Anda di halaman 1dari 9

KASUS TAWURAN ANTARA PELAJAR SMAN

6 JAKARTA DAN SMAN 70 JAKARTA

Oleh
Nama : Uvani Martaulina R
NPM : 1406572826
Hukum & Masyarakat C

PENDAHULUAN

Tawuran sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Tawuran antar
pelajar atau mahasiswa, sepertinya sudah menjadi kegiatan rutin para pelajar atau
mahasiswa di Indonesia. Tawuran layaknya penyaluran identitas diri akan kemampuan
dan kebanggannya terhadap diri sendiri, kelompok, atau almamater. Mereka tidak
memikirkan buruknya berkelahi atau tawuran.
Tawuran pelajar bukan hal yang bisa dianggap enteng, tawuran pelajar sekarang
tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja melainkan juga menjalar ke daerah-daerah.
Permasalahan remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang berlanjut menjadi
perkelahian massal dan tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam, senjata api,

bahkan akhir-akhir ini banyak pelajar menggunakan bahan kimia seperti air keras
sebagai senjatanya.
Dewasa ini, kekerasan sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat
efektif yang dilakukan oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa
seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkisme dan
premanisme. Tentu saja perilaku buruk ini tidak hanya merugikan orang yang terlibat
dalam perkelahian itu sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang tidak terlibat secara
lagsung.

KASUS

Jakarta (CiriCara.com) Tawuran antar siswa kembali terjadi di Jakarta. Kali ini
sejumlah siswa SMA 6 terlibat tawuran dengan siswa SMA 70 di Bunderan Bulungan,
Jakarta Selatan. Akibatnya, seorang siswa SMA 6 tewas dengan luka bacok senjata
tajam. Seperti dilansir Tempo, Kepala Reserse Kepolisian Resor Jakarta Selatan Ajun
Komisaris Besar Hermawan, menjelaskan kronologi tawuran. Tawuran terjadi pada
Senin (24/9/2012) kemarin siang dan melibatkan sejumlah siswa dari dua sekolah
tersebut.
Hermawan menuturkan bahwa siswa SMA 70 menyerang lebih dulu ke siswa
SMA 6. Siang pukul 12.00 WIB, murid-murid SMA 6 baru keluar dari sekolah.
Mereka baru habis ujian, kata Hermawan. Ada lima murid SMA 6 yang mampir ke
warung untuk makan gulai tikungan. Tiba-tiba mereka langsung diserang oleh sekitar 20
siswa SMA 70. Tanpa adu mulut, siswa SMA 70 langsung menyerang kelima siswa
SMA 6 tersebut. Si penyerang diketahui membawa senjata tajam, celurit. Kelima murid
SMA 6 yang diserang itu langsung panik dan lari. Mereka terus dikejar oleh 20 siswa
SMA 70 sampai di kawasan Bunderan Bulungan, Jakarta Selatan. Saat sampai di
sana, ada guru SMA 6 yang melihat kejadian tersebut dan langsung membubarkan
mereka.
Meski hanya berlangsung selama 15 menit, tawuran ini menyebabkan dua
korban luka dan satu korban jiwa karena luka bacok. Alawi, siswa kelas X SMA 6
dinyatakan tewas karena mengalami luka bacok di bagian dada.
Alawi sempat dilarikan ke Rumah Sakit Muhammadiyah, tapi nyawanya tidak
tertolong lagi. Sementara dua korban lainnya berhasil selamat. Satu korban mengalami
luka di pelipis dan satu korban mengalami luka kecil di jari tangan.Di lokasi kejadian,
polisi berhasil menemukan sebuah celurit yang berlumuran darah. Untuk mencocokan
darah di celurit tersebut, pihak kepolisian sudah membawa barang bukti tersebut ke
laboratorium forensik Polri. Satu guru SMA 70, dua guru SMA 6, dan dua saksi lainnya
sudah dimintai keterangan oleh pihak polisi. Sekarang polisi gabungan Polres dan
Polsek masih melakukan penjagaan di sekitar sekolah dan lokasi kejadian untuk
mengantisipasi peristiwa susulan. Hingga kini pihak Polda Metro Jaya masih memburu
pelaku pembacokan terhadap Alawi, korban tewas dalam tawuran. (YG)

1. Interaksi Sosial dan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial adalah proses sosial mengenai caracara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial
saling bertemu serta menentukan sistem dan hubungan sosial. Interaksi sosial
terjadi dengan dua syarat yaitu, adanya kontak sosial dan komunikasi antar
pribadinya. Interaksi sosial terjadi antar pribadi dengan pribadi, pribadi dengan
kelompok dan kelompok dengan kelompok. Jika proses interaksi sosial tidak terjadi
secara maksimal akan menyebabkan terjadinya kehidupan yang terasing. Faktor
yang menyebabkan kehidupan terasing misalnya sengaja dikucilkan dari
lingkungannya, mengalami cacat, pengaruh perbedaan ras dan perbedaan budaya.
Bentuk-bentuk interaksi sosial adalah Asosiatif dan Disasosiatif (Soerjono
Soekanto, 2010: 64). Bentuk asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation),
akomodasi (accomodation) sedangkan bentuk disasosiatif terdiri dari persaingan
(competition), dan kontravensi (contravention), dan pertentangan (conflict).
Dalam kasus diatas bisa dilihat bahwa adanya suatu interaksi antar kelompok
berbentuk disasosiatif. Adanya persaingan untuk melihat siapa yang paling kuat dan
tak terkalahkan, memang tawuran antar kedua sekolah ini sudah merupakan tradisi.
Lalu adanya kontravensi yang bersifat taktis seperti intimidasi, provokasi,
mengejutkan pihak lawan, dan mengganggu atau membingungkan pihak lawan
Tiba-tiba mereka langsung diserang oleh sekitar 20 siswa SMA 70. Tanpa adu
mulut, siswa SMA 70 langsung menyerang kelima siswa SMA 6 tersebut selain itu
terdapat konflik yang merupakan persaingan dengan ancaman dan kekerasan
Selain disasosiatif, terdapat bentuk interaksi asosiatif di masing-masing
kelompok yaitu kerjasama. Kerjasama ini dibutuhkan untuk saling membantu dan
melindungi teman sekerja dalam tawuran tersebut serta untuk membuat kelompok
lawan menjadi menyerah. Tetapi kerjasama ini dapat hilang dikarenakan anggotaanggotanya mulai kewalahan, sehingga dalam kasus diatas menimbulkan korban
jiwa.
Interaksi sosial yang terjadi antara kelompok tersebut adalah interaksi yang tidak
sesuai dalam norma masyarakat. Didalam suatu interaksi sosial pasti memiliki suatu
pengaruh negatif maupun positif, dengan adanya hal itu maka hukum sangatlah
berperan penting dalam suatu interaksi sosial. Peran hukum itu sendiri ibarat

kompas, yang menjadi petunjuk arah kemana manusia harus melangkah atau
berbuat sesuatu.
2. Lembaga Sosial dan Hukum
Siswa-siswa diatas merupakan produk dari lembaga sosial yaitu sekolah.
Sebelumnya, pengertian lembaga sosial menurut Soerjono Soekanto adalah
himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok
dalam kehidupan masyarakat.
Sekolah termasuk dalam basic institution yaitu lembaga yang sangat penting
untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, approved
socially sanctioned institution yaitu lembaga-lembaga yang sudah diterima
masyarakat dan enacted institution yaitu lembaga yang sengaja dibentuk untuk
memenuhi tujuan tertentu yang berakar dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Sekolah bertujuan untuk memberi ilmu kepada siswanya, mengajarkan bagaimana
berkomunikasi dan bertingkah laku yang baik dalam kehidupan sehari-hari,
memberi pengalaman, dan masih banyak lagi. Sekolah bisa dibilang tempat
membentuk kepribadian seorang anak setelah keluarga.
Jika dilihat dari kasus diatas, pihak SMAN 6 dan SMAN 70 mungkin telah
melakukan usaha-usaha agar siswa-siswanya tidak melakukan tradisi tawuran ini.
Untuk menyelesaikan tradisi ini memang harus dimulai dari diri siswanya masingmasing. Sekolah disini menjadi lembaga bagi siswanya untuk mengingatkan,
menyadarkan, dan memberi jalan untuk kembali ke kebiasaan yang baik. Tetapi jika
tawuran ini telah menjadi kebiasaan, hendaknya sekolah memberi perarturan dan
hukuman keras bagi siswa-siswanya agar tidak terulang lagi dan agar tidak
memakan korban lagi.
3. Pengendalian Sosial dan Hukum
Pengendalian sosial adalah pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya
pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparatnya. Memang ada benarnya
bahwa pengendalian sosial, berarti suatu pengawasan dari masyarakat terhadap
jalannya pemerintahan. Pengertian pengendalian sosial tersebut mencakup segala
proses, baik yang direncanakan atau tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau
bahkan memaksa warga masyarakat untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai
sosial yang berlaku.

Pengendalian sosial menurut sifatnya ada pengendalian preventif yaitu


pengendalian yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran untuk mencegah
terjadinya pelanggaran tersebut dan represif yaitu pengendalian yang dilakukan
setelah terjadinya pelanggaran ini bertujuan untuk memulihkan keadaan.
Pengendalian sosial dapat dilakukan dengan cara persuasif yaitu pengendalian
dengan cara ajakan atau bimbingan dan koersif yaitu pengendalian dengan cara
ancaman atau kekerasan.
Kasus SMAN 6 dan SMAN 70 diatas sudahlah menjadi suatu kebiasaan bagi
kedua sekolah tersebut maka, pengendalian sosial yang cocok untuk dilakukan
untuk kedua sekolah ini adalah pengendalian represif, persuasive dan koersif.
Pengendalian represif dapat dilakukan dengan cara pelajar yang berpartisipasi
dalam tawuran dikenai sanksi, tujuannya adalah untuk membuat pelajar tersebut
jera. Pengendalian persuasif dapat dilakukan dengan memberi nasihat kepada
pelajar-pelajar tersebut dan pengendalian koersif dengan memberi hukuman seperti
skorsing bagi pelajar yang terlibat.
Dilihat dari penjelasan pengendalian sosial, hukuman merupakan salah satu cara
pengendalian sosial. Hukum bukan hanya bersifat memaksa atau mengatur saja
seperti yang kita ketahui, tetapi hukum juga bersifat mendidik. Agar terjadi suatu
pengendalian sosial didalam masyarakat, supaya masyarakat tetap berada pada
aturan-aturan yang telah dibuatnya sendiri. Hal tersebut dapat menjamin
keseimbangan dalam hubungan- hubungan antar masyarakat dan antar individu
(perorangan). Dan hendaknya aturan-aturan yang telah dibuat menurut kehendak
dan inisiatif masyarakat tersebut sejalan dengan azas-azas keadilan masyarakat
tersebut pula, agar aturan-aturan tersebut tetap berlangsung dan tidak terjadi
kekacauan didalam masyarakat itu.

4. Stratifikasi Sosial, Kekuasaan dan Hukum


Pitirim A. Sorokin, mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas-kelas secara bertingkat
(hierarkis) dengan perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah
(Soekanto 1990). Ukuran dalam stratifikasi sosial adalah kekayaan, tingkat
pendidikan, kekuasaan dan tingkat umur atau aspek senioritas. Faktor-faktor dalam

stratifikasi sosial adalah perbedaan ras dan budaya, pembagian hak dan kekuasaan
yang tidak merata dan masih banyak lagi.
Dampak stratifikasi sosial contohnya adalah tawuran. Kasus tawuran antara
SMAN 6 dan SMAN 70 yang sudah menjadi tradisi ini memang tidak diketahui
asal muasalnya. Salah satu alumni SMAN 70 berkata, Penyebab utamanya ya itu,
eksistensi, yang lama-lama jadi tradisi, dan jadi kewajiban tak tertulis harus
diteruskan ke generasi selanjutnya. Dari zaman 80-an, yang pasti eksistensi antar
kedua sekolah. Hanya itu aja, kalau soal saling ejek, siapa yang serang dulu, itu kan
hanya pemicu saat itu. Disini eksistensi dapat diartikan dengan kekuasaan. Dimana
kekuasaan merupakan ukuran dari suatu stratifikasi. Tingkat umur pun menjadi
salah satu faktor terjadinya tawuran, dimana para senior memengaruhi bahkan
menyuruh juniornya untuk ikut berpartisipasi dalam tawuran.
Stratifikasi sosial memang tidak dapat dihilangkan. Namun sebenarnya hal
tersebut tidak perlu dihilangkan. Hal tersebut adalah sebuah dinamika dalam
masyarakat. Stratifikasi dengan sistem yang terbuka akan menimbulkan sebuah
persaingan yang sehat. Kaum strata atas akan berusaha meraih strata atas,
sedangkan masyarakat strata atas akan mempertahankan kedudukannya. Hal yang
harus dihilangkan adalah diskriminasi dalam hukum.
5. Perubahan Sosial, Masalah Sosial dan Hukum
Tawuran sudah menjadi bagian dari masalah sosial dan budaya bangsa
Indonesia. Segala sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan cara damai,
jawabannya pasti dengan tawuran. Perubahan sosial yang diakibatkan karena sering
terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain itu,
menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan sosial. Tetapi ini semua
tidak berlaku pada kebiasaan buruk tawuran para pelajar, meski tak jelas
pemicunya, tawuran bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Tawuran antar pelajar
makin sering terjadi meskipun tanpa sebab yang pasti.
Tawuran antar pelajar ini menjadi perubahan sosial kearah dampak yang negatif
karena merugikan para pelajar dan lingkungan disekitarnya. Tawuran pelajar ini
terjadi karena faktor internal yaitu, rasa ingin menjadi yang terhebat atau terkuat
dalam diri masing-masing pelajar tersebut, dan ajakan atau suruhan dari para senior
ke junior-juniornya.

Soekanto, S. 1982. Sosiologi hukum dalam masyarakat. Jakarta: Rajawali.


http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/
http://www.zonasiswa.com/2014/07/interaksi-sosial-pengertian-faktor.html
http://news.okezone.com/read/2012/09/25/500/694966/konflik-sma-70-sma-6diwariskan-sejak-tahun-80-an

Anda mungkin juga menyukai