PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah suatu periode yang sering dikatakan sebagai periode
“badai dan tekanan” yaitu sebagai suatu masa dimana terjadi ketegangan emosi yang
tinggi yang diakibatkan adanya perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980: 212).
Di masa ini remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu karena mereka
ada dalam masa peralihan dan mereka berusaha menyesuaikan perilaku baru mereka
dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Gejolak ditimbulkan baik oleh fungsi
sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri
dan memantapkan posisinya dalam masyarakat), oleh pertumbuhan fisik
(perkembangan tanda-tanda seksual sekunder), perkembangan inteligensi (penalaran
yang tajam dan kritis), serta perubahan emosi (lebih peka, cepat marah dan agresif).
Pada umumnya permulaan masa remaja ditandai dengan perubahan-
perubahan fisik yang mendahului kematangan seksual. Kurang lebih bersamaan
dengan perubahan fisik dan psikis, mereka mulai melepaskan diri dari ikatan orang
tua kemudian terlihat perubahan-perubahan kepribadian yang terwujud dalam cara
hidup untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat (Gunarsa, 1995: 18).
Menurut Psikolog Amerika kelahiran Jerman Erik Erikson memandang
perkembangan remaja sebagai proses psikososial yang terjadi seumur hidup. Tugas
psikososial remaja dalam hal ini adalah untuk tumbuh dari orang yang tergantung
menjadi orang yang tidak tergantung, yang identitasnya memungkinkan orang
tersebut berhubungan dengan lainnya dalam gaya dewasa. Kehadiran problem
emosional bervariasi antara setiap remaja (dalam Sarwono, 1991).
Perubahan emosi pada masa remaja intensitasnya bergantung pada terjadinya
tingkat perubahan fisik dan psikologi. Perubahan fisik pada masa puber akan
mempengaruhi psikologis individu pada masa remaja. Ketidakbahagiaan pada masa
puber dapat berlangsung sampai pada masa-masa remaja bilamana tidak
mendapatkan bantuan dari lingkungannya, khususnya pada orang tua. Dalam hal ini
pola asuh orang tua diperlukan dalam membantu perkembangan emosi pada masa
kanak-kanak, masa pubertas dan di masa remaja.
1
Selain itu dalam masa remaja, mereka mulai meninggalkan masa anak-anak
yang bergantung pada orang tua dengan mencari identitas diri untuk menjawab siapa
diri mereka dan menemukan tempatnya di dunia ini. Dalam mencari identitas / jati
diri, mereka biasanya menilai dan meniru perilaku orang dewasa sambil menyadari
apa yang diharapkan oleh orang dewasa.
Model pertama yang mereka tiru biasanya tidak jauh adalah dari keluarga
mereka sendiri yaitu dari orang tuanya. Perilaku orang tua mereka yang telah terasa
dan teramati sejak keluar dari rahim sang ibu, telah tertanam pada diri mereka. Mulai
dari belajar untuk bicara hingga mengenal berbagai norma yang harus mereka patuhi.
Dalam hal ini pola asuh orang tua adalah salah satu contoh yang berpengaruh dalam
perkembangan remaja. Pola asuh orang tua yang dikategorikan menjadi tiga yaitu :
otoriter, demokratis dan permisif (Laissez Faire) berpengaruh dalam pembentukan
kepribadian anak. Dari pola asuh tersebut timbul suatu perilaku baru yang muncul
akibat diterapkannya salah satu atau mungkin beberapa pola asuh yang dilaksanakan
dalam suatu keluarga. Seorang remaja akan berhasil mencapai perkembangan yang
sempurna dan dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan baik jika berada dalam
pengasuhan yang didasari oleh kasih sayang dalam suasana persahabatan. Sebaliknya
seorang remaja mengalami kemunduran pada kematangan emosinya bila dalam masa
anak mengalami pengasuhan yang terlalu keras maupun pengasuhan yang
membebaskannya untuk melakukan segala hal yang diinginkannya.
Dewasa ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak
mereka sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu
sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak berani
mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap sebagai orangtua
yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak dianggap sebagai orang tua
kolot, konservatif dan ketinggalan jaman atau dapat dikatakan pola asuh permisif.
Dengan menerapkan pola asuh seperti ini remaja dapat memiliki kematangan emosi
yang buruk karena kurang bisa mengatur emosi. Ketidakmampuan mengatur emosi
ini diakibatkan kurang lekatnya anak terhadap orang tua mereka, yang terlalu
memberikan kebebasan berlebih sehingga anak kurang bisa mengontrol kelakuannya.
Hurlock (1999:213) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang menimbulkan
perasaan aman serta keterbukaan berpengaruh dalam hubungan sosial. Rasa aman
2
dalam berinteraksi dengan lingkungan akan dipelajari dalam keluarga yang
menerapkan salah satu dari pola asuh. Karena pola asuh adalah suatu sikap atau
perlakuan orang tua terhadap anaknya yang berpengaruh perilaku antara lain
terhadap kompetensi emosional, sosial dan intelektual. Dari salah satu pengaruh
penerapan pola asuh yang berupa kompetensi emosional atau kemampuan dalam
mengelola emosi adalah salah satu bagian dari kematangan emosi.
Perkembangan emosi yang terjadi pada usia remaja mulai mengalami
perbaikan dari tahun ke tahun. Namun terkadang emosi mereka mudah “meledak” di
saat mereka mendapatkan pengaruh atau rangsangan yang mengakibatkan
berkurangnya kontrol terhadap emosi mereka. Pergolakan emosi yang terjadi pada
remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal,
keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang
dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali remaja yang kematangan
emosinya kurang, mengakibatkan diri mereka kurang mampu dalam mengontrol
perilaku agresinya. Emosi yang tidak ditekan dan dikontrol dengan baik akan dapat
menimbulkan perilaku agresi sebagai sarana pengekpresian emosi mereka yang tak
terkontrol dan tak terarah. Remaja yang berperilaku agresi secara konsisten
menunjukkan kekurangan dalam kemampuan interpersonal, perencanaan dan
manajemen agresi. Kemunculan agresivitas bisa disebabkan sebagai ungkapan
karena berhadapan dengan situasi-situasi atau keadaan yang tidak menyenangkan.
Selain itu, perilaku agresi merupakan bagian dari sifat dasar manusia.
Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi,
membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila
aktivitas-aktivitas yang dijalani tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak
energinya, mereka seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang negatif,
salah satu adalah munculnya perilaku agresi. Ada banyak contoh dalam kehidupan
menampakkan perilaku agresi di lingkungan sekitarnya, mulai dari tawuran atau
perkelahian antar pelajaran, sikap anti kemapanan, pertentangan dengan figur otoritas
seperti orang tua maupun orang-orang yang dianggap penting, serta banyak lagi
contoh perilaku agresi remaja yang lainnya. Pengendalian agresi dapat dilakukan
bilamana remaja dapat mencapai tingkat kematangan emosinya. Sehingga perilaku
3
agresi tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada diri individu remaja bilamana
belum baik tingkat kematangan emosi dari tiap individu remaja tersebut.
Kematangan emosi yang dimiliki pada setiap individu berbeda-beda
tergantung pada bagaimana penerimaan lingkungan terhadap individu. Keluarga
menjadi lingkungan pertama bagi tiap individu. Apabila dalam suatu keluarga
hubungan antara anak dengan orang tua terjalin harmonis, maka dapat berkembang
baik kematangan emosi sesuai dengan perkembangannya dan perilaku agresi dapat
dikontrol oleh orang tuanya. Namun, dalam kehidupannya bilamana seorang remaja,
merasa dibebaskan oleh orang tuanya untuk melakukan perilaku apapun yang dia
mau, di saat mereka dilarang oleh orang tua, maka akan timbul perilaku agresi
sebagai bentuk perlawanan mereka. Demikian juga pada remaja yang mengalami
pola asuh yang otoriter, orang tua menerapkan disiplin keras pada anaknya, sehingga
mengalami hambatan dalam mencapai keinginannya, mengalami konflik dan muncul
perilaku agresi untuk dalam penyelesaian masalahnya. Selain perilaku agresi muncul
sebagai akibat dari modelling perilaku orang tua mereka.
Salah satu fenomena yang pada akhir-akhir ini sangat memprihatinkan adalah
mengenai mudahnya para pelajar berkelahi atau yang sering disebut tawuran.
Peristiwa tersebut banyak mendapat sorotan dan perhatian baik dari orang tua,
pemerintah, pendidik serta psikolog karena adanya gejala peningkatan tingkah laku
agresi. Bentuk nyata perilaku agresi yang dilakukan adalah perkelahian atau tawuran
antar pelajar yang sering menimbulkan korban jiwa (Tambunan, 2001). Di kota-kota
besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta
melalui Bimas Polri Metro pada tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar,
tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun
1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota
masyarakat lain. Tahun 1998 ada 130 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2
anggota Polri, dan pada tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas.
Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat.
Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga
tempat sekaligus (Tambunan, 2001).
4
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan judul ”Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan Kematangan Emosi Dengan
Perilaku Agresi Remaja Awal Di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar”
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
5
4. Mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresi pada
remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar.
5. Mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku agresi pada
remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar.
6. Mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dan kematangan emosi dengan
perilaku agresi pada remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar.
D. Hipotesa Penelitian
1. Terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresi pada
remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar.
2. Terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku agresi pada remaja
di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar.
3. Terdapat hubungan antara pola asuh orang tua, kematangan emosi dengan
perilaku agresi pada remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar.
E. Manfaat Penelitian
6
Mengetahui kematangan emosi yang terjadi pada diri anak dan cara yang
tepat dalam memanfaatkannya
F. Asumsi Penelitian
Asumsi dasar adalah anggapan dasar yang merupakan titik tolak pemikiran dalam
suatu penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, maka asumsi penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua remaja yang tinggal di Sekolah
Menengah Kejuruan Islam 1 Blitar memiliki 3 kecenderungan yaitu: Otoriter,
Demokratis dan Permisif.
2. Kematangan emosi pada remaja yang tinggal di Sekolah Menengah Kejuruan
Islam 1 Blitar bervariasi sesuai dengan indikator dalam ruang lingkup penelitian.
3. Perilaku agresi pada remaja yang tinggal di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1
Blitar bervariasi sesuai dengan penyebabnya dan indikator dalam ruang lingkup
penelitian.
7
Subjek penelitian ini adalah siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan Islam
1 Blitar pada fase remaja awal.
c. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Kejuruan Islam 1
Blitar jalan Musi no. 2B Kotamadya Blitar.
H. Keterbatasan Penelitian
I. Definisi Operasional
1. Pola asuh adalah suatu cara untuk mendidik dan membimbing seseorang kepada
orang lain yang dilakukan dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
2. Kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi yang mencapai tingkat
kedewasaan pada perkembangan emosinya.
3. Perilaku agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan secara langsung maupun tak langsung serta tindakan yang
dialihkan kepada objek bukan manusia kepada individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.
8
Tabel Jabaran Variabel Penelitian
VARIABEL INDIKATOR DESKRIPTOR
Pola Asuh 1. Otoriter 1.1. Melarang anak untuk melakukan kegiatan yang tidak sesuai
Orang Tua dengan norma dalam keluarga.
1.2. Tidak memberikan kesempatan pada anak saat melakukan
kesalahan.
1.3. Membuat peraturan yang harus dipatuhi oleh anak.
1.4. Memaksakan kehendak pada anak.
1.5. Menghukum anak di saat melakukan kesalahan.
2. Demokratis 2.1. Memberikan dukungan dalam setiap kegiatan anak.
2.2. Membuat kesepakatan bersama dengan anak mengenai perturan
dalam keluarga
2.3. Menghargai pendapat anak.
2.4. Memperhatikan segala masukan dan usulan dari anak.
2.5. Memberi penjelasan tentang segala larangan dan perintah yang
diberikan
3. Permisif 3.1. Membiarkan anak dalam segala aktivitasnya.
3.2. Tidak memberi masukan saat anak mempertimbangkan sesuatu.
3.3. Tidak mengetahui segala urusan anak.
3.4. Tidak melarang dan tidak memerintah anak untuk melakukan
sesuatu.
3.5. Bebas dari segala aturan orangtua
Kematangan 1. Selektivitas dalam 1.1. Pengekpresian emosi
Emosi merespon 1.2. Sikap terhadap orang lain maupun milik orang lain di saat emosi
1.3. Mencari penyebab dari emosi
1.4. Sikap di saat menghadapi situasi emosi
2. Kontrol diri & emosi 2.1. Sikap ketika mengalami situasi emosi
2.2. Sikap pada seseorang yang bermasalah kepada kita
2.3. Sikap di saat mengetahui orang berbuat salah pada kita maupun
umum
3. Berpikir kritis & 3.1. Keputusan dalam bertindak di saat situasi emosi
realistis 3.2. Sikap di saat menghadapi suatu kegagalan
3.3. Sikap ketika telah mengalami suatu kegagalan.
3.4. Sikap kita kepada orang uang lebih kita hormati di saat emosi
3.5. Pemikiran sebab-akibat dalam melakikuan suatu tindakan
4. Tanggung jawab 4.1. Sikap terhadap peraturan-peraturan
4.2. Sikap di saat mengetahui kesibukan orang lain
4.3. Sikap di saat kita mendapatkan suatu tugas
4.4. Sikap kepada orang lain di saat situasi emosi
4.5. Sikap terhadap orang yang dianggap lebih rendah derajatnya
5.Kemampuan 5.1. Perilaku dalam kehidupan sosial
Bersosialisasi 5.2. Aktivitas bersama di lingkungan
5.3. Sikap di lingkungan baru
5.4. Sikap terhadap individu lain di suatu lingkungan
Peilaku Agresi 1.Agresi 1.1. Perilaku di saat kita terganggu oleh individu lain
verbal/simbolik 1.2. Perilaku saat kita menerima nasehat dari orang yang kita hormati
1.3. Perilaku di saat melihat orang lain lebih buruk keadaannya
daripada kita
2. Agresi 2.1. Perilaku agresi terhadap lingkungan sekitar
Fisik / hukuman 2.2. Sikap di saat terjadi suatu masalah dengan individu lain
2.3. Sikap di saat individu lain merendahkan/mengejek kita
9
3. Memberitahu pihak 3.1. Sikap kita terhadap orang yang menjadi saingan
lain untuk membalas 3.2. Sikap kita kepada orang lain terhadap orang yang dibenci
atau menghasut
4. Merusak sesuatu 4.1. Perilaku terhadap lingkungan di saat kita mengalami suatu
yang memiliki nilai kegagalan/kesalahan
penting bagi seseorang 4.2. Perilaku agresi pada orang yang bersalah kepada kita
4.3. Perilaku jahil kepada orang lain maupun lingkungan
5. Pengalihan terhadap 5.1. Perilaku terhadap hal-hal yang ada di lingkungan ketika sedang
obyek bukan manusia emosi
5.2. Sikap ketika kita sedang terjadi masalah
6. Pengalihan terhadap 6.1. Sikap kita kepada orang lain di saat kita mengalami nasib buruk
manusia 6.2. Sikap ketika berada di lingkungan kita mengalami masalah di
suatu tempat
6.3. Sikap kita kepada orang lain di saat benda yang kita miliki
hilang/mengalami suatu masalah
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. POLA ASUH
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pola asuh oang tua, perlu dipahami
terlabih dahulu mengenai makna dari keluarga. Sebab pola asuh terjadi dalam
lingkup pendidikan keluarga.
Lingkungan keluarga merupakan “pusat pendidikan” yang pertama dan
terpenting, karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu
mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia (Dewantara, 1998: 17).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa pengaruh orang tua terhadap
perkembangan kepribadian anak sangat besar dan kemudian dapat menjadi model
contoh dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Misalnya,
orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga kurang perhatian
terhadap perkembangan dan kebutuhan anak mengakibatkan orang tua bersikap
cuek / masa bodoh dan cenderung membiarkan anak menentukan perilaku dalam
kegiatannya sehari-hari dan cenderung memenuhi keinginan anak tanpa diperhatikan
terlebih dahulu intensitas dari kebutuhan anak. Dengan sikap orang tua yang cuek
tersebut anak merasa kurang diperhatikan dan dapat juga menjadi kurang dihargai,
sehingga bila dibiarkan berlarut-larut, perilaku anak akan semakin bebas dan
bertindak sesuai dengan yang dikehendakinya tanpa ada kontrol.
Bila dihubungkan dengan masa remaja sebagai suatu periode “badai dan
tekanan” yang emosinya belum stabil, kemungkinan perilaku agresi dapat muncul,
bilamana keinginannya tak terpenuhi atau terkadang cenderung memaksakan
kehendak untuk memenuhi kebutuhannya. Terkadang remaja kurang bisa
mengendalikan perilaku agresinya bila mereka tidak mendapatkan kontrol dari
lingkungannya terutama dari orang tuanya.
11
Menurut Hidayah, dkk (1994: 20) pola asuh orang tua adalah suatu “parental
attitude, dimana orang tua memperlakukan anaknya dalam komunikasi sehari-hari,
dalam mengasuh dan memelihara anak baik ayah, ibu maupun keduanya.” Dalam
mengasuh anak khususnya remaja, orang tua harus memperhatikan bagaimana dalam
memberikan perhatian dan kasih sayang, pemberian reward dan punishment pada
perilaku anak serta penanaman sikap dan moral kepada anak. Sehingga dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan pola asuh yaitu model atau cara orang tua
dalam memperlakukan anak dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk perlakuan
fisik maupun psikis.
Hubungan antara orang tua dengan anak ditentukan oleh sikap, perasaan, dan
keinginan orang tua terhadap anaknya. Pola asuh orang tua yang diterapkan terhadap
anak akan membentuk suasana tertentu dalam keluarga yang masing-masing
mempunyai pengaruh bagi perkembangan kepribadian anak. Menurut Hurlock (1980:
213) pola asuh dalam keluarga dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
a. Otoriter
Orang tua menentukan semua peraturan secara mutlak dan anak tidak
diberikan kebebasan untuk melakukan hal yang diinginkan, sehingga jika anak
melanggar peraturan orang tua maka sangsi hukuman fisik yang akan diterima
anak. Anak dalam pengasuhan ini merasa terkekang, menyebabkan
perkembangan anak mengalami kemunduran, sulit menyesuaikan diri dengan
lingkungan, ragu-ragu dalam bertindak dan lamban berinisiatif (Probns, dalam
Ahmadi, 1982: 106). Pola seperti ini akan menimbulkan percekcokan karena
orang tua berharap dirinya lebih mengambil peran dalam kehidupan anaknya.
Keputusan atas segala sesuatu ditentukan oleh orang tua, sehingga anak akan
cenderung mendapatkan hukuman fisik bila menentang orang tua. Sementara
remaja yang mendapatkan pola asuh ini, bila kecenderungan emosional kuat,
maka berakibat adanya perselisihan dalam keluarga, menyebabkan perilaku
agresi muncul sebagai bentuk perlawanannya.
Menurut Daradjat (1968) menyebutkan pola asuh otoriter dengan “toleransi
orang tua yang berlebih-lebihan dan orang tua yang terlalu keras.” Banyaknya
perintah, larangan, teguran dan tidak memperdulikan keinginan anak,
mengakibatkan anak mengalami ketidakmatangan emosi dan mengalami
12
ketegangan yang berakibat munculnya perilaku agresi sebagai efeknya dalam
lingkungan sosial.
b. Demokratis
Dalam pola asuh ini anak diberi kebebasan untuk memilih disertai dengan
bimbingan yang penuh kasih sayang dan pengertian dari orang tua. Anak yang
dibesarkan dalam pola asuh demokratis mempunyai rasa percaya diri yang baik,
bertanggung jawab dan dapat menghargai orang lain (Hurlock, 1994: 213).
Menurut Bernadib (dalam Tarmudji, 2001) mengemukakan bahwa anak
dalam pengasuhan demokratis; orang tua selalu memperhatikan perkembangan
anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat tetapi juga bersedia
mendengarkan keluhan-keluhan anak berhubungan dengan masalah yang sedang
dihadapi anak. Bagi remaja yang mendapatkan pola asuh ini dapat mengeluarkan
segala keluh kesahnya kepada orang tuanya, sehingga permasalahan yang dialami
dapat segera diatasi dan kemungkinan perilaku agresi yang muncul dapat
diketahui dan diminimalisir.
c. Permissive
Pola asuh ini cenderung orang tua memberikan kebebasan kepada anak. Tidak
ada peratuan mengikat, sehingga anak bebas melakukan segala hal yang
diinginkannya. Orang tua hanya memenuhi kebutuhan materi tanpa dilandasi rasa
kasih sayang dan bimbingan, sehingga anak akan cenderung lebih agresi dan
mudah putus asa jika keinginannya tidak terpenuhi (Hurlock, 1980: 213). Remaja
yang mendapat pola asuh permisif cenderung bebas untuk berperilaku baik
maupun buruk tanpa terkontrol oleh orang tuanya. Selain itu dalam ola asuh ini,
anak cenderung tidak memiliki rasa hormat kepada orang tua dan kematangan
emoi yang kurang stabil. Sehingga bila ada suatu keinginan yang belum
terpenuhi, mereka cenderung menggunakan berbagai cara termasuk perilaku
agresi.
Pengalaman-pengalaman anak dalam interaksi sosial dengan keluarga sangat
menentukan pula dalam bertingkah laku dengan orang lain dalam lingkungan sosial.
Apabila interaksi sosial anak dalam keluarga tidak lancar oleh karena beberapa
sebab, maka kemungkinan interaksi sosial dengan masyarakat pada umumnya juga
berlangsung dengan tidak wajar.
13
Selain itu pola asuh orang tua juga berperan terhadap kematangan emosi remaja.
Seorang remaja yang pada masa kecilnya memperoleh pola asuh yang terlalu keras
maupun pola asuh yang membebaskan dalam berperilaku akan mendapatkan
perkembangan emosi yang tidak sesuai / kematangan emosi kurang stabil dan dapat
mengakibatkan perilaku agresi pula. Namun perkembangan emosi akan berjalan
menuju kesempurnaan bilamana dalam suatu keluarga berinteraksi dengan pola asuh
yang didasari dengan kasih sayang dalam suasana persahabatan.
B. KEMATANGAN EMOSI
1. Pengertian Emosi
Emosi merupakan bagian dari kehidupan yang selalu muncul pada saat kita
menghadapi peristiwa. Melalui emosi kita dapat merasakan suka, duka, bahagia dan
sengsaranya dunia. Emosi didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli dan psikolog
dengan orientasi teoritis yang berbeda. Emosi berasal dari kata “emotus” atau
“emovere” yang berarti bergerak atau menggerakkan (to stir up) yaitu sesuatu yang
mendorong terhadap sesuatu dalam diri manusia. Emosi merupakan penyesuaian
organis yang timbul secara otomatis pada manusia dalam menghadapi situasi-situasi
tertentu (Sarwono, 2005).
Menurut Albin (2005:119) emosi, seperti rasa cemas, sayang, sedih, marah, cinta
yang dialami individu dalam batinnya, biasanya merupakan tanggapan terhadap
kejadian-kejadian dalam hidupnya. Emosi ini dapat merangsang pikiran baru,
khayalan dan tingkah laku.
Menurut Goleman (1999:7) “emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-
pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang
telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.”
Menurut Walgito (1986:133) emosi adalah keadaan perasaan yang telah begitu
melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya mungkin
terganggu. Chaplin (1989) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan terangsang
dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam
sifatnya dan perubahan perilaku. Crow & Crow (dalam Sunarto & Hartono 1994)
14
mendefinisikan emosi sebagai pengalaman efektif yang disertai penyesuaian dari
dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud pada satu tingkah
laku yang tampak.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu
luapan perasaan yang muncul secara spontan, bersifat sementara, yang diwujudkan
dalam perasaan senang atau tidak senang yang timbul akibat adanya rangsangan dari
dalam maupun luar individu.
15
Dari pengertian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kematangan
emosi yaitu suatu kemampuan untuk mengendalikan emosi yang menekankan pada
pengekpresian emosi yang dapat memuaskan baik secara fisik maupun psikis bagi
individu maupun yang dapat diterima oleh masyarakat.
C. AGRESI
1. Pengertian Agresi
Agresi adalah peranan marah atau suatu kekasaran sebagai akibat kekecewaan
atau kegagalan dalam mencapai suatu pemuasan atau tujuan, dapat ditujukan kepada
orang atau benda (Hassan dkk, 1981 : 2). Schneiders (1955) menyebutkan bahwa
“perilaku agresi merupakan perilaku atau luapan emosi sebagai reaksi kegagalan
individu yang ditampakkan dalam bentuk penguasaan atau pengrusakan terhadap
orang atau benda dengan unsur kesengajaan, yang diekspresikan dalam bentuk kata-
kata (verbal) dan perilaku (nonverbal).
Tujuan dari perilaku agresi adalah untuk penguasaan situasi, mengatasi suatu
rintangan / halangan yang dihadapi, atau merusak suatu benda. Secara umum berarti
suatu tingkah laku menyerang, mengancam, atau membahayakan orang lain baik
secara verbal maupun fisik dengan sengaja.
Faktor-faktor Penyebab Agresi
Beberapa hal dapat menimbulkan munculnya perilaku agresi. Menurut Tarmudji
(www.google.com, 2001), salah satu faktor yang diduga menjadi sebab timbulnya
tingkah laku agresi adalah kecenderungan pola asuh tertentu dari orang tua (child
rearing). Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orang tua dengan anaknya
selama mengadakan pengasuhan. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai
peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan orang
tua kepada anaknya. Perkembangan tingkah laku agresi pada anak dipengaruhi oleh
orang tuanya melalui pengontrolan pengalaman frustasi anak dan juga cara orang tua
memberikan penguatan ataupun hukuman terhadap tingkah laku agresi.
Menurut Bandura (dalam Tarmudji, 2001), dalam masyarakat modern ada tiga
sumber munculnya tingkah laku agresi, antara lain :
a. Pengaruh keluarga
Anak belajar bertingkah laku agresi melalui imitasi atau model terutama dari
orang tuanya.
16
b. Pengaruh subkultural
Dalam konteks pengaruh subkultural ini sumber agresi adalah komunikasi atau
kontak langsung yang berulang kali terjadi antarsesama anggota masyarakat di
lingkungan anak remaja tinggal. Mengingat kondisi remaja, maka peer group
berperan juga dalam mewarnai perilaku remaja yang bersangkutan.
c. Modelling (vicarious learning)
Hal ini merupakan sumber tingkah laku agresi secara tingkah langsung yang
didapat melalui mass media, misalnya televisi, majalah, koran, video, atau
bioskop.
Perilaku agresi merupakan hasil proses belajar dalam interaksi sosial maka
tingkah laku agresi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Selain itu, menurut
Mu’tadin (2002) beberapa faktor yang merupakan penyebab timbulnya perilaku
agresi, antara lain :
a. Amarah
Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut
disalurkan maka terjadi perilaku agresi. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,
atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi.
b. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang
tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal
dan seingkali tidak ‘nyambung’. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak
diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak /
remaja.
c. Lingkungan
Beberapa hal di lingkungan yang dapat memicu timbulnya perilaku agresi,
antara lain :
Kemiskinan
Model agresi ini seringkali diadopsi anak / remaja sebagai model pertahanan
diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang dirasakan
sangat kritis bagi pertahanan hidup, seringkali dengan mudah bertindak agresi
17
(memukul, berteriak, dan mendororong orang lain hingga jatuh dan
tersingkir) dalam kompetensi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya.
Anonimitas
Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat
impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling
mengenal atau mengetahui secara baik. Setiap individu cenerung menjadi
anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim, ia
cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat
dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.
d. Peran Belajar Model Kekerasan
Menurut Davidoff (dalam Mu’tadin, 2002) menyaksikan perkelahian meskiun
sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru
model kekerasan tersebut akan terjadi proses belajar peran model kekerasan
tersebut akan terjadi proses belajar peran model kekerasan tersebut akan terjadi
proses belajar peran model kekerasan tersebut. Dengan menyaksikan adegan
kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal tersebut
akan terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat
efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
e. Frustasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi
merupakan salah satu cara berespon terhadap frustasi.
f. Proses Pendisiplinan yang Keliru
Pendisiplinan dalam suatu pola asuh yang otoriter dengan penerapan yang keras
terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan
berbagai pengaruh buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan
membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan
membenci orang yang memberi hukuman fisik, kehilangan spontanitas serta
inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi
kepada orang lain.
Di samping itu menurut Krahe (2005: 111 – 148) beberapa faktor yang dapat
mendorong dan meningkatkan perilaku agresi, antara lain keadaan yang dapat
18
menyebabkan frustasi, penggunaan alkohol, efek senjata, keadaan yang berdesak-
desakan (crowding), kebisingan, polusi udara, dan efek temperatur udara.
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa banyak hal di lingkungan sekitar yang
dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresi yang apabila intensitasnya berlebihan
dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
19
e. Teori Murray
Menurut Murray agresi merupakan kebutuhan untuk menyerang, memperkosa,
atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, mengganggu,
membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan, atau menuduh
secara jahat, menghukum berat, atau melakukan tindakan sadistis lainnya
(Chaplin, 1989:15).
20
anak telah terlewati, namun di satu sisi remaja belum diterima sebagai manusia
dewasa Pada masa ini remaja senang mencari nilai-nilai baru, yang menurut remaja
sudah sesuai dengan kepribadiannya, namun belum tentu baik dipandang masyarakat
umum Sehingga konflik dalam suatu lingkungan, dalam hal ini keluarga sebagai
lingkungan pertama tak dapat dihindari lagi.
Dari beberapa karakteristik pola asuh yang telah diuraikan diatas, dapat
menunjukkan bahwa pada tiap masing-masing karakteristik, yaitu: pola asuh otoriter,
demokratis dan permisif; mempunyai pengaruh terhadap perilaku pada anak mereka.
Hurlock menyatakan bahwa pola asuh orang tua akan mempengaruhi aspirasi dan
perilaku anak (Hurlock, 1973). Misalnya seorang anak dengan pola asuh yang
otoriter seringkali akan mewarisi perilaku dari orangtuanya saat di luar lingkungan
keluarga, seorang anak dengan pola asuh permisif dari orang tuanya dapat
menimbulkan perilaku perilaku suka menipu, berbohong, agresi sehingga merusak
diri dan masyarakat sekitarnya, selain itu tidak menutup pula pada anak yang
mendapat pola asuh demokratis akan berperilaku agresi bilamana tidak didukung
oleh kepribadian dan kematangan emosi dari mereka.
Setiap individu mempunyai kematangan emosi yang berbeda-beda. Seorang
remaja yang matang emosinya, mampu menerima, menyeleksi serta mengungkapkan
emosinya secara tepat, mempunyai stabilitas dalam merespon emosinya, mampu
menilai secara kritis sebelum merespon sesuatu secara emosional. Individu dituntut
untuk memiliki kematangan emosi yang dapat mengendalikan marahnya bilamana
dia mampu mengendalikan agresinya daripada “meledakkannya.” Individu
khususnya masyarakat yang mempunyai kematangan emosi bukan hanya dapat
mengendalikan emosi yang berlebih saja, tetapi mereka juga harus menguasai cara-
cara yang dapat diterima sosial dan tidak merugikan fisik dan psikis remaja itu
sendiri. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua akan
mempengaruhi perilaku dari para remaja dan bilamana remaja belum mampu / tidak
matang emosinya akan mengakibatkan perilaku emosi yang mudah “meledak”;
sehingga bilamana orang tua salah dalam mengasuh anaknya akan membuat
buruknya kepribadian, kematangan pada emosi dan pada akhirnya timbul perilaku
agresi.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
ini terdiri dari 3 macam variabel. Variabel tersebut adalah pola asuh orang tua (X 1 ),
kematangan emosi (X 2 ) sebagai variabel bebas dan perilaku agresi (Y) sebagai
variabel bebas. Secara sistematis rancangan penelitian digambarkan sebagai berikut :
Kematangan Emosi
(X 2 )
22
jmlah penghuni Lapas sekitar 130 orang. Menurut Arikunto apabila populasi kurang
dari 100, maka lebih baik sampel diambil semuanya.
1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh
data penelitian (Danim, 2000). Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah
skala. Perincian skala yang dipakai adalah sebagai berikut :
a. Skala Pola Asuh Orang Tua
Data pola asuh orang tua diperoleh dengan menggunakan skala pola asuh, yang
aitem-aitemnya mengacu pada teori pola asuh yang terdiri dari : otoriter, demokratis
dan permisif.
Metode yang digunakan adalah Metode Likert dengan menggunakan 4 kategori
respon yaitu : SS (sangat setuju), S (setuju), TS (idak setuju), STS (sangat tidak
setuju). Skoring jawaban bergerak 1 - 4 tergantung dari sifat aitem favorable atau
unfavorable.
Blue Print Skala Pola Asuh Orang tua
Sub variabel pola Item Favorabel Item Unfavorabel Jumlah
asuh orang tua
Otoriter 1, 10, 16, 22, 28, 31, 40, 4, 7, 13, 19, 25, 34, 37, 20
46, 52, 58 43, 49, 55
Demokratis 3, 9, 15, 21, 27, 33, 39, 6, 12, 18, 24, 30, 36, 20
45, 51, 57 42, 48, 54, 60
Permisif 5, 11, 17, 23, 29, 35, 41, 2, 8, 14, 20, 26, 32, 38, 20
47, 53, 59 44, 50, 56
Jumlah 30 30 60
23
Indikator Item Favorabel Item Unfavorabel Jumlah
Kematangan Emosi
Selektifitas dalam 1, 9, 13, 25, 37, 49 2, 14, 21, 26, 38, 50 12
merespon
Kontrol diri dan 3, 15, 27, 33, 39 4, 16, 28, 40, 45 10
emosi
Berpikir kritis dan 5, 10, 17, 29, 41 6, 8, 22, 30, 42 10
realistis
Tanggung jawab 7, 19, 31, 34, 43 8, 20, 32, 44, 46 10
Kemampuan 11, 23, 35, 47 12, 24, 36, 48 8
bersosialisasi
Jumlah 25 25 50
1. Validitas Instrumen
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 1998: 160). Dalam penelitian ini validitas yang
24
digunakan adalah validitas konstruk, yang dilakukan melalui analisis butir teknik
konsistensi internal. Validitas internal dapat dicapai apabila terdapat kesesuaian
antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan.
2. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas menunjukkan pada satu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup
dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen
tersebut sudah baik (Arikunto, 1998: 170). Tekni reliabilitas pada instrumen
penelitian menggunakan rumus koefisien alpha yang dilakukan dengan bantuan
program SPSS 12.00 for windows.
25
2. Analisa Korelasi
Dalam penelitian ini menggunakan 3 variabel yaitu pola asuh orang tua (X1),
kematangan emosi (X2) dan perilaku agresi (Y). Untuk mencari hubungan antar
variabel tersebut digunakan rumus korelasi Product Moment dari Karl Pearson
melalui bantuan program SPSS 12.00 for windows.
3. Analisa Regresi
Untuk menjawab hipotesis dalam penelitian ini mengguanakan teknik analisis
regresi berganda dengan bantuan program SPSS 12.00 for windows, dengan tujuan
untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel independent terhadap
variabel dependent. Pedoman untuk mengetahui normal tidaknya sebaran adalah jika
p > 0,05 data dikatakan normal dan jika p < 0,05 data dikatakan tidak normal. Selaij
itu uji linearitas untuk mengetahui apakah ada hubungan natara variabel itu linear
atau tidak menggunakan syarat p< 0,05.
26
DAFTAR RUJUKAN
Chaplin, C.P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan: Kartini Kartono. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Daradjat, Zakiah. 1994. Kesehatan Mental. Jakarta: CV. Haji Mas Agung
Utama
27
1997. National Recreation and Park Association, (online).
www.altavista.com.
Tarmudji, Tarsis. 2001. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Agresivitas Remaja
28