Anda di halaman 1dari 4

PELAJAR PANCASILA ANTI TAWURAN

Oleh : Egivia Rivaluna R.A

Kelas XII MIPA 2 SMAN 1 PADANGAN

Masa remaja adalah fase di mana kita dapat mencari jati diri kita. Saat itu adalah tahap di
mana individu mengalami puncak gairah dari emosinya, juga masa di mana seseorang dapat menuju ke
arah positif maupun ke arah sebaliknya yaitu negatif. Hal ini bisa terbentuk dari lingkungan maupun
setiap individu yang dapat mengarahkan sikap dan emosi remaja menuju hal yang baik ataupun buruk.
Namun tidak sedikit remaja di Indonesia yang malah terarah ke jurang tindakan yang negatif dan lebih
mengarah ke kriminalitas. Contohnya saja tawuran. Tawuran adalah salah satu tindakan negatif dimana
hal ini terjadi karena adanya kesalahan dalam meluapkan emosi pada diri setiap remaja yang juga
dipengaruhi oleh orang-orang sekitar. Seolah tawuran antar pelajar sudah menjadi tradisi yang mengakar
di kalangan pelajar. Dimana tawuran dijadikan ajang mencari jati diri yang sebenarnya tanpa memikirkan
efek kedepannya setelah melakukan tawuran. Apakah hal yang saya lakukan menimbulkan kerugian
kepada orang lain atau tidak. Mereka berpikir seolah tawuran adalah tindakan yang tepat untuk remaja
seusia mereka. Namun hal ini malah berdampak buruk terhadap kehidupan mereka, bukannya
menemukan jati diri mereka, malah menemukan diri terkurung dijeruji besi. Hal ini yang menurut saya
sangat tidak mencerminkan pelajar Pancasila. Dimana tindakan ini merusak persatuan dan kesatuan kita
sebagai bangsa Indonesia.

Nilai Pancasila yang tidak di amalkan oleh kalangan pelajar saat ini sudah sangat
memprihatikan, padahal dalam sila ke-1 saja dimana “Ketuhanan Yang Naha Esa” tidak tercermin salah
satunya ialah tidak adanya rasa takut kepada tuhan karna saling melukai sesama ciptaannya. Sila ke-2
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” apakah dimiliki oleh para pelajar yang suka tawuran? tentu tidak
karena tidak adanya rasa empati kepada sekelompok orang yang akan mereka ajak berkelahi. Sila ke-3
“Persatuan Indonesia” nilai ini yang sangat menunjukkan bahwa tidak adanya rasa kesatuan dintara para
pelajar yang suka tawuran, Ketiga nilai Pancasila inilah yang seharusnya bisa menjadi acuan bagi para
pelajar saat ini, karna dengan bisa menerapkan dalam kehidupan sehari-hari ataupun sekolah mungkin
saja sistem pendidikan di Indonesia bisa maju kedepannya. Bukannya kasus tawuran antar pelajar yang
malah menjadi ciri khas Indonesia saat ini.

Banyak kasus tawuran di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini
sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus
perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun
1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998
ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat
dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung
meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat
sekaligus.

Hal ini sangat memprihatinkan dan meresahkan warga sekitar. Jelas bahwa perkelahian pelajar
ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar.
Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif
pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan
fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses
belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah
berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para
pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka,
dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas
memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.

Secara psikologis sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi remaja melakukan tawuran.
Pertama, faktor yang berasal dari diri mereka sendiri yaitu psikis dan pola pikir. Dimana mereka melalui
proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan disekitarnya. Mereka juga belum
bisa menyesuaikan diri terhadap nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, serta keanekaragaman
pandangan tentang ekonomi budaya dan lain-lain. Sehingga disituasi menimbulkan tekanan bagi mereka
dan mereka melampiaskannya dengan berkelahi. Tapi remaja yang terlibat perkelahian itu, mereka kurang
mampu mengatasi dan memanfaatkan situasi tersebut untuk pengembangan diri. Membuat mereka mudah
putus asa, melarikan diri dari masalah, dan menyalahkan orang lain atas masalah yang mereka hadapi.

4 Faktor yang kedua yaitu faktor eksternal atau faktor yang tidak berasal dari diri namun adanya
pengaruh dari luar. Faktor eksternal yang besar pengaruhnya terhadap anak dengan kriminalitas adalah
keluarga dalam hal ini kondisi lingkungan keluarga. Kondisi lingkungan keluarga pada masa
perkembangan anak dan remaja telah lama dianggap memiliki hubungan dengan munculnya perilaku
antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh remaja. Ketiga pola asuh orang tua terhadap anak yaitu pola
asuh autoritarian, permissive dan univolved ini menyebabkan seorang anak berperilaku anti sosial. Seperti
pola asuh otoritarian, orang tua menerapkan disiplin yang sangat kaku dan terkadang penuh dengan
kekerasan, tidak jarang anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, menyia-nyiakan dan ada
kekerasan di dalam keluarga. Hal ini lah yang menjadikan remaja tumbuh dengan kebiasaan melakukan
tindak kekerasan karena mereka meniru kebiasaan dari keluarga mereka. Sebaliknya, orang tua yang
terlalu melindungi anaknya atau terlalu memanjakan anak akan menjadikan remaja tersebut tidak mandiri
dan tidak berani mengembangkan bakat yang mereka miliki dan bahkan cenderung menggunakan
kekuasaan atau jabatan orang tuanya untuk berbuat semena-semena.
Disini peran pihak sekolah ikut andil dalam mencegah dan mengurangi tindak tawuran ini.
Salah satunya dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler, sehingga mereka dapat
mengembangkan diri dengan hal-hal yang positif, melakukan pendekatan emosional dari pihak sekolah
secara umum kepada siswa agar siswa lebih merasa dihargai, memberikan sanksi tegas bagi siswa yang
bermasalah atau melanggar aturan, menjalin komunikasi antar manajemen sekolah untuk saling bekerja
sama dalam mencegah aksi tawuran pelajar, dan terus melakukan kontrol dan monitoring siswa baik di
lingkungan sekolah ataupun diluar lingkungan sekolah.

Kebiasaan kecil dan pola pikir (mindset) yang bisa dirubah sedikit demi sedikit kelak akan
membawa dampak yang besar untuk kedepannya. Para pelajar yang suka tawuran sebaiknya dibimbing
dengan baik dan halus, jika sebaliknya kalaupun diberi sanksi atau hukuman yang tidak manusiawi kelak
akan membuat para siswa dendam dan tidak akan merubah kebiasaan untuk tawuran atau parahnya lagi
bisa menghasut para pelajar yang lain untuk mengikuti cara menjati diri para pelajar yang salah jalan
tersebut.
Biografi Penulis

Nama: Egivia Rivaluna Rifiatul


Aini

Kelas: XII Mipa 2

Sekolah: SMA Negeri 1 Padangan

Alamat Rumah: Desa banjarjo


rt07 rw02, kecamatan Padangan

Nomor HP: 082143800644

Hobi: Membaca & Menulis

Anda mungkin juga menyukai