Anda di halaman 1dari 6

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH STUDI KASUS BIMBINGAN

Dosen Pengampu : Ranni Rahmayanthi Z

DI SUSUN OLEH :
Marcella Leolita Jah’ro’i (2013052030)

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN

DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

2022
Pertanyaan !
1. Dari kasus di atas, tekanan apa yang dihadapi remaja saat ini sehingga banyak
remaja melakukan “body shaming” kepada temannya?
2. Sebagai seorang konselor, kamu diminta untuk mendorong perubahan pada diri
remaja dengan memfasilitasi perubahan pola pemikiran, melalui tiga cara. Tugas
kamu adalah membuat salah satu cara yaitu merancang strategi psikoedukasi untuk
kasus di atas!
3. Dari kasus di atas pasti ada peran pola asuh orang tua yang menyertai perilaku
tersebut. Jelaskan pola asuh yang seperti apa yang mendukukung perkembangan
remaja yang sehat mental?

Jawaban :
1. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu luang dengan teman sebayanya,
sehingga peran teman sebaya cukup penting pada kehidupan remaja. Pada aspek
sosioemosional, remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima
oleh teman sebayanya. Hal tersebut berdampak pada perasaan senang ketika mereka
diterima oleh kelompok atau teman sebayanya, dan sebaliknya mereka akan menjadi
cemas dan stress ketika mendapat penolakan teman sebaya. Pengaruh teman sebaya
memberikan pengaruh positif maupun negatif pada remaja.
Perubahan fisik pada remaja dapat menjadi suatu permasalahan tersendiri,
sehingga tidak sedikit remaja merasa malu dan tidak puas dengan bentuk
tubuhnya. Tekanan sosial khususnya dari teman sebaya mengenai bentuk tubuh
ideal, serta perkembangan otak yang belum matang membuat remaja cenderung
impulsive sehingga mendorong untuk melakukan Body shaming.
Body shaming merupakan suatu bentuk perilaku negatif dengan mengomentari
penampilan dan bentuk tubuh (Lestari & Kurniawati, 2020). Body shaming tentunya
terjadi karena suatu alasan yang melatarbelakangi. Pada buku psikologi kecantikan ,
dijelaskan beberapa penyebab body shaming, diantaranya: (1) adanya standar
kecantikan sebagai kontrol sosial; (2) menganggap hal tersebut merupakan suatu hal
yang wajar dan sebuah lelucon sehari-hari; (3) menyamakan dan menerapkan standar
kecantikan diri pada orang lain; dan (4) tidak mengetahui bagaimana dampak body
shaming pada orang lain (Lestari & Kurniawati, 2020). Media turut mempengaruhi
terjadinya permasalahan body shaming. Media masa banyak menampilkan model-
model yang memiliki bentuk tubuh langsing atau kurus yang menjadikannya sebagai
standar kecantikan.. Sehingga dapat disimpulkan bahwa banyak tekanan yang
dihadapi remaja mengenai bentuk tubuh dari teman sebaya, media sosial, bahkan
anggota keluarga. Dimana tekanan2 tersebutlah yang mendorong para remaja untuk
melakukan body shaming.

2. Psikoedukasi merupakan salah satu bentuk intervensi psikologi secara individu,


kelompok maupun komunitas yang bertujuan untuk mengobati, mengurangi perilaku
maladaptive menjadi perilaku adaptif, hal ini sebagai bentuk prilaku preventif
terhadap gangguan mental agar tidak memunculkan perilaku bermasalah (Morgan &
Vera, 2011). Selain itu psikoedukasi digunakan untuk pemberdayaan dan
pengembangan masyarakat yang dikemas dalam bentuk pendidikan pada masyarakat
terkait dengan informasi tertentu yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya (Brown, 2003).
Dari kasus diatas yang telah disebutkan jika memerlukan layanan psikoedukasi yang
tepat yang harus di susun. Dan dari kasus body shaming tersebut maka strategi yang
bisa dilakuka adalah :
1. Menentukan lokasi tempat psikoedukasi, melakukan analisis SWOT, kemudian
menyiapkan sarana dan prasarana serta SDM yang akan digunakan.
2. Kemudian Memberikan pemberdayaan kepada masyarakat terutama pada remaja
terkait dengan body shaming, dengan menggunakan penyuluhan secara klasikal yaitu
presentasi dan diskusi terkait dengan body shaming kepada sekelompok remaja dan
memberikan kuesioner untuk melihat dampak kegiatan penyuluhan tersebut
bermanfaat bagi remaja.
3. Kegiatan penyuluhan psikoedukasi terkait body shaming ini perlu diikuti oleh siswa
atau remaja, orang tua dan guru.
4. Kegiatan ini menjelaskan mengenai definisi body shaming, penyebab dan bahaya
dampak body shaming pada remaja serta contoh-contoh konkrit terkait dengan
perilaku body shaming yang terjadi di masyarakat.
5. Metode yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan psikoedukasi pada masyarakat
ini dengan cara ceramah, diskusi, Tanya jawab dan menampilkan video terkait dengan
body shaming.
6. Kemudian tidak lupa dengan memberikan pre-test dan post test setelah dan
sebelum psikoedukasi dilakukan, guna melihat hasil yang diinginkan apakah dapat
sesuai dengan target yang dicapai atau tidak.
3. Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Masalah Mental Emosional Remaja
dan Perilaku Body Shaming
A) . Pola Asuh Orang tua yang Otoriter
Pola asuh yang cenderung memberikan kekangan, larangan, dan selalu
menginterogasi tentang apa saja yang dilakukan anak-anaknya ternyata tidak
berefek baik bagi perilaku anak remajanya (Fuad, 2010). Tidak jarang remaja
berusaha keluar dari permasalahannya dan melarikan diri dari rumah serta
memberontak terhadap apa yang dilarang oleh orang tuanya (Santrock, 2007).
Semakin orang tua melarang keinginan anaknya tanpa memberi alasan yang dapat
diterima dengan baik oleh anak maka akibatnya dapat berupa keinginan yang
semakin besar untuk mencari tahu sendiri jawabannya (Mustansky, 2007). Jika
kekangan ini terlalu kuat remaja akan semakin penasaran untuk mencoba hal-hal
yang dilarang untuk upaya mencari perhatian orang tuanya. Selain itu, akibat pola
asuh yang otoriter ini anak akan cenderung merasa tertekan dan kemudian dia
akan melampiaskan emosinya ini kepada orang lain, seperti melakukan
ejekan/body shaming, selain itu juga anak akan lebih cenderung meniru perilaku
orangtuanya pada kehidupan sosialnya sehingga menimbulkan dampak negatif di
dunia pertemanannya. Penelitian yang dilakukan oleh Laksmiwati (2009) bahwa
orang tua yang cenderung bersikap otoriter mempertinggi angka kenakalan
remaja, sehingga tidak jarang pola asuh otoriter dapat menyebabkan masalah
mental emosional pada remaja.
B) . Pola asuh orang tua yang permisif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola asuh permisif
dengan masalah mental emosional remaja. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nurmagupta (2014) yang menunjukkan bahwa ada
hubungan pola asuh permisif dengan perilaku seksual berisiko pada remaja. Sikap
permisif diartikan sikap orang tua yang memberikan kebebasan kepada anaknya.
Kurang mau tau segala urusan anak-anaknya dan cenderung membiarkan anaknya
untuk berbuat semau hatinya (Santrok, 2007). Orang tua yang bersikap permisif
terhadap pergaulan anaknya bisa saja dikarenakan orang tua takut anaknya akan
bertindak diluar batas kewajaran jika anaknya dikekang, dan membuat anaknya
menjadi minder dan kurang rasa percaya diri, sehingga orang tua cenderung
memberikan kebebasan pada anaknya (Fuad, 2010).
Dari hasil penelitian tersebut dapat dianalisa bahwa pola asuh permisif yang terus
digunakan oleh orang tua dapat menyebabkan anak remajanya beresiko mengalami
masalah mental emosional.Sikap permisif orang tua tentunya sangat mempunyai
dampak yang tidak baik bagi perkembangan remaja, baik perkembangan emosional,
maupun perkembangan psikososialnya. Orang tua cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak melakukan penyimpangan, dan sangat sedikit
bimbingan yang diberikan oleh mereka. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
semakin permisif orang tua dalam mendidik anaknya maka akan semakin beresiko
anak remajanya mengalami masalah mental emosional, sehingga mengakibatkan
mental anak terganggu. Untuk itu pola asuh permisif tidak baik dijadikan sebagai pola
asuh yang dominan dalam mendidik anak.
C) Pola Asuh Orang tua yang Demokratis
Hoskins (2014) mengemukan bahwa para peneliti menemukan fakta orang
tua yang demokratis menunjukkan pemantauan yang tinggi selama masa kanak-
kanak dan sedikit menurun ketika anak mereka masuk usia remaja. Temuan ini
menunjukkan bahwa orang tua yang demokratis sedikit melepaskan pemantauan
mereka dalam menanggapi peningkatan tuntutan remaja untuk pengambilan
keputusan secara independen. Hasil temuan ini sesuai dengan penelitian yang
diperoleh bahwa arah korelasi antara pola asuh demokratis dengan masalah
mental emosional remaja menunjukkan arah korelasi negatif, yang artinya
semakin rendah atau semakin menurunnya pola asuh demokratis maka akan
semakin tinggi / meningkat pula masalah mental emosional remaja.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis
harus tetap dipertahankan oleh orang tua hingga anaknya mencapai usia remaja
untuk menghindari remaja mengalami masalah mental emosional yang dapat
menimbulkan perilaku negatif sepertibody shaming, yang akan berdampak pada
kesehatan jiwa remaja. Jadi sebenarnya pola asuh demokratis ini merupakan pola
asuh yang baik untuk mencegah perilaku menyimpang remaja karena selain
melakukan pengawasan orangtua juga memberikan kebebasan tetapi tetap pada
kontrol, namun perlu di perhatikan juga jika orangtua tetap harus mengontrol
anak baik pada masa remaja awal hingga dia dewasa, jadi pendampingan pola
asuh ini akan tetap ada sampai anak sudah siap dan matang dalam mengambil
keputusan.
DAFTAR REFERENSI
Alves, D.; Roysamb, E.; Oppedal, B.; Zachrison, H. (2011). Emotional Problems
in Preadolescent in Norway: The Role of Gender, Ethnic Minority Status and
Home-and School-Related Hassles. Journal of Child and Adolescent
Psychiatry and Mental Health
Anggoro, M. (2013). Polisi Pekanbaru Buru Geng Motor hingga kesekolah. Antara
news. http://www.antaranews.com. Diperoleh tanggal 16 Maret 2015
Lemont, J. M. (2015). Trait body shame predicts health outcome in collage
women: a longitudinal invesitigation. New York: Springer Science and
Business Media.
Lestari, S. (2018). Dampak body shaming pada remaja putri. Prosiding seminar
nasional dan temu ilmiah positive psychology (pp. 328-336). Jakarta.
Lestari, S. (2018). Stop body shaming. Talk show HIMPSI Malang. Retrieved July
14, 2018, from http://aremanmediaonline.com/mediaonline/news/awas-bahaya-selfie-
danngobrolin-penampilan-namanya-body-shaming-dismorfic

Anda mungkin juga menyukai