bentuk perilaku agresi berkelompok yang dapat menyebabkan pelanggaran aturan sosial
ataupun hukum. Pelaku tawuran memiliki ciri khas kuatnya kesetiakawanan walaupun
dalam perpektif negatif sekalipun. Mudah mengalami kekecewaan, ketersinggungan,
serta dendam atas hal-hal yang sepele. Keadaan lingkungan yang tidak sesuai dengan
harapan juga menjadi alasan mereka untuk melakukan agresi.
Dalam praktek tawuran pelajar sering terjadi kontak fisik antara pelajar yang
mengakibatkan kematian, setelah terjadinya penganiayaan. Secara psikologis, perkelahian
yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan
remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat
digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematis. Pada delikuensi
situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk
berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan
masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat
perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan,
norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggotanya, termasuk berkelahi. Sebagai
anggota mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku tawuran lebih banyak
daripada perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada
anak perempuan. Kartono mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-
laki dengan perempuan diperkirakan 50:1. Anak laki-laki pada umumnya melakukan
perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan,
pengacauan, perampasan dan agresivitas.
tawuran adalah perkelahian antar pelajar adalah salah satu perbuatan yang sangat tercela
yang dilakukan oleh seorang atau kelompok pelajar kepada pelajar lain atau kelompok
pelajar lain. Tawuran merupakan salah satu kegiatan interaksi manusia yang saling
merugikan, karena satu pihak dengan pihak yang lain berusaha saling menyakiti secara
fisik baik dengan atau tanpa alat bantu.
Dalam kehidupan mengharuskan adanya interaksi sosial, hal ini kita sebagai makhluk
sosial dengan muatan kebutuhan masing-masing, maka tidak dipungkiri akan terjadi
konflik atau Tawuran sesama masyarakat akibat pertentangan kepentingan. Tawuran
semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng sekelompok anak muda. Mereka sudah
tidak merasa bahwa perbuatan Tawuran yang dilakukan sangatlah tidak terpuji dan bisa
mengganggu ketenagan dan ketertiban masyarakat. Dan sebaliknya justru mereka merasa
bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya
Jika hal ini berlangsung dengan teman sebaya yang kurang positif, maka akan berakibat
pengidntifikasian diri yang dilakukan akan mengarah pada hal-hal yang
negatif sesuai dengan apa yang diyakini oleh kelompok teman sebayanya. Di sisi lain
sebagai remaja, pelajar dalam kehidupan kesehariannya masih dalam pengaruh orang
dewasa (baik orang tua, guru dan atau lingkungan sosial dewasa lainnya) melalui aturan
normatif yang membelit kebebasannya. Mereka lebih sering dituntut untuk memahami
segala bentuk tatanan yang sifatnya baru bagi mereka daripada diberikan kebebasan
untuk berpikir kritis atas tatanantatanan tersebut. Mereka merasakan sebuah
keterancaman eksistensial dimana keberadaan mereka tidak terlalu diakui sebagai
selayaknya manusia yang beranjak dewasa. Mereka merasa menjadi gudang kesalahan
yang setiap hari selalu diposisikan sebagai sosok yang tidak pernah benar di mata orang
dewasa. Kondisi inilah yang dikatakan sebagai krisis identitas, karena remaja merasa
tidak memiliki peran di antara orang dewasa.
Remaja kurang memiliki pengendalian diri dari dalam, sehingga sulit menampilkan sikap
dan perilaku yang adaptif sesuai dengan pengetahuannya atau tidak terintegrasi dengan
baik. Akibatnya mengalami ketidakstabilan emosi, mudah marah, frustrasi, dan kurang
peka terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga ketika menghadapi masalah, mereka
cenderung melarikan diri atau menghindarinya, bahkan lebih suka menyalahkan orang
lain, dan kalaupun berani menghadapinya, biasanya memlih menggunakan cara yang
paling instan atau tersingkat untuk memecahkan masalahnya. Hal inilah yang seringkali
dilakukan remaja, sehingga tawuran dianggap sebagai sebuah solusi dari
permasalahannya.
Pelajar yang melakukan tawuran biasanya tidak mampu melakukan penyesuaian dengan
lingkungan yang kompleks, seperti keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan
berbagai perubahan di berbagai kehidupan lainnya yang semakin lama semakin
bermacam-macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam
memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang akan
ditimbulkannya.
a. Kecerdasan Emosional
b. Pembinaan agama
Agama mengajarkan keteraturan hidup manusia dengan berbagai perintah dan larangan
Nya. Pengamalan perintah dan larangan Allah swt dengan keimanan dan ketaqwaan akan
memunculkan keikhlasan dalam menjadi hidup didunia untuk menggapai akhirat.
Keikhlasan hidup akan menciptakan keamanan, ketentraman, dan kedamaian dalam
masyarakat. keuniversalan kaidah-kaidah agama akan sanggup membina mentalitas anak
remaja yang beraneka ragam tingkat kehidupan dan lingkungan masyarakat yang
membesarkannya. Agama akan lebih berkesan dan berhasil dan berdaya guna apabila
seluruh lingkungan hidup yang ikut mempengaruhi pembinaan pribadi anak (sekolah,
keluarga, dan masyarakat) sama-sama mengarah kepada pembinaan jiwa agama pada
remaja karena setiap remaja pasti mengalami gonjangan hidup.
c. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama kali dikenal manusia sebagai
makhluk sosial semenjak lahir kedunia. Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat
untuk membesarkan, mendewasakan dan didalamnya remaja mendapatkan pendidikan
yang pertama kali. Sudarsono menyatakan keluarga merupakan kelompok masyarakat
kecil akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan
terutama pada anak remaja. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran penting dalam
perkembangan anak, keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan
anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif”.
d. Lingkungan Sekolah
e. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan lingkungan kedua yang dikenal anak atau siswa sejak
lahir di dunia. Masyarakat diartikan sebagai suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari
wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan
tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu dan secara keseluruhan akan mengalami perubahan. Lingkungan di antara rumah
dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota
lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba, tayangan kekerasan di TV yang
hampir tiap hari disaksikan). Begitu pula sarana tranportasi umum yang sering menomor
sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan seperti yang
kita saksikan di tayangan buser, sergap, patroli, dll. Semuanya itu dapat merangsang
remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi. Terutama untuk
perbuatan-perbuatan anti sosial dan kekerasan seperti yang sering ditayangkan di TV.
f. Teman Sebaya
Kelompok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok sebaya (Peer Group).
Dalam kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, masing-masing
individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti di bidang usia,
kebutuhan dan tujuan. Di dalam kelompok sebaya ini, individu merasa menemukan
dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan
perkembangan kepribadiannya.
Menurut Santosa bahwa teman sebaya atau peer group adalah kelompok sebaya yang
sukses ketika anggotanya dapat berinteraksi. Hal-hal yang dialami oleh anak-anak
tersebut adalah hal-halyang menyenangkan saja. Kelompok teman sebaya membantu
remaja untuk memahami identitas diri, sebab tidak ada fase perkembangan lainnya yang
kesadaran identitas dirinya itu mudah berubah (tidak stabil), kecuali masa remaja. Hal ini
terjadi karena usianya sudah lewat masa anak namun belum dapat diterima sebagai orang
dewasa, oleh karena itu dia harus mempersiapkan dirinya untuk belajar menyesuaikan
diri dengan tuntutan masyarakat. Di lingkungan baru inilah remaja membentuk kelompok
yang disebut kelompok teman sebaya atau peer group.
Program Pelatihan Pengembangan Kemampuan Perspective Taking Sebagai Upaya
Mencegah Tindak Kekerasan dan Tawuran Pelajar Remaja
Meskipun berbagai tindakan kekerasan dan tawuran (agresi anti sosial) dapat dijelaskan
dengan menggunakan berbagai teori, seperti telah dikemukakan pada bagian awal, tulisan
ini hanya akan mengemukakan suatu solusi dari pendekatan perkembangan. Pendekatan
perkembangan mengajukan formulasi klinis bahwa untuk mendorong perkembangan
(menangani perilaku menyimang) maka program intervensi perlu diarahkan pada upaya
memodifikasi faktor-faktor yang menghambat perkembangan (mempengaruhi perilaku
menyimpang). Suatu gangguan perilaku bisa terbentkuk karena adanya hambatan dalam
perkembangan aspek fisik, kognitif, dan sosial. Dalam konteks ini akan lebih
menekankan pada hambatan kognitif.
Banyak pendapat yang menyatakan dan hasil penelitian yang membuktikan bahwa
berbagai bentuk gangguan perilaku termasuk di dalamnya tindak kekerasan bersumber
pada rendahnya kemampuan kognitif. Kemampuan ini berhubungan dengan cara-cara
individu mempersepsi atau memahami orang lain dalam suatu situasi hubungan atau
interaksi sosial interpersonal. Jika individu dapat memahami orang lain dalam arti
perasaan, pikiran, dan tindakannya maka ia akan lebih dapat mengendalikan emosinya
dan dapat bertindak dalam cara yang tidak merugikan orang lain. Tindak kekerasan dan
tawuran terjadi karena masing-masing pihak melihat atau memahami sesuatu obyek atau
peristiwa secara berbeda. Perbedaan dalam memahami suatu obyek atau peristiwa ini
terjadi karena orang menggunakan cara pandang atau perspektif yang berbeda. Perbedaan
cara pandang atau persepsi ini disebabkan oleh karena orang memiliki nilai, pengalaman,
dan infomasi yang berbeda. Nah jika setiap orang memiliki kemamluan untuk mengakui
dan menerima bahwa setiap orang bisa memiliki cara pandang yang berbeda terhadap
sesuatu yang sama, maka tindak kekerasan dan tawuran akan bisa dihindari, sebaliknya
perilaku sosial positif akan berkembang.
Dalam psikologi, konsep yang berkaitan dengan kemampuan untuk menerima dan
menghargai cara pandang orang lain disebut dengan kemampuan mengambil perspektif
orang lain (social perspective taking, disingkat SPT). Konsep ini berakar pada teori
Robert S. Selman yang disebut teori perspective taking yang juga dikenal dengan teori
interpersonal understanding. Teori ini dikembangkan oleh Selman pertama kali pada
tahun 1980 berdasarkan teori perkembangan kognitif Jean Piaget dan teori perkembangan
moral dari Lawrence Kohlberg.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah peneliti paparkan tentang
Upaya guru Pendidikan Pancasil dan Kewarganegaraan dalam menumbuhkan kesadaran
siswa untuk mencegah aksi tawuran antar sekolah di SMA PGRI 56 Ciputat dapat
disimpulkan bahwa guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan beserta pihak
sekolah bekerjasama untuk membentuk karakter dan perilaku peserta didik dengan cara
menyelipkan pesan moral pada saat penyampaian materi dikelas, guru memberikan
arahan dan bimbingan mengenai pengetahuan tentang bahaya aksi tawuran, dampak aksi
tawuran dan peraturan sekolah apabila didapati peserta didik yang terlibat pada aksi
tawuran antar sekolah.
Peran guru di Maluku Tengah di MTS Negeri 1 Maluku Tengah dan SMP 13
Maluku Tengah
Berdasarkan pengamatan peneliti pada lokasi penelitian ditemukan bahwa upaya guru
PKn dan guru BK dalam Mencegah terjadinya tawuran antar siswa sangatlah memiliki
dampak yang signifikan dalam mencegah terjadinya tawuran.
Dari hasil wawancara dengan guru PKn MTs Negeri 1 Maluku Tengah atas nama Rusli
S.Pd.,M.M.Pd, beliau mengatakankan bahwa:
“Dalam setiap pembelajaran yang dilakukan selalu dimulai dengan penanaman moral,
kemudian nasehat-nasehat tentang akhlak yang baik kepada siswa, pembentukan
kepribadian yang baik bagi siswa dengan menanamkankan nilai-nilai pancasila dan
mengamalkan dalam lingkungan keluarga, sekolah, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara”.
Selain itu juga berdasarkan hasil wawancara dengan guru PKn SMP Negeri 13 Maluku
Tengah, atas nama Rusula S.PdI, beliau mengatakan bahwa:
“Dalam hal pencegahan kepada siswa agar tidak melakukan perkelahian (Tawuran)
biasanya diawal pembelajaran guru memberikan pembianaan-pembinaan kepada siswa
yang bersumber dari nilai-nilai pancasila yakni berupa akhlak, kemudian dikaitkan
dengan nilai-nilai agama (religius). Nah upaya yang guru lakukan berdampak baik
kepada perubahan sikap dan juga tingkah laku siswa, dimana adanya kesadaran dalam
diri siswa bahwa apa yang dilakukan (Tawuran) adalah suatu perbuatan yang salah”
Perilaku tawuran pelajar yang dilakukan oleh para remaja ini memang sudah
dikategorikan sebagai bentuk tindakan kriminal karena tidak hanya membahayakan bagi
diri sendiri namun juga menjadikan pihak lain sebagai korban, bahkan masyarakat sekitar
yang tidak ikut terlibat dalam perilaku tawuran ini juga mendapatkan kerugian fisik
maupun materi. Bentuk tindakan tawuran ini sudah termasuk ke dalam bentuk perilaku
delinkuensi (juvenile delinquency).
Jensen (dalam Sarwono, 2012) membagi tawuran menjadi empat aspek, yaitu: