia.com/blog/susunan-acara-pernikahan-
adat-jawa-rlt/ (diakses tanggal 28 Desember 2020)

Hambali, Mellyani.2016.Ritual Siraman Calon Pengantin Jawa


https://www.nyonyamelly.com/blogs/news/ritual-siraman-calon-pengantin-
jawa (diakses tanggal 28 Desember 2020)

Marverial, Anggi P., Astuti, H., & Meilina, M. (2019). Makna Simbol Pada Ritual
Siraman Pernikahan Adat Jawa Tengah.Jurnal Daring Mahasiswa
Komunikasi. 1(1)

Maya, Riski Tri.2018.Simbolisme Budaya Jawa Upacara Siraman Pengantin di


Kabupaten Kediri.Artikel Skripsi.02(06).2-4

Nathania.2020.Prosesi dan Makna dalam Siraman Adat Jawa


https://www.tokopedia.com/blog/siraman-adat-jawa-rlt/ (diakses tanggal 29
Desember 2020)
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai