Anda di halaman 1dari 5

Nama : Jihan Putri Maharani

Nim : 22022087

Matkul : Perkembangan Anak Usia Dini


Prodi : Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

“PERKEMBANGAN EMOSI ANAK USIA DINI”

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Anak


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak diantaranya
sebagai berikut :
1. Sikap dan tempramen anak
Para ahli sepakat bahwa sikap dan temperamen yang ditunjukkan oleh anak
sebenarnya merupakan bentuk ekspresi diri. Yang dimaksud dengan sikap di sini
adalah hasil evaluasi anak terhadap orang, benda, atau peristiwa yang sedang, telah,
atau akan terjadi. Meski anak masih kecil, ia sudah bisa bersikap seperti orang
dewasa saat menghadapi suatu masalah. Biasakan anak Anda untuk merasakan
emosinya. Menurut Malti dari UTM’s Laboratory for Social-Emotional
Development, perasaan kecewa atau emosional akan membantu anak menahan diri
dari agresi dan perilaku antisosial lainnya. Penerimaan kekecewaan merupakan
emosi yang penting untuk dimiliki, karena akan membuat anak memikirkan
tindakan selanjutnya. Sedangkan temperamen adalah gaya dan cara khusus anak
dalam bersikap dan menanggapi sesuatu. Temperamen setiap anak juga berbeda-
beda, ada yang pasif, aktif, bahkan agresif. Nah, sudah menjadi tugas orang tua
dalam perkembangan anaknya untuk membimbing pembentukan sikap dan
perangainya, agar berkembang menjadi karakter dan kepribadian yang positif. Jadi,
selagi masih dalam masa perkembangan karakter, jangan terus menerus untuk
menasehati dan membenahi karakter dan sikap anak yang kurang cepat.

2. Tingkat aktivitas sosial


Faktor selanjutnya yang mempengaruhi emosi anak adalah tingkat aktivitas
sosial anak. Anak yang jarang bersosialisasi cenderung pendiam, sedangkan anak
dengan tingkat aktivitas sosial yang tinggi biasanya memiliki karakter yang luwes
dan aktif. Tinggi rendahnya aktivitas sosial anak sebenarnya tidak menjadi masalah,
asalkan tidak sampai pada titik yang ekstrim seperti terlalu banyak atau terlalu
sedikit bersosialisasi. Alasannya karena aktivitas sosial yang terlalu tinggi akan
membuat anak cepat lelah secara mental, sedangkan aktivitas sosial yang terlalu
rendah akan membuatnya merasa kesepian dan tidak penting bagi orang lain. Agar
perkembangan sosial emosional anak tetap optimal.
3. Contoh dan panutan dari orang-orang sekitarnya
Sebagai bagian dari perkembangan emosi anak, ia akan banyak meniru dan
bereksperimen dengan berbagai perilaku untuk mengetahui mana yang dapat
diterima dengan baik secara sosial. Ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi
emosi anak. Oleh karena itu, bagi anak yang masih banyak melakukan peniruan
dalam proses pembentukan karakter dan pencarian jati diri, pengaruh orang tua dan
orang lain di sekitarnya sangat besar. Anak akan melihat contoh dan panutan dari
setiap individu di sekitarnya, untuk belajar bersosialisasi, mengambil keputusan,
berperilaku, dan masih banyak lagi. Untuk membentuk perilaku, pola pikir, dan
karakter positif, Ibu dan semua orang di sekitar anaknya perlu terus memberikan
contoh sikap dan perilaku positif untuk dijadikan panutan. Jadi, jangan hanya fokus
pada perkembangan fisik dan kecerdasan saja. Karena bagaimanapun,
perkembangan sosial emosional anak selama sekolah akan sangat menentukan
keberhasilan dan kebahagiaan anak di masa depan.

4. Faktor keluarga
Faktor lain yang mempengaruhi emosi anak secara alami berasal dari
keluarga. Menurut jurnal Seminar Internasional Kajian Islam keluarga adalah
lingkungan pertama yang akan dikenal anak. Melalui keluarga, anak harus belajar
bagaimana beradaptasi dengan orang lain. Ini adalah kemampuan yang diperoleh
anak melalui kesempatan atau pengalaman bersosialisasi dengan orang-orang di
lingkungannya. Baik orang tua, saudara kandung, teman sebaya atau orang dewasa
lainnya. Namun, beberapa kondisi yang tidak menguntungkan, seperti orang tua
yang menderita gangguan jiwa, penyalahgunaan zat oleh orang tua, penahanan
orang tua, pengangguran orang tua, kekerasan dalam keluarga dan kemiskinan,
dapat mempengaruhi cara anak berinteraksi dan bereaksi. Misalnya, jika orang tua
melakukan kekerasan, anak juga akan mengadopsi hal yang sama. Sedangkan jika
orang tua terlalu memanjakan anak, ada kemungkinan mereka menjadi tidak
disiplin dan keras kepala. Di sisi lain, jika orang tua cenderung tidak menunjukkan
kasih sayang, mereka dapat tumbuh menjadi sosok yang tertutup dan penurut.
Intinya, hubungan keluarga dan cara mereka mengekspresikan emosi akan
mempengaruhi perkembangan emosi anak. Jika orang tua memiliki stabilitas dalam
perilaku dan mengekspresikan perasaan secara seimbang, anak-anak juga akan
mengikutinya.

5. Pengaruh lingkungan sekitar


Seperti halnya keluarga, masyarakat juga merupakan faktor yang
mempengaruhi emosi anak. Ketika anak-anak tinggal di komunitas yang tidak aman
atau tidak sehat, seperti kualitas udara yang buruk dan polusi lingkungan lainnya.
Atau ketika anak mendapatkan pengasuhan anak yang berkualitas rendah,
kurangnya sumber daya yang tersedia di masyarakat, kurangnya kebijakan yang
mendukung anak dan keluarga, hal ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial
dan emosionalnya. Kondisi lingkungan yang buruk cenderung membuat anak
memiliki perkembangan emosi yang buruk. Misalnya, jika suatu lingkungan
memiliki kondisi emosi yang fluktuatif, anak-anak juga cenderung menjadi tidak
stabil secara emosional. Sedangkan ketika orang stabil dan memiliki kendali atas
emosinya, begitu juga anak-anak. Orang tua perlu tahu bahwa anak akan belajar
mengendalikan emosinya dan mencoba beradaptasi dengan perilaku yang dapat
diterima secara sosial.

6. Kondisi internal anak


Selain faktor eksternal, seperti keluarga dan lingkungan sekitar, kondisi
internal anak juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi emosi anak. Dalam hal
ini yang dimaksud adalah temperamen anak, keterlambatan perkembangan, dan
gangguan kesehatan yang serius. Dikutip dari Mom Junction, anak yang memiliki
kesehatan yang baik dapat mengontrol emosinya dengan lebih baik. Sedangkan
mereka yang menderita gangguan kesehatan biasanya menunjukkan banyak
iritabilitas, kegembiraan, dan emosi tidak stabil lainnya.

B. Aspek-Aspek Perkembangan Emosi Anak


Hewi (Hewi, 2020) menjelaskan, perkembangan sosial emosional dalam
pendidikan anak usia dini memiliki beberapa indikator yang terbagi dalam tiga aspek yaitu;
• Aspek kesadaran diri,
• Aspek rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain
• Aspek perilaku prososial.
Sedangkan Hurlock menyatakan perilaku emosional anak terdapat 9 aspek yaitu;

• Rasa takut
• Rasa malu
• Rasa cemas
• Rasa khawatir
• Rasa marah
• Rasa cemburu
• Rasa duka cita
• Rasa ingin tahu
• Rasa gembira
Hurlock (1993) perkembangan emosi terjadi sangat kuat pada usia 2,5-3,5 dan 5,5 – 6,4
tahun.
1. Reaksi emosi anak sangat kuat, anak akan merespons peristiwa dengan kadar
emosi yang sama. Semakin bertambah usia anak semakin mampu untuk
mengontrol emosinya.
2. Reaksi emosi muncul setiap peristiwa dengan cara yang diinginkannya dan
dengan waktu yang diinginkannya pula.
3. Emosi mudah berubah dan memperlihatkan reaksi spontanitas atau kondisi asli
dan anak sangat terbuka dengan pengalaman-pengalaman hatinya.
4. Reaksi emosi bersifat individual dan pemicu emosi yang sama, namun reaksi
yang ditimbulkan berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh faktor pemicu emosi
5. Keadaan emosi anak dikendalikan dengan gejala tingkah laku yang ditampilkan
dan anak sulit mengungkapkan emosi secara verbal dan emosi mudah dikenali
melalui tingkah laku yang ditunjukkan.

C. Strategi Pengembangan Emosi Anak


Salovry dan mayer (dalam tim suryakanti; 2000) mengemukakan bahwa terdapat
lima cara yang dapat kita lakukan untuk membina emosi yang sehat pada anak. Kelima cara
itu adalah mengembangkan kemempuan untuk mengenali emosi diri, kemampuan untuk
mengelola dan mengekspresikan emosi secara tepat, kemampuan untuk memotivasi diri,
kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan kemampuan untuk membina
hubungan dengan orang lain.
Berikut adalah penjelasan dari strategi pengembangan emosi pada anak TK:
1. Kemampuan untuk mengenali emosi diri
Untuk membantu anak mengenali emosinya dapat dilakukan dengan cara
mengajarkan anak untuk memahami perasaan-perasaan yang dialaminya.
Orang tua atau pun guru, dapat mengajak anak untuk mendiskusikan
mengenai berbagai emosi yang dirasakan berdasarkan pengalamnya.
Misalnya guru mengarahkan rasa marah anak dengan suatu kegiatan
bermain.

2. Kemampuan untuk mengelola dan mengekspresikan emosi secara tepat


Anak dapat dibiasakan untuk berpikir realistis sehingga anak dapat
menanggapi suatu kejadian dengan perilaku yang tepat. Selain itu, orang tua
dan guru juga dapat melatih anak untuk mengelola emosi, misalnya anak
diajak untuk meredakan emosi marah atau kecewa dengan cara mengalihkan
emosi itu pada kegiatan lainnya yang berarti, misalnya dengan menggambar.

3. Kemampuan untuk memotivasi diri


Pengembangan kemampuan untuk memotivasi diri didorong oleh
kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu, orang dan
guru diharapkan tidak mengabaikan kemampuan anak untuk memecahkan
masalah. Karena dengan penyelesaian masalah ini anak dapat belajar
banyak. Selain itu orang tua dan guru perlu menanamkan optimisme pada
anak. Optimisme menjadikan anak tidak mudah putus asa, terbiasa untuk
berpikir positif, dan memiliki kecenderungan melihat sisi cerah terhadap
suatu situasi. Misalnya, saat anak kecewa karena tidak dapat mengerjakan
sesuatu, ajak anak untuk bermain dengan menyusun balok-balok yang lebih
mudah dan dapat dilakukan anak.
4. Kemampuan untuk memahami perasaan orang lain
Untuk mengembangkan keterampilan anak dalam memahami perasaan
orang lain maka upaya pengembangan empati dan kepedulian terhadap
orang lain menjadi sangat penting. Anak sebaiknya mendapatkan
pengalaman langsung dalam kehidupan nyata untuk merasakan perasaannya
tersebut. Guru atau pun orang tua dapat melatihnya dengan cara
mengunjungi panti asuhan, melihat orang sakit dan membicarakan
kemungkinan yang dihadapi orang sakit itu. Selain itu bangkitkan rasa
humor dalam kehidupan keluarga karena humor merupakan peluruh dinding
pembatas antar generasi yang paling efektif. Ajaklah anak melihat
badut/sirkus untuk dapat memiliki rasa gembira dan keinginan tertawa anak.

5. Kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain


Latihlah anak untuk bergabung dengan anak yang lain, bermain kelompok,
dan melakukan kerja sama. Pengalaman ini akan sangat berarti bagi anak
untuk kehidupannya dikemudian hari. Contohnya, biarkan anak bermain
dengan anak sebayanya dan perhatikanlah serta arahkan cara bermain anak
sehingga dia tidak mendominasi dikuasai anak lainnya.

Anda mungkin juga menyukai