PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah suatu periode yang sering dikatakan sebagai periode
“badai dan tekanan” yaitu sebagai suatu masa dimana terjadi ketegangan emosi
yang tinggi yang diakibatkan adanya perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980:
212). Di masa ini remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu karena
mereka ada dalam masa peralihan dan mereka berusaha menyesuaikan perilaku
baru mereka dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Berdasarkan Hurlock
(1980: 16) masa remaja meliputi usia 13-21 tahun, dibagi menjadi dua fase yaitu
remaja awal yang berusia antara 13 atau 14 tahun sampai 17 tahun, dan remaja
akhir 17-21 tahun. Dalam penelitian ini menggunakan fase remaja awal sebagai
subjeknya.
Ciri-ciri fase remaja awal antara lain : tidak stabilnya perasaan dan emosi;
sikap dan moral remaja mengenai diri dan lingkungannya; kemampuan mental
atau kemampuan berfikir mulai sempurna; kesulitan dalam menentukan status
remaja awal; banyak menghadapi masalah terutama masalah sosial; masa yang
kritis yang menentukan apakah remaja mampu memecahkan masalahnya, sebagai
modal pada fase dewasa nantinya (Mappiare, 1982: 69).
Lembaga Pemasyaratan Anak merupakan salah satu lembaga negara
yang bernaung di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).
Lembaga ini menampung berbagai anak yang bermasalah, yang sebelumnya telah
diproses melalui pihak yang berwajib atau pihak kepolisian dan dinyatakan
bersalah dalam suatu sidang. Karena mereka belum cukup umur untuk masuk ke
Lembaga Pemasyarakatan tingkat umum / dewasa, maka mereka masuk ke dalam
Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk menjalani hukuman. Salah satu dari
Lembaga Pemasyarakatan Anak di Indonesia terletak di kota Blitar. Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau yang seringkali disingkat dengan Lapas Anak Blitar ini
mencakup seluruh kawasan propinsi Jawa Timur. Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan Anak Blitar berjumlah 122 tahanan pria dan 1 tahanan wanita.
1
Dari data yang diperoleh mereka masuk menjadi penghuni Lapas Anak Blitar ini
karena tindakan kriminal seperti pencurian baik kecil maupun besar, perkelahian
(tawuran), pemerkosaan dan tindakan kriminal lainnya. Mereka melakukan
tindakan tersebut karena berdasarkan faktor individu mereka sendiri, misalnya
bila kita telaah lebih lanjut termasuk dari faktor kepribadian, tingkat pendidikan
juga faktor emosi yang dimiliki dari tiap-tiap individu; faktor ekonomi yang
dilihat dari strata ekonomi maupun faktor lingkungan sosial, yang di dalamnya
terdapat unsur penerapan dari pola asuh keluarga.
Pada umumnya permulaan masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan
fisik yang mendahului kematangan seksual. Kurang lebih bersamaan dengan
perubahan fisik dan psikis, mereka mulai melepaskan diri dari ikatan orang tua
kemudian terlihat perubahan-perubahan kepribadian yang terwujud dalam cara
hidup untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat (Gunarsa, 1995: 18).
Selain itu dalam masa remaja, mereka mulai meninggalkan masa anak-anak
yang bergantung pada orang tua dengan mencari identitas diri mereka untuk
menjawab siapa diri mereka dan menemukan tempatnya di dunia ini. Dalam
mencari identitas / jati diri, mereka biasanya menilai dan meniru perilaku orang
dewasa sambil menyadari apa yang diharapkan oleh orang dewasa.
Model pertama yang mereka tiru biasanya tidak jauh adalah dari keluarga
mereka sendiri yaitu dari orang tuanya. Perilaku orang tua mereka yang telah
terasa dan teramati sejak keluar dari rahim sang ibu, telah tertanam pada diri
mereka. Mulai dari belajar untuk bicara hingga mengenal berbagai norma yang
harus mereka patuhi. Pola asuh orang tua adalah salah satu contoh yang paling
berpengaruh dalam perkembangan mereka. Pola asuh orang tua yang
dikategorikan menjadi tiga yaitu : otoriter, demokratis dan permisif (Laissez
Faire) berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Dari pola asuh tersebut
timbul suatu perilaku baru yang muncul akibat diterapkannya salah satu atau
mungkin beberapa pola asuh yang dilaksanakan dalam suatu keluarga. Seorang
remaja akan berhasil mencapai perkembangan yang sempurna dan dapat
berinteraksi dengan lingkungan dengan baik jika berada dalam pengasuhan yang
didasari oleh kasih sayang dalam suasana persahabatan. Sebaliknya seorang
2
remaja mengalami kemunduran pada kematangan emosinya bila dalam masa anak
mengalami pengasuhan yang terlalu keras maupun pengasuhan yang
membebaskannya untuk melakukan segala hal yang diinginkannya.
Perkembangan emosi yang terjadi pada usia remaja mulai mengalami
perbaikan dari tahun ke tahun. Namun terkadang emosi mereka mudah “meledak”
di saat mereka mendapatkan pengaruh atau rangsangan yang mengakibatkan
berkurangnya kontrol terhadap emosi mereka. Emosi yang tidak ditekan dan
dikontrol dengan baik akan dapat menimbulkan perilaku agresi sebagai sarana
pengekpresian emosi mereka yang tak terkontrol dan tak terarah. Remaja yang
berperilaku agresi secara konsisten menunjukkan kekurangan dalam kemampuan
interpersonal, perencanaan dan manajemen agresi. Dalam kehidupannya para
remaja yang merasa dibebaskan oleh orang tuanya akan melakukan perilaku
apapun yang dia mau, dan bila mereka dilarang oleh orang tua timbul perilaku
agresi sebagai bentuk perlawanan mereka, juga pada remaja yang mengalami pola
asuh yang otoriter timbul perilaku agresi sebagai akibat dari modelling perilaku
orang tua mereka. Seringkali remaja yang kematangan emosinya kurang,
mengakibatkan diri mereka kurang mampu dalam mengontrol perilaku agresinya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan judul ”Hubungan Pola Asuh Orang Tua, Kematangan Emosi Dengan
Perilaku Agresi Pada Fase Remaja Awal Di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Blitar”
B. Rumusan Masalah
3
3. Bagaimana gambaran perilaku agresi pada remaja di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Blitar ?
4. Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresi
pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar ?
5. Apakah terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku agresi
pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar ?
6. Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua, kematangan emosi
dengan perilaku agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Blitar ?
C. Tujuan Penelitian
D. Hipotesa Penelitian
1. Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresi pada remaja
di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar.
4
2. Ada hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku agresi pada remaja
di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar.
3. Ada hubungan antara pola asuh orang tua, kematangan emosi dengan perilaku
agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar.
E. Manfaat Penelitian
5
F. Asumsi Penelitian
Asumsi dasar adalah anggapan dasar yang merupakan titik tolak pemikiran
dalam suatu penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, maka asumsi penelitian
adalah sebagai berikut :
1. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua remaja yang tinggal di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Blitar memiliki 3 kecenderungan yaitu: Otoriter,
Demokratis dan Permisif (Laissez Faire)
2. Kematangan emosi pada remaja yang tinggal di Lembaga Pemasyarakatan
Anak Blitar bervariasi sesuai dengan indikator dalam ruang lingkup penelitian.
3. Perilaku agresi pada remaja yang tinggal di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Blitar bervariasi sesuai dengan penyebabnya dan indikator dalam ruang
lingkup penelitian.
H. Keterbatasan Penelitian
6
2. Subjek yang diteliti hanya pada penghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak
Blitar pada usia remaja awal.
I. Definisi Operasional
1. Pola asuh adalah suatu cara untuk mendidik dan membimbing seseorang
kepada orang lain yang dilakukan dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
2. Kematangan emosional adalah suatu keadaan atau kondisi yang mencapai
tingkat kedewasaan pada perkembangan emosinya.
3. Perilaku agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut.
Tabel Jabaran Variabel Penelitian
VARIABEL INDIKATOR DESKRIPTOR
Pola Asuh 1. Otoriter 1.1. Melarang anak untuk melakukan kegiatan yang tidak sesuai
Orang Tua dengan norma dalam keluarga.
1.2. Tidak memberikan kesempatan pada anak saat melakukan
kesalahan.
1.3. Membuat peraturan yang harus dipatuhi oleh anak.
1.4. Memaksakan kehendak pada anak.
1.5. Menghukum anak di saat melakukan kesalahan.
2. Demokratis 2.1. Memberikan dukungan dalam setiap kegiatan anak.
2.2. Membuat kesepakatan bersama dengan anak mengenai perturan
dalam keluarga
2.3. Menghargai pendapat anak.
2.4. Memperhatikan segala masukan dan usulan dari anak.
2.5. Memberi penjelasan tentang segala larangan dan perintah yang
diberikan
3. Permisif 3.1. Membiarkan anak dalam segala aktivitasnya.
3.2. Tidak memberi masukan saat anak mempertimbangkan sesuatu.
3.3. Tidak mengetahui segala urusan anak.
3.4. Tidak melarang dan tidak memerintah anak untuk melakukan
sesuatu.
3.5. Bebas dari segala aturan orangtua
Kematangan 1. Selektivitas dalam 1.1. Pengekpresian emosi
Emosi merespon 1.2. Sikap terhadap orang lain maupun milik orang lain di saat emosi
1.3. Mencari penyebab dari emosi
1.4. Sikap di saat menghadapi situasi emosi
2. Kontrol diri & emosi 2.1. Sikap ketika mengalami situasi emosi
2.2. Sikap pada seseorang yang bermasalah kepada kita
2.3. Sikap di saat mengetahui orang berbuat salah pada kita maupun
umum
3. Berpikir kritis & 3.1. Keputusan dalam bertindak di saat situasi emosi
realistis 3.2. Sikap di saat menghadapi suatu kegagalan
3.3. Sikap ketika telah mengalami suatu kegagalan.
7
3.4. Sikap kita kepada orang uang lebih kita hormati di saat emosi
3.5. Pemikiran sebab-akibat dalam melakikuan suatu tindakan
4. Tanggung jawab 4.1. Sikap terhadap peraturan-peraturan
4.2. Sikap di saat mengetahui kesibukan orang lain
4.3. Sikap di saat kita mendapatkan suatu tugas
4.4. Sikap kepada orang lain di saat situasi emosi
4.5. Sikap terhadap orang yang dianggap lebih rendah derajatnya
5.Kemampuan 5.1. Perilaku dalam kehidupan sosial
Bersosialisasi 5.2. Aktivitas bersama di lingkungan
5.3. Sikap di lingkungan baru
5.4. Sikap terhadap individu lain di suatu lingkungan
Peilaku Agresi 1.Agresi 1.1. Perilaku di saat kita terganggu oleh individu lain
verbal/simbolik 1.2. Perilaku saat kita menerima nasehat dari orang yang kita hormati
1.3. Perilaku di saat melihat orang lain lebih buruk keadaannya
daripada kita
2. Agresi 2.1. Perilaku agresi terhadap lingkungan sekitar
Fisik / hukuman 2.2. Sikap di saat terjadi suatu masalah dengan individu lain
2.3. Sikap di saat individu lain merendahkan/mengejek kita
3. Memberitahu pihak 3.1. Sikap kita terhadap orang yang menjadi saingan
lain untuk membalas 3.2. Sikap kita kepada orang lain terhadap orang yang dibenci
atau menghasut
4. Merusak sesuatu 4.1. Perilaku terhadap lingkungan di saat kita mengalami suatu
yang memiliki nilai kegagalan/kesalahan
penting bagi seseorang 4.2. Perilaku agresi pada orang yang bersalah kepada kita
4.3. Perilaku jahil kepada orang lain maupun lingkungan
5. Pengalihan terhadap 5.1. Perilaku terhadap hal-hal yang ada di lingkungan ketika sedang
obyek bukan manusia emosi
5.2. Sikap ketika kita sedang terjadi masalah
6. Pengalihan terhadap 6.1. Sikap kita kepada orang lain di saat kita mengalami nasib buruk
manusia 6.2. Sikap ketika berada di lingkungan kita mengalami masalah di
suatu tempat
6.3. Sikap kita kepada orang lain di saat benda yang kita miliki
hilang/mengalami suatu masalah
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. POLA ASUH
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pola asuh oang tua, perlu dipahami
terlabih dahulu mengenai makna dari keluarga. Sebab pola asuh terjadi dalam
lingkup pendidikan keluarga.
Lingkungan keluarga merupakan “pusat pendidikan” yang pertama dan
terpenting, karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu
mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia (Dewantara, 1998:
17). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa pengaruh orang tua
terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar dan kemudian dapat
menjadi model contoh dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan
sosialnya. Misalnya, orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga
kurang perhatian terhadap perkembangan dan kebutuhan anak mengakibatkan
orang tua bersikap cuek / masa bodoh dan cenderung membiarkan anak
menentukan perilaku dalam kegiatannya sehari-hari dan cenderung memenuhi
keinginan anak tanpa diperhatikan terlebih dahulu intensitas dari kebutuhan anak.
Dengan sikap orang tua yang cuek tersebut anak merasa kurang diperhatikan dan
dapat juga menjadi kurang dihargai, sehingga bila dibiarkan berlarut-larut,
perilaku anak akan semakin bebas dan bertindak sesuai dengan yang
dikehendakinya tanpa ada kontrol.
Bila dihubungkan dengan masa remaja sebagai suatu periode “badai dan
tekanan” yang emosinya belum stabil, kemungkinan perilaku agresi dapat muncul,
bilamana keinginannya tak terpenuhi atau terkadang cenderung memaksakan
kehendak untuk memenuhi kebutuhannya. Terkadang remaja kurang bisa
mengendalikan perilaku agresinya bila mereka tidak mendapatkan kontrol dari
lingkungannya terutama dari orang tuanya.
9
2. Model Pola Asuh Orang Tua
Menurut Hidayah, dkk (1994: 20) pola asuh orang tua adalah suatu “parental
attitude, dimana orang tua memperlakukan anaknya dalam komunikasi sehari-
hari, dalam mengasuh dan memelihara anak baik ayah, ibu maupun keduanya.”
Dalam mengasuh anak khususnya remaja, orang tua harus memperhatikan
bagaimana dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, pemberian reward dan
punishment pada perilaku anak serta penanaman sikap dan moral kepada anak.
Sehingga dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pola asuh yaitu model atau
cara orang tua dalam memperlakukan anak dalam kehidupan sehari-hari dalam
bentuk perlakuan fisik maupun psikis.
Hubungan antara orang tua dengan anak ditentukan oleh sikap, perasaan, dan
keinginan orang tua terhadap anaknya. Pola asuh orang tua yang diterapkan
terhadap anak akan membentuk suasana tertentu dalam keluarga yang masing-
masing mempunyai pengaruh bagi perkembangan kepribadian anak. Menurut
Hurlock (1980: 213) pola asuh dalam keluarga dikategorikan menjadi tiga macam
yaitu :
a. Otoriter
Orang tua menentukan semua peraturan secara mutlak dan anak tidak
diberikan kebebasan untuk melakukan hal yang diinginkan, sehingga jika anak
melanggar peraturan orang tua maka sangsi hukuman fisik yang akan diterima
anak. Anak dalam pengasuhan ini merasa terkekang, menyebabkan
perkembangan anak mengalami kemunduran, sulit menyesuaikan diri dengan
lingkungan, ragu-ragu dalam bertindak dan lamban berinisiatif (Probns, dalam
Ahmadi, 1982: 106). Pola seperti ini akan menimbulkan percekcokan karena
orang tua berharap dirinya lebih mengambil peran dalam kehidupan anaknya.
Keputusan atas segala sesuatu ditentukan oleh orang tua, sehingga anak akan
cenderung mendapatkan hukuman fisik bila menentang orang tua. Sementara
remaja yang mendapatkan pola asuh ini, bila kecenderungan emosional kuat,
maka berakibat adanya perselisihan dalam keluarga, menyebabkan perilaku
agresi muncul sebagai bentuk perlawanannya.
10
Menurut Daradjat (1968) menyebutkan pola asuh otoriter dengan
“toleransi orang tua yang berlebih-lebihan dan orang tua yang terlalu keras.”
Banyaknya perintah, larangan, teguran dan tidak memperdulikan keinginan
anak, mengakibatkan anak mengalami ketidakmatangan emosi dan mengalami
ketegangan yang berakibat munculnya perilaku agresi sebagai efeknya dalam
lingkungan sosial.
b. Demokratis
Dalam pola asuh ini anak diberi kebebasan untuk memilih disertai dengan
bimbingan yang penuh kasih sayang dan pengertian dari orang tua. Anak yang
dibesarkan dalam pola asuh demokratis mempunyai rasa percaya diri yang
baik, bertanggung jawab dan dapat menghargai orang lain (Hurlock, 1994:
213).
Menurut Bernadib (dalam Tarmudji, 2001) mengemukakan bahwa anak
dalam pengasuhan demokratis; orang tua selalu memperhatikan
perkembangan anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat tetapi
juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berhubungan dengan
masalah yang sedang dihadapi anak. Bagi remaja yang mendapatkan pola asuh
ini dapat mengeluarkan segala keluh kesahnya kepada orang tuanya, sehingga
permasalahan yang dialami dapat segera diatasi dan kemungkinan perilaku
agresi yang muncul dapat diketahui dan diminimalisir.
c. Permissive
Pola asuh ini cenderung orang tua memberikan kebebasan kepada anak. Tidak
ada peratuan mengikat, sehingga anak bebas melakukan segala hal yang
diinginkannya. Orang tua hanya memenuhi kebutuhan materi tanpa dilandasi
rasa kasih sayang dan bimbingan, sehingga anak akan cenderung lebih agresi
dan mudah putus asa jika keinginannya tidak terpenuhi (Hurlock, 1980: 213).
Remaja yang mendapat pola asuh permisif cenderung bebas untuk berperilaku
baik maupun buruk tanpa terkontrol oleh orang tuanya. Selain itu dalam ola
asuh ini, anak cenderung tidak memiliki rasa hormat kepada orang tua dan
kematangan emoi yang kurang stabil. Sehingga bila ada suatu keinginan yang
11
belum terpenuhi, mereka cenderung menggunakan berbagai cara termasuk
perilaku agresi.
Pengalaman-pengalaman anak dalam interaksi sosial dengan keluarga sangat
menentukan pula dalam bertingkah laku dengan orang lain dalam lingkungan
sosial. Apabila interaksi sosial anak dalam keluarga tidak lancar oleh karena
beberapa sebab, maka kemungkinan interaksi sosial dengan masyarakat pada
umumnya juga berlangsung dengan tidak wajar.
Selain itu pola asuh orang tua juga berperan terhadap kematangan emosi
remaja. Seorang remaja yang pada masa kecilnya memperoleh pola asuh yang
terlalu keras maupun pola asuh yang membebaskan dalam berperilaku akan
mendapatkan perkembangan emosi yang tidak sesuai / kematangan emosi kurang
stabil dan dapat mengakibatkan perilaku agresi pula. Namun perkembangan emosi
akan berjalan menuju kesempurnaan bilamana dalam suatu keluarga berinteraksi
dengan pola asuh yang didasari dengan kasih sayang dalam suasana persahabatan.
B. KEMATANGAN EMOSI
1. Pengertian Emosi
Menurut Maramis (1980: 342) emosi adalah “suatu keadaan yang kompleks
yang berlangsung biasanya tidak lama, yang mempunyai komponen pada badan
dan jiwa individu itu: pada jiwa timbul keadaan terangsang (‘excitement’) dengan
perasaan yang hebat serta biasanya juga terdapat impuls untuk berbuat sesuatu
yang tertentu; pada badan timbul gejala-gejala dari pihak susunan saraf vegetatif,
umpamanya pada pernapasan, sirkulasi, sekresi.” Maksud dari berbuat sesuatu
yang tertentu seperti yang diuraikan di atas yaitu tindakan-tindakan yang dapat
menyebabkan terganggunya hubungan sosial akibat ketidakmampuan individu
dalam menguasai dan mengontrol emosi, sehingga individu tersebut mengalami
kesulitan penyesuaian diri dengan lingkungan. Emosi merupakan perpaduan
antara faktor kognisi dan fisiologis yang dapat mengganggu proses penyesuaian
diri individu dengan lingkungan di luar dirinya. Sedangkan menurut Goleman
(1995, dalam Ali dan Ansrori) “emosi merupakan merupakan suatu perasaan dan
12
pikiran-pikiran yang khas,suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa emosi merupakan suatu luapan perasaan yang muncul secara spontan,
bersifat sementara, yang diwujudkan dalam perasaan senang atau tidak senang
yang timbul akibat adanya rangsangan dari dalam maupun luar individu.
13
Dari pengertian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kematangan
emosi yaitu suatu kemampuan untuk mengendalikan emosi yang menekankan
pada pengekpresian emosi yang dapat memuaskan baik secara fisik maupun psikis
bagi individu maupun yang dapat diterima oleh masyarakat.
C. AGRESI
1. Pengertian Agresi
Agresi adalah peranan marah atau suatu kekasaran sebagai akibat kekecewaan
atau kegagalan dalam mencapai suatu pemuasan atau tujuan, dapat ditujukan
kepada orang atau benda (Hassan dkk, 1981 : 2). Schneiders (1955) menyebutkan
bahwa “perilaku agresi merupakan perilaku atau luapan emosi sebagai reaksi
kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk penguasaan atau pengrusakan
terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan, yang diekspresikan dalam
bentuk kata-kata (verbal) dan perilaku (nonverbal).
Tujuan dari perilaku agresi adalah untuk penguasaan situasi, mengatasi suatu
rintangan / halangan yang dihadapi, atau merusak suatu benda. Secara umum
berarti suatu tingkah laku menyerang, mengancam, atau membahayakan orang
lain baik secara verbal maupun fisik dengan sengaja.
Faktor-faktor Penyebab Agresi
Beberapa hal dapat menimbulkan munculnya perilaku agresi. Menurut
Tarmudji (www.google.com, 2001), salah satu faktor yang diduga menjadi sebab
timbulnya tingkah laku agresi adalah kecenderungan pola asuh tertentu dari orang
tua (child rearing). Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orang tua
dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Salah satu faktor dalam
keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian
adalah praktik pengasuhan orang tua kepada anaknya. Perkembangan tingkah laku
agresi pada anak dipengaruhi oleh orang tuanya melalui pengontrolan pengalaman
frustasi anak dan juga cara orang tua memberikan penguatan ataupun hukuman
terhadap tingkah laku agresi.
Menurut Bandura (dalam Tarmudji, 2001), dalam masyarakat modern ada tiga
sumber munculnya tingkah laku agresi, antara lain :
14
a. Pengaruh keluarga
Anak belajar bertingkah laku agresi melalui imitasi atau model terutama dari
orang tuanya.
b. Pengaruh subkultural
Dalam konteks pengaruh subkultural ini sumber agresi adalah komunikasi
atau kontak langsung yang berulang kali terjadi antarsesama anggota
masyarakat di lingkungan anak remaja tinggal. Mengingat kondisi remaja,
maka peer group berperan juga dalam mewarnai perilaku remaja yang
bersangkutan.
c. Modelling (vicarious learning)
Hal ini merupakan sumber tingkah laku agresi secara tingkah langsung yang
didapat melalui mass media, misalnya televisi, majalah, koran, video, atau
bioskop.
Perilaku agresi merupakan hasil proses belajar dalam interaksi sosial maka
tingkah laku agresi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Selain itu, menurut
Mu’tadin (2002) beberapa faktor yang merupakan penyebab timbulnya perilaku
agresi, antara lain :
a. Amarah
Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal
tersebut disalurkan maka terjadi perilaku agresi. Kekecewaan, sakit fisik,
penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya
memancing agresi.
b. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan
orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin
minimal dan seingkali tidak ‘nyambung’. Kegagalan komunikasi orang tua
dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada
anak / remaja.
15
c. Lingkungan
Beberapa hal di lingkungan yang dapat memicu timbulnya perilaku agresi,
antara lain :
Kemiskinan
Model agresi ini seringkali diadopsi anak / remaja sebagai model
pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang
dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidup, seringkali dengan mudah
bertindak agresi (memukul, berteriak, dan mendororong orang lain hingga
jatuh dan tersingkir) dalam kompetensi sementara ia akan berhasil
mencapai tujuannya.
Anonimitas
Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi
sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi
saling mengenal atau mengetahui secara baik. Setiap individu cenerung
menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa
anonim, ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa
tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada
orang lain.
d. Peran Belajar Model Kekerasan
Menurut Davidoff (dalam Mu’tadin, 2002) menyaksikan perkelahian meskiun
sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru
model kekerasan tersebut akan terjadi proses belajar peran model kekerasan
tersebut akan terjadi proses belajar peran model kekerasan tersebut akan
terjadi proses belajar peran model kekerasan tersebut. Dengan menyaksikan
adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan
hal tersebut akan terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini
menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
e. Frustasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai
suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.
Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustasi.
16
f. Proses Pendisiplinan yang Keliru
Pendisiplinan dalam suatu pola asuh yang otoriter dengan penerapan yang
keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat
menimbulkan berbagai pengaruh buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin
seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah
dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman fisik,
kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
Di samping itu menurut Krahe (2005: 111 – 148) beberapa faktor yang dapat
mendorong dan meningkatkan perilaku agresi, antara lain keadaan yang dapat
menyebabkan frustasi, penggunaan alkohol, efek senjata, keadaan yang berdesak-
desakan (crowding), kebisingan, polusi udara, dan efek temperatur udara.
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa banyak hal di lingkungan sekitar yang
dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresi yang apabila intensitasnya
berlebihan dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
17
c. Teori Belajar Sosial
Teori ini menyatakan bahwa agresi adalah serupa dengan semua respon
dipelajari lainnya. Agresi dapat dipelajari melalui pengamatan atau peniruan,
dan semakin sering diperkuat, akan semakin sering terjadi (Atkinson,
1999:126).
d. Penilaian Kognitif (cognitive appraisal)
Penilaian kognitif adalah suatu analisis situasi yang menghasilkan suatu
keyakinan emosional. Penilaian tersebut mempengaruhi intensitas dan kualitas
emosi. Selain itu, teori ini menyatakan bahwa keadaan emosional subyektif
merupakan fungsi penilaian, atau analisis, individual tentang situasi penimbul
emosi. Suatu rangsangan fisiologis dapat menimbulkan berbagai emosi yang
tergantung pada bagaimana seseorang menilai situasi (Atkinson, 1999:135).
e. Teori Murray
Menurut Murray agresi merupakan kebutuhan untuk menyerang, memperkosa,
atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, mengganggu,
membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan, atau
menuduh secara jahat, menghukum berat, atau melakukan tindakan sadistis
lainnya (Chaplin, 1989:15).
18
positif yang meliputi berkurangnya perilaku menyerang secara verbal dan
fisik, adanya perkembangan perilaku alternatif dalam menyelesaikan
konflik; meningkatnya kesadaran mengenai hak orang lain; meningkatnya
kesadaran mengenai hak orang lain; meningkatnya kontrol impuls, mampu
beradaptasi dengan perasaan-perasaan yang muncul, dan meningkatnya
kontrol diri.
Dalam hal ini Mundy lebih menekankan pada Social skills training dalam
pengendalian/kontrol agresi, karena remaja agresi cenderung memiliki
kekurangan dalam hal kemampuan interpersonal.
19
Setiap individu mempunyai kematangan emosi yang berbeda-beda. Seorang
remaja yang matang emosinya, mampu menerima, menyeleksi serta
mengungkapkan emosinya secara tepat, mempunyai stabilitas dalam merespon
emosinya, mampu menilai secara kritis sebelum merespon sesuatu secara
emosional. Individu dituntut untuk memiliki kematangan emosi yang dapat
mengendalikan marahnya bilamana dia mampu mengendalikan agresinya
daripada “meledakkannya.” Individu khususnya masyarakat yang mempunyai
kematangan emosi bukan hanya dapat mengendalikan emosi yang berlebih saja,
tetapi mereka juga harus menguasai cara-cara yang dapat diterima sosial dan tidak
merugikan fisik dan psikis remaja itu sendiri. Dengan kata lain dapat disimpulkan
bahwa pola asuh orang tua akan mempengaruhi perilaku dari para remaja dan
bilamana remaja belum mampu / tidak matang emosinya akan mengakibatkan
perilaku emosi yang mudah “meledak”; sehingga bilamana orang tua salah dalam
mengasuh anaknya akan membuat buruknya kepribadian, kematangan pada emosi
dan pada akhirnya timbul perilaku agresi.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Kematangan Emosi
(X 2 )
21
obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Jadi populasi
bukan hanya orang, tetapi juga benda-benda alam yang lain. Populasi bukan
sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi
seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu.
Populasi dalam penelitian ini adalah fase remaja awal di SMK 1 Islam Blitar.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah mengunakan sampel
random, yaitu penulis memberi hak yang sama kepada setiap subjek populasi
untuk dipilih menjadi sampel. Sampel yang diambil dalam penelitian ini yaitu
50% dari jmlah penghuni Lapas sekitar 130 orang. Menurut Arikunto apabila
populasi kurang dari 100, maka lebih baik sampel diambil semuanya.
1. Instrumen Penelitian
22
45, 51, 57 42, 48, 54, 60
Permisif 5, 11, 17, 23, 29, 35, 2, 8, 14, 20, 26, 32, 20
41, 47, 53, 59 38, 44, 50, 56
Jumlah 30 30 60
b. Skala Kematangan Emosi
Data kematangan emosi diperoleh melalui indikator dari skala kematangan
emosi. Metode yang digunakan adalah Metode Likert yang kategori sama dengan
skala pada pola asuh orang tua.
Indikator Item Favorabel Item Unfavorabel Jumlah
Kematangan
Emosi
Selektifitas dalam 1, 9, 13, 25, 37, 49 2, 14, 21, 26, 38, 50 12
merespon
Kontrol diri dan 3, 15, 27, 33, 39 4, 16, 28, 40, 45 10
emosi
Berpikir kritis dan 5, 10, 17, 29, 41 6, 8, 22, 30, 42 10
realistis
Tanggung jawab 7, 19, 31, 34, 43 8, 20, 32, 44, 46 10
Kemampuan 11, 23, 35, 47 12, 24, 36, 48 8
bersosialisasi
Jumlah 25 25 50
23
Merusak sesuatu yang memiliki 20, 21, 22, 23 19, 24 6
nilai penting bagi seseorang
Pengalihan terhadap objek 25, 26, 28, 30 27, 29 6
bukan manusia
Pengalihan terhadap manusia 31, 32, 33, 34 35, 36 6
Jumlah 24 12 36
1. Validitas Instrumen
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 1998: 160). Dalam penelitian ini validitas
yang digunakan adalah validitas konstruk, yang dilakukan melalui analisis butir
teknik konsistensi internal. Validitas internal dapat dicapai apabila terdapat
kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan.
2. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas menunjukkan pada satu pengertian bahwa sesuatu instrumen
cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena
instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 1998: 170). Tekni reliabilitas pada
instrumen penelitian menggunakan rumus koefisien alpha yang dilakukan dengan
bantuan program SPSS 12.00 for windows.
24
5. Pengumpulan kembali instrumen penelitian.
25
DAFTAR RUJUKAN
Daradjat, Zakiah. 1994. Kesehatan Mental. Jakarta: CV. Haji Mas Agung
26
Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Press
www.altavista.com.
Tarmudji, Tarsis. 2001. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Agresivitas
27